Sabtu, 27 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (10)

"Konon, para sejarawan menemukan sebuah manuskrip, yang konon pula, peninggalan era saat jatuhnya Imperium Majapahit. Manuskrip tersebut, masih diteliti lebih lanjut, karena, konon lagi, sang manuskrip bercerita: Pada suatu hari, paduka raja sedang mengendarai kuda putihnya, sembari 'bagi-bagi beras' kepada rakyatnya (konon di masa kini, dapat diartikan 'lempar-lempar kaos oblong'), lalu tiba-tiba terjatuh. Para hulubalang seketika menghampiri sang prabu dan membantunya berdiri, walau sedikit tertatih-tatih. Dubes dari negeri jauh yang, (lagi-lagi) konon, hadir di situ, menanyakan apakah 'yang mulia' baik-baik saja. Sang bupala yang, (sekali lagi) konon, lebih jago ngomong Ingglisy ketimbang Sanskrit, menjawab, 'I want to test my minister'."

“Ketika penguasa masa lampau yang diyakini sebagai orang tersugih dalam sejarah menungso, Mansa Musa, memerintah Imperium Mali, ia membawa Kekaisarannya mencapai titik zenitnya dari tahun 1312 hingga 1337. Kendati tak mudah memperkirakan kepastian mutlak kekayaannya, taksirannya berkisar pada angka yang amat tinggi, hingga $400 miliar. Dapat diterima bahwa 'taburan' emasnya kepada siapa pun yang ditemuinya selama menunaikan ibadah haji ke Mekkah, menyebabkan hiperinflasi dan resesi Mesir yang berlangsung selama satu dekade," ucap bunga matahari seraya memperhatikan Million Dollar Cube yang berputar.
"Kita semua menginginkan uang—sebagian kita menempuhnya dengan amat berbahaya, kata Laurence Kotlikoff. Ia lalu memberi dua contoh: Raja Midas memohon kepada Dionysus agar setiap sentuhan jarinya berubah jadi emas dan memperoleh keinginannya, namun ia mati kelaparan lantaran, bahkan makanan yang disentuhnya pun, berubah jadi emas. Imelda Marcos, Ibu Negara Filipina yang kondang, cuma punya sedikit uang saat tumbuh dewasa. Manakala suaminya mengambil alih kekuasaan dan mulai menjarah negara, sepatu menempati urutan teratas dalam daftar belanjaannya. Selama dua puluh satu tahun dan hampir tiga ribu pasang alas kaki, rakyat pun berontak. Pasangan ini cabut menyelamatkan diri mereka, namun tidak dengan koleksi sepatu Imelda. Ratusan di antaranya masih dipajang dengan beragam corak di Museum Sepatu Marikina dekat Manila [tujuh ratus dua puluh pasang sepatu ada di Museum Sepatu Marikina di Metro Manila. Dari jumlah tersebut, 253 dipajang, sedangkan 467 tersimpan. Imelda meninggalkan lebih dari 3000 pasang sepatu saat meninggalkan istananya]. Sebagian besar dari kita, tidaklah haus akan uang semata oleh ketamakan. Kita menginginkan uang karena dalil yang bagus: kita memang butuh.

Ada latarbelakang yang baik mempercayai bahwa uang modern saat ini, punya arti yang jauh lebih besar bagi kebanyakan orang di seluruh dunia dibanding sebelumnya, dalam sejarah manusia, Glyn Davies menyimpulkan. Uang bermula dengan barter. Sejarah barter sama tuanya, bahkan dalam beberapa hal jauh lebih tua, dibanding sejarah manusia itu sendiri. Ternak–ungkapan lamat-lamat yang punya beragam makna, dan umumnya merujuk semisal sapi, kerbau, kambing, domba dan unta, namun tak selalu termasuk kuda–secara historis mendahului penggunaan bebijian sebagai uang, menjadi dalil sederhana bahwa menjinakkan satwa dalam bidang peternakan, mendahului bidang pertanian.
