Jumat, 08 November 2024

Konsep Barokah (2)

Saat malam semakin larut, para tanaman melanjutkan percakapan mereka, suara mereka menenun jalinan kearifan dan inspirasi. Mereka berbicara tentang pentingnya kesabaran, ketekunan, dan kepercayaan pada rencana Ilahi. Dan mereka bercakap tentang 'Barokah', percikan dalam diri kita, yang menunggu disulut.
Mawar kemudian berkisah, "Seorang Muslimah muda, Aisya, memulai ibadah haji pertamanya ke Mekkah. Saat ia melintasi tempat-tempat suci, rasa kagum menyelimuti dirinya. Ka'bah, Rumah Allah, berdiri megah, simbol kesatuan Ilahi. Ia menyentuh kain hitamnya, Kiswah, merasakan ikatan yang mendalam. Di tempat suci ini, ia merasakan rasa Barokah yang nyata, kehadiran Ilahi yang menyelubunginya.
Aisya teringat kata-kata kakeknya, yang sering berbicara tentang keberkahan yang dikaitkan dengan Rasulullah tercinta (ﷺ). Kakeknya mengisahkan para Sahabat (رضي الله عنهم), kehidupan mereka berubah oleh berkah Ilahi yang menyertai Rasulullah (ﷺ). Aisya merasakan kerinduan yang mendalam meneladani keimanan mereka dan mencari keberkahan Rasulullah (ﷺ). Barokah, terma yang berakar kuat dalam teologi Islam, menandakan berkah atau kebaikan Ilahi yang dianugerahkan kepada individu, tempat, atau objek. Inilah konsep yang melampaui sekadar materi, yang mewujudkan hubungan spiritual dengan Sang Ilahi.

Dikala Aisya melanjutkan perjalanannya, ia bertemu dengan banyak jamaah dari berbagai latarbelakang. Ia menyaksikan pengalaman bersama mereka tentang sukacita, rasa syukur, dan pembaruan spiritual. Menjadi jelas bahwa Barokah tak sebatas pada tempat-tempat suci saja. Barokah dapat ditemukan dalam tindakan pengabdian yang sederhana, persahabatan sesama umat beriman, dan keindahan alam.
Aisya merenungkan ajaran Imam al-Ghazali, seorang ulama Sunni terkemuka. Dalam bukunya, "Ihya Ulumuddin" (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), al-Ghazali membahas pentingnya mencari Barokah dalam segala aspek kehidupan. Ia menekankan peran niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah dalam menarik berkah Ilahi. Al-Ghazali, dalam karya-karyanya, menempatkan penekanan pentingnya niat (niyyah), ketulusan (ikhlas), dan ketergantungan pada Allah (tawakal) sebagai prinsip inti guna menarik berkah Ilahi dan memastikan kesuksesan spiritual.
Al-Ghazali menegaskan bahwa niat yang bersih sangat penting agar setiap perbuatan diterima oleh Allah dan mendatangkan keberkahan. Ia menekankan bahwa tindakan tanpa niat yang jelas dan benar adalah hampa nilainya. Dalam Ihya Ulumuddin, ia menjelaskan bahwa seseorang hendaknya memeriksa motifnya, berusaha menyelaraskan niatnya semata-mata dengan keridhaan Allah, bukan keuntungan atau pengakuan duniawi. Fokus pada niat ini memastikan bahwa bahkan kegiatan rutin, seperti bekerja atau belajar, menjadi tindakan ibadah jika dilakukan karena Allah, sehingga mendatangkan berkah.
Bagi Al-Ghazali, ketulusan niat merupakan landasan hubungan sejati dengan Allah dan landasan yang di atasnya semua tindakan hendaknya dilakukan. Ketulusan bermakna melakukan perbuatan murni karena Allah, tanpa mencari pujian, pahala, atau keuntungan duniawi yang tersembunyi. Al-Ghazali memperingatkan terhadap bentuk-bentuk ketidaktulusan yang subtil, semisal meminta persetujuan dari orang lain, yang disebutnya sebagai "syirik tersembunyi." Ia berpendapat bahwa hanya melalui ketulusan sejati seseorang dapat menarik berkah ilahi karena Allah menerima perbuatan yang dilakukan dengan hati yang bersih dan pengabdian yang murni.
Tawakal merupakan komponen penting lainnya dalam pendekatan Al-Ghazali untuk menarik berkah. Dalam pandangan Al-Ghazali, tawakal yang sejati bemakna percaya bahwa semata Allah-lah Yang mengendalikan seluruh hasil dan bahwa usaha seseorang hanyalah sarana. Ia mengajarkan bahwa seorang mukmin hemdkanya bertindak dengan tawakal kepada Allah, mengetahui bahwa, pada akhirnya, keberhasilan dan berkah datang dari-Nya saja. Kepercayaan penuh pada Allah ini menumbuhkan rasa damai dan keyakinan, mengurangi kecemasan atas masalah duniawi dan mengundang berkah, karena Allah mencintai mereka yang bergantung penuh kepada-Nya.
Al-Ghazali menggabungkan ketiga unsur ini—niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah—sebagai formula yang ampuh menerima karunia Allah. Tatkala seseorang bertindak dengan niat yang suci, terbebas dari keinginan duniawi, melakukan perbuatannya dengan ketulusan, dan behasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, ia menyelaraskan diri secara spiritual dengan kehendak Ilahi. Keselarasan ini menarik berkah Allah dan mengubah walau tindakan kecil menjadi sumber pahala dan manfaat yang sangat besar.

