Rabu, 17 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (8)

"Pernah kejadian, seorang lelaki menemui seorang dokter. Ada timun di hidungnya, wortel di kuping kirinya, dan pisang di telinga kanannya. 'Ada apa dengan saya ya dok, apa sa mengalami sakit berat?' tanyanya dengan sendu pada sang dokter ayu.
'Enggaak, bapak baik-baik aja kok,' jawab dokternya, 'cumaan, cara makannya aja yang kurang bener.'"

"Mengapa hampir semua orang menyukai komedi, demikian pula dengan para komedika dan komika?" ucap bunga matahari sambil memperhatikan 'Laskar Rakyat Mengatur Siasat', sebuah karya hasil sapuan jemari seorang perupa ekspresionis, Affandi. "Pertama, sedikit banyaknya, komedi mengajak kita bernalar ringan dengan tertawa, menertawakan ucapan dan tingkah lucu para komedika, atau ngakak nertawain diri kita sendiri oleh lontaran-lontaran humor para komika, walau mereka sendiri, mesem doank atau malah nampak serius banget.
Orang terkadang menangis saat menonton film, namun tak sesering yang diinginkan produser dan sutradara. Dan jika filmnya berlebihan, seketika menjadi murahan dan kebanyakan permen. Guyonan dalam film acapkali tak sukses, dan bahkan film horor cenderung mengandalkan 'jumpscare' ('lonjakan ketakutan' atau 'kejutan', teknik yang digunakan untuk membuat takut penonton dengan cara mengagetkan semisal suara atau kilatan cahaya yang tiba-tiba) dibanding horor yang sebenarnya. Akan tetapi, komedika, naik ke pentas dan membuat orang tergelak dan terbahak-bahak selama satu jam tanpa henti, yang dapat dikata, salah satu 'the strongest emotions of all'.
Kedua, seni komedi dapat hidup di negara-negara yang, baik di era monarki lawas, otokrasi, maupun demokrasi, namun pada dua yang disebutkan pertama, hanya di kalangan terbatas, sedangkan pada yang disebutkan terakhir, komedi bersama dunia seni lainnya semisal seni teater, seni musik, seni rupa, seni sastra, seni kuliner, bahkan budaya pop atau pop culture, dapat menjadi stimulan, karena mereka punya 'kerajaan' sendiri, sehingga bisa menjadi agen independen untuk menggugah semangat setiap warga agar merasa menjadi bagian dari sebuah masyarakat demokratis. 
Kita semua perlu tertawa, tertawa itu, universal, dan banyak peristiwa berbeda yang bisa mewujudkannya. Selain tertawa dan bercanda, baik bagi pemain maupun penonton teater, komedi hadir sebagai bentuk atau struktur naratif. Pada dasarnya, ada pola, langkah, dan aturan yang cenderung diikuti oleh bahkan para komedika kondang—mereka telah menguasainya dan bisa memainkan setiap jenis variasi secara naluriah. Penyair komika terlalu kuat bila tak menarik perhatian para pemimpin politik: akibat tawa yang disebabkan oleh karikatur satire di atas panggung, tentu sulit diabaikan dalam masyarakat yang mengutamakan kehormatan pribadi. Dan para penyair komika, sangat berperan dalam arus sastra dan intelektual, yang menaungi dan memberi informasi kepada kalangan politisi, agar tak terlibat dalam politik. Aristophanes dan Shakespeare berhasil melakukannya. Satu-satunya bukti tekstual yang utuh dari komedi abad kelima dan awal abad keempat adalah sebelas komedi yang sepenuhnya dipelihara, karya Aristophanes, yang kemungkinan besar lahir setelah tahun 450 SM dan meninggal setelah tahun 388 SM. Komedi-komedi utama Shakespeare ditulis pada masa subur sejarah budaya Inggris: tahun 1590-an. Teater publik profesional berkembang pesat; London menjadi tempat berkumpulnya masyarakat segala kelas; buku cetak menjadi murah dan populer; perbincangan artistik dan filosofis merupakan hal yang populer, begitu pula gosip, cerita para pelancong, dan kisah-kisah tentang kehidupan bawah tanah kota yang padat.

