Jumat, 06 Mei 2022

Dua Raja

"'Dalam sebuah ruang dan waktu tertentu, di sebuah negeri, yang dikenal banyak tumbuh biji-bijian, bernama Negeri Yawadwipa, bertemu dua orang Raja,' sang Abdi Dalem, bercerita," berkata Rembulan usai mengucapkan Basmalah dan Salam. "Sang Abdi Dalem melanjutkan, 'Raja Pertama dikenal sebagai Raja Beneran, sebab Darah-biru yang mengalir di dalam tubuhnya, dan Mahkotanya, merupakan sebuah anugerah untuknya. Sedangkan Raja Kedua, dikenal sebagai— meminjam ucapan seorang Ekonom ternama—mewakili penguasa yang berprofesi sebagai pengusaha atau pengusaha yang berprofesi sebagai penguasa. Mahkota dan Singgasanya, ia peroleh dari—entah dengan cara yang benar atau tidak—dari hasil pemilihan seluruh rakyat ... kataanyaa!

Selentingan beredar, kedua Raja sedang membicarakan tentang Infrastruktur atau Megaproyek, yang diakhiri oleh titah Raja Pertama dengan kata, 'Ogah!' Namun sesuatu yang garib muncul, setelah pertemuan itu, Raja Kedua segera menerbitkan aturan-aturan baru sebuah Megaproyek ambisius. Mungkinkah pertemuan antara kedua Raja, memberi kesan bahwa Raja Pertama merestui proyek tersebut? Aku tak tahu apa persisnya yang terjadi, cuman bisa mereka-reka, bahwa sang Raja Sejati akan menitahkan hal-hal berikut ini,

Pertama, gerakan atau tindakan yang canggung; tanpa keterampilan atau keanggunan, bukanlah lelucon.
Seorang Petani, masuk ke sebuah kandang milknya guna melihat satwa-beban peliharaannya, dan di antaranya, seekor Keledai kesayangannya, yang selalu diberi makan dengan baik dan sering dibawa oleh sang tuan. Bersama sang Petani, ikutlah seekor anjing-kecil piaraannya, yang menari-nari, meloncat-loncat dan menjilati tangan sang Petani. Sang Petani, memberi makanan pada sang anjing-kecil, lalu duduk. Sang anjing-kecil melompat ke pangkuan tuannya, dan berbaring di sana, sementara sang-Petani membelai-belainya.
Menyaksikannya, sang keledai melepaskan-diri dari tali-kekangnya dan mulai berjingkrak-jingkrak menirukan sang anjing kecil. Melihat sang Petani tak dapat menahan tawanya, maka sang keledai mendekatinya, dan berusaha naik ke pangkuannya, menyalin sang anjing-kecil. Khawatir akan keselamatan sang Petani, para pelayan, bergegas, dengan tongkat dan garpu-rumput, menghalau sang keledai balik ke lapaknya.
Selanjutnya, memuslihati mereka yang mencoba memuslihatimu, akan bermanfaat.
Seekor Singa, yang telah tua dan lemah, melihat seekor Nag—seekor kuda, terutama yang tua atau yang kondisinya buruk, atau, orang yang terus-menerus mendesak, mengganggu, atau mengomel—yang sintal dan mendambakan sedikit darinya. Mengetahui bahwa sang kuda, terbukti bakal berlari lebih cepat dibanding dirinya, bila dikejar, ia menggunakan muslihat.
Sang raja belantara mengumumkan kepada seluruh satwa bahwa, setelah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari ilmu-fisika, ia sekarang bisa menyembuhkan penyakit atau gangguan apapun yang mungkin mereka derita. Sang raja hutan berharap, dengan cara begini, ia beroleh pengakuan di antara para satwa, dan dengan demikian, dapat kesempatan memuaskan seleranya.
Sang kuda, yang meragukan kejujuran sang Singa, datang dengan pincang, berpura-pura bahwa salah satu kaki belakangnya, tertusuk duri, yang membuatnya sangat kesakitan. Sang Singa meminta agar kaki yang tertusuk duri, diperlihatkan padanya, dan memeriksanya dengan sungguh-sungguh tapi bo'ong. Sang kuda, dengan lihai memperhatikan sekeliling, bersiap-siap melompat, dan dengan penuh semangat, mengayunkan kedua tumitnya, sekaligus, sedemikian rupa, mempersembahkan sebuah sepakan pada wajah sang Singa, hingga membuat sang raja hutan tercengang dan terkapar di atas tanah. Sang kuda tertawa atas keberhasilan muslihatnya, iapun berlari dengan riang.
Ketiga, seorang musuh, akan sangat berbahaya, saat menawarkan bantuan.
Seekor Nangui, babi-betina, baru saja beranak, dan berbaring di kandang dengan seluruh anak-babi di sekelingnya. Seekor Serigala yang mendambakan sang anak-babi, namun tak tahu bagaimana cara menggondolnya, berusaha-keras menyelundup ke dalamnya namun tetap memberikan kesan yang baik pada nyonya babi. 'Bagaimana keadaanmu hari ini, nyonya Nangui?" katanya. 'Sedikit udara segar pasti akan sangat membantumu. Sekarang, cobalah keluar dari kandang dan siangilah sedikit tubuhmu, dan dengan senang hati, aku akan mengurus anak-anakmu sampai engkau kembali.'
'Terima kasih banyak atas tawaranmu,' jawab sang Nangui. 'Aku tahu betul kepedulian seperti apa yang bakal engkau ambil dari anak-anak kecilku ini. Jika engkau sungguh-sungguh ingin membantu seperti yang pura-pura hendak engkau lakukan, tolong, janganlah tunjukkan mukamu lagi!'
Selanjutnya, tentang Kesetaraan.
Seekor Kuda dan Keledai bepergian bersama, sang Kuda berjalan angkuh dengan riasannya yang apik, sementara sang Keledai, dengan bersusah-payah, membawa beban berat dengan keranjang bawaannya. 'Kuberharap, 'kan jadi sepertimu,' desah sang Keledai, 'tak melakukan apa-apa tapi cukup makan, dan engkau mengenakan tali kekang yang indah.'
Namun, keesokan harinya, terjadi peperangan yang hebat, dan sang Kuda terluka dan berada diambang kematian dalam serangan terakhir hari itu. Tak lama kemudian, sang Keledai, tak sengaja lewat dan menemukannya sedang menuju gerbang ajal. 'Aku keliru,' kata sang Keledai, 'Lebih baik, aman yang berkhidmat, ketimbang bahaya yang berlapis emas.'
Para Filsuf politik menulis tiga jenis Kesetaraan. Pertama, masyarakat demokratis menegaskan prinsip kesetaraan hak politik—umumnya termasuk hak memilih, hak mendapat perlakuan dan bantuan hukum, serta hak kemerdekaan berbicara dan berserikat. Kedua, pada tahun 1960-an, para filsuf liberal menganut pandangan bahwa setiap orang, hendaknya pula, memiliki kesempatan ekonomi yang sama. Dengan kata lain, semua orang, seyogyanya, bermain dengan aturan yang sama pada tingkat arena permainan. Semua, hendaknya mendapatkan akses yang sama ke sekolah, pelatihan, dan pekerjaan terbaik. Dengan demikian, diskriminasi atas dasar ras atau gender atau agama, akan hilang. Banyak langkah yang telah diambil guna menggalakkan Kesetaraan yang lebih besar, akan tetapi, peluang Ketidaksetaraan, terbukti, benar-benar keras-kepala. Kedua jenis Kesetaraan ini, semakin diterima di sebagian besar negara demokrasi maju.
Yang ketiga, cita-cita yang paling jauh jangkauannya, namun umumnya ditolak, yakni Kesetaraan hasil ekonomi. Dalam Utopia ini, setiap orang akan punya konsumsi yang sama, tak peduli mereka itu, pintar atau bodoh, giat atau malas, beruntung atau sial. Gaji dokter dan perawat, pengacara dan sekretaris, semuanya sama. 'Dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, ke masing-masing sesuai dengan kebutuhannya,' begitulah rumusan filosofi Karl Marx.
Sekarang ini, bahkanpun seorang sosialis paling radikal, mengakui, bahwa beberapa perbedaan dalam hasil ekonomi, diperlukan jika perekonomian berfungsi secara efisien.

