Semar: "Konsep Hirschman tentang 'exit, voice, and loyalty' dapat diterapkan pada gerakan politik modern dalam beberapa cara, yang mencerminkan bagaimana individu dan kelompok menanggapi ketidakpuasan terhadap sistem politik. Dalam gerakan politik modern, "exit" seringkali mengacu pada meninggalkan suatu negara atau menarik diri dari keterlibatan politik.
Individu yang tak puas dengan rezim otoriter dapat beremigrasi, mencari peluang dan kebebasan yang lebih baik di tempat lain. Misalnya, banyak warga negara dari negara-negara seperti Venezuela atau Suriah melarikan diri karena pemerintahan yang represif dan ketidakstabilan ekonomi. Dalam sejumlah kasus, warga negara dapat menarik diri dari proses politik sepenuhnya, memilih tak memberikan suara atau terlibat dalam kegiatan sipil ketika mereka merasa suara mereka tak didengar atau bahwa perubahan tak mungkin dilakukan.
"Voice" mencakup bagaimana individu mengekspresikan ketidakpuasannya dan mencari perubahan dalam sistem politik. Gerakan politik modern kerap menggunakan protes sebagai sarana menyuarakan ketidakpuasan. Arab Spring merupakan contoh utama dimana warga turun ke jalan menuntut reformasi demokrasi dan akuntabilitas dari pemerintah mereka.
Munculnya platform digital telah memperkuat suara dalam gerakan kontemporer. Aktivis menggunakan media sosial untuk mengorganisasi, berbagi informasi, dan memobilisasi dukungan dalam berbagai tujuan, seperti yang terlihat dalam gerakan seperti Black Lives Matter dan aktivis lingkungan.
Loyalty memainkan peran yang kompleks dalam gerakan politik modern. Warga negara mungkin menunjukkan loyalitas kepada suatu rezim atau partai karena ikatan historis atau manfaat yang dirasakan (misalnya, program bantuan sosial). Namun, loyalitas ini dapat bersifat kondisional; jika rezim tak mampu memenuhi harapan, individu dapat beralih ke arah "exit" atau "voice".
Di era globalisasi, individu seringkali mempertahankan loyalitas kepada banyak negara atau identitas. Misalnya, komunitas diaspora dapat terlibat dalam advokasi politik untuk negara asal mereka sambil juga berpartisipasi dalam politik negara tuan rumah mereka.
Kerangka kerja Hirschman menunjukkan bahwa exit dan voice kerapkali dipandang sebagai pilihan yang saling eksklusif; namun, gerakan politik modern menggambarkan bahwa keduanya dapat hidup berdampingan. Dalam beberapa kasus, tindakan exit (misalnya, emigrasi massal) dapat memicu peningkatan oposisi vokal di antara mereka yang bertahan. Sebagai contoh di Jerman Timur sebelum reunifikasi, meningkatnya angka emigrasi memicu protes dari mereka yang menginginkan reformasi tetapi merasa terjebak.
Individu dapat terlibat dalam exit dan voice secara bersamaan. Misalnya, ekspatriat dapat mengadvokasi perubahan di negara asal mereka sambil juga membangun kehidupan di luar negeri, menjaga koneksi, dan mempengaruhi politik dari jauh.
Kesimpulannya, konsep Hirschman tentang "exit, voice, dan loyalty" tetap relevan dalam menganalisis gerakan politik modern. Dinamika antara elemen-elemen ini menggambarkan bagaimana individu menavigasi ketidakpuasan dengan sistem politik saat ini, yang menyoroti kompleksitas keterlibatan dan pelepasan dalam konteks tatakelola kontemporer.
Krisis ekonomi dapat mempengaruhi kemampuan warga negara menentang rezim otoriter melalui berbagai mekanisme. Krisis ekonomi sering menimbulkan ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat karena meningkatnya pengangguran, inflasi, dan menurunnya standar hidup. Ketidakpuasan ini dapat menciptakan lahan subur bagi gerakan oposisi, seperti yang terlihat dalam berbagai konteks sejarah. Misalnya, di Venezuela, keruntuhan ekonomi telah memicu protes terhadap rezim Maduro, dengan warga menuntut tatakelola dan akuntabilitas yang lebih baik.