Bagi manusia primitif yang nyembul dari Zaman Batu, logam apa pun berharga: perbedaan antara logam dasar dan logam mulia menjadi penting hanya setelah keterampilannya sebagai ahli metalurgi meningkat dan pasokan berbagai logam, telah cukup meningkat untuk mencerminkan kelimpahan atau kelangkaan relatifnya. Maka, tembaga, perunggu, emas, perak, dan elektrum telah dikenal dan digunakan sebelum besi, sedangkan aluminium, logam paling umum di kerak bumi, baru dapat digunakan pada abad kesembilan belas.
Uang koin pertama di dunia terbuat dari emas sekitar tahun 700 SM dan sejumlah negara kota Yunani menetapkan bentuk ‘standar emas’ mereka sendiri yang konsepnya diperluas ke seluruh kekaisaran oleh Alexander dan kemudian oleh kaisar Romawi dan Bizantium. Mata uang kertas muncul sebagai hasil dari satu (dan mungkin, kemudian, dua) dari Empat Penemuan Besar: pembuatan kertas, percetakan, bubuk mesiu, dan kompas. Tiongkok lebih duluan, kendati baru pada masa Dinasti Tang pada abad ke-7 para pedagang mulai menggunakan kertas dalam bentuk yang sekarang disebut surat promes. Pada abad ke-17, para bankir pandai emas di London menerbitkan kwitansi sebagai utang kepada pembawa dokumen, dan bukan kepada penyimpan (sentimen ini bergema pada uang kertas masa kini dengan kalimat “Saya berjanji akan membayar kepada pembawa dokumen sejumlah X pounds sesuai permintaan'), sementara pada tahun 1661, Stockholms Banco Swedia menjadi bank sentral pertama yang berusaha menerbitkan uang kertas.
Steve Forbes dan Elizabeth Ames berpendapat bahwa pemerintah tak menciptakan uang. Uang berasal dari pasar sebagai solusi terhadap suatu masalah. Uang muncul secara spontan, seperti sendok atau komputer pribadi, sebagai respons terhadap suatu kebutuhan. Dalam hal ini, kebutuhannya ialah unit nilai yang stabil guna memfasilitasi perdagangan. Uang punya tiga peran dalam perekonomian: sebagai ukuran nilai; sebagai instrumen kepercayaan yang memungkinkan transaksi terjadi antara orang yang tak saling kenal; dan menyediakan sistem komunikasi dalam seluruh masyarakat. Agar dapat berfungsi dalam peran-peran ini, yang terpenting, uang haruslah stabil. Jika tidak, maka uang akan melemah dan perekonomian akan terpuruk. Dalam kedaaan terburuk, disaat uang tak berfungsi sama sekali, maka masyarakat dapat gulung-tikar. Uang merupakan alat yang memfasilitasi transaksi. Uang tak menciptakannya. Dan uang, dengan sendirinya, bukanlah harta kekayaan—peningkatan pasokan uang sesuai keinginan para bankir sentral, bukan berarti menambah harta. Kenyataannya, yang jadi masalah, justru sebaliknya.
Masyarakatlah, bukan pemerintah, penemu uang. Andai ekspansi basis moneter dipandang sebagai jalan menuju vitalitas perekonomian, bisa dibilang bahwa Zimbabwelah negara terkaya di dunia, imbuh Forbes dan Ames. Ketika negara tersebut pertama kali merdeka pada tahun 1980, nilai dolar Zimbabwe lebih tinggi daripada dolar AS. Pada awal tahun 2000-an, setelah reformasi redistribusi yang menyebabkan ambruknya ekonomi pertanian negara tersebut, pemerintah Zimbabwe menanggapi krisis ini dengan mencetak uang secara besar-besaran. Hasilnya, hiperinflasi kedua setelah Hongaria, seusai Perang Dunia II.
