Pada suatu pagi yang cerah, di negeri Pewayangan yang gharib, para Punakawan—Semar, Bagong, dan Gareng—berkumpul di bawah pohon beringin tua—tempat kebiasaan mereka berbincang, mulai dari hal yang mendalam hingga yang absurd.
Gareng: "Ramanda, kemanakah Petruk?"
Semar: "Ah, Petruk! Ia sedang bertualang, mencari gorong-gorong baru. Maklumlah, sejak mengembalikan mahkotanya, ia terobsesi dengan tugas-tugas kerajaan. Entah mengapa ia terus mencampuri urusan kerajaan. Petruk memang sudah menjadi raja kacau-balau. Pemimpin yang baik tahu kapan harus melawan dan kapan harus menarik diri."
Bagong (terkekeh): "Jadi, apa yang akan kita bicarakan sekarang? Rahasia awet mudakah? Atau mengapa para kebo ireng tampak sangat kenyang?" Gareng: "Sebenernya, aku punya pertanyaan serius hari ini. Ramanda, apa sih oposisi politik itu?"
Semar (mengelus jenggotnya dengan kearifan): "Ah, Gareng, oposisi politik itu ibarat sambal pedas pada nasi kita sehari-hari. Ia memberi rasa, membuat kita berkeringat, dan terkadang, membuat kita menangis, tetapi pada akhirnya, ia penting bagi pengalaman yang utuh."
Bagong (agak mikir, kepo): "Bisa lebih spesifik lagi, Ramanda?"
Semar: "Dalam politik, oposisi merujuk pada partai politik atau kelompok yang mempertanyakan pemerintah yang berkuasa. Ia dapat mencakup partai terbesar yang tak berkuasa, yang sering disebut "oposisi resmi," yang memainkan peran penting dalam mengamati tindakan pemerintah dan mengusulkan alternatif. Oposisi sangat penting bagi demokrasi, memastikan akuntabilitas dan mewakili berbagai pandangan dalam badan legislatif. Efektivitasnya bervariasi menurut konteks politik, dengan beberapa sistem memungkinkan oposisi yang kuat sementara yang lain mungkin menekannya.
Oposisi juga mengacu pada satu atau lebih partai atau kelompok yang menantang atau melawan pemerintah berkuasa atau entitas politik terkemuka. Oposisi sering mengkritik kebijakan dan tindakan partai yang berkuasa dan bertujuan meminta pertanggungjawaban mereka. Perannya penting dalam sistem demokrasi, dimana ia memastikan adanya pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah, memberikan sudut pandang alternatif, dan mewakili berbagai kepentingan dalam masyarakat.
Jadi, oposisi membuat para penguasa tetap terjaga, memastikan mereka tak menjadi terlalu nyaman atau terlalu ugal-ugalan. Mereka mempertanyakan, mereka menantang, dan mereka terkadang menyajikan hiburan yang sangat dibutuhkan.
Oposisi dalam sistem politik memiliki beberapa fungsi penting, terutama dalam kerangka demokrasi, dimana ia memainkan peran penting dalam menyeimbangkan dan mengawasi kekuasaan. Fungsi-fungsi ini meliputi pengawasan, representasi, menawarkan alternatif, memfasilitasi perdebatan, dan memastikan akuntabilitas.
Oposisi bertindak sebagai pengawas pemerintah yang berkuasa dengan mengawasi kebijakan, keputusan, dan pengeluarannya. Dengan meminta pertanggungjawaban pemerintah, ia membantu mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya. Oposisi mewakili berbagai sudut pandang dan suara dalam pemilih, terutama mereka yang mungkin merasa kurang terwakili oleh partai yang berkuasa. Hal ini memastikan bahwa perspektif yang berbeda dipertimbangkan dalam pemerintahan.
Partai oposisi memberikan kritik dan turut-serta dalam perdebatan tentang kebijakan, mendorong pemeriksaan dan penyempurnaan yang lebih dalam. Hal ini meningkatkan kualitas legislasi dan pembuatan kebijakan. Oposisi dapat mengusulkan kebijakan alternatif, menunjukkan solusi potensial yang berbeda dari yang ditawarkan oleh partai yang berkuasa. Hal ini penting bagi para pemilih yang mencari pilihan kebijakan yang jelas.
