Rabu, 10 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (6)

“Dari sebuah kapal penumpang, semua orang bisa melihat, seorang lelaki berambut acak-acakan dan berjanggut panjang di sebuah pulau kecil, berteriak-teriak dan melambai-lambaikan tangannya dengan putus-asa.
'Maaf Kep, itu siyapa yah?' seorang penumpang bertanya kepada sang kapten.
'Oh, sa kurang tahu,' jawab sang kapten, 'ini yang kelima kalinya kami lewat sini, dan kali ini, doi gampang banget kepancing emosi.'"

"Dalam debat kandidat di Indonesia, k'nape sih KPU ngebatesin durasi berdebat?" berkata bunga matahari sembari memperhatikan jam pasir bersayap sebagai gambaran literal dari frasa Latin 'tempus fugit'—waktu berlalu. "Pembatasan durasi debat tersebut, termasuk menetapkan batasan pidato bagi masing-masing kandidat, membatasi kesempatan berbicara, atau membatasi total durasi debat sebuah pertanyaan.
Seperti yang telah dikau ketahui, dalam forum debat publik, individu menghadirkan pidato singkat (2-4 menit) yang diselingi dengan sesi 'saling-bedil' berdurasi 1-3 menit, tanya jawab antar debater yang saling-berlawanan. Pemenang ditentukan oleh juri yang juga berperan sebagai wasit (pengaturan waktu, hukuman ketidaksopanan—semestinya ada tuh penalti buat penonton yang ngomong gak pantas semisal dikeluarin dari ruang debat, dll).
Debat merupakan cara yang efektif guna memberikan informasi dan melibatkan pemilih dalam proses politik. Dua sumber daya terpenting yang digunakan saat merencanakan debat adalah komunikasi dan organisasi. Para moderator dipilih berdasarkan pengalaman dan sikap non-partisan mereka. Mereka juga hendaklah punya tingkat pengetahuan umum yang wajar tentang isu-isu yang sedang dipersoalkan. Harap diingat bahwa moderator menentukan suasana perdebatan. Moderator yang lebih efektif akan menghasilkan debat yang menarik dan informatif. Yang terpenting, moderator seyogyanya profesional dan berimbang. Durasi debat antara 60 sampai 120 menit, tergantung pada jumlah kandidat dalam debat. Pastikan debat tak melebihi batas waktu dua jam yang ditentukan dan tiada jeda selama debat. Di arena kompetitif, durasi amat penting. Dalam debat calon presiden, para kandidat hanya diberi sedikit waktu untuk menyajikan kesan mendalam. Jadi, yang ditekankan dalam debat, selain pada batasan waktu, tapi juga, 'value' yang terpendam dalam debat.
Debat merupakan salah satu aktivitas tertua dalam peradaban. Debat yang tenang dan teratur, dimana para pembicara berargumentasi untuk menerima berbagai jawaban atas sebuah pertanyaan, merupakan ciri nyata dari parlemen dan kongres modern. Namun, hal ini juga mendapat tempat bahkan dalam pertimbangan para raja di jaman baheula, yang membentuk dewan bangsawan guna memberi mereka nasihat. Manakala para bangsawan tak sepakat, mereka diperbolehkan memperdebatkan usulannya di hadapan raja, yang bertindak sebagai hakim terakhir dalam memilih sebuah rencana tindakan.
Dalam masyarakat demokratis modern, hak berdebat adalah aset yang sangat berharga. Hal ini memungkinkan setiap warga negara mengusulkan rencana tindakan yang lebih baik dibanding yang ditetapkan oleh penguasa yang berkuasa. Jika sang pembicara dapat meyakinkan cukup banyak masyarakat bahwa ide baru tersebut lebih baik, maka ia dapat mengubah kebijakan kota, kabupaten, propinsi, negara, atau bahkan bangsa.
Engkau mungkin tak menyadari fakta bahwa perdebatan terjadi di setiap lapisan masyarakat, tak hanya di lingkungan  akademis atau DPR. Sebenarnya, setiap keadaan dimana engkau diminta membandingkan alternatif-alternatif, merupakan keadaan yang memaksamu memperdebatkan manfaat dari alternatif-alternatif tersebut. Terkadang dikau melakukan perdebatan dengan dirimu sendiri, seperti ketika dikau hendak memutuskan apakah akan masuk perguruan tinggi atau pekerjaan yang sesuai untukmu. Terkadang, perdebatan dilakukan di hadapanmu oleh orang lain, dengan dirimu sebagai jurinya, semisal para sales yang mempresentasikan jualan mereka, yang masing-masing memintamu, membeli produk istimewa mereka. Acapkali, kita gagal paham mengenali situasi perdebatan, lantaran hanya satu orang yang berbicara kepada kita—seorang penjual di sebuah toko, misalnya—namun biasanya, orang tersebut mengungkapkan sifat sebenarnya dari perdebatan tersebut, dengan bertindak seolah-olah ada orang ketiga yang hadir bersamamu.

