Selasa, 24 Mei 2022

Cerita Seekor Larva

“Malam itu, aku mengarahkan sinarku ke arah sekar dan rerumputan, di lokasi yang jauh dari jalan raya,” berkata Rembulan saat ia tiba, usai mengucapkan Basmalah dan Salam. “Kemudian, aku melihat sekelompok larva, yang sedang mengitari seekor larva. Penasaran apa yang dilakukan sang larva, maka kufokuskan perhatianku padanya. Dan, oooh rupanya, ia sedang menuturkan sekelumit cerita tentang petualangan Alice di negeri Ajaib.

'Pertanyaan besar yang pasti itu, apa?' kata sang Larva, melansir. 'Alice melihat ke sekeliling, namun ia tak dapat melihat apapun yang tampak seperti makanan atau minuman, yang sesuai dengan situasi saat itu. Ada jamur besar yang tumbuh di dekatnya, tingginya, hampir sama dengan dirinya; dan saat ia melihat di bawahnya, dan di kedua sisinya, serta di belakangnya, terpikir olehnya, bahwa sangat mungkin, ia dapat pula melihat dan menyaksikan, apa yang ada di atasnya.
Alice berjinjit, dan mengintip dari sela-sela jamur, dan kedua-matanya, seketika bersua dengan seekor Ulat besar—tahap larva dari anggota ordo serangga yang terdiri dari kupu-kupu dan ngengat, yang memakan bahan tanaman, seringkali dedaunan, namun tak semuanya; ada yang memakan serangga, dan bahkan, ada yang kanibal. Ada pula yang memakan produk hewani lainnya—berwarna biru, sedang duduk di atasnya, dengan melipat-tangan, diam mengisap hukah panjang—pipa berair yang digunakan menghisap tembakau, yang dibuat khusus dengan beragam rasa, semisal rasa apel, mint, ceri, cokelat, kelapa, kayu-manis, cappuccino, dan semangka—dan masa-bodoh, tak memperhatikan sekelilingnya. Sang Ulat dan Alice, saling berpandangan beberapa saat dalam diam: akhirnya, sang Ulat melepas hukah dari mulutnya, dan menegurnya dengan nada ketus dan terkantuk-kantuk.

'Elu siyaapah?' tanya sang Ulat. Sebuah basa-basi yang tak menyenangkan dalam sebuah percakapan. Alice menjawab, agak sungkan, 'Aku—aku hampir tak tahu, Pak, untuk saat ini—setidaknya, kutahu siapa diriku, kala kuterbangun di pagi ini, namun kurasa, aku pastilah telah silih-berganti beberapa kali, sejak saat itu.'
'Maksud lu?' kata sang Ulat, rada garang. 'Jelasin dong, diri elu!'
'Aku tak bisa menjelaskan diriku sendiri, maaf, Pak,' kata Alice, 'sebab, engkau kan telah tahu, aku bukanlah diriku.'
'Aye kagak ngarti,' kata sang Ulat. 'Sayangnya, aku tak sanggup memperjelasnya, lebih rinci,' Alice menjawab dengan sangat santun, 'karena, sejak awal, aku sendiri, tak dapat memahaminya, dan begitu banyak keganjilan dalam keseharian, yang sangat membingungkan.'
'Bukan itu,' tanggap sang Ulat. 'Yaa, mungkin engkau belum menyadarinya,' tukas Alice; 'tapi, tatkala engkau berubah menjadi kepompong—kelak—dan kemudian setelah itu, berwujud kupu-kupu, kurasa, engkau 'kan merasa sedikit aneh, bukan?'
'Nggak juga tuh,' kata sang Ulat. 'Yaa, mungkin, perasaanmu, berbeda,' kata Alice; 'Yang kutahu, bakal terasa sangat aneh bagiku.'
'Lu!' kata sang Ulat dengan nada nyinyir. 'Elu siyaapah?' yang membawa mereka kembali ke awal percakapan. Alice merasa agak kesal dengan ucapan sang Ulat yang teramat ringkas, dan ia berdiri seraya berkata, dengan sungguh-sungguh, 'Kurasa, sebaiknya engkau, terlebih dulu, memberitahukan, siapa dirimu!'
'Emang 'napa?' tanya sang Ulat. Pertanyaan ini, memusingkan; dan, lantaran Alice tak dapat memikirkan dalih yang jelas, dan lantaran sang Ulat, tampaknya berada dalam pikiran tak warasnya, ia balik-kanan.