Dalam sistem parlementer, oposisi kerap dipandang sebagai "pemerintahan yang sedang menunggu". Melalui kabinet bayangan dan kerja kebijakan terperinci, mereka bersiap mengambil alih pemerintahan jika mereka memenangkan pemilihan umum mendatang. Dengan mempertanyakan tindakan pemerintah, pihak oposisi mendorong transparansi, karena mereka sering mengungkapkan informasi yang mungkin disembunyikan dari publik.
Konsep oposisi berakar pada perkembangan tatakelola pemerintahan demokratis, yang muncul sebagai sarana memastikan bahwa pemerintah tetap bertanggungjawab kepada publik. Para ahli teori politik berpendapat bahwa oposisi merupakan hasil alami dari masyarakat yang pluralistik, dimana berbagai kepentingan dan ideologi bersaing mendapatkan pengaruh. Dalam sistem parlementer, partai-partai oposisi dilembagakan seiring dengan berkembangnya demokrasi, dengan tujuan membangun lingkungan yang terstruktur bagi perbedaan pendapat dan representasi alternatif.
The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution (2011, Farrar, Straus and Giroux) karya Francis Fukuyama menghadirkan analisis historis yang komprehensif tentang bagaimana lembaga politik, termasuk oposisi, berevolusi dari masyarakat suku yang berbasis kekerabatan menjadi demokrasi modern. Fukuyama berpendapat bahwa tatanan politik muncul dari tiga komponen utama: negara, supremasi hukum, dan mekanisme akuntabilitas. Oposisi, sebagai kekuatan yang dilembagakan, terkait erat dengan dua hal terakhir—supremasi hukum dan akuntabilitas—yang memastikan bahwa para penguasa tak dapat menggunakan kekuasaan tanpa kendali.
Fukuyama mengawali dengan meneliti masyarakat kesukuan, dimana pemerintahan didesentralisasi dan kewenangan berasal dari ikatan kekerabatan. Dalam masyarakat seperti ini, tiada pertentangan formal, sebab pertikaian diselesaikan dalam struktur keluarga atau klan. Kepemimpinan kerap didorong oleh konsensus, dan perbedaan pendapat yang terorganisasi seperti yang terlihat dalam sistem politik modern tidak diperlukan dan tidak ada.
Munculnya negara-negara terpusat, khususnya di peradaban kuno semisal China dan Timur Tengah, menandai perubahan yang cukup besar. Sistem-sistem ini kerap menekan perbedaan pendapat karena para penguasa mengonsolidasikan kekuasaan dan membangun pemerintahan hierarkis. Fukuyama menyoroti kekaisaran China sebagai contoh utama, dimana otoritas terpusat tak memberikan ruang bagi oposisi yang dilembagakan karena pemusatan kekuasaan di tangan penguasa dan birokrasi.
Titik balik dalam evolusi oposisi muncul bersamaan dengan perkembangan lembaga keagamaan yang bertindak sebagai pengawas kekuasaan negara. Fukuyama menunjuk Gereja Katolik di Eropa abad pertengahan, yang sering menantang raja dan bertindak sebagai otoritas independen. Dinamika ini menjadi preseden bagi oposisi yang dilembagakan dengan menunjukkan bahwa para penguasa dapat dimintai pertanggungjawaban atas prinsip atau hukum yang lebih tinggi. Interaksi antara otoritas keagamaan dan pemerintahan sekuler meletakkan dasar bagi oposisi hukum dan politik di masa mendatang.
Fukuyama menelusuri kemunculan lembaga perwakilan semisal Parlemen Inggris, yang menyediakan platform formal untuk mengekspresikan perbedaan pendapat terhadap kekuasaan monarki. Magna Carta (1215) merupakan momen penting, yang memaksa raja agar mengakui hak-hak rakyatnya dan membangun budaya politik yang melegitimasi oposisi. Seiring berjalannya waktu, badan-badan perwakilan ini melembagakan perbedaan pendapat, mengubahnya menjadi kekuatan konstruktif dalam pemerintahan.