Argumen merupakan pondasi yang paling mendasar dari debat. Dengan memahami sesuatu yang menjadikan argumen berhasil membedakan debater yang sukses dengan rekan-rekannya yang kurang sukses dan membawa keuntungan bagi debater yang amat berpengalaman dan cepat mateng. Argumen itu ibarat mobil: Jika dirimu memahami cara kerjanya, kemungkinan besar dikau akan mendapatkan layanan yang lebih baik darinya; memahami ada yang salah dikala mobil tersebut rusak, maka benahilah masalahnya, sebelum melanjutkan perjalanan berikutmu.
Debat berlangsung secara lisan, dengan kecepatan yang relatif cepat. Para debater tak punya cukup waktu menerapkan teknik analisis argumen yang terperinci dalam teks debat dan argumentasi umum. Hal yang terpenting tentang teori argumen bagi rata-rata para debater adalah: membedakan argumen yang buruk dari argumen yang baik.

Argumen tak sama dengan debat. Argumen merupakan upaya mempengaruhi orang lain ke arah tertentu. Biasanya arah ini mencakup soal keyakinan, ketaatan, atau tindakan. Beberapa argumen melingkupi fakta. Argumen ini, berkaitan dengan fakta atau definisi yang problematis dan berupaya membuat pendengar agar mempercayai fakta tertentu. Argumen juga melingkungi 'values'. Argumen-argumen ini, berupaya membujuk pendengar agar menganut sistem nilai tertentu; alternatifnya, mungkin menggunakan sistem nilai tertentu untuk menggugah pendengar agar menerima keadaan tertentu, yang konsisten dengan nilai-nilainya. Terakhir, ada argumen yang berkaitan dengan kebijakan. Argumen-argumen ini, berusaha mengajak para pendengar dalam hal kebijakan atau tindakan. Namun, dalam kehidupan nyata dan dalam debat, perbedaan-perbedaan ini, masih jauh dari jelas. Semisal pertanyaan tentang kebijakan selalu melibatkan pertanyaan tentang fakta dan nilai, kendati keterkaitan ini selalu dibuat secara implisit.
Debat merupakan infrastruktur untuk menyajikan berbagai argumen, yang kesemuanya dapat dan biasanya berfungsi yang memisahkan dan membedakan, sepanjang berlangsungnya debat. Tentu saja, dalam perdebatan, seperti halnya dalam kehidupan, tak semua argumen dimunculkan dengan cara yang sama. Artinya, ada yang lebih sukses dibandingkan yang lain. Pertanyaan yang langsung relevan bagi para debater adalah bagaimana menjadikan argumen berhasil dan bagaimana membuat argumen yang berhasil tersebut, sukses dalam debat.
Argumen lebih dari sekadar pernyataan. Jika sebuah pernyataan menegaskan bahwa sesuatu itu benar, maka argumen berupaya membuktikan mengapa hal itu benar. Debat bukanlah suatu ilmu. Ia hanya punya hubungan kekeluargaan dengan praktik logika formal seperti yang digunakan dalam matematika klasik atau pembuktian ilmiah. Perlu diingat bahwa pembuktian dalam debat dan argumentasi, tak sama dengan pembuktian dalam matematika atau logika formal. Maka, definisi debat yang paling sederhana adalah bahwa debat itu, pemberlakuan argumentasi yang diformalkan. Kata 'diformalkan' merupakan pembeda utama antara berargumentasi dan turut dalam debat. Agar sesuatu menjadi formal, ia semestinya terstruktur.

