Asoka kemudian menutur, "Di sebuah kota yang tenang, di tengah cahaya fajar yang lembut, hiduplah Ibrahim, seorang perajin yang dikenal karena keterampilannya tetapi rendah hati. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan kerajinan tangan yang cermat, membentuk kayu menjadi potongan-potongan yang indah. Namun, meskipun penghasilannya pas-pasan, ia tampak selalu berkecukupan, dan hatinya tenteram, rumahnya hangat. Ada sesuatu tentang Ibrahim, rasa damai, rasa berkah—berkah yang tampaknya menyelimutii setiap bagian hidupnya. Suatu pagi, saat ia siap bekerja, seorang pemuda bernama Nasir menghampirinya dengan mata yang letih, meminta nasihat. "Bagaimana cara Paman selalu tampak berkecukupan? Penghasilan paman kecil, tetapi paman dan keluarga selalu terlihat berkecukupan. Aku juga bekerja keras, tetapi hari-hari berlalu begitu saja bagaikan pasir. Aku tak mengerti bagaimana paman melakukannya."
Ibrahim, dengan senyum ramah, mengsjsk Nasir agar duduk. "Mari," katanya, "paman akan berbagi denganmu rahasia barokah." Nasir mencondongkan tubuhnya saat Ibrahim berbicara, "Barokah itu berkah dari Allah yang tak hanya menyentuh apa yang kita miliki, tapi juga bagaimana kita mengalaminya. Rasulullah (ﷺ) mengajarkan kita bahwa barokah lebih dari sekadar harta-benda; ia adalah kekayaan dalam waktu, usaha, dan hati kita. Sekeping koin yang disertai barokah dapat memberikan lebih banyak kebaikan daripada tumpukan emas tanpa berkah."
Wajah Nasir melembut karena rasa ingin tahu saat Ibrahim melanjutkan, "Coba perhatikan, paman memulai setiap hari dengan berdoa, saat fajar. Rasulullah (ﷺ) sendiri berdoa, 'Ya Allah, berkahilah umatku di pagi hari.' Bangun pagi mengisi hari paman dengan berkah karena jam-jam terasa lebih panjang, dan pekerjaan paman membuahkan hasil. Namun, ini bukan hanya tentang bangun pagi; ini tentang bangun dengan tujuan, bersyukur, dan memulai dengan mengingat nama Allah."
"Aku juga bangun pagi," sela Nasir, "tetapi rasanya waktu gak pernah cukup."
"Itu karena berkah tak semata dalam tindakan; melainkan pula dalam niat," kata Ibrahim sambil mengangguk penuh pengertian. Ia melihat sekeliling bengkel kecilnya dan menunjuk ke arah perkakasnya. "Semua di sini punya tujuan. Imam al-Ghazali mengajarkan kita bahwa 'Ilmu tanpa tindakan adalah kegilaan dan tindakan tanpa ilmu adalah kehampaan.' Untuk mengisi tindakan kita dengan berkah, kita hendaknya ikhlas dan berilmu. Aku melakukan pekerjaanku dengan ilmu tentang nilainya—bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan tapi juga melayani, untuk membangun sesuatu yang berguna bagi orang lain. Keikhlasan itu mendatangkan berkah, mengubah sepotong kayu sederhana menjadi sesuatu yang bermakna."
Nasir mengamati perkakas itu, kini melihatnya melalui mata Ibrahim. "Kalo begitu, jadi niat, tujuan itulah yang mendatangkan berkah." Ibrahim mengangguk. "Tepat sekali. Hati, sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali, bagaikan benteng, dan kita harus menjaga gerbangnya. Jika kita membiarkan keserakahan atau ketidaksabaran menyelinap masuk, berkah pun akan menyelinap keluar. Hasrat menjadikan kita budak, tetapi kesabaran, Nasir, menjadikan kita raja. Ayahku mengajarkan kepadaku bahwa kesabaran mengundang berkah, walaupun ketika kita tak melihat pahala langsung."
Nasir mengernyitkan dahi, berpikir. "Tapi bukankah kesabaran itu sulit? Bagaimana seseorang bisa benar-benar sabar?"