Sebagai respons terhadap krisis ekonomi, rezim otoriter akan menggunakan represi yang lebih ketat untuk mempertahankan kendali. Ini dapat mencakup tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, penyensoran media, dan penindasan protes. Tindakan tersebut dapat mencegah warga melakukan mobilisasi melawan rezim karena takut akan dampaknya, sehingga melemahkan potensi oposisi. Sebagai contoh, selama kemerosotan ekonomi, rezim dapat menerapkan kebijakan yang memprioritaskan loyalty daripada perbedaan pendapat, menggunakan tindakan koersif untuk membungkam para pengkritik.
Krisis ekonomi dapat mengubah lanskap politik dengan menggeser kepentingan dan aliansi di antara para pendukung rezim. Rezim otoriter kera[ mengandalkan koalisi elit yang diuntungkan oleh status quo. Ketika kondisi ekonomi memburuk, koalisi ini dapat pecah karena berbagai kelompok mendorong berbagai kebijakan penyesuaian yang sejalan dengan kepentingan mereka. Konflik internal ini dapat membuka peluang bagi gerakan oposisi jika mereka dapat memanfaatkan perpecahan dalam koalisi yang berkuasa.
Meskipun krisis ekonomi dapat memicu ketidakpuasan, krisis juga menimbulkan tantangan bagi kelompok oposisi yang berusaha memobilisasi warga. Kekhawatiran akan kelangsungan hidup yang mendesak selama krisis dapat menyebabkan individu memprioritaskan stabilitas ekonomi pribadi daripada aktivisme politik. Akibatnya, meskipun ada ketidakpuasan yang meluas terhadap rezim, warga mungkin kurang bersedia atau tak mampu terlibat dalam aksi kolektif."
Gareng: "Adakah ukum internasional yang melindungi oposisi dan para aktivis?"
Semar: "Hukum internasional menyediakan kerangka kerja dalam melindungi hak-hak kelompok oposisi dan para aktivis, khususnya terkait kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan hak melakukan protes. Hak-hak ini tercantum dalam berbagai perjanjian dan deklarasi hak asasi manusia internasional.
Article 19 the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi: berpendapat tanpa gangguan; mencari, menerima, dan berbagi informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas wilayah.
Pasal 19 juga mendukung hak-hak lain, semisal hak atas kebebasan beragama, berkumpul, dan berpartisipasi dalam urusan publik. Namun, kebebasan berekspresi bukanlah hal yang tak terbatas, dan beberapa bentuk ucapan tak dilindungi, semisal pornografi anak, sumpah palsu, pemerasan, dan hasutan dengan tujuan melakukan kekerasan.
UDHR diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, dan menguraikan 30 hak dan kebebasan yang dimiliki semua orang. Berikut daftar lengkapnya: 1. Semua manusia bebas dan setara: Setiap orang dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak.
2. Tiada diskriminasi: Setiap orang berhak atas semua hak tanpa pembedaan dalam bentuk apa pun.
3. Hak untuk hidup: Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan pribadi.
4. Tiada perbudakan: Tak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba.
5. Tiada penyiksaan: Tak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
6. Hak yang sama dalam menggunakan hukum: Setiap orang berhak diakui dimana pun sebagai pribadi di hadapan hukum.
7. Sama di hadapan hukum: Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan yang sama terhadap diskriminasi.
8. Hak diperlakukan secara adil oleh pengadilan: Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif atas tindakan yang melanggar hak-hak dasar.
9. Tak ada penahanan yang tidak adil: Tidak seorang pun boleh menjadi sasaran penangkapan atau penahanan sewenang-wenang.
10. Hak untuk diadili: Setiap orang berhak atas sidang yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang independen.
11. Tak bersalah sampai terbukti bersalah: Setiap orang yang didakwa dengan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah.