Kita berpikir dengan otak kita. Kita tak punya pilihan. Walau mungkin beberapa politisi tertentu, tampak berpikir dengan bagian lain anatominya—dengkul misalnya, namun sesungguhnya, mereka juga berpikir dengan otaknya. Mengapa hal ini penting bagi politik? Sebab berpikir itu sifatnya jasmaniah, kata George Lakoff. Berpikir dilakukan oleh sirkuit saraf di otak. Kita hanya dapat memahami apa yang otak kita, bolehkan kita pahami. Struktur saraf terdalam relatif tetap. Tak mudah berubah. Dan kita sebagian besar tak sadar akan aktivitas dan dampaknya. Hakikatnya, sekitar 98 persen dari apa yang dilakukan otak kita, berada di bawah sadar. Akibatnya, kita mungkin tak mengetahui semua, atau bahkan sebagian besar, hal-hal yang ada dalam otak kita, yang menentukan keyakinan moral, sosial, dan politik terdalam kita. Namun kita bertindak berdasarkan keyakinan yang sebagian besar tak kita sadari. Apa yang terjadi didalam otak seseorang itu, bermakna. Struktur otak yang amat penting bagi politik kita, dapat dipelajari dari sudut pandang pikiran, yang disebut 'frames'.
Frames (kerangka-kerangka atau bingkai-bingkai) merupakan struktur mental yang membentuk cara kita memandang dunia. Sebagai hasilnya, hal-hal tersebut membentuk tujuan yang kita cari, rencana yang kita buat, cara kita bertindak, dan apa yang dipandang sebagai hasil baik atau buruk dari tindakan kita.
Dirimu tak dapat melihat atau mendengar frames. Hal tersebut merupakan bagian dari apa yang oleh para ilmuwan kognitif kita sebut sebagai the cognitive unconscious—struktur dalam otak kita yang tak dapat kita akses secara sadar, namun kita dapat mengetahui konsekuensinya. Apa yang kita sebut 'masuk-akal' terdiri dari kesimpulan-kesimpulan yang tak disadari, otomatis, dan tanpa usaha yang mengikuti kerangka bawah sadar kita. Kita juga mengetahui kerangka melalui bahasa. Seluruh kata dinyatakan relatif terhadap kerangka konseptual. Saat dikau mendengar sebuah kata, kerangkanya diaktifkan di otak kita. Yes, di otak kita, bahkan ketika kita menegasikan sebuah bingkai, kita mengaktifkan bingkai tersebut. Jika seseorang berkata, 'Jangan mikirin gajah!', dirimu bakal ngebayangin gajah. Meniadakan suatu bingkai, tak hanya akan mengaktifkan bingkai tersebut, namun semakin sering diaktifkan, semakin kuat pula bingkai tersebut. Pesan moral dari wacana politik jelas: Tatkala engkau berdebat melawan lawan bicara, dengan menggunakan bahasa dan kerangka mereka, dirimu mengaktifkan kerangka mereka, memperkuat kerangka mereka pada orang-orang yang mendengarkanmu, dan melemahkan pandanganmu sendiri. Bagi kaum progresif, hal ini bermakna menghindari penggunaan bahasa konservatif dan kerangka yang diaktifkan oleh bahasa tersebut. Artinya, engkau seyogyanya mengatakan apa yang dirimu yakini menggunakan bahasamu, bukan bahasa mereka.
Dalam politik, frames kita membentuk 'social policies' dan institusi yang kita bentuk guna menjalankan kebijakan. Mengubah kerangka kita, bermakna mengubah semua ini, perubahan sosial itu, reframing. Bila kita sukses mereframing wacana publik, kita mengubah cara masyarakat memandang dunia. Kita mengubah apa yang dianggap sebagai 'masuk-akal'. Karena bahasa mengaktifkan frames, bahasa baru diperlukan untuk 'new frames'. 'Thinking differently requires speaking differently.'
Reframing tidaklah mudah atau sederhana. Ia bukan soal menemukan magic words. Frames itu, gagasan, bukan slogan. Reframing lebih merupakan persoalan mengakses apa yang kita dan orang lain yang berpikiran sama, telah meyakini secara tak sadar, menjadikannya sadar, dan mengulanginya hingga masuk ke dalam wacana publik yang normal. Ia merupakan proses yang berkelanjutan. Ia membutuhkan pengulangan, fokus, dan dedikasi.
Guna mencapai social change, reframing memerlukan perubahan wacana publik, dan ia memerlukan sistem komunikasi. Reframing tanpa sistem komunikasi, takkan menghasilkan apa-apa. Reframing itu, tentang kejujuran dan integritas. Ia kebalikan dari 'pemelesetan' dan manipulasi. Ia tentang menyadarkan keyakinan terdalam dan cara pemahaman kita. Ia tentang belajar mengungkapkan apa yang benar-benar kita yakini dengan cara yang memungkinkan mereka yang berkeyakinan sama, memahami apa yang paling mereka yakini dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut.