'Sini lu!' sang Ulat memanggilnya. 'Aye punye sesuatu nyang penting buat diomongin!' so pasti, terdengar menjanjikan: Alice putar-balik dan kembali lagi. 'Kalem doong, santuy ... santuy,' kata sang Ulat.
'Gitu doang?' kata Alice, menahan amarahnya sebaik mungkin. 'Kagaak,' kata sang Ulat. Alice berpikir, mungkin lebih baik ia menunggu, sebab tak ada sesuatu yang perlu ia kerjakan, dan bisa jadi, barangkali, sang Ulat menyampaikan sesuatu; so, layak didengar.
Selama beberapa menit, sang Ulat mengepul dalam diam, walakin akhirnya, ia membuka lengannya, melepas hukah dari mulutnya lagi, dan berkata, "Jadi, menurut lu, elu 'dah berubah, 'kan?"
'Sayangnya begitu, Pak,' kata Alice; 'Aku tak dapat mengingat hal-hal seperti dulu—dan aku tak kenali, ukuran yang sama selama sepuluh menit, bersama-sama!'
'Kagak inget soal apaan?' kata sang Ulat.
'Yaaa, aku telah berusaha mengatakan 'Bagaimana kabar lebah kecil yang sibuk,' tapi, semuanya berbeda!' Alice menjawab dengan nada, yang sangat melankolis. 
'Ulangi perkataanku, 'Engkau telah tua, Pak William,' kata sang Ulat.
Alice melipat tangannya, dan memulai,
'Engkau telah tua,Pak William,' kata sang pemuda, 'Dan rambutmu, sudah sangat memutih. Namun engkau, terus-terusan, berdiri di atas kepalamu—menurutmu, benarkah itu, di saat usiamu seperti itu?'
'Di masa beliaku,' jawab Pak William kepada putranya, 'Aku khawatir, hal itu akan merusak otak; tapi sekarang, aku sangat yakin, aku tak takut lagi. Mengapa, aku melakukannya lagi, dan lagi.'

'Engkau telah tua, Pak William,' kata sang pemuda, 'seperti yang telah kusebutkan sebelumnya. Dan telah terlihat kegemukan; Namun, engkau berputar jungki-balik—katakan, mengapa?'
'Di masa beliaku,' kata sang bijak, seraya menggoyangkan rambut berubannya, 'aku menjaga agar seluruh anggota tubuhku tetap lentur, dengan menggunakan salep ini—satu shilling sekotaknya—belehkah aku menjualkanmu sepasang?'

'Engkau telah tua,'' kata sang pemuda, 'dan rahangmu terlalu lemah, untuk sesuatu yang lebih keras dari lemak; namun, engkau menghabiskan angsa, dengan tulang dan paruhnya. Katakan, bagaimana engkau bisa melakukannya?'
'Di masa beliaku'!'' kata sang ayah, 'Aku menaati aturan. Dan berdebat dalam setiap masalah dengan istriku; Dan kekuatan otot, yang menyalurkannya pada rahangku, telah bertahan dalam sepanjang usiaku.'