"Nah, itulah ujiannya," jawab Ibrahim. "Untuk mendapatkan apa yang engkau sukai, dirimu harus bersabar terlebih dahulu dengan apa yang tak engkau sukai. Itulah sebabnya aku berusaha bersabar dengan penghasilanku, untuk menemukan kebahagiaan dalam apa yang kumiliki daripada terpaku pada apa yang tak kumiliki. Kesabaran ini, keyakinan kepada Allah, itulah yang oleh para ulama disebut tawakkal. Aku berusaha sebaik mungkin, tetapi menyerahkan hasilnya di tangan-Nya, dan berkah mengalir masuk karena aku tak berusaha mengendalikan apa yang berada di luar kendaliku."
Nasir menyerap hikmah ini, dan hatinya merasakan percikan pemahaman. Ibrahim melanjutkan, "Bagian penting lain dari berkah adalah sedekah. Rasulullah (ﷺ) mengajarkan kita bahwa bersedekah takkan mengurangi harta. Disaat kita memberi dari harta kita yang sedikit, Allah memberkahi sisanya, mengembangkannya dengan cara yang tak terlihat. Jadi, Nasir, berkah dalam kekayaan tak selalu berupa lebih banyak uang, tetapi lebih kepada kemampuan memenuhi kebutuhan kita, menemukan sukacita, memberi dan merasa cukup." Sambil tersenyum, Nasir bertanya, "Tetapi, bagaimana saya memastikan bahwa aku tulus-ikhlas, Paman?"
Tatapan mata Ibrahim melembut. "Bersikaplah tulus dalam segala hal yang engkau lakukan. Hanya apa yang engkau lakukan untuk Allah-lah yang akan bertahan. Jika engkau bekerja hanya untuk dirimu sendiri, tindakanmu dibatasi oleh dirimu sendiri. Namun jika engkau bekerja untuk Allah, barokah memenuhi usahamu. Ketulusan ini mengubah rutinitas menjadi ibadah, dan hidup itu sendiri menjadi perjalanan menuju Allah.
Bila kita bekerja semat untuk diri sendiri atau keuntungan kita, upaya dan hasil yang kita peroleh cenderung dibatasi oleh kapasitas manusiawi kita. Waktu, energi, dan sumber daya kita terbatas, sehingga hasilnya seringkali sebanding dengan apa yang dapat kita capai. Perbedaan ini menunjukkan perbedaan antara pendekatan yang berpusat pada diri sendiri dan pendekatan yang berorientasi pada tujuan yang menghubungkan upaya seseorang dengan tujuan yang lebih tinggi.
Manakala kita bekerja hanya untuk diri sendiri, tujuan kita kerapkali terbatas, dibentuk oleh keinginan, ambisi, dan keterbatasan kita. Contoh, kita mungkin bekerja untuk mendapatkan sejumlah uang, mendapatkan status, atau memperoleh pengakuan. Tujuan-tujuan ini dapat dicapai, tetapi terbatas pada tingkat pribadi dan dibatasi oleh kemampuan, keadaan, dan sumber daya kita. Kepuasan yang diperoleh dari pencapaian tujuan-tujuan ini seringkali terasa berumur pendek dan dapat menyebabkan pencarian terus-menerus untuk mendapatkan lebih banyak lagi.
Bekerja hanya untuk diri sendiri dapat menyebabkan rasa terisolasi dalam berusaha. Kita mungkin merasa bertanggung awab sepenuhnya atas hasilnya, yang dapat menimbulkan stres dan kecemasan, terutama ketika segala sesuatunya tak berjalan sesuai rencana. Pendekatan ini seringkali mengabaikan sifat kehidupan dan alam semesta kita yang lebih luas dan saling terkait, dimana banyak faktor (di luar kendali kita) berkontribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan kita.
Walaupun ketika kita mencapai apa yang kita cita-citakan, kesuksesan pribadi mungkin masih meninggalkan rasa hampa. Mencapai tujuan semata-mata bagi keuntungan pribadi dapat terasa fana, karena keinginan manusia terus berkembang dan tumbuh. Itulah sebabnya mengapa banyak orang, meskipun mencapai kesuksesan duniawi yang berarti, akan masih merasa tak puas—mereka mendapati dirinya mengejar rasa kepuasan yang sepertinya selalu berada di luar jangkauan.
