Kamis, 04 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (4)

"Entah ini pernah terjadi, sedang terjadi, akan terjadi, atau takkan pernah terjadi: sepasang suami istri menjadi turis lokal ketika pak Presiden mengumumkan bahwa setiap warga negara, boleh masuk ke Istana Merdeka. Usai berkeliling, mereka berpapasan dengan pak Presiden. 'Mohon ijin Pak!' kata sang suami, 'Sepertinya ini pemaksaan, tapi—apa bapak berkenan ... ?'
'Hmmm, 'mayan nih buat nambah-nambahin branding!' pikir sang penjaga nilai-nilai kebangsaan itu, dan langsung nyahut, 'Ooo ndak popo, ndak popo, sa' sih, monggo monggo ajjah!'
Maka, mereka pun menyerahkan kamera, dan berpose di depan Istana Merdeka."

"Bagi orang Indonesia, keramahan dan keakraban, itulah identitas Keindonesiaan. Sedangkan kecurangan dan ketidakjujuran, gak Indonesia banget gitu lho, karena, selain keterlaluan dan kebangetan, juga membuka jalan bagi permusuhan, sehingga motto 'kebersatuan dalam keberagaman', cuma jadi khayalan," lanjut bunga matahari.
"Dalam perspektif Osho, kebencianmu, amarahmu, cintamu–semua ini, berkaitan dengan emosimu, bukan pikiranmu. Sebagian besar aktivitas dalam hidup, bermula dari dunia emosi. Dirimu juga pasti memperhatikan bahwa dikau memikirkan suatu hal, dan ketika saatnya tiba, engkau melakukan hal lain. Alasannya, adanya perbedaan mendasar antara emosi dan pikiran. Boleh jadi, dikau memutuskan bahwa dirimu takkan khawatir; engkau mungkin berpikir bahwa rasa cemas itu buruk, namun tatkala rasa-gentar menguasaimu, akal-sehat dikesampingkan, dan dirimu jadi gamang, maka engkau mulai dikuasai oleh Jin Tomang.
Dari sekian banyak dimensi yang dicakup oleh emosi, ada empat aspek yang, melaluinya, emosi dapat dijernihkan. Terdapat pula empat aspek yang dapat berbalik dan menjadi rahim perasaan yang tak jernih. Aspek yang pertama ialah keramahan, yang kedua, kasih-sayang, yang ketiga, keceriaan, dan keempat, bersyukur. Bila engkau memasukkan keempat emosi ini ke dalam hidupmu, dirimu bakal mencapai kejernihan emosi.
Keempatnya, masing-masing ada lawannya. Lawan dari keramahan adalah kebencian dan permusuhan; lawan dari kasih-sayang ialah kekejaman, kekerasan dan ketidakbaikan; lawan dari keceriaan yalah kesedihan, kesengsaraan, penderitaan dan kekhawatiran; lawan dari bersyukur sama dengan tak berlega-hati. Seseorang yang kehidupan dan emosinya berada pada empat aspek yang berlawanan, berada dalam keadaan emosi yang butek, dan seseorang yang berakar pada empat aspek pertama, berakar pada kejernihan emosi.

​Amarah punya energi, tapi keramahan, juga punya energi, kata Osho. Seseorang yang cuma mengetahui cara membangkitkan energi amarah, akan kehilangan satu dimensi besar dalam hidupnya. Seseorang yang belum belajar bagaimana membangkitkan energi keramahan adalah seseorang yang hanya kuat dalam situasi permusuhan dan menjadi lemah dalam kebersahabatan. Dikau mungkin tak menyadari bahwa semua negara di dunia, jadi lebih lemah pada masa damai, dan pada masa perang, mereka lebih kuat. Mengapa? Karena mereka tak tahu bagaimana memunculkan energi keramahan. Diam, bukanlah sebuah kekuatan bagimu, melainkan sebuah kelemahan. Saat ini, kekuatan Amerika dan Rusia, bertunas dari permusuhan.

Hingga kini, sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kita hanya tahu bagaimana membangkitkan energi permusuhan; kita tak tahu tentang energi keramahan. Jika dirimu merasa kuat dalam kondisi yang tak bersahabat, maka ketika dikau berada dalam kondisi sadar dan diam, engkau menjadi tak berdaya dan lemah. Ini berarti, dirimu sedang dikuasai oleh emosi yang butek. Dan semakin kuat kekeruhan emosimu, semakin sedikit engkau dapat masuk ke dalam dirimu. Apa yang menghalangimu masuk ke dalam dirimu sendiri? Permusuhanmu selalu terfokus pada bagian luar; maknanya bahwa permusuhan terjadi, terhadap seseorang yang berada di luar dirimu. Jika tiada seorang pun di luar, permusuhan takkan muncul dalam dirimu.
Cinta itu intrinsik, keramahan itu intrinsik. Cinta tak terfokus di luar: kendati tak ada orang di luar, cinta masih bisa terjadi di dalam dirimu. Gairah dipicu dari luar. Kebencian dipicu dari luar, cinta muncul dari dalam. Mata air cinta mengalir dari dalam, reaksi kebencian muncul dari luar. Emosi yang keruh, tercipta dari luar, emosi yang cemerlang, mengalir dari dalam.

