Sabtu, 06 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (5)

“Pak Lurah sedang memikirkan sesuatu. Tatkala ia sampai pada pemikiran, 'They would never know,' maka, ia mengedarkan selembar surat yang meminta agar para warga mengumpulkan dana bersama.
Dan tibalah hari yang direncanakan, pendukung Pak Lurah, para artis lokal yang diundang, dan para warga, berkumpul di sebuah lokasi. Acaranya, peresmian gedung dan jamuan makan. Kemudian pembawa acara mengumumkan, 'Hadirin sekalian, gedung ini kita namakan 'Balai Pak Lurah', sebab dibangun oleh Pak Lurah, hidangan yang tersedia karena Pak Lurah, dan dananya dari Pak Lurah. Semuanya oleh Pak Lurah, karena Pak Lurah dan dari Pak Lurah.'
Mendengar hal ini, para pendukung Pak Lurah dan artis undangan, bersorak, 'Yowis ben!' Namun, cuma sedikit warga yang manthuk-manthuk, selebihnya dan sebagian besar, ngedumel, 'Apaan sih Pak Lurah, ini kan duit, duit kita semua, lha kok dipek dewek?'
Rupanya, 'They already knew.'"

"Mengapa Batik istimewa?" ucap bunga matahari sembari memperhatikan sehelai kain. "Di Indonesia, dan di tangan orang Indonesia, selembar kain dapat berfungsi jamak, mulai dari pakaian sederhana, hingga sebagai mata uang guna pembayaran denda, semuanya berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Tekstil atau kain Indonesia, tak hanya Batik, beragam corak kain 'khas Indonesia' dapat dikau temukan di hampir setiap pulau, di negeri ribuan pulau ini.

Di beberapa daerah di Indonesia, kain tenunan tangan masih digunakan sehari-hari atau bahkan dalam upacara dan ritual—sebagai gendongan bayi, penutup kepala, selempang, ikat pinggang, tas, serta sarung dan slendang yang populer. Semuanya dapat dilihat dalam kostum tari yang mewah, di hampir setiap daerah, dan dipakai dalam pernikahan, khitanan, kikir gigi, pemakaman, dan upacara peralihan lainnya. 
Di Maumere, Flores, terdapat kain katun tenunan tangan, bermotif bunga dan digunakan sehari-hari sebagai sarung, selempang, dan selimut serbaguna. Di Kalimantan, dikenal sebagai pua, menghiasi dinding bagian dalam rumah panjang dan menggantung di beranda bila ada pesta perayaan. Saat  perayaan tahun baru Bali, galungan, variasi lamak tenunan langka, ornamen yang biasanya terbuat dari potongan daun palem muda, terbentang di altar persembahan di bagian dalam pura. Keluarga penguasa di Sumba, menyimpan banyak tekstil terbaik mereka untuk upacara pemakaman. Jenazah sang mendiang dibalut hingga menjadi gundukan besar.
Di Sulawesi Tengah, kolokompo, secarik tenunan kecil yang tak berguna lagi, diberikan untuk menandakan perpindahan mempelai pria dari perapian orang tuanya ke perapian mertuanya. Para orangtua suku Batak, menghadiahkan putrinya yang sedang hamil sebuah ulos ni tondi; mereka meletakkannya di bahunya, melambangkan transmisi kekuatan mereka padanya. Di Sumatera Selatan, kain persegi yang disebut tampan, turut-serta dalam pertukaran simbolis antara anggota yang memiliki kedudukan yang sesuai dalam garis keturunan, yang terkait dengan perkawinan. Kebaya, baju blus tradisional, kostum nasional Indonesia, meski lebih tepatnya endemik masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali.
Kain Bentenan dibuat di Tombulu, Tondano, Ratahan, Tombatu, dan wilayah lainnya di Minahasa, namun demikian, nama bentenan diambil dari nama wilayah pelabuhan utama di Sulawesi Utara yaitu Bentenan, sebab dari pelabuhan inilah pertama kali kain Bentenan di ekspor pada abad 15-17 ke luar Minahasa.
Suku Sa'dan Toraja mengenal maa' sebagai tenunan seorang nenek moyang yang duduk di sebuah gunung dengan alat tenunnya, bertumpu pada gunung yang lain. Pola kain Sumba yang gemerlap dan lau (rok) yang dihias diperuntukkan bagi anggota kelas sosial tertinggi.