'Engkau telah tua,' kata sang pemuda, 'orang takkan mengira bahwa matamu sebening biasanya; namun, engkau menyeimbangkan seekor belut di ujung hidungmu—Apa yang membuatmu, begitu pandai?'
'Aku telah menjawab tiga pertanyaan, dan itu sudah cukup,' kata ayahnya; 'jangan banyak polah! Tidakkah engkau berpikir, aku bisa mendengarkan sepanjang hari, sesuatu hal seperti itu? Sudahilah, atau aku akan menyepakmu, hingga jatuh menuruni tangga!'
'Pemaparannya, kurang bener,' kata sang Ulat. 'Kayaknya, kurang tepat,' kata Alice, rada takut-takut; 'beberapa kata telah diubah.'
'Salah dari awal sampai akhir,' kata sang Ulat dengan tegas, dan ada keheningan selama beberapa menit.
Sang Ulatlah, kemudian, yang pertama, kembali berbicara. 'Lu pengennya setakaran berapa?' tanyanya. 'Oh, aku tak terlalu menentukan takaran,' Alice buru-buru menjawab, 'hanya satu, yang tak sering suka berubah, you know.'
'Aye kagak tahu,' kata sang Ulat. Alice tak mengatakan apa-apa: ia belum pernah ditentang sepanjang hidupnya, dan ia merasa kehilangan kesabaran.
'Lu puas sekarang?' kata sang Ulat.
'Well, aku ingin menjadi, sedikit lebih besar, Pak, jika engkau tak keberatan,' kata Alice, 'tiga inci itu, tinggi yang menyedihkan.'
'Tinggi segitu sih, udah bagus banget!' kata sang Ulat dengan dongkol, ia berdiri tegak saat berbicara—soalnya, tingginya persis, cuma tiga inci.
'Tapi aku 'tak terbiasa!' pinta Alice yang malang dengan nada memelas. Dan ia berpikir, 'Kuberharap, makhluk-makhluk itu, tak mudah tersinggung.'
'Pada waktunya, lu bakalan terbiasa,' kata sang Ulat; dan memasukkan hukah ke dalam mulutnya, lalu mulai merokok lagi.
Kali ini, Alice menunggu dengan sabar sampai sang Ulat memilih ngomong lagi. Dalam satu atau dua menit, sang Ulat melepaskan hukah dari mulutnya, dan menguap sekali atau dua kali, serta mengguncang tubuhnya. Kemudian, ia turun dari jamur, dan merangkak ke rerumputan, sembari berkata, 'Satu sisi, akan membuatmu, tumbuh lebih tinggi, dan sisi lainnya, akan membuatmu, lebih pendek.'
'Satu sisi dari apa? Sisi lain dari apa?' tanya Alice pada dirinya sendiri.'

Tak melanjutkan kalimat-kalimat akhir dari cerita itu, sang Larva mengakhirinya dengan bernyanyi,
There's a lady that's sure, all that glitters is gold
[Ada seorang nyonya, yang tahu-pasti, bahwa segala yang berkilau itu, emas]
And she's buying a stairway to Heaven
[Dan ia membeli sebuah tangga ke Kayangan]

When she gets there she knows, if the stores are all closed
[Sesampai disana, tahulah ia, ternyata, semua toko, ditutup]
With a word, she can get what she came for
[Dengan sepatah kata, ia bisa peroleh apa yang ditujunya]
And she's buying a stairway to Heaven
[Dan ia membeli sebuah tangga ke Kayangan]

There's a sign on the wall, but she wants to be sure
[Ada sebuah tanda di dinding, namun ia hendak memastikan]
'Cause you know, sometimes, words, have two meanings
[Sebab engkau tahu, terkadang, kata-kata, punya dua makna]

In a tree by the brook, there's a songbird who sings
[Di pohon, di tepian anak-sungai, ada burungkicau bernyanyi]
Sometimes all of our thoughts, are misgiven *)
[Kadang, seluruh pikiran kita, digagal-pahamkan]
Saatnya berangkat, dan sebelum pergi, Rembulan menghaturkan closing statement, "Seiring waktu, para Larva akan bermetamorfosis. Yang menarik, bakalan jadi apa, larva-larva itu: Kupu-kupu nan indah, yang beterbangan di antara sekar-puspita nan cantik, ataukah, cuma sekedar jadi Ngengat, yang 'kan mati di atas api-unggun? 'Ojo kesusu sik!' jare Pakde. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Lewis Carroll, Alice's Adventures in the Wonderland, MacMillan & Co
*) "Stairway To Heaven" karya Robert Plant & James Patrick Page