Rasa-gentar tak pernah bertunaskan cinta. Jika ada yang mengatakan bahwa 'there can be no love without fear', pernyataan mereka sepenuhnya keliru. Jika ada kegentaran, tak ada kemungkinan cinta. Takkan pernah ada cinta dengan rasa-gentar. Sekalipun cinta diperlihatkan secara dangkal, tiada cinta di dalamnya. Benih permusuhan sudah sangat berkembang. Mengapa? Ada alasan wajar untuk hal ini, sebab ia juga diperlukan. Mungkin, ia diperlukan, tapi ia tak dimaksudkan menjadi teman seumur hidup. Ada saatnya dibutuhkan dan ada pula momen untuk melepaskannya. Sebaliknya, keramahan merupakan kualitas yang hendaknya dikembangkan. Keramahan seyogyanya dikembangkan lantaran ada sumber keramahan dalam dirimu, namun kehidupan hanya memberikan sedikit kesempatan mengembangkannya. Ia masih belum berkembang, ia tetap seperti benih di dalam lahan keberadaanmu–ia tak dapat tumbuh. Ia hendaklah dibiakkan, kendati ada naluri-naluri primitif yang tak memberinya kesempatan bertumbuh. Kehidupan yang dikau jalani, tak membiarkannya bersemi, hanya kebencianlah yang mekar. Dan akhirnya, yang disebut keramahan, malah menjadi semata kemunafikan dan kesantunan. Keramahanmu hanyalah sebuah cara untuk melepaskan diri dari kebencian, menghindarinya–namun, itu bukanlah apa yang disebut keramahan. Keramahan itu, sesuatu yang amat berbeda. Dikau seyogyanya memberinya energi, dirimu hendaknya mengaktifkan ruang keramahan itu. Engkau hendaklah terus-menerus memekarkan lingkungan keramahan di sekitarmu.
Secara teratur, setiap hari, lakukan sesuatu dimana dirimu, tak mengharapkan imbalan apa pun, tidak sama sekali. Dengan begitu, keramahan perlahan-lahan akan tumbuh. Akan tiba saatnya bila dirimu bisa bersahabat dengan seseorang yang asing. Kemudian, akan ada lebih banyak pertumbuhan, dan akan tiba momen-momen dimana engkau bahkan bisa bersahabat dengan seseorang yang menjadi musuhmu. Lalu, akan tiba masanya, dikala dirimu tak membeda-bedakan lagi, siapa yang menjadi teman dan siapa yang menjadi musuh.

Lantas, bagaimana dengan ketidakjujuran? Ketidakjujuran biasanya disandingkan dengan kebohongan. Christian B. Miller dan Ryan West berpendapat bahwa meski ada kebohongan yang dapat dibenarkan secara moral (misalnya berbohong untuk menyelamatkan nyawa), dalam banyak persoalan dimana berbohong merupakan pilihan yang menarik, argumen yang dapat dibenarkan secara moral, tak terlihat. Yang sering terlihat ialah, keuntungan pribadi kita—kita biasanya berbohong demi mendapatkan keuntungan atau menghindari kerugian.
Dan mengapa kita berbohong? Salah satu cara umum mengelola informasi yang dimiliki orang lain adalah dengan berbohong. Saat kita berbohong, kita menegaskan suatu pernyataan yang kita yakini keliru, dengan maksud agar orang lain menganggap apa yang kita sampaikan itu, benar, atau memperlakukan kita seolah-olah itu benar. Orang biasanya berbohong dengan maksud memperdayai. Sesungguhnya, niatlah yang seringkali berperan dalam dalil seseorang berbohong.