Di beberapa daerah di Indonesia yang belum ada kegiatan tenun, seperti Papua Barat, sebagian Sulawesi, dan sebagian Kalimantan, kerajinan dan hiasan kain kulit kayu mencapai standar yang tinggi. Koffo, yang pernah dibuat di kepulauan Sangihe dan Talaud, merupakan kain yang cukup halus dan fleksibel, yang menggabungkan benang pakan katun dan serat lusi.
 
Nah bagaimana dengan Batik? Sebenarnya, Batik bukanlah 'Indonesian invention', akan tetapi, bila corak gaya yang dipengaruhi oleh perpaduan Arab-Islam, Tiongkok dan Hindu-Budha, bahkan sedikit Eropa,  itulah yang lebih dikenal sebagai Batik 'klasik', dan lantaran itu pula, Batik menjadi 'best known' sebagai Batik Indonesia.
Thomas Stamford Raffles, tiba di Jawa pada tahun 1811, ketika Inggris memulai masa interregnum (peralihan pemerintahan) yang singkat namun penting di sana—Inge McCabe Elliot menuturkan kepada kita. Sekitar dua belas ribu orang Inggris mendarat di Jawa, merebutnya dari Belanda. Ia mempelajari bahasa Jawa; ia menemukan monumen kuno di Borobudur, yang pada saat itu terkubur jauh di dalam hutan; ia mendorong restorasi candi-candi kuno lainnya. Ia mengumpulkan salah satu koleksi flora, fauna, tekstil, dan artefak terbesar yang pernah dikumpulkan di negeri Khatulistiwa dan mengemas semuanya untuk dikirim pulang. Perahu dan isinya terbakar lima puluh mil lepas pantai.Tanpa gentar, Raffles memulai pengumpulan kedua, yang ia bawa kembali dengan selamat ke Inggris.
Raffles menulis, 'Kain yang disebut batik, dibedakan menjadi batik latur puti [batik latar putih], batik latur irang [batik latar ireng], atau batik latur bang [batik latar abang], karena latarnya dapat berwarna putih, hitam, atau merah.
[...] Pada kain ini, pola yang diukir pada balok kayu kecil dicap seperti di India. Berfungsi sebagai tudung, dan digunakan sebagai pengganti palempore India [sejenis bed cover atau kain penutup tempat tidur, yang dilukis dengan tangan dan diwarnai dengan mordan, yang dibuat di India untuk pasar ekspor selama abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas], sedangkan palempore India tak dapat diperoleh. Harganya sekitar empat rupee.
Penduduk asli Jawa, seperti halnya penduduk di negara lain, pastilah, sejak dahulu kala, mempunyai kebiasaan membuat berbagai barang dari kulit; namun seni menjadikannya lebih kompak, lebih kuat, dan lebih tahan lama, melalui penerapan prinsip penyamakan, hanya dicapai melalui hubungan mereka dengan orang-orang Eropa. Mereka sekarang mempraktikkannya dengan cukup sukses, dan menyiapkan kulit yang lumayan di beberapa distrik.'
Raffles mungkin saja mengoleksi batik secara kasar—ia menulis bahwa ada seratus pola yang dapat diidentifikasi. Ilustrasi dalam Sejarah Raffles menunjukkan berbagai cara memakai batik, serta banyak pola yang berbeda. Ia pun menulis secara detail tentang cara pembuatan batik.

Asal batik telah ada sejak lama, ada dimana-mana, dan sulit dilacak, kata Elliot. Tiada yang tahu persis di mana dan kapan orang pertama kali mulai mengoleskan lilin, pasta nabati, parafin, atau bahkan lumpur pada kain yang dapat menyimpan pewarna. Namun di pulau Jawa dan Maduralah, batik muncul sebagai salah satu bentuk seni terbesar di Asia. Batik diketahui ada di China, Jepang, India, Thailand, Turkestan Timur, Eropa, dan Afrika, dan mungkin berkembang secara bersamaan di beberapa daerah tersebut. Beberapa ahli meyakini bahwa prosesnya berasal dari India dan kemudian dibawa ke Mesir. Pada tahun 70 M, orang Mesir menerapkan desain pada kain dengan cara yang mirip dengan proses membatik. Metode ini dikenal tujuh ratus tahun kemudian di Tiongkok. Para ahli memastikan bahwa batik yang ditemukan di Jepang adalah batik Tiongkok, yang dibuat pada masa Dinasti Tang. Jadi, batik telah menjadi tradisi antik ketika bukti paling awal mengenai karya orang Jawa tersebut, muncul pada abad keenam belas, imbuh Elliot.