Dalam demokrasi modern, menurut Fukuyama, oposisi diformalkan melalui mekanisme seperti persaingan elektoral, pemisahan kekuasaan, dan supremasi hukum. Sistem ini memastikan bahwa oposisi merupakan bagian penting dari pemerintahan, menyeimbangkan kekuasaan, dan mencegah tirani. Misalnya, kerangka konstitusional di Inggris dan Amerika Serikat membangun sistem yang tahan lama dimana oposisi memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan, perdebatan, dan akuntabilitas.
Fukuyama menekankan bahwa oposisi bukan sekadar kekuatan yang mengganggu, tetapi juga faktor penstabil dalam sistem politik. Dengan menyalurkan perbedaan pendapat ke dalam struktur formal, demokrasi modern memungkinkan keluhan diungkapkan dan diperdebatkan tanpa merusak tatanan politik secara keseluruhan. Hal ini mengurangi kemungkinan pemberontakan yang disertai kekerasan atau pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintah yang otoriter.
Oposisi, sebagaimana dijelaskan Fukuyama, berkembang selama berabad-abad dan membutuhkan kondisi historis, budaya, dan ekonomi tertentu, semisal melemahnya otoritas terpusat dan munculnya tradisi hukum.
Pelembagaan oposisi sejalan dengan pengembangan akuntabilitas politik, yang memastikan bahwa para penguasa bertanggungjawab kepada warga negara atau badan pemerintahan lainnya.
Dalam demokrasi modern, oposisi merupakan puncak dari proses sejarah panjang yang menyeimbangkan kekuasaan terpusat dengan tuntutan masyarakat akan inklusi, representasi, dan perdebatan.
"Comparative Politics" karya Daniele Caramani (2020 oleh Oxford University Press) menganalisis oposisi politik dalam sistem demokrasi dan non-demokrasi, menyoroti peran dan perbedaan organisasinya tergantung pada jenis pemerintahannya.
Dalam demokrasi, oposisi politik biasanya dilembagakan melalui partai politik, mekanisme parlementer, dan kerangka hukum yang melindungi perbedaan pendapat. Partai oposisi dapat membentuk kabinet bayangan atau bertindak sebagai "pemerintahan sementara".
Struktur oposisi bervariasi berdasarkan sistemnya, mayoritaskah atau proporsional. Dalam sistem mayoritas, oposisi sering terkonsolidasi menjadi satu partai atau koalisi, sementara sistem proporsional dapat menampilkan oposisi yang terfragmentasi. Caramani menyoroti peran media independen dan masyarakat sipil dalam mendukung oposisi dengan memperkuat suara mereka dan meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Partai-partai oposisi meminta pertanggungjawaban pemerintah dengan meneliti kebijakan, mengungkap korupsi, dan mempertanyakan keputusan eksekutif. Oposisi berkontribusi pada perdebatan kebijakan dan menyajikan program alternatif, yang memungkinkan para pemilih membuat pilihan yang tepat.
Oposisi menyediakan platform bagi berbagai kelompok dan kepentingan minoritas yang mungkin tak sejalan dengan mayoritas penguasa. Dengan berpartisipasi dalam proses demokrasi formal, oposisi melegitimasi sistem dan menyalurkan perbedaan pendapat secara konstruktif.
Oposisi dalam sistem non-demokratis seringkali tak memiliki dukungan kelembagaan formal dan beroperasi dalam lingkungan yang dibatasi atau ditekan. Partai politik mungkin dilarang atau diatur secara ketat. Akibat penekanan negara, gerakan oposisi dapat berfungsi sebagai organisasi yang terfragmentasi atau rahasia, semisal jaringan bawah tanah atau kelompok pengasingan. Dalam rezim otoriter, organisasi masyarakat sipil dan jaringan informal kerap memainkan peran krusial dalam oposisi, meski dengan risiko yang berarti.