Bila pekerjaan kita hanya untuk diri kita sendiri, biasanya pengaruhnya tetap kecil. Kita akan hanya menguntungkan diri kita sendiri atau sekelompok kecil orang. Hal ini dapat menjadikan kehidupan yang terasa terisolasi, dimana tindakan kita tak melampaui lingkup pribadi atau melayani tujuan yang lebih besar daripada kepentingan langsung kita. Upaya tersebut takkan berkelanjutan setelah keterlibatan kita berakhir, dan mungkin tak punya dampak yang bertahan lama pada orang lain atau masyarakat yang lebih luas.
Pendekatan yang hanya berfokus pada diri sendiri kerap tak punya makna yang lebih besar, yang penting bagi banyak orang agar merasa terhubung dengan sesuatu di luar dirinya sendiri. Hal ini karena, ketika fokus tetap pada "aku", dampak dari setiap tindakan hanya dilihat melalui sudut pandang keuntungan pribadi, bukan visi yang lebih luas, yang dapat membawa tujuan dan kepuasan yang lebih dalam.
Ketika seseorang bekerja dengan niat untuk mengabdi kepada Allah, perspektifnya bergeser dari pandangan yang berpusat pada diri sendiri menjadi pandangan yang berpusat pada tujuan. Tindakan tak lagi dibatasi bagi keuntungan pribadi tetapi dilakukan sebagai bagian dari misi yang lebih luas, yang sejalan dengan tujuan Ilahi. Islam mengajarkan bahwa tindakan yang dilakukan karena Allah, pada hakikatnya lebih memuaskan, senan tindakan tersebut menghubungkan individu dengan tujuan yang lebih besar dan tak terbatas yang melampaui batasan duniawi.
"Tindakan yang dilakukan karena Allah" merujuk pada tindakan apa pun yang dilakukan dengan niat tulus agar beroleh ridha Allah dan memenuhi perintah-perintah-Nya, bukan untuk keuntungan pribadi, pengakuan, atau keuntungan duniawi. Dalam Islam, niat sangat penting, karena niat mengubah tindakan biasa menjadi tindakan ibadah jika dilakukan untuk mencari keridhaan Allah. Kunci dari sebuah tindakan yang dilakukan "karena Allah" adalah bahwa niat utama di balik tindakan tersebut adalah mencari keridhaan Allah. Hal ini melibatkan penyelarasan motif seseorang dengan apa yang telah diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah, bukan dengan keuntungan duniawi atau pengakuan dari orang lain semata. Tindakan-tindakan ini juga hendaknya sejalan dengan apa yang dianjurkan dalam Islam, termasuk tindakan ibadah, tindakan kebaikan, dan perilaku moral. Meskipun manfaat duniawi mungkin datang dari tindakan-tindakan ini, motivasi utama orang beriman tetaplah spiritual, dengan fokus pada perolehan berkah dan pahala Allah. Tindakan-tindakan yang dilakukan dengan tulus karena Allah sering disertai dengan komitmen yang lebih besar karena motivasi di baliknya lebih dari sekadar keuntungan langsung atau pujian sementara. Komitmen ini menunjukkan dedikasi untuk menegakkan prinsip dan nilai, bahkan saat hal itu menantang atau saat tiada yang melihat. Misalnya, mengajarkan nilai, moral, dan ilmu Islam kepada anak-anak untuk membimbing mereka menuju kebenaran karena Allah, bukan untuk kebanggaan pribadi. Ini termasuk kesabaran dan dedikasi, melihat pengasuhan anak sebagai bentuk ibadah.
Melakukan bisnis dengan jujur, bahkan ketika seseorang mungkin mendapat lebih banyak keuntungan dengan tidak jujur karena seseorang menghargai perintah Allah agar bersikap jujur dan adil. Integritas seperti ini, yang dipraktikkan agar Allah ridha, menjadi sumber barokah dalam mata pencaharian seseorang.