Pada abad ketiga belas, imperium Majapahit yang berlatarbelakang Hindu, menguasai sebagian besar wilayah Jawa. Itulah zaman keemasan. Namun perselisihan internal dan kurangnya akses terhadap perdagangan luar negeri, akhirnya mengikis kekuasaan Majapahit, dan dalam waktu dua ratus lima puluh tahun, kerajaan besar itu, tereduksi menjadi istana kerajaan Mataram: Jogja dan Solo.
Sementara itu, pantai utara Jawa, mulai aktif secara komersial. Negara-negara pelabuhan kecil, yang biasanya didirikan oleh penguasa yang asal etnisnya gak jelas, mulai bermunculan. Negara-negara tersebut—termasuk Cirebon, Gresik, Japara, Demak, dan Tuban—makmur karena letaknya yang strategis di pesisir pantai. Mereka berada di jalur laut menuju kepulauan penghasil rempah-rempah, Banda dan Molucca [Maluku], lebih jauh ke Timur.
Malaka, sekitar dua ratus mil sebelah utara Singapura di pantai Barat Daya Malaysia, pernah menjadi pusat komersial terbesar di Asia Tenggara. Posisi geografis menjadi faktor penting bagi Malaka: pada saat pelabuhan laut dalam belum diperlukan, Malaka mendominasi Selat Malaka yang dilalui hampir semua pelayaran, baik dari Timur maupun Barat. Malaka juga merupakan pusat perdagangan ide-ide keagamaan, dan di alam pikiran dan jiwa inilah, dan juga di pasar, pengaruh Malaka terhadap batik Jawa akan terasa.
Kendati komunitas Muslim sudah ada di Jawa sejak abad ke-12, namun dorongan utama dari Malaka dan Sumatralah, perpindahan agama terjadi dalam masyarakat Jawa. Pedagang dari Jawa membawa beras dari Demak dan Jepara, pala dan cengkeh dari Gresik dan Tuban. Bila para pedagang Jawa hendak mendapat dukungan para saudagar Arab, mereka seyogyanya membuka pintu terhadap Islam. Secara komersial, para saudagar Muslim merupakan pedagang terkemuka di dunia, yang punya koneksi ke seluruh Asia, Eropa, dan Afrika: bergabung dengan mereka, berarti membuka rute baru dan cuan yang lebih besar. Secara politis, masyarakat mendapat keuntungan ketika sebuah kerajaan Hindu sebelumnya, memeluk agama Islam karena sistem kasta pada tingkat tertentu, terkikis. 
Seorang muslim dinilai dari semangatnya, bukan pangkatnya. Seluruh umat Islam setara, maka, tiada lagi kasta. Pada akhir abad kelima belas, terdapat dua puluh kerajaan Islam di pantai Utara Jawa, dan pedagang Jawa dari Utara menjadi orang paling berpengaruh di Malaka. Para saudagar Muslim tak semata memperluas pasar batik, dan karena adanya larangan umat Islam menggambar bentuk manusia, motif desain pun ikut berubah. Bentuk-bentuk baru—corak Arab datar dan kaligrafi—diperkenalkan dan menjadi bagian integral dalam evolusi batik.

