Rabu, 20 November 2024

Oposisi [#WeTakeAStandWithSaidDiduandTomLembong] (3)

Semar: "Penguatan dan perluasan oposisi di sebuah negara memerlukan langkah-langkah kelembagaan, organisasi, dan kemasyarakatan yang memberdayakan partai dan gerakan oposisi agar tumbuh dalam ukuran, pengaruh, dan efektivitas. Kerangka hukum dan konstitusional yang kuat sangat penting guna memastikan hak oposisi agar beroperasi, bersaing, dan tumbuh. Pihak-pihak oposisi membutuhkan kerangka konstitusional dan hukum yang menjamin hak mereka untuk hidup, beroperasi secara bebas, dan berpartisipasi dalam proses politik tanpa takut akan penindasan.

Robert A. Dahl [Democracy and Its Critics. Yale University Press, 1989] menekankan pentingnya perlindungan kelembagaan untuk memastikan partisipasi oposisi. Dahl menggarisbawahi bahwa perlindungan kelembagaan bukanlah sesuatu yang opsional, tetapi penting bagi berfungsinya demokrasi. Perlindungan ini memberdayakan partai oposisi agar bertindak sebagai pengawas yang efektif, melindungi pluralisme, dan berkontribusi pada stabilitas demokrasi. Dahl berpendapat bahwa partisipasi oposisi memastikan bahwa berbagai kepentingan dan perspektif masyarakat terwakili dalam pengambilan keputusan. Dengan melembagakan perbedaan pendapat, demokrasi dapat lebih baik menahan krisis dan konflik tanpa terjebak ke dalam otoritarianisme.Pippa Norris [Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behavior, Cambridge University Press, 2004] meneliti bagaimana sistem elektoral mempengaruhi representasi partai oposisi dalam kerangka politik. Norris berpendapat bahwa rancangan aturan elektoral secara signifikan mempengaruhi lanskap politik, khususnya representasi pihak oposisi. Ia menyoroti bahwa sistem yang berbeda—seperti representasi mayoritas versus proporsional—mempengaruhi cara partai bersaing dan memperoleh kursi di parlemen. Misalnya, representasi proporsional cenderung memfasilitasi sistem partai yang lebih beragam, yang memungkinkan partai yang lebih kecil atau oposisi memperoleh representasi, sedangkan sistem mayoritas seringkali lebih memihak partai yang lebih besar dan mapan, yang berpotensi meminggirkan suara oposisi.
Norris membahas bagaimana partai yang berkuasa dapat memanipulasi aturan elektoral guna mempertahankan kekuasaannya. Ketika partai oposisi baru muncul dan memperoleh kekuatan, partai yang sudah mapan mungkin beralih dari sistem pluralitas/mayoritas ke sistem perwakilan proporsional untuk menghindari hilangnya dominasi. Sebaliknya, jika partai oposisi lemah, mayoritas yang ada dapat mempertahankan sistem non-proporsional yang semakin memperkuat kekuasaan mereka. Dinamika ini menggambarkan interaksi strategis antara kekuatan partai dan aturan elektoral.
Norris menekankan bahwa kendati aturan pemilu formal membentuk perilaku politik, norma budaya yang mengakar kuat juga memainkan peran penting. Interaksi antara struktur (aturan pemilu) dan budaya (perilaku pemilih dan loyalitas partai) bersifat kompleks; perubahan aturan saja mungkin tak cukup mengubah pola perilaku politik yang mengakar atau meningkatkan representasi oposisi secara efektif.
Norris memberikan data yang menunjukkan bahwa tingkat proporsionalitas elektoral yang lebih tinggi berkorelasi dengan representasi yang lebih besar untuk partai oposisi, dengan demikian mendukung argumennya tentang pentingnya desain elektoral dalam membina keberagaman demokrasi.

Pihak-pihak oposisi hendaknya membangun dukungan yang luas dengan cara berhubungan dengan para pemilih dan memenuhi kebutuhan mereka. Memobilisasi gerakan akar rumput guna membangun kepercayaan, memperluas keanggotaan, dan berfokus pada isu-isu lokal dengan menangani masalah-masalah khusus dari komunitas yang terpinggirkan atau kurang terlayani agar mendapatkan loyalitas mereka.
Saul D. Alinsky [Rules for Radicals: A Practical Primer for Realistic Radicals. Vintage, 1971] memberikan strategi praktis untuk mobilisasi akar rumput dan keterlibatan masyarakat. Alinsky menekankan pentingnya menyatukan individu-individu dengan berbagai keluhan yang sama. Dengan berfokus pada kepentingan bersama, para penyelenggara dapat menumbuhkan solidaritas di antara anggota masyarakat yang beragam, mengubah kelompok-kelompok yang sebelumnya bermusuhan menjadi kekuatan yang kohesif bagi perubahan.
Taktik yang penting ialah mengidentifikasi "musuh bersama," seperti politisi lokal atau perusahaan yang mewakili keluhan masyarakat. Antagonis eksternal ini berfungsi menyatukan kelompok terhadap target yang nyata, menyederhanakan tujuan dan tindakan organisasi. Alinsky meyakini bahwa konflik dapat menjadi alat yang ampuh dalam memobilisasi masyarakat. Dengan menciptakan situasi yang menyoroti ketidakadilan, para penyelenggara dapat meningkatkan kesadaran dan menggerakkan tindakan di antara anggota masyarakat.

