Minggu, 14 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (7)

"Seorang fotografer sebuah eMagazine, ditugaskan memotret deforestasi parah di Borneo.
Kabut di tekapeh, terlalu tebal untuk menghasilkan gambar yang bagus, ia lalu menelepon kantornya, meminta sebuah pesawat. 'Okeh, nanti pesawatnya gua minta nunggu di bandara!' sang editor meyakinkannya.
Begitu sampai di bandara, benar aja, ada pesawat di dekat landasan. Ia langsung melompat masuk bersama peralatannya dan berseru, 'Ayo berangkat!'
Sang pilot lepas landas, dan tak lama kemudian, mereka telah mengudara. 'Kita terbang melintasi sisi utara kabut,' kata sang fotografer, 'dan memutar tiga kali sambil pelan-pelan turun ke level rendah.'
'Mau apa?' tanya sang pilot.
'Mau motretlah! Mau apa laagii?!' sahut sang fotografer dengan nada kesal.
Sungkan dan mikir bentar, lalu sang pilot berkata, 'Jadi ... bapak bukan instrukturnya?'"

"Mengapa orang Indonesia perlu menegakkan 'Sang Merah Putih', lagi?" ucap bunga matahari sembari memandangi mahakarya Basoeki Abdullah, sebuah taswir berukuran besar bertajuk 'The Struggle of Life'. Lukisan karya perupa ternama dunia ini, berlatar kobaran api yang mahahebat, dimana para banteng, macan, singa dan satwa lainnya, kocar-kacir. Kebakaran hutankah itu? Angkara-murkakah itu? Ataukah barangkali, suhu politik di Indonesia, semakin memanas? Banyak substansi yang dapat kita terjemahkan dari pemerian tersebut.
Lalu bunga matahari beralih ke lukisan lain sang maestro, 'Dalam Sinar Bulan', 'Panen', 'Nyi Roro Kidul' [sosok supranatural dalam cerita rakyat Indonesia], 'Ratu Kidul' [Ratu Laut Selatan, dewi yang memerintah 'Samudera Kidul' dalam mitologi Sunda dan Jawa] dan 'Tiga Dara'.
Ia selanjutnya berkata, "Menilik jauh ke dalam lukisan para wanita ini, menampilkan paras wajah 'Wanita Indonesia', mengingatkan kita pada 'The Pure Jasmine', Ibu Fatmawati. Dikau telah tahu bahwa 'Bu Fat'-lah yang menjahit 'Sang Saka Merah Putih', di dalam bilik bersahaja, dengan mesin-jahit bersahaja yang dioperasikan dengan tangan, tak dimaksudkan bagi segelintir orang, melainkan untuk kita semua, bangsa Indonesia. Sungguh, 'kebersahajaan' itu, menjadi acuan bagi orang Indonesia. Bendera yang sama terkibar setiap tahun hingga tahun 1968.

Makna bendera itu, datang dari batin yang diilhaminya. 'Sang Dwiwarna'—nama lain untuk Sang Saka Merah Putih, kini tersimpan di Istana Merdeka dan diteruskan oleh Sang Merah Putih, berbicara dengan cara yang tak dapat dibagikan oleh orang Indonesia; namun kita dapat memahaminya, karena banyak di antara kita yang berperasaan serupa terhadap simbol-simbol kebangsaan dan milik kita sendiri. Boleh jadi, dikau berpendapat positif, atau bahkan negatif, mengenai apa makna benderamu, namun faktanya ajek: kain bersahaja ini, matlamat bangsa. Sejarah, geografi, masyarakat, dan nilai-nilai sebuah puak—seluruhnya diperlambangkan dalam gatra kain, bentuknya, dan warna cetakannya. Ia bermakna, walau ketakrifannya berbeda bagi setiap orang. Masing-masing bendera di dunia, pada saat yang sama, punya keunikan dan kemiripan. Semuanya mengekspresikan sesuatu—terkadang mungkin, agak berlebihan, kata Tim Marshall.

