Jumat, 01 November 2024

Konsep Tawakal (1)

Melati menjawab, "Takwa dan tawakal adalah dua konsep dasar dalam Islam yang saling terkait erat, masing-masing memainkan peran penting dalam kehidupan seorang mukmin. Memahami hubungan keduanya membantu memperjelas bagaimana umat Islam mengarungi iman dan ketergantungan mereka kepada Allah.
Takwa mengacu pada kesadaran yang tinggi terhadap Allah, meliputi keshalihan, rasa takut kepada Allah, dan komitmen menaati perintah-perintah-Nya. Takwa sering digambarkan sebagai keinsafan terhadap Allah dalam segala tindakan, yang mengarah pada perilaku yang benar dan integritas moral. Takwa memotivasi orang beriman menghindari dosa dan berjuang bagi kebaikan, bertindak sebagai tindakan perlindungan terhadap kekeliruan. Tawakal bermakna percaya sepenuh hati kepada Allah, hanya mengandalkan Dia guna bimbingan dan dukungan dalam segala hal. Tawakal mewujudkan menyerahkan urusan seseorang kepada Allah setelah melakukan upaya (ikhtiar) guna mencapai tujuannya. Tawakal mencerminkan keimanan yang mendalam, yang mengakui kendali Allah atas segala aspek kehidupan.

Tawakal, sebuah konsep penting dalam Islam, merujuk pada tindakan menaruh kepercayaan dan ketergantungan penuh kepada Allah. Konsep ini berakar kuat dalam ajaran Islam, yang menekankan pada keimanan dan perbuatan. Terma tawakal (تَوَكُّل) berasal dari kata kerja bahasa Arab tawakkala, yang bermakna "mengandalkan" atau "percaya penuh." Tawakal menandakan keyakinan orang beriman pada rencana Allah dan kemampuan-Nya mengelola urusannya. Tawakal mewujudkan gagasan percaya pada hikmah Allah sambil secara aktif mengupayakan tindakan yang diperlukan guna mencapai tujuan seseorang.
Dalam Islam, tawakal dipandang sebagai aspek penting dari keimanan. Tawakal bukan sekadar ketergantungan pasif, melainkan melibatkan:
  • Keikhlasan: Keyakinan sejati bahwa seluruh manfaat dan mudharat pada akhirnya berada di tangan Allah.
  • Upaya: Berusaha secara aktif memenuhi tanggungjawab seseorang sambil mempercayakan kepada Allah atas hasilnya. Pendekatan ganda ini sering diilustrasikan oleh hadis dimana Rasulullah (ﷺ) menasihati seseorang agar mengikat untanya sebelum mempercayakan sepenuhnya kepada Allah, menekankan bahwa seseorang hendaknya mengambil langkah-langkah praktis di samping keimanannya.
Al-Quran menekankan tawakal dalam berbagai ayat, yang menegaskan pentingnya tawakal:
وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ
"... Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya ...." [QS. At-Talaq (65):3]
Ayat ini menggambarkan bahwa orang yang beriman sejati menunjukkan tawakal sebagai bagian dari keimanannya, memperlihatkan ketergantungan kepada Allah saat menunaikan kewajibannya.
Dalam penerapannya, tawakal menganjurkan umat Islam agar:
  • Mengambil Tindakan Pencegahan: Melakukan tindakan yang diperlukan agar melindungi kepentingannya, seperti bekerja keras untuk mencari nafkah atau mencari pertolongan medis saat sakit.
  • Serahkan Hasilnya kepada Allah: Setelah melakukan yang terbaik, orang beriman hendaknya menyerahkan hasilnya kepada Allah, menerima apa pun yang datang sebagai bagian dari ketetapan-Nya (qadr).
Pendekatan berimbang ini membantu mencegah kesalahpahaman tentang tawakal sebagai angan-angan belaka atau kepasifan. Sebaliknya, ia menekankan keterlibatan aktif dengan kehidupan sambil mempertahankan iman pada kendali utama Allah atas segala hal.