Komedi itu, kebenaran dan rasa-sakit, kata John Vorhaus. Saat seorang badut tertampar kue di wajahnya, itulah kebenaran dan 'sakitnya tuh, di sini'; dan itu pula yang membuat sebuah lawakan terlontarkan. Dikau merasa, badut malang itu, berlumuran puding, dan dirimu tersadar bahwa selama ini, bisa terjadi padamu.
Komedi dapat memberi kita kepastian tentang posisi kita. 'A shared joke is a shared world'. Namun naluri komedi juga mengundang kita memikirkan dunia baru, dan seringkali berkata dengan fasih kepada mereka yang hendak mencoba beragam hal. Imajinasi komika acapkali berkisar pada gagasan asal usulnya, tetapi permulaan komedi itu sendiri, sulit dijabarkan pada lokasi tertentu. Akar etimologis dari kata tersebut mengisyaratkan asal usul bentuk yang tak jelas. Ada yang berpendapat bahwa kata komedi adalah kome (‘daerah pedalaman’), namun kemungkinan besar berasal dari kata komos, sebuah kata kompleks yang paling baik diterjemahkan oleh Kenneth Dover: ‘prosesi yang berisik, membahagiakan, dan memabukkan’. Kemudian ditambahkan akhiran ody (‘lagu’), dan muncullah gambar sekelompok orang yang sedang mabuk-mabukan membuat lagu dan menari tentang beragam hal. Definisi komedi Aristotelian yang rapi—'peniruan sebuah atraksi yang lucu'. Namun komedi tak selalu menjadi bahan tertawaan. Dunia itu, komedi bagi mereka yang memikirkannya, dan tragedi bagi mereka yang merasakannya, kata Horace Walpole. Komedi itu, kehidupan yang dilihat dari kejauhan; tragedi itu, kehidupan dari jarak dekat, kata Charlie Chaplin; Tragedi itu, ketika jari kelingkingku terpotong. Komedi itu, saat dikau jatuh ke dalam lubang selokan dan mati, kata Mel Brooks. Semua orang menyukai komedi sebagai perspektif yang terpisah, namun sejak dahulu, saat komedi dan tragedi dirasakan, bukanlah hal yang bertolak belakang. Simposium Plato ditutup dengan Socrates yang meminta dua contoh mode saingannya (Aristophanes dan Agathon) mengakui bahwa 'kejeniusan komedi sama dengan kejeniusan tragedi, dan bahwa seniman sejati dalam tragedi itu, juga seniman komedi.

Terlepas dari komedi, salah satu seni musik yang menghadirkan tragedi, humor atau gabungan keduanya adalah Dangdut Indonesia. Dinamakan secara onomatopoeik lantaran karakteristik suara gendangnya, 'dang' dan 'dut', musik ini terdengar di jalan-jalan dan rumah-rumah, taman umum dan gang-gang sempit, toko-toko dan restoran, dan segala bentuk transportasi umum. Di setiap hajatan, resepsi pernikahan, bar, dan klub karaoke, orang Indonesia bernyanyi. Mereka menari. Di mana pun, di sana dan di mari.
Dangdut lahir di Indonesia sebagai salah satu genre musik populer tradisional hasil perpaduan musik film India dengan musik Melayu dan rock'n roll ala Barat. Perpaduan gaya musik ini, pertama kali digunakan di Jakarta sekitar akhir tahun 1960an. Sebagai salah satu bentuk budaya populer di awal tahun 1970-an, dangdut dikomersialkan pada tahun 1980-an, kampanye politik, terkadang tontonan tari yang erotis, dan perhelatan komunal sehari-hari—inilah situs-situs dimana dangdut membingkai makna tentang hubungan kelas dan milik nasional. Berakar pada musik populer perkotaan Indonesia pasca-kolonial, dangdut merupakan situs istimewa untuk menceritakan kisah-kisah tentang negara-bangsa modern Indonesia. Memang benar, dangdut akan selalu identik dengan tarian. Berbeda dengan jenis musik populer lainnya, dangdut ‘mengajak’ orang menari. Daya tarik dangdut terletak pada kenyataan bahwa seseorang tak perlu latihan khusus untuk turut-serta. 'Goyang Mang!' merupakan respon yang lumrah ketika orang Indonesia membicarakan dangdut. Goyang secara sederhana bermakna 'gerak', namun dalam dangdut, merujuk pada gerakan pinggul, pinggang, dan bokong yang berbuncang. Goyang bukan sekadar gerak tubuh, melainkan reaksi ‘alami’ dan ‘tanpa sadar’ pada irama gendang khas dangdut.

Sama seperti komedi dan genre seni lainnya, Dangdut punya ‘Kerajaan’-nya sendiri. Pada pertengahan hingga akhir tahun 1970-an, popularitas genre ini meningkat pesat, begitu pula jumlah penyanyi dan corak 'spin-off'-nya.
Lirik lagu-lagu hits dangdut tahun 1980an, banyak yang mengungkapkan sentimen tragedi (derita; sengsara; merana). Dalam lagu-lagu ini, tragedi datang dalam aneka bentuk: putus-cinta, kesulitan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan keadaan sosial yang kejam dalam kehidupan modern sehari-hari.
Dalam dangdut, lirik gak penting, tapi bagaimana lagu-lagunya diinterpretasikan, akan mendapat perhatian. Terkadang merangkaikan tragedi dan humor, semisal 'Pak Hakim dan Pak Jaksa, kapan saya akan di sidang'; 'Ku jarang dibelai' disingkat Jablai, 'Lebih baik sakit hati daripada sakit gigi', dan masih banyak lagi yang menjadi perbincangan ikonik dalam seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Tetembang dangdut mengartikulasikan pengakuan masyarakat akan ketidakberdayaan, menyulih situasi kehidupan nyata, namun tanggapannya bersifat ideal dan terbuka akan penafsiran.