Dalam benak orang awam, penyebutan kebajikan, dengan cepat membangkitkan gagasan seperti baik-hati dan jujur. Jujur bermakna menjadi orang yang cenderung mengungkapkan kebenaran, dan beberapa keadaan yang tak mengharuskan pengungkapan kebenaran, mungkin sedemikian rupa, sehingga merupakan hal yang baik dilakukan secara sukarela. Kejujuran juga dapat menempati konteks tertentu dimana orang yang mengucapkannya, dapat memproduksi kebenaran melalui perbuatannya: ia membuat pernyataannya benar, dengan mewujudkan kebenarannya. Kejujuran semacam ini, mencakup kebenaran dan keadilan. Kejujuran sebagai penghormatan terhadap hak milik merupakan jenis keadilan yang lain: jika seseorang berhak atas suatu harta-benda, berarti orang lain harus menghormati atau menaati hak tersebut. Kejujuran karena bermain sesuai aturan yang adil, juga tampaknya masuk kategori adil. Bukanlah suatu tindakan yang tak jujur jika seseorang tak mengikuti aturan-aturan yang tak mempunyai komitmen (bahkan secara implisit). Jadi, kepatuhan terhadap aturan, juga dapat dipandang sebagai kewajiban partisipan lain, dan dengan demikian, merupakan sejenis keadilan, dimana keadilan pada dasarnya, memberikan hak kepada orang lain.
Apa itu kebenaran? Karakteristik ketidakbenaran dari orang yang tak jujur, terkadang bukan disebabkan oleh niat untuk menipu, melainkan karena pengamatan yang ceroboh. Oleh karenanya, orang yang jujur, peduli terhadap kebenaran, baik dalam konteks berkomunikasi dengan orang lain, maupun dalam konteks pengamatan dan pengetahuan. Kebenaran, katakanlah, adalah bagaimana segala sesuatunya terjadi, tak hanya sebagaimana adanya, namun dipertimbangkan dalam kaitannya dengan pemahaman subjek, misalnya, melalui keyakinan, pernyataan, atau persepsi. Nilai-nilai kebenaran, juga terkait dengan nilainya, dalam hubungan pribadi. Hubungan manusia tumbuh subur oleh kepercayaan dan tak tumbuh subur oleh pengkhianatan. Biasanya, seseorang merasa diremehkan, dihina, dilecehkan orang lain (terutama dalam hubungan dekat) ketika dibohongi, dan pengungkapan kebenaran dinilai sebagai hal yang adil—sesuatu yang seharusnya, kita lakukan satu sama lain—dan sebagai perekat hubungan pribadi, semacam kesetiaan seseorang kepada orang lain. Kebenaran juga bernilai, dan dalam hal yang paling mendasar, karena kita manusia merupakan pencari pengetahuan dan pemahaman, dimana keduanya merupakan syarat yang diperlukan.
Kejujuran sebagai kebenaran, bukan sekadar kecenderungan membuat pernyataan yang benar, atau mencari kebenaran, atau menghadapi kebenaran (misalnya, tentang diri sendiri). Ia merupakan sifat karakter, kebiasaan qalbu, hanya jika watak tersebut, berasal dari atau dibentuk oleh kepedulian terhadap kebenaran, yang dikualifikasikan oleh pemahaman yang apresiatif terhadap nilai kebenaran—yaitu, kebijaksanaan tentang kebenaran dan cara kebenaran berinteraksi dengan ciri-ciri lain kehidupan manusia (keadilan, kepercayaan terhadap orang lain, janji, persahabatan, menghargai orang lain). Singkatnya, keutamaan kejujuran sebagai kebenaran, merupakan kepedulian yang cermat terhadap kebenaran dalam berkomunikasi, dan dengan demikian, kepekaan emosional terhadap nilai-nilai kebenaran.

Nah, kalau berbicara tentang kejujuran, kata terkaitnya yalah integritas. Barangkali, hal yang amat tidak kontroversi mengenai integritas adalah bahwa integritas merupakan sesuatu yang dikagumi dan dicari, ketiadaan integritas merupakan hal yang lumrah, tapi kerugiannya sangat besar. Integritas penting bagi kita, dan nampak penting dalam cara yang tak semata bersifat instrumental atau tergantung pada penilaian terhadap hal-hal lain. Sekalipun berintegritas merupakan hal yang baik bagi bisnis, dan kurangnya integritas akan merugikan kita dalam memperoleh opini baik dari orang lain, namun hal ini, tampaknya tak sejalan dengan nilai integritas itu sendiri. Boleh jadi, hal kedua yang sangat tak berpolemik mengenai integritas adalah, bahwa integritas merupakan 'moral virtue': integritas itu, keandalan karakter, terutama yang berkaitan dengan 'good conduct'. Orang-orang yang berintegritas, berperforma tidak korup secara moral, berkomitmen dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang baik, dan sebagainya.
Nape sih integritas itu, amat penting? Orang yang berintegritas, biasanya menaruh perhatian pada kebenaran. Pengabaian terhadap kebenaran—bersikap tidak tulus, bermuka dua, atau licik—jelas tak sejalan dengan integritas. Orang-orang yang berintegritas, menunjukkan kepedulian yang baik terhadap 'judgement' mereka, dimana kepedulian yang tepat ini, pada dasarnya mencakup ketanggapan terhadap fakta dan bukti, dan dengan demikian, kepedulian yang mendasar terhadap kebenaran.
Bahkan pun bila mereka yang menganggap sifat-sifat lain lebih penting dalam kepemimpinan, akan mengakui bahwa integritas itu, sebuah 'virtue' atau keutamaan. Mengembangkan 'the virtue of integrity' dalam banyak hal, serupa dengan proses mengembangkan 'virtue' apa pun. Kita menerima instruksi moral langsung, dan belajar berempati dengan orang-orang di sekitar kita, namun proses tersebut, akan berjalan dengan sungguh-sungguh ketika kita melihat sekilas, betapapun samarnya, kebaikan istimewa dari keutamaan khusus ini, dan berkeinginan mewujudkannya. Panutan itu, dipelajari dan diteladani. Keberhasilan dan keurungan seseorang dalam meneladani, akan ditelaah. Kepedulian terhadap integritas, tak semestinya cuman sekedar kepedulian terhadap kualitas karakter seseorang, melainkan hirau terhadap bagaimana komitmen seseorang, dan bagaimana komitmen tersebut dijalankan, mempengaruhi orang lain di sekitar kita. Seseorang yang semata mementingkan integritas dirinya sendiri, semata-mata demi kepentingannya sendiri, bukanlah orang yang berintegritas.