Semua orang menggunakan simbol. Kita berbicara, bersuara untuk merepresentasikan sesuatu, atau tindakan, atau emosi, ataupun gagasan. Jika kita menulis, kita menggunakan garis, kurva, dan titik untuk melambangkan bunyi atau nada. Kita berpakaian dengan cara tertentu dan bukan dengan cara lain. Pakaian yang kita kenakan merupakan simbol yang menunjukkan bahwa kita lelaki atau perempuan, pendeta atau tentara, perawat atau biarawati. Sejarah dari simbol apa pun, biasanya dapat mengungkapkan sesuatu yang menarik dan penting tentang orang yang menggunakannya. Tentu saja, hal ini berlaku pula pada lambang warna-warni kebangsaan yang disebut bendera. Aforisme George Orwell mengungkapkan sepakbola itu, ‘perang minus nembak’, bahwa perpaduan sepakbola, politik, dan bendera, akan menangkap keselarasan batin yang amat kuat: kesedihan, keberanian, kepahlawanan, pembangkangan, ketekunan bersama, dan usaha-keras.
Darimanakah simbol-simbol nasional ini, yang begitu lekat dengan kita, berasal? Kisah bendera dimulai pada zaman prasejarah, jauh sebelum kain ditemukan. Pada masa itu, para manusia itu, para pemburu, dan mereka merasa sangat dekat dengan seluruh dunia fauna. Mereka menggambar margasatwa dan menerakannya di kayu atau batu. Barangkali, sebagian orang mengira mereka mendapat bantuan sihir dari sosok makhluk tertentu. Mereka bahkan mungkin percaya bahwa nenek moyang jauh mereka adalah beruang, anjing hutan, atau elang. Bagaimanapun juga, sekelompok orang yang masih berkerabat (disebut marga) acapkali mengadopsi nama binatang, burung, atau ikan, dan kemudian menjadi simbol marga. Kata lambang marga ini, dalam bahasa salah satu suku Indian Amerika, ialah totem. Kini, semua simbol yang berkenaan dengannya, disebut totem.
Ukiran totem terkadang ditempatkan di atas pintu atau di tiang depan rumah. Para prajurit membawa totemnya ke dalam perang. Satwa atau unggas, seringkali terlukis di atas perisainya, atau gambarnya dapat dibawa pada tongkat panjang yang disebut pataka. Kebiasaan ini, terbukti bermanfaat. Bila bala tentara berpencar saat bertempur, mereka dapat bergabung kembali dengan rekannya dengan mencari pataka yang dipunyai pemimpinnya.
Bendera merupakan fenomena yang relatif baru dalam sejarah umat manusia. Sejarah bendera dimulai sejak 5.000 tahun yang lalu. Kegunaannya berbeda-beda tergantung desain, bentuk, ukuran, dan warnanya. Standar dan simbol yang diabadikan pada kain sebelum adanya bendera dan digunakan oleh orang Mesir kuno, Asiria, dan Romawi, melainkan penemuan sutra oleh masyarakat di era Tiongkok, memungkinkan bendera sebagaimana yang kita kenal sekarang, berkembang dan menyebar. Kain tradisional terlalu berat bila diacungkan setinggi-tingginya, dibentangkan, dan berkibar oleh terpaan angin, terutama bila dicat; sutra jauh lebih ringan, dan itu berarti kain-rentang tersebut, dapat, misalnya, menyertai para pasukan ke medan perang.
Seusai manusia melewati tahap barbarisme terendah, seketika kebutuhan akan sebuah tanda istimewa, yang membedakan manusia dari manusia, suku dari suku, bangsa dari bangsa, mulai terasa; dan dikala kebutuhan utama ini terpenuhi, di sekeliling simbol yang dipilih, ingatan yang menggugah semangat, dengan cepat berkumpul hingga membuatnya dicintai, dan menjadikannya lambang kekuatan dan martabat rakyat yang memilikinya, yang punya daya tarik tak tertahankan terhadap patriotismenya, yang lahir di bawah naungannya, dan berbicara tentang kejayaan dan keagungan sejarah masa lalu, kewajiban masa kini, dan harapan masa depan—mengilhami mereka yang memandang kebanggaan mereka dengan tekad untuk hidup, dan jika perlu, mati, demi tanah air tercinta yang diperlambangkan olehnya.