Kehidupan Indonesia modern tahun 1980an penuh kontradiksi. Ideologi negara Pancasila, yang menekankan demokrasi dan keadilan sosial, dikemas ulang sebagai kesetiaan kepada presiden, di atas segalanya. Ibarat permukaan danau yang tenang, di kedalamannya, terdapat arus yang kuat. Hidup penuh ketakutan, sampai-sampai bila hendak menyebut nama seorang pejabat sipil atau tentara berpangkat tinggi, harus menggunakan 'inisial', yang lanjut terbawa hingga kini. Sapaan akrab para founding parents Indonesia, 'Bung' atau 'Bang', hanya dipakai kaum oposisi, kampanye politik atau dalam nyanyian-nyanyian patriotik, selebihnya, 'menurut petunjuk Bapak Presiden'.
Dalam keadaan seperti ini, dapat dipahami jika masyarakat 'gak mau ambil pusing' atau 'mengalihkan perhatian'. Daripada 'mikirin hutang numpuk segudang, mendingan kita happy-happy'. Setidaknya, dengan menikmati malam yang menyenangkan, orang bisa 'buang masalah jauh-jauh'. Namun, mekanisme kenikmatan yang meredakan penderitaan masyarakat, tak cukup menjelaskan jenis makna yang muncul dalam kidung di era itu. Dangdut membuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran, bukan menutupnya begitu saja. Dangdut tak memberikan jawaban atas permasalahan tersebut. Sebaliknya, ia mendorong batas-batas dari apa yang diperbolehkan untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan yang lebih jauh.

Kondisi memunculkan gerakan, dan dangdut menampilkan ‘goyangan’. 'Dangdut Nation brings the 'happiness' of dangdut'. Status sosial dangdut perlahan terangkat oleh popularitasnya kala itu di kalangan 'birokrat, dari menteri hingga wakil gubernur—dan kemungkinan besar banyak lainnya. Menjelang pemilu nasional pada tahun 1992, pejabat tinggi pemerintah dan militer menyatakan dangdut sebagai musik nasional Indonesia.
Gagasan bahwa dangdut mewakili seluruh masyarakat Indonesia, ditambah dengan popularitasnya yang sangat besar, merupakan sebuah cerita umum yang dikisahkan seperti ini: dinyanyikan dengan lirik yang dapat dimengerti oleh hampir semua orang Indonesia, mengungkapkan perasaan yang dapat dirasakan oleh semua orang, dan dengan irama yang dapat membuat semua orang bergoyang. Wajar jika dangdut menjadi ikon bangsa. Hasilnya, representasi dan makna dangdut berubah dari musik masyarakat awam yang menduduki lapisan bawah sistem sosial dan politik, menjadi genre yang dipopulerkan sebagai musik nasional pada tahun 1990-an. Dangdut yang digemari sebagian besar masyarakat Indonesia, merupakan bidang yang diistimewakan untuk menciptakan identifikasi dengan cita-cita dan nilai-nilai budaya bangsa.
Namun bagi sebagian besar penggemar dangdut, nilai dan makna dangdut tak berubah. Penggemar sudah tahu betul kalau dangdut itu musik mereka. Liriknya terbuka bagi beragam penafsiran, kostumnya bercorak dan mencolok, gaya pertunjukannya campy dan erotis, dan gaya musiknya yang beraneka.

Namun seiring waktu, gambaran dan cerita terkait dangdut semakin tersingkir dari keseharian sebagian besar masyarakat. Dangdut harus menghilangkan citranya sebagai 'ndeso': 'gak bisa dianggap ndeso lagi, lantaran sudah go internasional'. Tak lagi puas dengan keadaannya, dangdut pun terus bergoyang. Gambar dan cerita tentang kehidupan glamor para selebriti dangdut membanjiri pasar tabloid. Para bintang diunjukkan tampil di studio televisi yang gemerlap atau di panggung konser spektakuler; mengenakan jeans dan pakaian olahraga di rumah menikmati waktu senggang bersama keluarga; atau mengendarai mobil mahal, mengenakan pakaian bermerek, dan duduk di kafe bersama sesama selebriti. Sponsor mengalir dari perusahaan rokok dan obat-obatan (misalnya obat pusing dan sakit kepala).
Citra, nilai, dan makna bangsa seperti apa yang dihadirkan kepada masyarakat dangdut pada periode tersebut? Departemen Penerangan melalui stasiun televisi nasional TVRI menerapkan kontrol ketat terhadap apa yang boleh ditayangkan di televisi. Lagu-lagu tersebut dilarang karena diduga menimbulkan citra buruk Indonesia, termasuk 'Gadis atau Janda?' dan 'Jagung Bakar', yang keduanya tak boleh tayang di TVRI pada awal tahun 1992. Sensor lagu-lagu dangdut didasarkan pada lirik dan gambar visual yang dianggap tak bermoral atau kritis terhadap rezim Orba. Namun pedoman pengendalian konten tak disebutkan dengan jelas. Di masa itu, pembredelan, di masa kini, penyanderaan.
Meski demikian, tak semua citra dangdut seburuk itu, penyanyi dangdut belakangan ini, membawa tema humor.