Dalam tafsirnya tentang Empat Puluh Hadits Imam Nawawi, Jami’ al-Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab menegaskan bahwa niat yang baik sangat penting bagi keabsahan dan pahala dari setiap tindakan. Ia menjelaskan bahwa niat mengubah tindakan duniawi menjadi tindakan ibadah jika dilakukan karena keridhaan Allah. Ia menekankan bahwa niat hendaknya terus-menerus diperiksa guna memastikan bahwa niat tersebut selaras dengan mencari keridhaan Allah, sebab inilah kunci keberhasilan di kedua dunia.
Dalam karya-karyanya, termasuk tafsirnya yang dikenal tentang Sahih Muslim, an-Nawawi menegaskan kembali bahwa setiap tindakan dinilai dari niatnya, dengan merujuk pada hadis, “Tindakan itu berdasarkan niat” (Innamal a’maal bin niyyah). Ia mengajarkan bahwa memiliki niat yang benar tak hanya mendatangkan berkah bagi tindakan, tetapi juga menghindarkan seseorang dari penyimpangan, karena seseorang secara sadar menyadari mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan.

Ibnu Taimiyyah menekankan keikhlasan atau ketulusan sebagai dasar dari semua ibadah, dengan menegaskan bahwa tanpa ikhlas, tiada tindakan yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Dalam Majmu’ al-Fatawa, ia menjelaskan bahwa keikhlasan seharusnya mendorong orang-orang beriman untuk hanya mencari keridhaan Allah, karena bahkan motif-motif tersembunyi seperti reputasi atau kesombongan dapat merusak ibadah. Ibnu Taimiyyah menyoroti bahwa ikhlas sejati mengundang berkah Allah karena hal itu menyelaraskan hati orang beriman hanya kepada-Nya.

Dalam Madarij as-Salikin, Ibnu Qayyim mendedikasikan satu bagian untuk tawakal, dimana ia menggambarkannya sebagai keseimbangan antara mengambil tindakan dan percaya pada kehendak Allah. Ia menekankan bahwa ketergantungan sejati melibatkan pengakuan akan kekuasaan Allah sambil tetap menjalankan tugas seseorang. Ibnu Qayyim mengajarkan bahwa ketergantungan yang seimbang seperti itu mendatangkan pertolongan dan berkah Ilahi karena mencerminkan kerendahan hati dan kepercayaan orang beriman hanya kepada Allah.