Clay Shirky [Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations. Penguin Books, 2008] membahas dampak transformatif media sosial terhadap politik oposisi. Ia berpendapat bahwa platform media sosial telah mengubah dinamika keterlibatan dan aktivisme politik secara mendasar.
Shirky memperkenalkan konsep "amatirisasi massal," dimana perangkat sosial menghilangkan hambatan tradisional terhadap ekspresi publik. Demokratisasi media ini memungkinkan individu biasa membuat dan menyebarluaskan konten, mengaburkan batasan antara produsen dan konsumen. Hasilnya, kendati dalam lingkungan yang dikontrol ketat, seperti rezim otoriter, warga negara dapat bertindak sebagai jurnalis, mendokumentasikan peristiwa, dan berbagi informasi secara luas.
Media sosial memungkinkan koordinasi cepat di antara individu yang mungkin terisolasi. Shirky menyoroti contoh seperti protes Gezi Park di Turki, dimana para aktivis menggunakan media sosial untuk menyinkronkan tindakan mereka dan mendokumentasikan pengalaman mereka secara langsung, yang secara efektif menantang narasi pemerintah. Kemampuan berorganisasi tanpa kepemimpinan terpusat ini, merupakan keuntungan berarti bagi gerakan oposisi.
Shirky menegaskan bahwa media sosial menyediakan platform bagi suara-suara yang terpinggirkan untuk didengar, yang dapat mengarah pada perubahan politik yang substansial. Misalnya, selama Arab Spring, media sosial memainkan peran penting dalam memobilisasi protes terhadap rezim otoriter dengan memungkinkan warga negara berbagi informasi dan menggalang dukungan dengan cepat. Ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat mengalihkan dinamika kekuasaan dari otoritas yang mapan ke gerakan akar rumput.
Shirky mencatat bahwa meskipun pemerintah berupaya mengendalikan media tradisional, sifat media sosial yang terdesentralisasi membuatnya sulit untuk sepenuhnya menekan suara-suara yang tak setuju. Ia membandingkan perjuangan ini dengan upaya penyensoran di masa lalu, yang menunjukkan bahwa banyaknya konten yang dihasilkan oleh pengguna sehari-hari menciptakan ruang publik yang lebih tangguh. Shirky menekankan bahwa implikasi politik media sosial sangat mendalam. Media sosial tak semata memfasilitasi pengorganisasian protes, melainkan mendorong bentuk baru keterlibatan politik yang menantang hierarki tradisional dan memberdayakan warga negara. Ia berpendapat bahwa pergeseran ini dapat mengarah pada tatakelola yang lebih responsif karena para pemimpin kini harus terlibat dengan masyarakat yang aktif secara politik, yang memanfaatkan platform ini untuk advokasi dan akuntabilitas. Sebagai kesimpulan, analisis Clay Shirky menggambarkan bagaimana media sosial telah menjadi alat penting bagi politik oposisi, yang memungkinkan partisipasi, koordinasi, dan pemberdayaan yang lebih besar di antara warga negara yang menghadapi otoritarianisme. Kemampuan berorganisasi tanpa struktur formal merupakan evolusi penting dalam cara gerakan politik dapat beroperasi di era digital.