12. Hak atas privasi: Tak seorang pun boleh menjadi sasaran gangguan sewenang-wenang terhadap privasi, keluarga, rumah, atau korespondensi.
13. Kebebasan bergerak: Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan bermukim di negaranya.
14. Hak atas suaka: Setiap orang berhak mencari suaka dari penganiayaan di negara lain.
15. Hak atas kewarganegaraan: Setiap orang berhak atas kewarganegaraan.
16. Hak untuk menikah dan berkeluarga: Pria dan wanita berhak untuk menikah dan berkeluarga.
17. Hak untuk memiliki harta benda: Setiap orang berhak memiliki harta benda sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
18. Kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama: Termasuk kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaan.
19. Kebebasan berpendapat dan berekspresi: Setiap orang berhak berpendapat tanpa gangguan dan mencari, menerima, serta menyampaikan informasi.
20. Hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai: Setiap orang berhak untuk berkumpul secara damai dan berserikat secara bebas.
21. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan: Setiap orang berhak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
22. Hak atas jaminan sosial: Setiap orang berhak atas jaminan sosial dan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang diperlukan bagi martabat.
23. Hak untuk bekerja: Setiap orang berhak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menerima upah yang sama dengan pekerjaan yang sama.
24. Hak untuk beristirahat dan bersantai: Setiap orang berhak untuk beristirahat dan bersantai, termasuk pembatasan jam kerja yang wajar.
25. Hak atas standar hidup yang layak: Setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan.
26. Hak atas pendidikan: Setiap orang berhak atas pendidikan, yang seharusnya gratis setidaknya pada tingkat dasar.
27. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya: Setiap orang berhak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya komunitasnya.
28. Hak atas dunia yang bebas dan adil: Setiap orang berhak atas tatanan sosial yang memajukan hak-hak ini sepenuhnya.
29. Kewajiban terhadap komunitas: Setiap orang punya kewajiban terhadap komunitasnya yang memastikan perkembangan mereka yang bebas dan penuh.
30. Hak tidak dapat dicabut: Tak seorang pun dapat merampas hak-hak ini.
Pasal-pasall ini secara kolektif membentuk kerangka kerja komprehensif yang bertujuan memastikan martabat, kebebasan, keadilan, dan perdamaian bagi semua individu di seluruh dunia.
Klausula-klausula ini secara kolektif membentuk kerangka kerja komprehensif yang bertujuan memastikan martabat, kebebasan, keadilan, dan perdamaian bagi semua individu di seluruh dunia.
Bagong: "Hak-hak manakah yang paling sering dilanggar secara global?"
Semar: "Pelanggaran hak asasi manusia terjadi di berbagai kategori, tetapi hak-hak tertentu lebih sering dilanggar dibanding yang lain. Berdasarkan hasil penelusuran dan pengetahuan yang ada, berikut adalah beberapa hak yang paling sering dilanggar secara global:
1. Hak atas Kebebasan Berekspresi: Hak ini sering dibatasi, dengan individu menghadapi penyensoran, pelecehan, kriminalisasi atau pemenjaraan karena mengekspresikan pendapat mereka. Laporan menunjukkan bahwa setidaknya 77 negara memberlakukan pembatasan pada kebebasan berekspresi.
2. Hak untuk Hidup dan Keamanan: Pelanggaran yang terkait dengan hak untuk hidup termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penghilangan paksa. Di banyak negara, terutama yang mengalami konflik atau pemerintahan otoriter, pemerintah tak bisa melindungi warga negara dari kekerasan.
3. Hak atas Pengadilan yang Adil: Banyak individu menghadapi pengadilan yang tidak adil, tidak punya akses ke perwakilan hukum, atau menjadi sasaran penahanan sewenang-wenang tanpa proses hukum. Pelanggaran ini lazim terjadi di setidaknya di 54 negara.