Pengaruh Tiongkok terhadap batik Jawa, juga sangat besar. Memperdagangkan komoditas bergengsi seperti sutra dan porselen bagi tekstil di Jawa—belum lagi sarang burung walet—orang Tiongkok telah lama berbisnis di daerah tersebut. Dari abad kesembilan hingga kedua belas, para pangeran di Jawa mengirimkan kain katun berwarna sebagai penghormatan kepada para pemimpin Tiongkok; bahkan mereka mengirim sutra ke Tiongkok, bukan sebagai bagian dari imperium Tiongkok, melainkan hanya sebatas hubungan dagang. Maka, orang Tiongkok membawa mitos singa dan bunga liris ke dalam desain batik, bareng dengan palet warna-warna baru yang cerah.
Kota Tuban dikenal oleh orang Tiongkok sejak abad kesebelas, dan pada abad ke lima belas, kota ini telah menjadi pusat perdagangan terbesar di Jawa. Gresik yang berada di dekatnya, menyaingi Tuban, dan pada abad ke-14 kota ini punya penguasa kelahiran Tiongkok. Lebih jauh ke barat di sepanjang pantai utara Jawa, Cirebon telah dikunjungi oleh saudagar Tiongkok ratusan tahun sebelumnya. Namun, perdagangan langsung antara Tiongkok dan Jawa, hampir berhenti setelah awal abad keenam belas. Dinasti Qing yang berkuasa lama (1644-1894) sebenarnya melarang perdagangan Tiongkok dan pemukiman di luar negeri. Namun, pada tahun 1700, Jawa mempunyai sekitar sepuluh ribu penduduk asal Tiongkok; dalam waktu seratus tahun berikutnya terdapat seratus ribu orang asal Tiongkok, banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Jawa. Dan bahkan pada masa-masa awal tersebut, orang-orang yang sekarang disebut sebagai 'China perantauan' berpengaruh yang melebihi jumlah mereka.

Pada tahun 1602 Belanda mendirikan Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda yang dikenal dengan inisial VOC (Vereenigde Oost' lndische Compagnie). VOC mencakup kekuatan militer; yang lebih penting, inilah monopoli yang beroperasi di satu wilayah geografis yang luas. VOC mendirikan pemukiman komersial di Jawa. Para pemukim Belanda menyebutnya Batavia dan membangun rumah-rumah beratap curam dan menggali kanal-kanal yang mengingatkan mereka pada kampung halaman. Batavia berkembang pesat. Dalam waktu lima puluh tahun, kota ini telah menjadi pusat pengiriman barang dari seluruh dunia. 
Adam Smith, ekonom laissez'-faire, menulis, 'Seperti halnya Tanjung Harapan antara Eropa dan seluruh wilayah Hindia Timur, Batavia berada di antara negara-negara utama di Hindia Timur. Ia terletak di jalur yang paling sering dikunjungi dari Hindustan ke China dan Jepang. [...] Batavia mampu mengatasi kerugian tambahan, yang mungkin merupakan iklim paling tidak sehat di dunia.'
Belanda juga telah merobohkan Banten di Jawa bagian barat, merebut Malaka dari Portugis, dan secara agresif memperluas kekuasaannya. Sebagai imbalan atas perlindungan Belanda, para sultan keraton Jogja dan Solo, terpaksa memberikan sebidang tanah di pantai utara kepada Belanda. Pengaruh Belanda mengubah seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa, begitu pula berdirinya VOC, mempengaruhi batik pesisir utara. Cuan kini dapat diperoleh dari hasil bumi yang dikirim langsung dari Jawa: kopi, teh, minyak sawit, dan barang-barang lainnya. Namun, yang sebenarnya membuat VOC bangkrut adalah penyakit disentri dan malaria yang sangat parah—berbarengan dengan pembajakan dan korupsi. Para penindas, akan menemui ajalnya dengan cara yang apes.

Jadi, asal-muasal batik memang beraneka, namun seiring berjalannya waktu, seni antik ini, semakin erat kaitannya dengan identitas Indonesia. Dari kota asalnya, batik beragam: batik Jogja, Batik Solo, batik Bali, batik Cirebonan, batik Jepara, batik Banyumasan, batik Pekalongan, batik Gresik, batik Madura, bahkan ada batik Palembang sebagai warisan dari Kesultanan Palembang dan batik Jambi semisal batik Angso Duo. Batik merupakan sebuah bentuk karya-seni sekaligus kekayaan sosial, budaya dan ekonomi. Ia juga merupakan simbol kesucian dan umumnya dikaitkan dengan 'health and well being'.

Hingga abad ke dua puluh satu, batik digunakan hampir secara eksklusif untuk pakaian dan acara-acara seremonial. Dalam masyarakat yang sadar akan pangkat, pembedaan kelas dilakukan berdasarkan jenis kain yang dikenakan dan coraknya. Di iklim tropis dan lembab seperti Jawa, batik merupakan pilihan yang ideal. Sebagai kostum, batik ini cerdik karena batik tak memerlukan resleting, kancing, atau peniti. Batik dapat digunakan sebagai sarung; dodot biasanya hanya dikenakan oleh sultan, calon pengantin, atau penari di istana, kain panjang; kain panjang—sering disebut kain—adalah batik sepanjang mata kaki; batik pagi-sore adalah pakaian bolak-balik versi Jawa; slendang; iket kepala, hanya dikenakan oleh pria, penutup kepala berbentuk persegi, diikat dengan anggun membentuk sorban; kemben, 'kain dada', yaitu kain batik sempit yang dililitkan pada tubuh bagian atas yang digunakan untuk mengikat kain atau sarung.