Pihak oposisi hendaknya menunjukkan kepemimpinan yang beretika dan akuntabilitas agar memenangkan kepercayaan publik. Mereka seyogyanya menerapkan proses pengambilan keputusan yang adil dan transparan dalam partai untuk menghindari tuduhan elitisme dan bekerjasama dengan media independen untuk mengomunikasikan kebijakan dan mengungkap kekurangan pemerintah.
Robert W. McChesney [Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times. University of Illinois Press, 2000] membahas peran media dalam membentuk opini publik dan mendorong oposisi. McChesney menyajikan analisis kritis tentang lanskap media di Amerika Serikat, dengan menyatakan bahwa media korporat telah menjadi kekuatan antidemokrasi yang amar berarti. Ia menyoroti bagaimana konsentrasi kepemilikan media merusak wacana publik dan membentuk opini publik dengan cara yang lebih memihak kepentingan korporat daripada keterlibatan demokratis.
McChesney berpendapat bahwa ketika warga negara memahami implikasi kebijakan telekomunikasi dan konsolidasi media, mereka dapat bergerak secara efektif menuntut perubahan. Kesadaran ini sangat penting memulihkan nilai-nilai demokrasi dalam lanskap media. McChesney menyerukan tindakan politik merestrukturisasi sistem media, mengadvokasi kebijakan yang mempromosikan keberagaman dalam kepemilikan dan mendukung jurnalisme independen. Ia percaya bahwa reformasi semacam itu penting guna memastikan bahwa media melayani kepentingan publik dan bukan agenda perusahaan. Ia menekankan perlunya jurnalisme independen yang kuat sebagai penyeimbang kekuatan media perusahaan. Dengan mendukung outlet media alternatif dan mendorong jurnalisme akar rumput, warga negara dapat menciptakan lingkungan media yang lebih adil, yang mendorong perdebatan sejati dan partisipasi demokratis.

Aktor internasional dapat memberikan dukungan teknis, finansial, dan moral kepada gerakan oposisi. Tekanan internasional memainkan peran penting dalam membentuk dinamika oposisi dalam rezim hibrida, seperti yang dieksplorasi oleh Steven Levitsky dan Lucan A. Way [Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes After the Cold War. Cambridge University Press, 2010]. Rezim hibrida, yang dicirikan oleh campuran elemen demokratis dan otoriter, kerap menghadapi pengaruh eksternal yang dapat mendukung atau melemahkan gerakan oposisi.
Aktor-aktor internasional, termasuk para pemerintah dan LSM asing, dapat memberikan legitimasi kepada kelompok oposisi dengan mengakui upaya mereka dan mendukung tujuan mereka. Pengakuan ini dapat mendorong partai oposisi menantang petahana dengan lebih agresif. Misalnya, ketika entitas internasional mengutuk kecurangan pemilu atau pelanggaran hak asasi manusia, akan terbangun lingkungan yang mendukung mobilisasi oposisi.
Tekanan internasional dapat terwujud melalui sanksi ekonomi yang ditujukan kepada elit penguasa, yang dapat melemahkan cengkeraman mereka terhadap kekuasaan. Sanksi semacam itu seringkali menargetkan sumber daya keuangan rezim, yang memaksa mereka mempertimbangkan kembali strategi represif mereka. Sebaliknya, insentif positif seperti bantuan atau perjanjian perdagangan dapat dikondisikan pada reformasi demokratis, sehingga mendorong rezim hibrida agar memungkinkan pluralisme politik yang lebih besar dan dukungan bagi oposisi.
Pengaruh media internasional juga dapat memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap rezim dan oposisi. Liputan yang lebih luas tentang aktivitas oposisi atau tindakan represif pemerintah dapat menghasilkan dukungan domestik yang lebih besar bagi suara-suara yang berbeda pendapat. Selain itu, akses terhadap informasi tentang gerakan oposisi yang berhasil di negara lain dapat menginspirasi para pelaku lokal mengadopsi strategi serupa.
Rezim yang berkuasa seringkali menanggapi tekanan internasional dengan tindakan represif yang lebih besar, termasuk kekerasan terhadap pengunjuk rasa dan pembatasan kebebasan media. Banyak partai oposisi yang terpecah-pecah dan tak punya strategi yang kohesif, sehingga sulit melakukan tantangan yang efektif terhadap partai-partai penguasa yang terorganisasi dengan baik.
Memperkuat dan memperluas oposisi memerlukan pendekatan komprehensif yang menangani faktor-faktor kelembagaan, organisasi, dan kemasyarakatan. Dengan berfokus pada mobilisasi akar rumput, pembangunan kapasitas internal, pembentukan koalisi, dan dukungan internasional, gerakan oposisi dapat tumbuh dalam ukuran dan efektivitasnya, memberikan penyeimbang yang kuat terhadap otoritas pemerintah," pungkas Semar.

Bagong dan Gareng mengangguk tanda setuju. Gareng lalu menyentuh tombol play pada ponsel pintarnya, dan alunan merdu "Daur Hidup" karya Donne Maula mulai mengalun di udara...

Mati berkali-kali tapi bisa hidup lagi
Konon jika selamat, aku semakin hebat

Daur hidup akan selalu berputar
Tugasku hanya bertahan
Terus jalan dan mengalirlah seperti air
Dari lahir sampai ku jadi debu di akhir

Hai semua tangis dan tawa di depan mata
Aku tak pilih kasih, kan ku peluk semua