Di Mesir, lebih dari lima ribu tahun yang lalu, elang merupakan totem raja, yang dikenal sebagai firaun. Faktanya, masyarakat Mesir percaya bahwa firaun sebenarnya seekor elang yang menetas dari telur, dan dalam masa yang panjang, burung ini masih menjadi simbol penguasa Mesir. Tatkala tentara firaun pertama berbaris, mereka membawa panji-panji dengan gambar elang di atasnya. Firaun di kemudian hari, alih-alih menempatkan seluruh burung sebagai pataka, namun terkadang hanya memperlihatkan sedikit bulunya.
Terlepas dari, benarkah kebiasaan ini dimulai di Mesir atau tidak, totem muncul di medan tempur, di banyak tempat. Tentara Asyur kuno berkumpul di sekitar piringan yang diangkat tinggi-tinggi. Di atasnya terlukis sosok seekor lembu jantan, atau dua ekor lembu jantan yang diikat ekornya. Orang Mesir berarak menuju medan perang di bawah bayang-bayang beragam satwa keramat, yang melambangkan dewa-dewa mereka, atau susunan bulu mirip kipas yang memarkahkan keagungan Firaun, sedangkan standar Asiria, dapat dengan mudah dilihat terwakili pada lempengan-lempengan istana Khorsabad dan Kyonjik, piringan logam berbentuk lingkaran yang berisi berbagai perangkat khusus.
Baik standar tersebut maupun standar Mesir, seringkali berpita kecil seperti bendera yang dipasang pada sebuah tongkat, tepat di bawah perangkatnya. Orang-orang Yunani, dengan cara yang sama, menggunakan burung hantu Athena, dan simbol-simbol keagamaan dan patriotik serupa, guna meminta perlindungan para dewa. Homer memaparkan Agamemnon yang menggunakan selembar kain ungu sebagai titik seruan para pengikutnya. Patung-patung Persepolis menunjukkan kepada kita bahwa bangsa Persia mengadopsi sosok matahari, elang, dan sejenisnya.
Jenis simbol yang berbeda konon muncul pada tahun 80 SM., ketika Persia memberontak melawan penguasa lalim. Pemimpin pemberontak seorang pandai besi, dan menurut legenda, celemek kerjanya diacungkan sebagai pataka di arena laga.

Pada zaman dahulu, mode mendandani totem dengan pita muncul di negeri lain selain Mesir. Beberapa tentara hanya menggunakan pita sebagai pataka, dan ide ini nampak telah menyebar ke arah timur, mungkin melalui India, hingga mencapai Tiongkok, tempat bendera pertama kali dikibarkan. Sekitar tahun 1100 SM, sebuah keluarga kerajaan era Tiongkok, punya bendera yang terbuat dari kain putih yang ditempelkan pada sebuah tiang. Belakangan, gambar-gambar era Tiongkok ini, menunjukkan pasukan kavaleri membawa bendera persegi panjang dengan pola yang dapat dikenali. Ada yang dipasang di bagian atas pada palang yang digantung di tiang seperti spanduk Romawi; yang lainnya diikatkan di samping, seperti halnya bendera saat ini. Bentuk segitiga, juga diikat di samping, menjadi favorit di India, dan bendera yang terbuat dari dua segitiga masih berkibar di Nepal, negara di perbatasan India.
Kain dan kebiasaan baru ini, menyebar di sepanjang Jalur Sutra. Bangsa Arablah, bangsa pertama yang memakainya dan bangsa Eropa mengikuti pula jejaknya, usai saling bersinggungan kala Perang Salib. Kemungkinan besar kampanye militer ini, dan melibatkan banyak tentara Barat, menegaskan penggunaan simbol lambang dan tanda persenjataan guna membantu mengidentifikasi para partisipan. Simbol heraldik ini, lalu dikaitkan dengan pangkat dan garis keturunan, khususnya dinasti kerajaan, dan inilah salah satu alasan mengapa bendera berevolusi, dari yang awalnya dikaitkan dengan standar medan perang dan sinyal maritim, menjadi simbol negara bangsa.
Bendera saat ini, biasanya terbuat dari bunting [umumnya berbentuk segitiga dan berwarna-warni], kain wol yang, berdasarkan sifat tekstur dan ketangguhan serta daya tahannya yang tinggi, amat sesuai dengan daya tahan terhadap keausan. Bendera semata dicetak jika berukuran kecil, dan diperlukan jumlah yang cukup sesuai biaya pemotongannya. Sutra juga digunakan, namun hanya untuk tujuan tertentu.
Setiap negara, kini diwakili oleh sebuah bendera. Johann Wolfgang von Goethe berkata kepada perancang bendera Venezuela, Francisco de Miranda, 'Sebuah negara dimulai dari sebuah nama dan sebuah bendera, dan kemudian menjadi keduanya, ibarat manusia memenuhi takdirnya.' Apa maksudnya berusaha merangkum sebuah bangsa dalam sebuah bendera itu? Ia berupaya menyatukan masyarakat berdasarkan seperangkat cita-cita, tujuan, sejarah dan keyakinan yang homogen–sebuah pekerjaan yang hampir mustahil. Namun disaat semangat berkobar, tatkala panji musuh berkibar tinggi, saat itulah masyarakat berbondong-bondong menuju simbolnya sendiri. Bendera amat berkaitan dengan kecenderungan tradisi kesukuan dan gagasan tentang identitas—ide tentang ‘kita versus mereka’. Sebagian besar simbolisme dalam desain bendera didasarkan pada konsep konflik dan pertentangan—seperti contohnya yang terlihat pada tema umum warna merah bagi darah rakyat. Akan tetapi, di dunia modern yang berupaya mengurangi konflik dan meningkatkan rasa persatuan, perdamaian dan kesetaraan, dimana perpindahan penduduk telah mengaburkan batas antara ‘kita dan mereka’, lantas, peran apa yang kini dimainkan oleh bendera? Yang jelas, bahwa simbol-simbol ini, masih punya kekuatan besar, mengkomunikasikan ide-ide dengan cepat dan menarik emosi dengan kuat. Kini terdapat lebih banyak negara dibandingkan sebelumnya, namun aktor non-negara menggunakan pula bendera sebagai semacam suara visual guna menyampaikan konsep, mulai dari banalitas barang komersial murah hingga bobroknya kekerasan. Sesuatu inilah yang terus kita saksikan dalam sejarah terkini.