Kita butuh makanan untuk hidup. Tapi terlalu banyak makan, menyebabkan obesitas yang tak sehat. Hal yang sama berlaku pada uang. Kita membutuhkan uang bagi perdagangan. Namun, seperti halnya terlalu banyak makanan dapat berdampak buruk bagi kesehatanmu, kelebihan pasokan uang, juga dapat merusak kesehatan perekonomian. Kisah ekspansi moneter bukanlah warita pemunculan harta kekayaan, melainkan sirnanya harta itu. Sejarah berisi banyak sekali contoh: mulai dari gagalnya Gelembung Mississippi di Prancis pada abad ke-18, hingga inflasi kolonial yang liar sebelum Revolusi Amerika, hingga hiperinflasi Jerman pada awal tahun 1920an dan setelah Perang Dunia II, hingga stagflasi AS pada tahun 1970an. Ekspansi moneter yang gila-gilaan telah mengguncang negara-negara seperti Venezuela dan Argentina. Di Amrik, ia menyebabkan jatuhnya pasar properti, krisis keuangan tahun 2008, dan akibatnya, stagnasi global.

Setiap profesi, boleh dikata, mencetuskan jantur. Ahli biologi menyembuhkan wabah. Insinyur membangun gedung pencakar langit. Fisikawan membagi atom. Ahli geologi menentukan umur bebatuan. Para astronom menemukan planet. Ahli kimia menguraikan materi. Hakim menerbitkan keputusan perkara berdasarkan interpretasi terhadap hukum dan penilaian pribadinya. Pengacara punya fungsi dan hak istimewa yang berbeda-beda: advokat, pokrol, pembela, advokat kanon, notaris hukum perdata, penasihat, peguam, eksekutif hukum, atau muhami. Para pengacara tak punya cukup pengetahuan mengenai ilmu ekonomi, dan para Ekonom tak punya pengetahuan yang cukup tentang hukum. Menurut Kotlikoff, walau ada tantangan di lapangan, akan tetapi, para Ekonom menghasilkan mantra-mantra ajaib.
Adam Smith, jagoan sihir pertama kita, dengan the conjuring 'invisible hand'-nya, mengubah keserakahan individu menjadi kebaikan kolektif. David Ricardo memakai Dr. Strange 'four mystical numbers' guna menjelaskan mengapa, apa, dan kapan suatu negara melakukan perdagangan. Alfred Marshall menghasilkan banyak kurva 'Avatar' supply and demand yang mengatur seluruh pasar. Dan pakar tenung mutakhir kita, Paul Samuelson, mengubah hukum ekonomi lawas menjadi rima 'the Scream' matematika.
Smith, Ricardo, Marshall, dan Samuelson adalah 'Dumbledore' top ekonomi sepanjang masa. Karenanya, setiap ekonom dilatih memecahkan asrar, tanda-tanya atau rahasia, menggunakan trik-trik pertukaran kita. Itulah sebabnya mengapa ilmu ekonomi amatlah menarik, mengejutkan, penting, dan berguna, baik diterapkan untuk memahami pasar global, mengenakan pajak atas emisi, maupun menyelamatkan gawean kita. Kendati konsepsi umum ilmu ekonomi itu berfokus pada isu-isu besar yang mencakup seluruh dunia, para ekonom sebenarnya telah menghabiskan waktu satu abad mengamati 'personal finance'.

Politisi, bagaimana dengan politik? Menurut Brian McNair, ada tiga ciri rezim demokratis: pertama, hendaknya ada seperangkat prosedur dan aturan yang disepakati, yang mengatur pelaksanaan pemilu, aturan tersebut biasanya berbentuk konstitusi; kedua, mereka yang berpartisipasi dalam proses demokrasi seyogyanya mencakup sebagian besar masyarakat; ketiga, ketersediaan 'choice' dan kemampuan warga negara untuk mengeksekusi pilihan tersebut secara rasional, atau adanya 'rational choice'. Oleh karenanya, warga negara yang berpengetahuan dan teredukasi, merupakan sebuah prasyarat. Pentingnya pemilih yang berpengetahuan dan teredukasi, menentukan bahwa politik demokratis itu, seyogyanya dilaksanakan di arena publik (membedakannya dari karakteristik rezim otokratis yang bersifat 'diam-diam'). Pengetahuan dan informasi yang menjadi dasar bagi warga negara dalam menentukan pilihan politiknya, hendaknya bersikulasi dengan bebas dan tersedia bagi seluruh masyarakat. Namun demikian, proses politik menuntut individu agar bertindak secara kolektif dalam mengambil keputusan tentang siapa yang akan mengatur mereka. Opini politik pribadi seseorang, menjadi opini publik masyarakat secara keseluruhan, yang dapat tercermin dalam pola pemungutan suara dan diperlakukan sebagai nasihat oleh para pemimpin politik yang ada.