Kabar terbaru, di belahan Bumi Utara, Islamophobia telah ditinggalkan. Salah satu definisi Islamophobia adalah anggapan bahwa Islam secara inheren mengandung kekerasan, asing, dan tak dapat diasimilasi, suatu anggapan yang didorong oleh keyakinan bahwa ekspresi identitas Muslim berkorelasi dengan kecenderungan terorisme. Islamophobia merupakan cicit modern Orientalisme, sebuah pandangan dunia yang menempatkan Islam sebagai antitesis peradaban Barat, dan yang dibangun di atas stereotip inti dan distorsi dasar Islam dan Muslim, imajinasi populer oleh teori, narasi, dan hukum Orientalis. Yang mendasari definisi ini, ada tiga dimensi Islamophbia: Islamophobia pribadi, Islamophobia struktural, dan Islamophobia dialektis.

Walau demikian, di belahan Bumi Selatan, di negeri Yawadwipa, Islamophobia jadi jualan utama. Para jagoan Raja Kedua, sangat rajin menjajakan Islamophobia dilapak-lapaknya, dengan dalih toleransi, tak peduli memunculkan kebencian dan perpecahan negeri. Ada sebuah cerita,
Sang Mentari mencari seorang istri, tapi, para insan menolak perkawinan itu, sebab, kelak, putra sang Mentari, bakal menyebabkan kesulitan. Coba bayangkan, satu matahari saja, terasa sangat panas, atau lebih tepatnya, membagongkan, lalu mengapa, hari gini, mau minta nambah satu matahari lagi? Semua sepakat, karena KEJAHATAN, AKAN LEBIH SERING MEMPROMOSIKAN KEJAHATAN.
Sang Abdi Dalem mengakhiri dengan, 'Semoga, ada gerakan perbaikan yang lebih baik, usai sang Raja Kedua, keluar dari tempat perenungannya,' lalu, ia bersenandung,
Kalau bulan bisa ngomong
Sayang bulan tak bisa ngomong
Coba kalau bisa ngomong
Ia pasti tak akan bohong
Tentang cinta, cinta kita

Kalau bulan bisa ngomong
Ada cinta yang terlalu
Ada rindu yang terlalu
Semua serba terlalu
Padamu, ya padamu *)
Maka, sang Bulan pun, ngomong, "Bendahara Paman Sam telah menaikkan tingkat suku bunga, alih-alih memikirkan Megaproyeknya sendiri, sudahkah sang Raja Kedua, merenungkan kebijakan-kebijakan Antipoverty? Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Paul A. Samuelson and William Nordhaus, Economics, McGraw Hill
- Khaled A. Beydoun, American Islamophobia, University of California Press
- J.B. Rundell, Aesop's Fables, Cassell, Petter and Galpin
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons
*) "Kalau Bulan Bisa Ngomong" karya Doel Sumbang