Bendera merupakan simbol yang kuat, dan ada banyak organisasi yang menggunakannya dengan sangat efektif—bendera boleh saja merupakan perwujudan pesan-pesan semisal ketakutan, perdamaian atau solidaritas, menjadi dikenal secara internasional dalam lanskap identitas dan makna yang terus berubah.
Kita muncul di tengah keberadaan bangkitnya identitas politik di tingkat lokal, regional, nasional, etnis, dan agama. Pergeseran kekuasaan, kepastian lama hilang, dan pada saat seperti itu, masyarakat menggunakan simbol-simbol yang telah dikenal sebagai jangkar ideologis di dunia yang penuh gejolak dan terus berubah. Aktualitas sebuah bangsa, belum tentu sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam benderanya; namun paling tidak, bendera punya kekuatan membangkitkan dan mewujudkan sentimen, saking kuatnya sehingga kadangkala, orang bahkan rela menuruti kain berwarnanya, dalam tembak-menembak dan mati demi apa yang diperlambangkannya.
Selama berabad-abad, manusia telah tergerak melakukan aksi patriotisme dan kegagahberanian dengan mengikuti bendera marga atau negara mereka dalam peperangan. Saat ini, bendera masih digunakan dalam peperangan. Selain itu, digunakan pula untuk perayaan acara-acara besar, seperti acara politik, hari libur nasional, penobatan, dan parade. Pada saat berkabung, bendera dikibarkan setengah tiang untuk menghormati mereka yang gugur, dan disampirkan di atas peti-mati para pahlawan nasional.
Partai politik di sebuah negara, punya benderanya sendiri. Kadangkala, digunakan sebagai dasar desain bendera nasional baru tatkala sebuah negara telah merdeka. Klub, perusahaan, dan organisasi yang terdiri dari orang-orang dengan minat yang sama, juga memiliki benderanya sendiri. Banyak yang diakui di seluruh dunia. Lima lingkaran pada bendera Olimpiade, melambangkan keterhubungan lima benua dalam kompetisi yang damai. Perdamaian merupakan pula pesan dari ranting pohon zaitun yang mengapit dan menopang dunia, di bawah bendera PBB.

Perubahan politik menyebabkan banyak variasi pada bendera. Bendera bersahaja merah putih Indonesia, pada masa lampau, disebutkan dalam Pararaton, bahwa pada abad ke-13, dikibarkan oleh Raja Kediri, Jayakatwang, dalam laga melawan Kerajaan Singasari yang diperintah oleh Kertanegara. Dalam kitab Negarakertagama, pada masa Imperium Majapahit yang berkembang pada abad ke-13 hingga ke-16 di Jawa Timur, bendera merah putih digunakan sebagai simbol keagungan.
Sisingamangaraja IX menggunakan warna merah putih sebagai bendera perang, dengan pedang kembar berwarna putih dan bagian tengah berwarna merah cerah berlatar belakang putih. Pejuang Padri di Aceh menggunakan warna merah dan putih. Matahari, bintang, bulan sabit dan ayat-ayat Al-Qur'an sebagai latarbelakang. Woromporang merupakan bendera merah putih kerajaan Bone sebagai simbol kekuasaan dan kebesaran. Pangeran Diponegoro mengenakan bendera merah putih dalam perjuangan melawan Belanda. Semua ini, menggabungkan perlambang warna tradisional: merah sebagai keberanian dan putih sebagai kejujuran.