Dikenal oleh kegigihan dan keimanannya yang teguh, Imam Ahmad sering menonjolkan tawakal dalam ajarannya. Ia mengajarkan bahwa meskipun perlu berusaha, hati hendaknya tetap fokus kepada Allah semata sebagai pemberi rezeki. Nasihat Imam Ahmad tentang tawakal adalah bahwa tawakal tak hanya mendatangkan kedamaian, melainkan pula membuka pintu keberkahan, karena seseorang belajar melihat setiap hasil sebagai bagian dari hikmah dan rahmat Allah.

Para ulama ini sepakat bahwa niat, ketulusan, dan ketergantungan kepada Allah membangun landasan spiritual yang kuat. Bila dipadukan, prinsip-prinsip ini membersihkan qalbu dari gangguan duniawi, mengarahkan fokus seseorang kepada Allah, dan mendorong pendekatan yang seimbang terhadap upaya spiritual dan duniawi. Mereka menjelaskan bahwa kombinasi ini menarik berkah Ilahi dan membuka jalan bagi keberhasilan spiritual, karena hal ini menyelaraskan tindakan orang beriman dengan kehendak ilahi dan memurnikan jiwa dengan cara yang selaras dengan petunjuk Allah.

Al-Qur'an penuh dengan rujukan tentang Barokah. Dalam Surah al-Baqarah ayat 121, Allah menjanjikan berkah bagi mereka yang beriman dan mengerjakan amal shalih. Dalam Surah al-A'raf, ayat 157, Allah menggambarkan Rasulullah (ﷺ) sebagai rahmat bagi seluruh ciptaan, sumber Barokah bagi umat manusia.

Barokah muncul dalam berbagai bentuk dalam kehidupan orang beriman. Banyak hadis yang menekankan memulai perbuatan dengan "Basmalah" agar mendatangkan berkah. Praktik ini mencerminkan pola pikir bahwa berkah dicari dengan mengakui Allah sebagai sumber segala kebaikan.
Rasulullah (ﷺ) berdoa memohon berkah di pagi hari bagi umatnya. Bekerja di pagi hari dianjurkan agar beroleh berkah, karena waktu tersebut diyakini \penuh dengan berkah yang memungkinkan produktivitas lebih tinggi.
Dengan berokah, sumber daya yang terbatas menjadi cukup atau bahkan berlimpah. Misalnya, sebuah keluarga dapat merasakan kepuasan dan kecukupan dari penghasilan yang pas-pasan. Prinsip ini tercermin dalam hadis yang menyebutkan bahwa keberkahan dalam rezeki seseorang mendatangkan kepuasan dan kebercukupan yang melampaui kekayaan materi.
Barokah dapat membuat tindakan seseorang lebih berdampak. Al-Ghazali menyatakan bahwa barokah memberikan kedalaman spiritual pada tindakan, mengubahnya menjadi bentuk ibadah dan bhakti kepada Allah, meskipun tampak biasa saja. Gagasan ini diperluas ketika ia membahas bagaimana pekerjaan yang dilakukan dengan niat yang tulus menjadi sarana agar terhubung dengan Sang Ilahi.
Qalbu yang dipenuhi berkah akan merasakan ketenangan dan kepuasan. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa "Qalbu itu ibarat cermin," yang memantulkan apa yang menjadi fokusnya. Dengan membersihkan qalbu dari gangguan dan masalah duniawi, seseorang akan membukanya untuk menerima berkah Ilahi.
Melalui barokah, waktu terasa berlimpah. Tugas-tugas diselesaikan secara efisien, dan momen-momen dipenuhi dengan produktivitas yang lebih besar. Efek ini dikaitkan dengan pagi hari, waktu yang diberkahi dengan produktivitas sebagaimana ditunjukkan dalam hadis dan ditekankan dalam tradisi Islam.