Kisah yang berkaitan dengan Nabi Musa (alaihissalam) dalam Surah Al-Maidah (Surat 5) secara khusus menyoroti episode keraguan dan ketidaktaatan Bani Israel memasuki Baitulmaqdis, yang telah ditetapkan (pada waktu itu, lalu dicabut kembali) Allah bagi mereka. Kisah tersebut diceritakan dalam ayat 20–26 dan berisi pelajaran penting tentang keimanan, kebergantungan kepada Allah, dan konsekuensi dari pembangkangan.
Nabi Musa mengingatkan umatnya tentang berkah Allah, mendorong mereka agar bersyukur dan memenuhi perintah agar masuk ke Baitulmaqdis. Ia menuturkan bagaimana Allah menyelamatkan mereka dari tirani Firaun, membelah Laut Merah bagi mereka, dan mengirimkan mereka petunjuk dan perbekalan.
Nabi Musa menyampaikan perintah Allah kepada Bani Israel agar memasuki Baitulmaqdis, yang dijanjikan kepada mereka. Namun, mereka menunjukkan keraguan dan ketakutan. Mereka mengatakan bahwa orang-orang yang kuat dan menakutkan mendiami negeri itu, membuat mereka enggan masuk.
Di antara orang Israel, dua orang bertakwa, yang diberkahi dengan wawasan dan keberanian, mendesak kaumnya agar beriman. Mereka mendorong orang lain agar memasuki negeri itu, mengingatkan mereka bahwa jika mereka mengandalkan Allah, mereka akan mengatasi rintangan apa pun. Allah berfirman,
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
"Berkatalah dua orang lelaki di antara mereka yang bertakwa, yang keduanya telah diberi nikmat oleh Allah, “Masukilah pintu gerbang negeri itu untuk (menyerang) mereka (penduduk Baitulmaqdis). Jika kamu memasukinya, kamu pasti akan menang [yakni, jika kamu menaati perintah Allah dengan penuh percaya kepada-Nya, niscaya Dia akan memenuhi janji-Nya kepadamu]. Bertawakallah hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang mukmin.” [QS. Al-Ma'idah (5):23]
Meskipun ada dorongan ini, bani Israel menolak perintah itu karena takut dan bahkan mengatakan kepada Musa bahwa mereka takkan masuk selama orang-orang perkasa itu masih ada di sana. Mereka dengan menantang berkata padanya,
يٰمُوْسٰٓى اِنَّا لَنْ نَّدْخُلَهَآ اَبَدًا مَّا دَامُوْا فِيْهَا ۖفَاذْهَبْ اَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَآ اِنَّا هٰهُنَا قٰعِدُوْنَ
"Hai Musa, sesungguhnya kami sampai kapan pun takkan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya. Oleh karena itu, pergilah engkau bersama Rabbmu, lalu berperanglah kalian berdua. Sungguh, kami tetap di sini saja." [QS. Al-Ma'idah (5):24]
Sangat frustrasi dan sedih karena pembangkangan mereka, Musa berdoa kepada Allah, mengungkapkan ketidakberdayaannya atas ketidaktaatan mereka. Ia meminta Allah menghakimi antara dirinya dan orang-orang yang memberontak, karena ia tak lagi mampu membimbing mereka. Sebagai tanggapan atas ketidaktaatan mereka, Allah menetapkan bahwa bani Israel akan mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun, tak dapat memasuki Baitulmaqdis. Hukuman ini berfungsi sebagai konsekuensi atas kurangnya iman mereka dan periode pembaruan bagi generasi mendatang.
Kisah ini sangat terkait dengan konsep tawakal (bergantung kepada Allah), dan hubungan ini terbukti dalam beberapa aspek kisah tersebut. Tawakal melibatkan kepercayaan penuh kepada Allah saat mengambil tindakan yang diperlukan dan percaya pada hikmah dan kekuatan-Nya menghasilkan yang terbaik.
Nabi Musa (alaihissalam) menyerukan kepada bani Israel memasuki Baitulmaqdis, sebuah perintah langsung dari Allah. Meskipun ada tantangan dan ketakutan yang berperan, mereka yakin akan bantuan Ilahi jika mereka bertindak dengan iman. Ini menggambarkan bahwa tawakal bukanlah tentang menghindari upaya atau berdiam diri dalam kepasifan; sebaliknya, tawakal mengharuskan mengambil tindakan, bahkan ketika hasilnya tampak menakutkan. Allah mengharapkan mereka agar percaya kepada-Nya saat mereka secara fisik berangkat, mewujudkan tawakal melalui ketaatan dan usaha.
Dua orang shalih dalam kisah tersebut mencontohkan tawakal sejati dengan mendorong orang-orang agar bertindak dengan berani dan beriman. Seruan mereka agar "bersandar pada Allah" mencerminkan tawakal yang dalam dan penuh keyakinan, dimana mereka percaya bahwa pertolongan Allah terjamin jika bani Israel mengikuti perintah-Nya. Ulama Sunni sering menekankan bahwa tawakal melibatkan keyakinan yang tak tergoyahkan pada pertolongan Allah, bahkan dalam situasi dimana kekuatan manusia saja mungkin tampak tak cukup. Nasihat mereka berfungsi sebagai pengingat bahwa kepercayaan kepada Allah diperkuat melalui perintah-perintah-Nya dan dapat mengatasi rintangan duniawi apa pun.
Penolakan bani Israel memasuki negeri itu karena takut (dan sesungguhnya memang begitulah sifat kaum tegar tengkuk ini: penakut) kepada penduduk yang kuat menunjukkan kurangnya tawakal, yang akhirnya menyebabkan hukuman bagi mereka. Ulama Sunni memandang hal ini sebagai pelajaran bahwa ketidakmauan menaruh kepercayaan kepada Allah, terutama ketika Dia telah memberikan petunjuk yang jelas, tak hanya menyebabkan kerusakan rohani melainkan pula dapat mengakibatkan kesulitan duniawi. Hukuman mereka dengan mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun berfungsi sebagai pengingat bahwa ketidaktaatan dan kurangnya kepercayaan pada hikmah Allah dapat mencegah individu mencapai kesuksesan yang mereka inginkan.
Tanggapan Nabi Musa menonjolkan tawakal. Ia berusaha sekuat tenaga menyemangati umatnya, mengingatkan mereka akan nikmat dan kekuasaan Allah. Ketika ia menghadapi penentangan, ia berdoa kepada Allah, memohon keputusan-Nya, dan menaruh kepercayaannya pada keputusan Allah. Kepasrahan Musa kepada Allah, meskipun ditolak oleh umatnya, merupakan contoh tawakal yang kuat bagi orang-orang beriman. Ulama Sunni mencatat bahwa bentuk ketergantungan ini merupakan penyerahan diri sepenuhnya kepada hikmah Allah, terutama ketika menghadapi tantangan di luar kendali seseorang.