Oposisi dalam sistem non-demokratis sering bertindak sebagai kekuatan perlawanan terhadap pemerintahan otoriter, yang mengadvokasi reformasi demokratis dan hak asasi manusia. Kelompok oposisi sering mencari dukungan dari organisasi internasional, pemerintah asing, atau komunitas diaspora untuk menekan rezim agar berubah. Gerakan oposisi dapat menantang legitimasi rezim dengan mengungkap kelemahan dalam tatakelola, salah urus ekonomi, atau pelanggaran hak asasi manusia. Caramani mencatat bahwa oposisi dalam sistem non-demokratis beroperasi di bawah ancaman penganiayaan, pemenjaraan, atau pengasingan yang terus-menerus, yang membatasi efektivitas dan visibilitasnya.
Gareng: "Tapi Ramanda, bukankah terlalu berisiko jadi oposisi?"
Semar (dengan mata berbinar): "Beresiko? Tentu saja! Tapi tanpa oposisi, kita akan berada di dunia dimana semua orang sepakat dalam segala hal. Lantas, asyiknya dimana? Ingat, oposisi ada untuk mengingatkan para penguasa bahwa kekuasaan itu cepat berlalu dan kerap terjadi bahwa beberapa keputusan yang keliru, dapat menyebabkan kekacauan total.
Kehadiran oposisi yang kuat dan efektif sangat penting bagi demokrasi yang sehat. Oposisi memastikan bahwa pemerintah bertanggungjawab, mendorong transparansi, dan memberi para pemilih pilihan kebijakan alternatif. Oposisi yang kuat juga mendorong perdebatan politik dan membantu mencegah pemusatan kekuasaan di satu partai atau kelompok.
Ada dua jenis oposisi: Oposisi Loyal dan Oposisi Radikal atau Non-Sistemik. Oposisi Loyal merujuk pada partai oposisi yang beroperasi dalam kerangka sistem politik dan menghormati legitimasi pemerintah. Tujuan mereka ialah meningkatkan tatakelola melalui kritik dan perdebatan yang membangun.
Oposisi Radikal atau Non-Sistemik adalah para kelompok atau partai yang mungkin tak mengakui legitimasi pemerintah saat ini dan mencari perubahan yang lebih mendasar pada sistem politik. Mereka sering beroperasi di luar kerangka politik yang mapan.
Singkatnya, oposisi politik memainkan peran penting dalam menjaga pengawasan dan keseimbangan yang diperlukan bagi tatakelola yang demokratis, memastikan bahwa beragam suara dan perspektif didengar dan dipertimbangkan.
Partai oposisi mungkin memiliki lebih sedikit sumber daya dan akses terhadap informasi dibanding partai yang berkuasa. Pihak oposisi boleh jadi akan kesulitan memperoleh perhatian media dan mengomunikasikan pesan mereka secara efektif kepada publik. Di beberapa negara, partai oposisi menghadapi pelecehan, intimidasi, dan pembatasan terhadap aktivitas mereka.
Namun bagaimanapun juga, kehadiran oposisi yang kuat dan efektif sangat penting bagi demokrasi yang sehat. Hal ini memastikan bahwa pemerintah bertanggungjawab, mendorong transparansi, dan menyediakan pilihan kebijakan alternatif bagi para pemilih. Oposisi yang kuat juga mendorong perdebatan politik dan membantu mencegah pemusatan kekuasaan di satu partai atau kelompok.
Singkatnya, oposisi politik memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan dan pengawasan yang diperlukan bagi pemerintahan yang demokratis, memastikan bahwa berbagai suara dan perspektif didengar dan dipertimbangkan."
Bagong: "Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pihak oposisi?" Semar: "Dalam sistem demokrasi, pihak oposisi umumnya beroperasi dalam batasan hukum dan kelembagaan yang ditetapkan, yang memungkinkannya menentang kebijakan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan alternatif. Namun, tindakan ini diimbangi dengan pembatasan untuk memastikan bahwa kegiatan oposisi tetap sah dan konstruktif.
Pihak oposisi berhak memeriksa dan mempertanyakan tindakan, kebijakan, dan pengeluaran pemerintah, terutama dalam lingkungan parlementer. Mereka mencapainya melalui debat, penyelidikan, dan dengan mengajukan pertanyaan dalam sesi legislatif.
Partai oposisi dapat menyusun dan mengusulkan kebijakan alternatif, dengan demikian memberikan pilihan kepada pemilih dan menyoroti berbagai pendekatan terhadap pemerintahan.