Termasuk etikakah sebuah integritas itu? Integritas menyarankan agar kita menjalankan prinsip-prinsip etika dalam kehidupan dan aktivitas kita sehari-hari, ketimbang menganut suatu cita-cita dan kemudian berbuat sesuatu yang bertentangan. Etika itu, prinsip yang memandu perilaku. Memang bener sih, etika itu, ada di endas. Hanya saja, sepertinya kurang tepat, etika itu, mengatur dari ujung kuku jempol kaki, yang dari Jumat ke Jumat berikutnya, belum kita kerat, sampai ke pucuk rambut gondrong kita. Kita juga bisa ngomong kok, 'Raimu Etik!' atau 'Matamu Etik!', sebab etika juga ada di bagian mimik muka. Tapi masalahnya, bahasa itu, tak sekedar ucapan, melainkan mencakup rasa. Akan berbeda-beda bagi siapa yang menuturkannya: bila yang mengucapkannya Kirun, ataupun, Asmuni di panggung Srimulat, mungkin bakal dianggap guyonan, dan akan lain halnya bila yang mengujarkannya seorang 'Macan Asia Tenggara,' bisa saja, pesona bagi yang menyimaknya, ambyar seketika, walau dapat dipahami, bahwa itu, bertujuan untuk mengakrabkan. Namun bagaimanapun juga, alih-alih komedian yang ngajak kita bernalar, jika dikau mencermati, dirimu bakalan disuguhkan aksi koplak 'Charlie Chaplin' di teater politik Indonesia belakangan ini, dan pintunya, gak mau dibuka.

Bahasa Indonesia itu, sesungguhnya telah berevolusi. Di masa Orde Baru, muncul pulak istilah 'ABG'—angkatan babe gue. Bahasa anak muda perkotaan Jakarta merupakan bahasa prokem, yang segar walau kadang agak jangak, dibumbui dengan istilah-istilah Inggris (fashionable, catwalk, impossible, top-scorer), dan penanda prestise budaya konsumen 'internasional' (Airwalk shoes, fettucini, pizza, black forrest, Toblerone, Walkman, skateboard, grunge, umumnya datang dari iklan TVRI). Terdapat humor, yang linguistiknya, bergantung sepenuhnya pada permainan kata-kata antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, 'Ayam sorry, ayam sorry, Mom! Gout lagi busy seqalle!' Juga ucapan ibundanya 'si Boy' yang memadukan antara Ingglisy dan Sunda, 'What happen dieu?' Walau nuansa humornya, tak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, akan tetapi, itulah Identitas Keindonesiaan.

Kita lanjutin pada episod berikutnya yaq, bi 'idznillah."

Setelah itu, sembari menyambut momen-momen kebaruan, bunga matahari melantunkan dendangnya Armada,

Tak perlu kau tanya lagi
Siapa pemilik hati ini
Kau tahu, pasti dirimu
Tolong lihat aku
Dan jawab pertanyaanku
Mau dibawa kemana hubungan kita? *)
Kutipan & Rujukan:
- Osho, The World of Emotions: Creating a Milleu of Friendliness Arounf Yourself, 2014, Osho Media International
- Christian B. Miller & Ryan West, Integrity, Honesty, and Truth Seeking, 2020, Oxford University Press
- Krishna Sen & David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2007, Equinox
*) "Mau Dibawa Kemana" karya Tsandy Rizal Adi Pradana