4. Hak untuk Berkumpul Secara Damai: Pihak berwenang di banyak negara menggunakan kekuatan berlebihan terhadap pengunjuk rasa damai dan memberlakukan pembatasan pada pertemuan. Amnesty International melaporkan bahwa kekerasan yang melanggar hukum digunakan terhadap pengunjuk rasa damai di lebih dari 85 negara.
5. Hak Pekerja: Hak untuk berorganisasi, bergabung dengan serikat pekerja, dan terlibat dalam perundingan bersama semakin terancam. Indeks Hak Global mencatat bahwa 87% negara melanggar hak mogok pada tahun 2022, yang mencerminkan peningkatan pembatasan yang signifikan.
6. Hak Privasi: Pengawasan dan campur tangan yang melanggar hukum terhadap privasi pribadi merupakan pelanggaran umum, terutama di negara-negara dengan rezim represif dimana perbedaan pendapat tidak ditoleransi.
7. Hak Kelompok Marjinal: Perempuan, anak-anak, dan etnis minoritas, sering menghadapi diskriminasi dan kekerasan sistemik. Kelompok-kelompok ini seringkali ditolak hak-haknya karena norma budaya atau undang-undang yang diskriminatif.
8. Hak Ekonomi dan Sosial: Hak-hak yang terkait dengan standar hidup yang layak, perawatan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan seringkali diabaikan atau dilanggar melalui kebijakan yang tidak memadai atau ketidaksetaraan sistemik.
Pelanggaran ini menyoroti tantangan yang sedang dihadapi oleh individu di seluruh dunia dalam menjalankan hak asasi manusia fundamental mereka. Bertahannya masalah ini menggarisbawahi perlunya advokasi berkelanjutan dan tekanan internasional dalam menegakkan standar hak asasi manusia secara global.
Pelanggaran hak asasi manusia di Israel, khususnya yang menyangkut perlakuannya terhadap warga Palestina, telah menarik perhatian internasional yang signifikan dan perbandingan dengan pelanggaran di negara lain. Laporan dari organisasi seperti Amnesty International dan Human Rights Watch menggambarkan kebijakan Israel terhadap warga Palestina sebagai bentuk apartheid. Ini termasuk diskriminasi sistematis, pemindahan paksa, dan pembatasan pergerakan dan akses ke sumber daya di Wilayah Pendudukan Palestina (Occupied Palestinian Territories (OPT)).
Tindakan militer Israel, terutama selama konflik di Gaza, telah mengakibatkan banyak korban sipil dan kerusakan infrastruktur. Misalnya, operasi militer baru-baru ini telah menyebabkan ribuan kematian warga Palestina, termasuk banyak warga sipil, yang menimbulkan kekhawatiran tentang potensi kejahatan perang. Ada laporan yang tersebar luas tentang penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap warga Palestina tanpa pengadilan, seringkali berdasarkan hukum militer yang berlaku secara berbeda untuk pemukim Israel. Pemerintah Israel telah dikritik karena menindak organisasi masyarakat sipil Palestina, melabeli beberapa sebagai entitas teroris dan membatasi operasi mereka.
Meskipun pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara global di berbagai rezim dan konteks, sifat dan skalanya berbeda secara signifikan antara negara-negara seperti Israel dan negara-negara lain semisal China. Perlakuan China terhadap warga Uighur dan minoritas etnis lainnya melibatkan kamp-kamp penahanan massal, kerja paksa, dan pembatasan berat terhadap kebebasan beragama. Skala pelanggaran ini sering dipandang sebagai salah satu yang terburuk di dunia, sebanding dengan tuduhan terhadap Israel terkait perlakuannya terhadap warga Palestina.
Setelah kudeta militer pada tahun 2021, Myanmar telah mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang parah terhadap minoritas etnis dan pembangkang politik. Penggunaan kekerasan oleh militer terhadap warga sipil telah menarik perbandingan dengan kekerasan yang disponsori negara yang terlihat di Israel selama operasi militer di Gaza."
Gareng: "Bagaimana oposisi di suatu negara bisa semakin kuat dan besar dengan sendirinya?"