Tawakal berakar pada dua prinsip:
  • Berpasrah diri disertai dengan tindakan: Bergantung pada Allah bukan berarti mengabaikan langkah-langkah praktis. Sebaliknya, orang beriman hendaknya mengambil langkah yang diperlukan lalu memasrahkan kepada Allah atas hasilnya, seperti yang terlihat pada kedua orang beriman yang mendorong bani Israel agar mengambil tindakan
  • Percaya pada Hikmah Allah: Tawakal juga bermakna menerima ketetapan Allah, walaupun tampak terasa sulit. Hukuman yang diterima bani Israel karena kurangnya kepercayaan mereka mencerminkan pentingnya menerima hikmah Allah dalam perintah-perintah-Nya. Tanggapan Musa semakin menegaskan bahwa walaupun menghadapi kekecewaan, kembali memohon petunjuk kepada Allah dan menaruh kepercayaan pada rencana-Nya merupakan hal yang penting.
Kesalahpahaman umum tentang tawakal, seringkali menyebabkan kesalahpahaman tentang konsep penting ini dalam Islam. Berikut ini beberapa kesalahpahaman yang umum terjadi:
1. Tawakal Sama dengan Fatalisme: Kesalahpahaman yang signifikan adalah menyamakan tawakal dengan fatalisme. Sementara tawakal melibatkan kepercayaan aktif dan ketergantungan kepada Allah, fatalisme menyiratkan penerimaan pasif terhadap keadaan tanpa usaha. Tawakal mendorong orang beriman agar mengambil tindakan sambil berpasrah pada rencana akhir Allah, yang kontras dengan gagasan agar pasrah pada takdir tanpa campur tangan apa pun.
2. Tawakal Berarti Tidak Bertindak: Beberapa orang secara keliru percaya bahwa tawakal menganjurkan agar tidak melakukan apa pun dan hanya menunggu hasil. Kenyataannya, tawakal menekankan pentingnya mengambil tindakan yang diperlukan sambil mempercayakan hasilnya kepada Allah. Hadits "Ikat untamu lalu serahkan pada Allah" menggambarkan keseimbangan antara usaha dan ketergantungan ini.
3. Kesalahpahaman tentang Kepercayaan: Banyak yang menyederhanakan tawakal hanya sebagai kepercayaan kepada Allah tanpa menyadari sifatnya yang bernuansa. Tawakal sejati melibatkan pendekatan holistik di mana seseorang menyelaraskan niat dan tindakan mereka dengan keimanan kepada hikmah Allah, mengakui bahwa meskipun mereka harus berusaha, hasil akhirnya ada di tangan Allah.
4. Terlalu menekankan Kendali Ilahi: Sebagian orang mungkin menafsirkan tawakal sebagai melepaskan semua tanggungjawab atas tindakan mereka, meyakini bahwa karena Allah mengendalikan segalanya, maka usaha pribadi tak diperlukan. Perspektif ini melemahkan ajaran Islam bahwa orang beriman hendaknya secara aktif mengejar tujuan mereka sambil mempercayai Allah guna meraih kesuksesan.
5. Kurangnya Pemahaman tentang Kedalaman Spiritualnya: Tawakal terkadang dipandang sebagai konsep dangkal yang tak memiliki kedalaman, yang menyebabkan kesalahpahaman tentang signifikansinya dalam pertumbuhan dan ketahanan spiritual. Tawakal adalah prinsip mendalam yang menumbuhkan kesabaran, rasa syukur, dan penerimaan terhadap ketetapan Allah, yang memperkaya hubungan orang beriman dengan iman mereka.
Dengan mengklarifikasi kesalahpahaman ini, umat Islam dapat lebih menghargai hakikat tawakal yang sebenarnya sebagai prinsip aktif dan dinamis, yang memadukan iman dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.

Singkatnya, tawakal menawarkan banyak manfaat yang meningkatkan emotional well-being dan perkembangan spiritual bagi umat Islam. Dengan menumbuhkan ketenteraman pikiran, ketahanan, ketulusan, dan hubungan yang lebih kuat dengan Allah, tawakal berfungsi sebagai prinsip panduan dalam menghadapi tantangan hidup sambil mempertahankan iman pada hikmah Ilahi.

“Apa beda Tawakal dengan konsep Islam lainnya semisal Tauhid?” tanya Amaryllis lagi.