Tema 'Merah-Putih' semakin bermakna ketika Kongres Pemuda Kedua pada bulan Oktober 1928 sepakat menerima dua peranti kemerdekaan. Pertama, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Kedua, Sang Saka Merah Putih sebagai Bendera Nasional Indonesia. Ibarat bayi akan lahir dari rahim ibunya, hanya soal waktu. Bendera Indonesia resmi diterima pada tanggal 17 Agustus 1945, tiga hari setelah berakhirnya Perang Dunia II. Ia tetap menjadi bendera nasional ketika Indonesia mendapat pengakuan kemerdekaannya dari Belanda pada tahun 1949. Sang bayi telah lahir. Ia terlahir dari segumpal darah 'merah' dengan fitrah yang bersih, 'seputih' kapas yang lembut nan halus.
Namun, sebagai anak manusia, Sunnatullah telah tersurat, bahwa ia seyogyanya melewati suka dan duka kehidupan agar tumbuh semakin kuat. Dalam mengarungi samudera kehidupan di dunia ini, terkadang ia harus melawan para bajak laut. Bajak laut sama tuanya dengan pelayaran dan ada di seluruh dunia, namun keterkaitannya dengan bendera tengkorak dan tulang bersilang, boleh jadi berasal dari abad kedua belas. Mengapa mereka menggunakan simbol tengkorak, sungguh tak wajar. Ia bermula dari legenda 'Skull of Sidon', seperti yang dikisahkan oleh salah satu Peta Walter di abad kedua belas mengenai kejadian-kejadian meresahkan di pertengahan tahun 1100-an, 'Seorang wanita agung Maraclea, dicintai oleh seorang Ksatria Templar, Penguasa Sidon; namun ia meninggal di masa mudanya, dan pada malam penguburannya, sang kekasih jahat ini, merayap ke pekuburan, menggali makam dan menggaulinya. Kemudian, suara gharib memintanya kembali dalam waktu sembilan bulan karena ia akan memperoleh seorang putra. Sang ksatria pun menuruti perintah tersebut, dan pada waktu yang telah ditentukan, ia membuka kembali makam tersebut, lalu menemukan sebuah tengkorak dan dua belulang yang bersilangan.'
Para Ksatria Templar lebih menganggap diri mereka berada di pihak Tuhan, bukan sebagai bajak laut, namun perilaku mereka di laut, acapkali bersifat praktis. Para ksatria yang amat kaya ini, tak segan-segan menghentikan kapal-kapal kecil dan merampas barang-barang berharganya, dan lambang mereka, di kemudian hari, menjadi inspirasi bagi para 'perompak'—atau dengan kata lain, 'para penjarah'.

Pada tahun 1998, sang anak manusia berhasil menghalau para bajak laut yang telah menguasai kapal, menurunkan bendera tengkorak dan mengibarkan kembali 'Sang Merah Putih'. Peristiwa ini disebut 'Reformasi '98' dengan tema Demokrasi dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Seiring berjalannya waktu, rupanya, ada penumpang gelap di dalam kapal. Para penumpang gelap ini, mulai menjarah harta karun yang tersimpan di balik dek kapal. Kali ini, mereka tak bekerja sama dengan para Ksatria Templar, melainkan dengan para perompak asal China, yang mereka puja-puja sepanjang waktu, hingga mereka lupa akan warna bendera mereka sendiri. Kini, 'Sang Merah Putih' telah turun setengah tiang, dibawah bayang-bayang panji tengkorak.
Kita mengibarkan bendera, kita membakarnya, ia berkibar di luar gedung dewan dan istana kepresidenan, rumah-rumah rakyat dan ruang pamer. Ia mewakili politik, baik kekuasaan tertinggi maupun kekuatan massa. Banyak yang menyimpan sejarah tersembunyi, guna mewartakan masa kini. Sanggupkah sang anak manusia mengibarkan kembali 'Sang Merah Putih' ke puncak patakanya, ataukah ia tak berdaya menghadapi para perompak, sehingga 'Sang Bendera' bakal melorot ke titik nadir dan lepas dari tiangnya? Kita tunggu tanggal mainnya."

Sebelum melangkah ke episode berikutnya, bunga matahari bersenandung,

Putiknya persona
Rama-rama 'neka warna
'Kan kupersembahkan
Bagi Pandu Indonesia *)
Kutipan & Rujukan:
- Tim Marshall, Worth Dying for the Power and Politics of Flags, 2016, Elliott and Thompson Limited
- F. Edward Hulme, The Flags of the World: Their History, Blazonry, and Associations, 2021, Good Press
- David Ross, Flags, 1986, Willowisp Press
- Harold Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, 2020, ISEAS
*) "Melati Suci" karya Guruh Sukarno Putra