Batik tak semata bergaya dan adiwarna, melainkan pula, berharga dan bermakna. Zaman berubah dan begitu pula fungsi batik. Beberapa fungsi sebelumnya telah terganti, terutama dalam upaya menuju efisiensi. Dalam kehidupan modern misalnya, kita sangat jarang melihat kain dan kebaya tradisional di tempat-tempat umum seperti jalan raya, stasiun atau angkutan umum, kecuali di pasar tradisional. Bahkan di negara dimana perempuan desa biasa mengenakan kain dan kebaya dengan cara yang lebih santai dibandingkan perempuan kota, cara berpakaian seperti ini sudah jarang dilakukan. Di sisi lain, penggunaan batik baru telah ditemukan dalam proses pengembangan yang tampaknya tidak terbatas.
Banyak faktor yang mendorong berlanjutnya popularitas batik: perubahan bahan batik; penampilan lebih berwarna; dan besarnya peran desainer dalam memodifikasi pemakaian batik sebagai kain. Kebiasaan orang Indonesia dalam mengenakan seragam untuk acara dan upacara tentu menambah banyak popularitas batik. Meskipun batik telah diterima dan dikagumi secara umum, batik lebih dari sekedar pakaian atau aksesori yang menarik secara visual.

Memang sih, batik dapat dipandang sebagai sebuah industri, namun ekonomi bukanlah kisah seutuhnya. Batik merupakan seni gotong-royong. Takkan ada seorang seniman pun—tiada seorang Leonardo da Vinci, tiada seorang Manet, tiada seorang Picasso—yang berevolusi dari batik, sebab produksi sehelai kain batik, mengikutsertakan 'setiap orang', mulai dari desainer hingga pengusaha, dari pembuat lilin, pencelup, sampai pengrajin tulis. Dalam bisnis seperti ini, sayangnya, hanya sedikit individu yang menerima banyak pengakuan. Alasan mereka membatik, amat beragam, seperti halnya manusia itu sendiri: keindahan, pengabdian, kebiasaan, kebutuhan—bahkan keserakahan. Yang disebut terakhir, belakangan ini, mulai mendominasi batik Indonesia. Pengpeng—istilah bagi Penguasa merangkap Pengusaha, atau sebaliknya, yang dicetuskan oleh almarhum Rizal Ramli, seorang ekonom senior, politikus, mantan menteri dan tokoh aktivis pergerakan mahasiswa Indonesia, dan kita turut berbelasungkawa atas kepergiannya—itu tak lebih dari para cengkau, karena mereka tak mampu memberi nilai tambah pada suatu produk, dan mengambil keuntungan dari sebelah kiri dan kanan. Dahulu, Belanda menerapkan taktik 'divide et impera' guna menguasai perdagangan rempah-rempah, dan kini, para Pengpeng, juga menggunakan strategi yang sama, 'divide and conquer' untuk mengontrol 'batik', menjadikan pembangunan manusia Indonesia, selow, pelan dan pelan-pelan, 'koyo wong mbatik'. Whaat? Seriously? He-eh!

Ngomong-ngomong, waktu kita untuk sesi ini, dah abis, kita terusin pada episode berikutnya. Bi 'idznillah."

Kemudian, bunga matahari bersenandung,

Jangan ganggu pacarku
Jangan rayu pacarku
Bila kau memang sahabatku
Jangan ganggu pacarku
Jangan sentuh pacarku
Nanti aku jadi cemburu *)
Kutipan & Rujukan:
- Inger McCabe Elliott, Batik: Fabled Cloth of Java, 2004, Periplus
- Sir Thomas Stamford Raffles F.R.S., The History of Java, Volume I, 1817, John Murray
- Michael Hitchcock & Wiendu Nuryanti, Building on Batik: The globalization of a Craft Community, 2016, Routledge
*) "Jangan Ganggu Pacarku" karya Tjahjadi & Ishak