Dalam karya-karya modern, seperti The Barakah Effect: More with Less (2018) karya Mohammad Faris, barokah dieksplorasi lebih jauh dalam konteks produktivitas dan fungsinya. Faris berpendapat bahwa produktivitas sejati bukanlah melakukan banyak hal, tetapi berfokus pada tindakan-tindakan yang bermakna dengan tujuan Ilahi. Ia menekankan bahwa ketulusan, rutinitas pagi hari, dan keselarasan dengan tujuan-tujuan spiritual seseorang sangat penting agar mengalami barokah. Karyanya merefleksikan ajaran-ajaran klasik, yang menunjukkan bagaimana barokah dapat terwujud dalam kehidupan modern melalui tindakan-tindakan yang disengaja dan qalbu yang terhubung dengan Allah.
Mohammad Faris mendefinisikan berokah sebagai berkah ilahi yang memungkinkan seseorang meraih lebih banyak dengan sedikit usaha, waktu, dan sumber daya. Ia menggambarkan barokah bukan sekadar peningkatan kuantitas, tetapi sebagai bentuk pengayaan spiritual yang meningkatkan kualitas hidup dan usaha seseorang.
Barokah adalah anugerah Allah, dan tak dapat diukur atau dijelaskan sepenuhnya melalui cara-cara material. Barokah seringkali terwujud dalam cara-cara yang tak dapat dihitung dengan kalkulasi biasa, semisal berproduktivitas yang lebih tinggi dalam waktu yang terbatas, kekayaan yang jauh melampaui apa yang tampak mungkin, atau mencapai hasil yang luar biasa dengan usaha yang minimal.

Faris menempatkan fokus yang penting pada manajemen waktu melalui sudut pandang Islam. Ia berpendapat bahwa barokah memungkinkan individu mencapai lebih banyak hal dalam waktu mereka dengan berfokus pada tugas-tugas yang bermakna dan berorientasi pada tujuan daripada sibuk tanpa hasil. Ia menyoroti pentingnya keseimbangan antara tanggungjawab spiritual dan duniawi. Barokah sejati datang ketika individu hidup selaras dengan iman mereka, memberikan perhatian yang semestinya pada kesejahteraan spiritual, fisik, dan emosional. Faris juga menyinggung konsep barokah dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Ketika orang berkontribusi pada well-being orang lain dan memelihara hubungan, Allah menempatkan barokah dalam upaya kolektif mereka.
Barokah dipandang sebagai unsur penting dalam menjalani kehidupan yang terpenuhi, produktif, dan bermakna, dimana ketergantungan yang lebih sedikit diletakkan pada kelimpahan materi dan lebih banyak fokus diberikan pada keberlimpahan spiritual dan keselarasan dengan prinsip-prinsip Islam. Barokah tak dapat diukur atau dikuantifikasi begitu saja; sebaliknya, ia dialami dengan cara-cara yang subtil namun kuat, semisal merasa lebih damai, mencapai tujuan dengan lebih efektif, atau menemukan bahwa waktu cukup untuk mengakomodasi semua tugas.