Framing juga tentang memahami pihak yang paling tak kita sepakati. Ketika seorang pemimpin politik mengajukan sebuah kebijakan atau menyarankan bagaimana kita semestinya bertindak, asumsi implisitnya bahwa kebijakan atau tindakan tersebut benar, bukan salah. Tiada pemimpin politik yang berkata, 'Ini yang harus kalian kerjakan. Kerjakan karena itu salah—memang jahat, tapi kerjakan saja.' Tiada pemimpin politik yang mengambil kebijakan dengan alasan bahwa kebijakan tersebut gak penting. Resep politik dianggap benar. Masalahnya, setiap pemimpin politik mempunyai gagasan berbeda mengenai apa yang benar. Maka, semua politik bersifat moral, namun tak semua orang punya pandangan yang sama mengenai moralitas. Terlebih lagi, sebagian besar keyakinan moral tak disadari. Kita bahkan seringkali tak menyadari pandangan moral yang terdalam di dalam diri kita. Amatlah vital—bagi kita, bagi negara kita—memahami nilai-nilai yang mendasari negara ini didirikan. Pancasila bukanlah sekedar slogan 'asal bapak senang', melainkan memahami 'values' yang terkandung didalamnya. Jika kita ingin mempertahankan demokrasi, kita hendaknya belajar mengartikulasikan 'values' tersebut, dengan lantang dan jelas.