Di era Orba, Kebudayaan digunakan bagi tujuan politik guna menggalakkan gagasan 'Bhinneka Tunggal Ika'. Representasi simbolis dari budaya-budaya yang teratomisasi, dikonstruksi dan ditampilkan di televisi nasional, dalam wacana politik nasional, dan di perhelatan nasional. Namun, dalam representasi perbedaan multikultural ini, semua orang pada akhirnya terlihat sama. Ketimpangan sosial berdasarkan perbedaan etnis, ras, kelas, dan gender, dikesampingkan demi homogenitas nasional. Sejarah berulang, akhir-akhir ini, muncul pulak orang-orang dungu, yang mengusulkan gagasan untuk menghapus perbedaan demi harga mati keseragaman.
Pasca lengsernya Pak Harto, muncullah tren dangdut pada tahun 2006, 'dangdut etnik' yang bernuansa etnis Indonesia. Tembang yang menggunakan tangga nada, melodi, ritme, dan instrumen berasal dari musik yang terkait dengan salah satu dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia. Dangdut etnik memenuhi belantika musik lokal di berbagai pelosok tanah air. Ditembangkan dalam bahasa daerah dan dipasarkan kepada komunitas etnis tertentu, spin-off dangdut berkembang antara lain di Sumatera Barat (Minang saluang dangdut), Jawa Barat (Sunda pong-dut), Cirebon (tarling Cirebon), Jawa Timur (dangdut koplo Jawa), dan Banjarmasin (dangdut Banjar). Pada tahun 2007, 'dangdut berbahasa daerah' bahkan memperoleh kategori penghargaan tersendiri di Anugerah Musik Indonesia (AMI) tahunan. Dangdut, yang awalnya diasosiasikan dengan Melayu dan India pada tahun 1970an, dan kemudian tak lagi menjadi nasional pada tahun 1980an dan 1990an, telah berkembang menjadi sesuatu yang bersifat 'etnik' dan 'regional' pada tahun 2000an.

Dangdut banyak melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru, mulai dari ‘Mendadak Dangdut’, ‘Goyang Dombret’, ‘Jatuh Bangun’, ‘Dangdut Heboh’, ‘Dangdut Seksi’, hingga ‘Jablai’. Contoh-contoh ini penting bagi sejarah dangdut. Pandangan bahwa dangdut mungkin berakar pada  unsur-unsur dari India dan Barat, it's perfectly okay, yang terpenting, bentuk, terapan, dan maknanya, dikreasikan oleh orang Indonesia.

Rupanya, daku terlalu banyak ngomong tentang dangdut, sehingga diriku mulai melupakan topik komedi kita. Anyway, penjelasan utama dari lelucon itu, selalu berada di tengah-tengah hubungan antara para komedika dan inti komedi mereka."

Seperti sebelumnya, pada jeda episode berikutnya, bunga matahari membawakan senandung Barbra Streisand,

Memories may be beautiful
[Kenangan mungkin indah]
and yet what's too painful to remember
[namun betapa amat pedih bila diingat]
We simply choose to forget
[Kita hanya memilih lupa]
So, it's the laughter we will remember
[Maka, tawa itulah akan kita ingat]
Whenever we remember
[Kapan pun kita teringat]
The way we were *)
[Apa adanya kita dulu]
Kutipan & Rujukan:
- Matthew Bevis, Comedy: A Very Short Introduction, 2013, Oxford University Press
- Keith Sidwell, Aristhopanes the Democrat: The Politics of Satirical Comedy during the Peloponnesian War, 2009, Cambridge University Press
- Christie Davies, Jokes and their Relation to Society, 1998, Mouton de Gruyter
- Andrew N. Weintraub, Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music, 2010, Oxford University Press
- Penny Gay, The Cambridge Introduction to Shakespeare’s Comedies, 2008, Cambridge University Press
*) "The Way We Were" karya Alan Bergman, Marilyn Bergman, Marvin Hamlisch