Demokrasi bertumpu pada janji kesetaraan, yang seringkali terbentur tembok uang, kata Julia Cage. Uang memberi kita rasa aman dan stabilitas dengan memungkinkan kita memenuhi kebutuhan dasar, berjaga-jaga terhadap pengeluaran tak terduga, dan berinvestasi bagi masa depan. Dengan mengelola uang kita secara bijak, kita dapat menikmati kebebasan finansial dan ketenteraman pikiran yang lebih baik. Uang merupakan komponen penting dalam demokrasi: uang memungkinkan partisipasi dan keterwakilan politik. Namun, jika tak diatur secara efektif, ia dapat merusak integritas proses dan institusi politik serta membahayakan kualitas demokrasi.
Kita cenderung lupa bahwa mewujudkan demokrasi ada harganya, imbuh Cage. Namun jika biayanya tak terdistribusi secara merata, dan bila pengaruh 'private money' dalam total pendanaan tak dibatasi secara ketat, maka keseluruhan sistem berada dalam bahaya. Yang disorot disini, bukan tentang berapa kali putaran pemilu dapat menghemat uang, melainkan pentingnya aturan terkait pendanaan partai politik dan kampanye pemilu (umumnya dikenal sebagai 'political finance') dan lobi, guna mendorong integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam demokrasi mana pun.

Apa sih partai politik itu dan apa fungsinya? John Kenneth White berpendapat bahwa bila mendefinisikan partai politik, hasilnya bakal beragam, namun dapat digambarkan sebagai 'sistem interaksi tripartit': pertama, partai sebagai Organisasi atau 'mesin', yaitu mesin formal partai mulai dari komite lokal (daerah, distrik, atau kota) hingga komite pusat negara bagian, dan orang-orang yang bertugas dan mengarahkan ke sana. Kedua, partai sebagai Massa Pendukung. Bagi beberapa orang, identifikasi ini kuat, dan mereka secara konsisten mendukung kandidat yang mencalonkan diri di bawah label partai. Bagi yang lain, keterikatannya relatif lemah dan biasa saja. Di sini, partai ada di mata pihak yang melihatnya; ia merupakan sekumpulan loyalitas pemilu. Ketiga, Partai sebagai Badan Tokoh. Sebagian besar pemimpin politik di pemerintahan dan di luar pemerintahan diidentifikasi dengan label partai. Partai terkadang digunakan merujuk pada kolektivitas para tokoh yang menerima label partai, dan kebijakan partai kemudian menjadi kecenderungan kebijakan yang berlaku di antara kolektivitas tersebut.
Partai politik merupakan fenomena yang tersebar luas di negara-negara Demokrasi Perwakilan, kata Carles Boix. Walau koordinasi para politisi ke dalam partai-partai, yaitu, ke dalam tim kandidat dan anggota parlemen yang mengumpulkan suara dan menatanya, telah menjadi fenomena universal dan hampir seperti hukum di negara-negara demokrasi kontemporer, cara-cara yang digunakan para politisi dalam mengorganisir dan menanggapi seruan partisan, sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan antar negara. Di satu sisi, partai politik berbeda dalam arsitektur internalnya: seberapa hierarkisnya; kekuatan sayap parlementernya dibandingkan dengan aparat partai; jumlah, ekstraksi, dan komitmen keanggotaan mereka; atau kekompakan mereka, mulai dari koalisi kepentingan yang longgar dan hampir bersifat ad hoc, sampai ke organisasi yang berdisiplin ketat dan anggotanya tak pernah menyimpang dari posisi resmi partai.