Pihak oposisi dapat memberikan suara menentang usulan pemerintah atau mendukung undang-undang yang mereka setujui, dengan demikian mempengaruhi hasil kebijakan.
Pihak oposisi diperbolehkan menyelenggarakan rapat umum, kampanye, dan pertemuan publik untuk melibatkan pemilih, meningkatkan kesadaran tentang isu-isu utama, dan membangun dukungan bagi tujuan mereka.
Pihak oposisi dapat membentuk kabinet bayangan untuk meneliti pekerjaan menteri pemerintah secara ketat, yang secara efektif bertindak sebagai "pemerintah yang sedang menunggu" dalam persiapan bagi pemerintahan potensial di masa mendatang.
Pihak oposisi bertugas mengkritik kebijakan pemerintah dan memberikan pendapat yang berbeda. Mereka terlibat dalam debat konstruktif untuk menantang, menyempurnakan, atau menolak kebijakan yang mereka yakini bertentangan dengan kepentingan publik.
Pihak oposisi tak dapat secara hukum mendukung atau menghasut dengan kekerasan, pemberontakan, atau segala bentuk kegiatan melawan hukum terhadap pemerintah atau ketertiban umum. Tindakan tersebut biasanya dianggap ilegal dan dapat mengakibatkan konsekuensi hukum.
Sebagian besar pemerintah memiliki undang-undang yang membatasi tindakan yang dapat membahayakan keamanan nasional, semisal mengungkapkan informasi rahasia atau bekerjasama dengan entitas asing dengan cara yang membahayakan kepentingan nasional.
Dalam beberapa sistem politik, pihak oposisi mungkin tak berkemampuan sepenuhnya memblokir undang-undang, terutama jika partai yang berkuasa punya mayoritas yang berarti. Namun, mereka masih dapat menggunakan alat prosedural untuk menunda atau memperdebatkan undang-undang.
Meskipun pihak oposisi dapat mengkritik dan mempertanyakan cabang eksekutif, mereka tak punya kendali langsung atas tindakan dan keputusan eksekutif. Peran mereka terutama bersifat nasihat atau kritis kecuali mereka memperoleh dukungan mayoritas.
Meskipun anggota oposisi punya hak istimewa parlementer, mereka diharapkan agar menggunakannya secara bertanggungjawab. Melakukan fitnah, menyebarkan informasi yang salah, atau menyalahgunakan posisi mereka, dapat digugat secara hukum.
Oposisi dalam rezim otoriter menghadapi berbagai tantangan yang menghambat efektivitas dan kemampuan mereka memobilisasi diri melawan pemerintah yang berkuasa. Dalam banyak konteks otoriter, partai-partai oposisi beroperasi di lapangan permainan yang tak seimbang, dimana sistem pemilihan sangat condong ke arah pemerintah yang sedang berkuasa. Petahana sering memanipulasi undang-undang pemilihan untuk membatasi partisipasi oposisi, seperti dengan memberlakukan persyaratan pendaftaran yang ketat atau mengubah batas distrik untuk mengencerkan suara oposisi. Partai yang berkuasa biasanya memonopoli sumber daya negara, sehingga menyulitkan partai-partai oposisi bersaing secara efektif. Ini termasuk kontrol atas media, pendanaan, dan lembaga-lembaga publik, yang secara berarti dapat mengurangi visibilitas dan kelayakan kandidat oposisi.
Pasukan pemerintah mungkin menggunakan taktik intimidasi, termasuk pelecehan, pemenjaraan, atau bahkan kekerasan terhadap para pemimpin dan pendukung oposisi. Hal ini memunculkan iklim ketakutan yang menghambat keterlibatan dan mobilisasi politik. Rezim otoriter seringkali menekan media independen dan mengendalikan penyebaran informasi, sehingga membatasi kemampuan oposisi mengomunikasikan pesannya dan menjangkau pendukung potensial.