Jika dipercayakan dengan tanggungjawab, semisal posisi manajerial atau tugas, seorang Muslim berusaha agar bersikap adil dan tekun dalam memenuhinya, dengan tujuan menghormati kepercayaan yang diberikan kepada mereka oleh Allah, yang menghargai kejujuran. Tindakan sederhana semisal menghemat air, mendaur ulang, dan mengurangi sampah dapat dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab dalam mengelola Bumi, karena Allah telah mempercayakan peran ini kepada manusia. Islam menganjurkan kepedulian terhadap ciptaan, sehingga tindakan ini menjadi ibadah jika ditujukan untuk melestarikan ciptaan Allah.
Esensinya, bekerja semata-mata untuk diri sendiri dapat menyebabkan kehidupan yang dibatasi oleh keterbatasan seseorang, sementara bekerja untuk Allah membuka pintu bagi kemungkinan dan pemenuhan yang melampaui batasan pribadi. Tindakan tak hanya menjadi urusan individu tetapi bagian dari misi kolektif yang diilhami Allah yang berpotensi membawa dampak yang luas dan langgeng. Hal ini mengubah pekerjaan dari sekadar fungsional menjadi memuaskan secara spiritual."
Kata-kata itu meresap dalam di hati Nasir saat ia melihat Ibrahim, seorang lelaki yang benar-benar mewujudkan berkah barokah. Ibrahim melanjutkan, "Qalbu kita, Nasir, bagaikan cermin. Ia memantulkan apa pun yang berada di hadapannya. Jika qalbu kita dibersihkan dari keserakahan, iri hati, dan ketidaksabaran, ia memantulkan cahaya Ilahi. Jika engkau menginginkan ilmu tentang Allah, sucikan qalbumu dari ilusi dunia.' Qalbu yang bersih, merasakan barokah, melihat keindahan dalam kebersahajaan, dan sukacita dalam apa yang diabaikan orang lain."
Nasir merasakan perubahan dalam dirinya saat mendengarkan perkataan Ibrahim, yang memberinya inspirasi agar hidup dengan tujuan baru. Ia menyadari bahwa berkah lebih dari sekadar harta atau kesuksesan; berkah merupakan cara hidup yang menanamkan makna dan kelimpahan dalam setiap momen.
Pada hari-hari berikutnya, Nasir menghayati pelajaran Ibrahim. Ia memulai setiap hari dengan berdoa, bersyukur atas berkah yang diterimanya, mencari berkah dalam pekerjaannya, dan bersabar dalam perjuangannya. Perlahan-lahan, ia merasa penghasilannya bertambah, pekerjaannya terasa lebih ringan, dan hari-harinya terasa lebih penuh.
Suatu malam, ia kembali mengunjungi Ibrahim, kegembiraan tampak jelas di wajahnya. "Paman, aku merasakan berkah yang paman bicarakan. Hidupku tak berubah dalam hal harta-benda atau kemudahan, tetapi terasa lebih kaya, lebih bermakna."
Ibrahim meletakkan tangannya di bahu Nasir. "Kalau begitu, engkau telah paham. Barokah bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang bagaimana kita melihat, menjalani, dan menggunakan apa yang kita miliki. Itulah anugerah Allah, yang diberikan kepada mereka yang mencarinya dengan ketulusan, kesabaran, dan rasa syukur." Nasir mengangguk, kata-kata itu terukir di hatinya. Dan saat ia berjalan pulang di bawah bintang-bintang, ia merasa benar-benar diberkahi, karena ia akhirnya memahami hakikat barokah—anugerah Ilahi, kehidupan yang dipenuhi dengan berkah, dan hati yang damai, terhubung dengan Allah dalam setiap tarikan napas," pungkas Asoka
Saat fajar mewarnai langit dengan rona emas dan merah muda, tanaman-tanaman itu berpisah, hati mereka dipenuhi dengan pemahaman baru. Mereka telah belajar bahwa 'Barokah' bukanlah tujuan yang harus dicapai, tetapi sebuah perjalanan yang hendaknya dijalani, sebuah jalan yang diterangi oleh rasa syukur, kebajikan, dan kepercayaan.
Dan begitulah, mereka terus hidup di taman rahasia, kehidupan mereka merupakan bukti kekuatan 'Barokah', perwujudan hidup dari keindahan dan keanggunan yang dapat ditemukan walau dalam hal-hal terkecil sekalipun.