Marjorie Randon Hershey berpendapat bahwa partai politik dapat berfungsi sebagai mekanisme 'social choice'. Lingkungan politik punya beberapa kualitas unik yang mempengaruhi pilihan individu. Negara demokrasi perlu merekrut pemimpin dan juga pemilih. Kepemimpinan politik merupakan barang publik, sehingga timbul masalah pilihan kolektif dalam pemilihannya. Dalam demokrasi, warga negara harus berperan dalam memilih pejabat penting pemerintah. Ketika demokrasi mulai berkembang, organisasi-organisasi partai yang baru lahir, berinsentif langsung merangsang partisipasi warga secara selektif. Semakin banyak pemilih yang dapat mereka mobilisasi, semakin besar kemungkinan mereka memilih kandidatnya.
Ketika demokrasi semakin matang dan hak pilihnya semakin mendekati batas wajarnya, tantangannya adalah, perlunya memotivasi pemilih yang memenuhi syarat agar pergi ke bilik pemungutan suara. Keberadaan partai-partai di daerah pemilihan, atau identifikasi partai, sebagai sarana untuk menyederhanakan pilihan pemilih sehingga memudahkan mereka dalam memilih. Oleh karenanya, dengan beberapa cara, masyarakat dapat menggunakan partai sebagai sarana untuk menarik kesimpulan tentang karakteristik kandidat dan pendirian kebijakannya.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi belanja politik. Menurut Shari Bryan dan Denise Baer, di banyak negara demokrasi berkembang, informasi akurat mengenai praktik belanja politik tak tersedia bagi publik. Persyaratan pelaporan seringkali tidak ada, dan jika memang ada, lembaga penegak hukum tak memiliki keterampilan dan sumber daya untuk mengumpulkan informasi. Hasil kajian African Political Party Finance Initiative (APFI) mengenai karakteristik pendanaan partai, tak semata di negara-negara Afrika, namun di kawasan lain di dunia—mulai dari Amerika Latin, Eropa Tengah dan Timur, serta Asia (22 negara). Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar politisi sadar akan permasalahan uang dalam politik dan siap mengatasinya. Pada saat yang sama, studi ini menyoroti banyak hal yang menjadi perhatian, seperti peran kepentingan kaum 'hartawan' dalam mendanai kampanye guna mendapatkan akses terhadap kontrak negara yang menguntungkan. Laporan ini mengungkapkan risiko kebangkrutan pribadi yang dihadapi banyak kandidat ketika mereka berupaya mengumpulkan uang bagi posisi-posisi terpilih, dan godaan meninggalkan persaingan politik demi memperoleh uang.
Korupsi yang terkait dengan pendanaan partai politik merupakan ancaman besar terhadap pembangunan demokrasi di seluruh dunia. Aliran pendanaan partai yang terselubung, penjualan pengaruh, dan pemanfaatan sumber daya negara untuk tujuan partai, semuanya membahayakan satu-satunya aset terbesar demokrasi: keyakinan dan dukungan warga negara dalam proses politik. Dampak sosial dan politik korupsi telah diketahui dengan baik, dan sebagian besar pemimpin politik dan masyarakat menyadari bahwa banyak masalah yang berkaitan dengan korupsi politik berasal dari kelemahan dalam partai politik itu sendiri. Salah satu tantangan besar yang dihadapi para reformis politik ialah sedikitnya informasi yang diketahui mengenai rincian uang dalam partai politik atau kampanye. Pola pendanaan partai politik sangat tak jelas, dan keputusan mengenai pengumpulan dan pengeluaran dana, biasanya dikendalikan dan dikelola hanya oleh segelintir orang. Relatif sedikit politisi yang dapat memberikan rincian konkrit mengenai operasi pendanaan partai.