Konsep "exit, voice, and loyalty," yang dirumuskan oleh ekonom Albert O. Hirschman (Exit, Voice, and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations, and States, 1970, Harvard University Press), menyajikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami dinamika oposisi politik dalam rezim otoriter. Model ini menguraikan tiga respons potensial yang dapat dimiliki individu ketika menghadapi ketidakpuasan: mereka dapat memilih untuk keluar (meninggalkan situasi), menyuarakan (mengungkapkan kekhawatiran mereka), atau tetap loyal (tetap bertahan meskipun ada keluhan).
Dalam rezim otoriter, "exit" kerap terwujud sebagai emigrasi atau pengasingan politik. Warga negara yang tak puas dengan kebijakan rezim, mungkin memilih meninggalkan negaranya, terutama ketika mereka merasa bahwa kemampuan mereka melakukan perubahan melalui cara lain terbatas. Misalnya, di negara-negara semisal Suriah dan Jerman Timur, migrasi keluar yang berarti terjadi karena warga negara mencari kondisi yang lebih baik di tempat lain. Pilihan ini berfungsi sebagai katup pengaman bagi rezim, yang memungkinkan mereka menyingkirkan para pembangkang sekaligus mengurangi tekanan langsung untuk melakukan reformasi.
"Voice" mengacu pada upaya warga negara mengekspresikan ketidakpuasannya dan mengupayakan perubahan dalam sistem yang ada. Namun, dalam konteks otoriter, ruang bersuara seringkali sangat dibatasi. Protes dan perbedaan pendapat di depan umum dapat menyebabkan tindakan balasan yang keras dari negara, yang membuat individu enggan menyuarakan pendapatnya secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa warga negara mungkin masih berperan dalam bentuk protes atau remonstrasi, mengarahkan keluhan mereka kepada pejabat tingkat bawah daripada secara langsung menantang rezim itu sendiri. Fenomena ini telah diamati di Kazakhstan, dimana kelompok oposisi berusaha mengartikulasikan keluhan sambil menavigasi lingkungan politik yang represif.
Loyalty memainkan peran penting dalam kerangka ini, khususnya dalam rezim otoriter dimana pemerintah dapat menumbuhkan rasa loyalitas di antara warga negaranya melalui manfaat ekonomi atau stabilitas sosial. Banyak warga negara akan tetap loyal karena takut akan dampak dari perbedaan pendapat atau karena mereka menganggap bahwa meninggalkan rezim akan mengakibatkan hilangnya status dan keamanan. Dalam kasus semisal di China, dimana kelas menengah yang sedang berkembang bergantung pada pekerjaan dan tunjangan negara, loyalitas dapat dipertahankan bahkan di tengah ketidakpuasan. Loyalitas ini mempersulit dinamika oposisi karena dapat menghambat jalan keluar dan suara.
Hubungan antara exit dan voice amatlah kompleks; Hirschman mencatat bahwa ketika pilihan exit tersedia dengan mudah, individu akan cenderung tak menggunakan suara mereka. Sebaliknya, migrasi keluar yang substansial terkadang dapat memicu tindakan kolektif di antara mereka yang bertahan, seperti yang terlihat di Jerman Timur sebelum reunifikasi ketika peningkatan emigrasi menyebabkan protes massa yang menuntut reformasi. Dalam rezim otoriter, interaksi ini menunjukkan bahwa meskipun exit pada awalnya dapat mengurangi tekanan pada rezim, juga dapat mengkatalisasi suara di antara mereka yang tertinggal. Singkatnya, kerangka kerja "exit, voice, dan loyalty" menggambarkan bagaimana warga mengatasi ketidakpuasan dalam rezim otoriter. Sementara exit menawarkan jalan keluar bagi sebagian orang, hal itu dapat melemahkan oposisi yang terorganisasi dan mengurangi tindakan kolektif. Suara tetap penuh dengan risiko tetapi penting untuk menantang praktik otoriter; namun, loyalitas seringkali memperumit dinamika ini dengan mengikat warga pada rezim meskipun ada kekesalan. Memahami interaksi ini membantu memperjelas tantangan yang dihadapi oleh oposisi politik dalam konteks seperti itu dan menyoroti strategi bernuansa yang digunakan oleh warga yang mengupayakan perubahan."
Bagong: "Bagaimana konsep Hirschman tentang "exit, voice, dan loyalty" diterapkan pada gerakan politik modern?"