Debat pun demikian, ia juga punya 'value', menurut Jon M. Ericson, James J. Murphy, dan Raymond Bud Zeuschner, manfaat debat bagi dirimu, sama persis dengan keutamaan seorang debater yang ideal: pertama, kemampuan mengumpulkan dan mengorganisasikan gagasan. Seorang pembicara debat yang sukses adalah orang yang dapat menyerap sejumlah besar materi dan memilah materi-materi yang terbaik untuk digunakan dalam debat tertentu.
Kedua, kemampuan mensubordinasikan ide. Seorang debater akan mendengar sekitar empat ribu limaratus hingga lima ribu kata dari lawannya, selama satu putaran debat. Bersama rekannya, debater ini akan menyampaikan tambahan empat ribu lima ratus hingga lima ribu kata. Hanya dengan memilah gagasan-gagasan besar dari gagasan-gagasan kecil, seorang pembicara berharap dapat memahami banjir kata-kata ini.
Ketiga, kemampuan mengevaluasi bukti. Keterampilan dalam mengumpulkan bukti-bukti yang sangat penting, merupakan ciri seorang pembicara yang cerdas. Tak perlu setiap pernyataan, kutipan, statistik, atau gagasan dalam debat, dibantah.
Keempat, kemampuan melihat hubungan logis. Aristoteles pernah mengatakan bahwa kemampuan melihat persamaan di antara hal-hal yang berbeda merupakan tanda kejeniusan. Banyaknya data yang disajikan pada sebagian besar perdebatan, menyebabkan keraguan di kalangan pendengar; oleh karenanya, pembicara yang dapat mengidentifikasi hubungan antar pembahasan, membantu memperjelas perdebatan bagi audiens, dan dengan demikian, meningkatkan peluang keberhasilan mereka sendiri.
Kelima, kemampuan berpikir dan berbicara secara garis besar. Kejelasan sangat penting dalam sebuah debat (dan dalam hal ini, komunikasi yang baik), dimana benturan gagasan, acapkali membingungkan audiens. Para debater tak semata harus punya gambaran mental yang jelas dan sempurna mengenai keseluruhan pembahasan mereka, namun pula, kemampuan mengkomunikasikan maksud dari garis besar tersebut kepada hadirin.
Keenam, kemampuan berbicara secara meyakinkan. Kesadaran akan apa yang diharapkan oleh audiens—apa yang diperlukan untuk meyakinkan audiens tertentu—merupakan hal yang amat penting, baik dalam debat maupun dalam jenis pembicaraan lainnya.
Ketujuh, kemampuan beradaptasi. Karena perdebatan merupakan keadaan yang cair, terus berubah seiring dengan diperkenalkannya ide-ide baru oleh beragam pembicara, maka kesiapan memberikan jawaban, sangat diutamakan. Dalam praktiknya, kesiapan ini bermakna bahwa engkau tak semata harus terorganisir dengan baik, logis, analitis, dan meyakinkan, tapi juga, mampu bereaksi terhadap ide-ide baru dengan cepat.

Debat itu, alat untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dan menyatukan kita sebagai sebuah masyarakat. Debat itu, keterampilan yang amat penting, yang dapat membantu membangun kepercayaan-diri, melatih seseorang agar berpikir cepat, dan menjadi pendukung kuat atas apa yang mereka yakini, kata Jarrod Atchison. Debat itu, aktivitas kompetitif, namun merupakan pula cara belajar, bertukar ide, dan memahami sudut pandang orang lain. Pemahaman ini memberikan dasar guna membuat pilihan yang lebih baik.
Pentingnya perbedaan antara argumentasi dan debat menjadi jelas dalam konteks debat sebagai metode pengambilan keputusan. Bayangin coba, di saat ada gonjang-ganjing, seorang pemimpin harus mengambil keputusan dengan cepat dalam waktu yang singkat. Akan sangat riskan bila pemimpin tersebut, menunda keputusannya cuma karena bergantung pada konsultan, kemudian berdiskusi sambil ngopi-ngopi. Tentu, kita gak pingin punya seorang pemimpin yang, alih-alih plonga-plongo, tapi juga 'telmi' alias telat-mikir. 
Omon-omon, daku diberi cukup waktu buat omon-omon, so, kita terusin omon-omon kita, di omon-omon selanjutnya yaq. Bi 'idznillah."

Maka, setelah omon-omon, bunga matahari tarik-suara,

Ih abang jahat, aku tuh cinta berat
Sini dong dekat-dekat, ku pegang erat-erat *)
Kutipan & Rujukan:
- George Lakoff, Don't Think of an Elephant: Know Your Values and Frame the Debate, 2014, Chelsea Green Publishing
- Jon M. Ericson, James J. Murphy & Raymond Bud Zeuschner, The Debater's Guide, 2003, Southern Illinois University Press
- John Meany & Kate Shuster, Art, Argument and Advocacy: Mastering Parliamentary Debate, 2002, International Debate Education Association
- Jarrod Atchison, The Art of Debate, 2017, The Great Course
*) "Ih Abang Jahat" karya Ecko Show