Vote-buying atau penggunaan uang dan keuntungan langsung agar mempengaruhi pemilih, menjadi perhatian para elit politik di seluruh dunia. Kepentingan bisnis dan orang kaya yang berperan dalam politik, menghambat partisipasi demokrasi, menghambat pembangunan ekonomi, dan mengubah sifat pemerintahan. Berulang kali, kekhawatiran muncul mengenai meningkatnya jumlah orang kaya yang mencari jabatan demi mendapatkan akses dan kendali atas kontrak-kontrak yang menguntungkan, dan kontributor bisnis yang menuntut imbalan dari orang-orang yang mereka dukung secara politik. Akibatnya, kelompok politik sering dipandang sebagai lingkaran para Sultan yang mengambil keputusan berdasarkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum.
Dalam banyak persoalan, akuntabilitas politik dijual kepada penawar tertinggi. Kandidat, yang sering kali dibiayai oleh patron atau godfather, mungkin mengkompromikan independensi, netralitas, dan platform mereka agar menjadi wakil para pemberi dana. Partai politik melakukan hal yang sama dengan menerima dana dari kepentingan bisnis yang sengaja mendukung kampanye sebagai cara untuk memastikan kontrak yang menguntungkan dengan negara, atau mungkin lebih buruk lagi, sebagai jaminan bahwa negara akan menutup mata terhadap praktik bisnis ilegal mereka. Dalam beberapa permasalahan, para kandidat rela meninggalkan kompetisi politik atau meninggalkan partai politiknya demi mendapatkan uang.

Di Indonesia, 'Money in Politics' (uang dalam politik) memang belum setenar 'Money Politics'. Istilah 'Money Politics' (politik uang) telah banyak digunakan untuk merajahkan praktik 'wani piro'—dan jawabannya 'piro-piro wani'—sejak era Demokrasi baru di Indonesia, dimulai pada akhir tahun 1990an. Kendati umum digunakan, istilah ini, kurang tepat dan mencakup berbagai fenomena.
Kita akan lanjut membicarakannya di episode terakhir. Bi 'idznillah."

Seraya melangkah menuju sesi final, bunga matahari bersenandung,

My father told me,
[Ayahku bilang padaku,]
'Hold your head up high,
['Tengadahkan kepalamu tinggi-tinggi,]
never give up and keep aiming for the sky,
[jangan pernah nyerah dan tetaplah membidik dirgantara,]
and when darkness finds a way to tear you down,
[dan kala ketaksaan menemukan jalan merobohkanmu,]
take a closer look, there's hope right by your side.
[tataplah lebih dekat, ada asa tepat di sisimu.]
Yeah, I know it's tough when nights are getting longer,
[Ya, kutahu itu syulit dikala malam semakin panjang,]
and doubts are creeping in.' *)
[dan keraguan sedang merangkak masuk.']
Kutipan & Rujukan:
- Laurence Kotlikoff, Money Magic: An Economist's Secrets to More Money, Less Risk, and a Better Life, 2022, Little, Brown Spark
- Glyn Davies, History of Money: From Ancient Times to the Present Day, 2002, University of Wales Press
- Steve Forbes & Elizabeth Ames, Money: How the Destuction of the Dollars Threatens the Global Economy—and What We can Do about It, 2014, Itzy
- Brian McNair, An Introduction to Political Communication, 2011, Routledge
- Julia Cagé, The Price of Democracy: How Money Shapes Politics and What to Do about It, translated by Patrick Camiller, 2020, Harvard University Press
- Shari Bryan & Denise Baer (Ed.), Money in Politics: A Study of Party Financing Practices in 22 Countries, 2005, NDI
- Richard S. Katz and William Crotty (Ed.), Handbook of Party Politics, 2006, SAGE
- Carles Boix & Susan Stokes (Ed.), The Oxford Handbook of Comparative Politics, 2007, Oxford University Press
*) "You Need to Know" karya Axel Johansson, Tormod Løkling & Iselin Solheim