Faris menguraikan kerangka kerja "Budaya Barokah", yang merupakan pendekatan holistik dalam menjalani kehidupan yang seimbang, bermakna, dan penuh tujuan. Kerangka kerja tersebut memiliki tiga komponen utama: pola pikir (mindset), nilai-nilai (values), dan tindakan (action). Pertama, jalani hidup dengan pola pikir berkembang yang menghargai niat, rasa syukur, dan tawakal. Faris berpendapat bahwa atribut-atribut ini memungkinkan seseorang agar tetap fokus pada apa yang benar-benar penting dan tetap tangguh dalam menghadapi tantangan hidup. Kedua, mengadopsi nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam dan menekankan kesederhanaan, kepuasan, dan perilaku etis. Dengan memprioritaskan nilai-nilai daripada hasil, Faris menyarankan bahwa orang dapat mencapai berkah yang lebih besar dan, hasilnya, kehidupan yang lebih memuaskan. Mendorong tindakan yang mengundang barokah, seperti tindakan ibadah yang konsisten, disiplin diri, pelayanan kepada orang lain, dan menghindari pemborosan. Faris menekankan tindakan yang bertujuan selaras dengan niat dan nilai-nilai seseorang.
Faris memberikan langkah-langkah praktis untuk menumbuhkan barokah di beberapa area penting. Ia menyarankan memulai hari lebih awal, mengatur waktu dengan istirahat, dan berfokus pada kegiatan yang berdampak tinggi. Ia menyoroti anjuran Rasulullah (ﷺ) agar bekerja di pagi hari, yang dipandang penuh berkah.
Ketimbang hanya mengumpulkan kekayaan, Faris menganjurkan penghasilan yang diperoleh dengan etis, pengeluaran yang penuh kesadaran, dan pemberian sedekah. Ia menjelaskan bahwa harta yang diperoleh secara etis dan dibelanjakan dengan bijak mendatangkan berkah dan seringkali lebih bermanfaat daripada harta yang diperoleh melalui cara-cara yang egoistik atau meragukan.
Berkah dalam kesehatan dicapai melalui perawatan diri, gaya hidup yang seimbang, dan rasa syukur atas physical well-being. Faris menekankan pentingnya melihat kesehatan sebagai amanah dari Allah, merawatnya melalui olahraga yang cukup, pola makan yang tepat, dan menghindari kebiasaan yang merugikan.
Faris menekankan beberapa praktik sehari-hari yang mengundang berkah. Ia menjelaskan bahwa niat hendaknya selaras dengan ridha Allah dan melayani sesama, menjadikan setiap tindakan sebagai sumber berkah yang potensial. Mengungkapkan rasa syukur secara teratur, baik dalam shalat maupun dalam interaksi sehari-hari, mengundang berkah dan melipatgandakan berkah yang sudah ada.
Dengan bersedekah, Faris berpendapat bahwa harta seseorang akan dimurnikan dan diperluas sehingga mendatangkan berkah dan pahala yang tak terduga.
Faris menyajikan strategi untuk mencapai produktivitas disertai tujuannya. Ia menekankan bahwa bekerja dengan barokah perlu memprioritaskan kesehatan dan menghindari dorongan untuk produktivitas tanpa henti. Sebaliknya, Faris menganjurkan pekerjaan yang terfokus, istirahat, dan fleksibilitas. Menetapkan tujuan yang bermakna dan selaras dengan nilai-nilai seseorang, daripada mengejar metrik keberhasilan yang dangkal, mengarah pada kepuasan yang lebih besar dan membuka jalan bagi barakah dalam pekerjaan seseorang. Faris berpendapat bahwa berkontribusi pada well-being orang lain, termasuk keluarga, komunitas, dan masyarakat, mendatangkan barokah karena sejalan dengan tujuan yang lebih besar daripada diri sendiri.
Faris menyajikan barokah sebagai filosofi hidup yang menyentuh setiap aspek kehidupan dan kepemimpinan. Dengan berfokus pada keselarasan antara niat, tindakan, dan kehendak Allah, ia mendorong kita agar menjalani kehidupan yang mengutamakan kualitas, spiritualitas, dan pelayanan daripada materialisme dan persaingan.
Faris menekankan peran keterhubungan dalam menumbuhkan barokah. Ia menyoroti pentingnya ikatan keluarga, hubungan etis, dan dukungan masyarakat. Barokah akan muncul ketika individu memprioritaskan kebutuhan orang lain, entah itu menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga, mendukung teman, atau menjadi relawan di masyarakat.

Puncak dari ibadah haji Aisya adalah perayaan Idul Adha yang penuh suka cita. Saat ia mengikuti shalat berjamaah dan perayaan lainnya, ia merasakan rasa persatuan yang mendalam dengan sesama Muslim. Ia menyadari bahwa Barakah bukan hanya pengalaman individu, melainkan pula pengalaman kolektif. Dengan berbagi iman dan berkah, umat Islam memperkuat komunitas mereka dan berkontribusi pada penyebaran rahmat Ilahi.

Saat Aisya kembali ke rumah, ia membawa serta tujuan baru dan apresiasi yang lebih dalam terhadap konsep Barokah. Ia memahami bahwa itu bukan sekadar berkah yang harus dicari, tapi juga cara hidup, cerminan iman dan pengabdian seseorang kepada Allah."