Jumat, 28 Desember 2018

Bagai Serigala-serigala Lapar (2)

Sang lelaki tua melanjutkan, "Imam Abu Bakar al-Ajuri, yang merupakan salah seorang ulama dan guru yang bijak pada awal abad keempat, menulis sebuah risalah tentang tata krama dan kepekaan-rasa para 'Ulama, dan inilah salah satu karya terbaik dalam topik ini. Orang yang mempelajarinya, akan tahu darinya, jalan para ulama salaf, dan akan tahu jalan-jalan bid'ah, yang bertentangan dengan jalan mereka. Jadi, ia menggambarkan para 'Ulama Suu' dengan panjang lebar, dari petikan uraiannya, bahwa,
"Orang itu tergila-gila dengan dunia ini, dan dengan pujian, kehormatan dan kedudukan bersama orang-orang yang menyukai dunia ini. Ia menggunakan ilmu sebagai perhiasan, laksana seorang wanita cantik yang menghiasi dirinya dengan perhiasan dunia, namun ia tak menghiasi ilmunya dengan amal."
Imam Abu Bakar al-Ajuri kemudian menyebutkan uraian yang panjang, dan kemudian berkata,
“Jadi, karakteristik ini dan sejenisnya, menguasai qalbu orang yang tak mendapatkan manfaat dari ilmu, sementara ia membawa atribut-atribut ini, dirinya mencintai status dan jabatan - sehingga ia suka duduk bersama raja dan putra-putra dunia ini. Kemudian, ia suka mengikuti gaya hidup mewah mereka, menyukai pakaian mewah mereka, kendaraan nyaman, para pelayan, pakaian bagus, tempat tidur yang lembut dan makanan lezat. Ia menyukai orang-orang yang berduyun-duyun ke depan pintunya, bahwa perkataannya didengarkan, dan bahwa ia dipatuhi - dan ia hanya dapat mencapai yang terakhir dengan menjadi seorang Qadhi - maka ia mendambakannya. Kemudian ia tak dapat mencapainya kecuali dengan mengorbankan agamanya, maka iapun merendahkan dirinya dihadapan para penguasa dan para pembantu mereka, melayani dan memberi mereka kekayaannya sebagai upeti. Ia tetap diam saat melihat perilaku buruk mereka setelah memasuki istana dan rumah mereka. Kemudian di atas semua ini, ia memuji-muji perbuatan buruk mereka dan menyatakan bahwa mereka orang baik, dengan menggunakan tafsir yang keliru, agar dapat mendongkrak statusnya. Maka, ketika ia membiasakan diri berbuat hal seperti ini dalam jangka waktu yang lama dan kebathilan telah mengakar dalam dirinya - maka merekapun menunjuknya menduduki jabatan Qadhi, dan dengan demikian, mereka menikamnya tanpa belati."
Kemudian, setelah mereka membantunya, hingga ia berkewajiban, dan harus, menunjukkan rasa terima kasihnya kepada mereka - maka ia bersusah payah memastikan bahwa ia tak boleh menunjukkan sikap amarah terhadap mereka, karena akan menyebabkan mereka, memindahkannya dari jabatannya. Sebaliknya, ia tak peduli bahwa perbuatannya itu mengundang murka Rabb-nya, sehingga ia menyalahgunakan harta anak yatim, para janda, orang miskin dan yang membutuhkan, dan harta yang dipersembahkan sebagai anugerah Dien, bagi mereka yang berjihad dan para Ahlul Bait, dan harta yang seharusnya bermanfaat bagi umat Islam - namun sebaliknya, ia menggunakannya untuk memuaskan para pegawai, pengurus rumah tangga dan pelayannya. Maka, iapun memakan apa yang diharamkan dan memberi makan dengan apa yang diharamkan, serta menambah bukti-bukti yang kelak akan melawannya. Celakalah bagi orang yang berilmu dimana Rasulullah (ﷺ) memohon perlindungan dan memerintahkan kita agar meminta perlindungan. Itulah ilmu, yang disebutkan oleh Rasulullah (ﷺ), beliau bersabda, “Diantara orang-orang yang menerima hukuman terberat pada Hari Kiamat adalah para 'Ulama yang tak diberi manfaat melalui ilmunya oleh Allah.” [At-Tabarani; Da'if. Namun diriwayatkan sebagai perkataan Abu Darda].
Beliau (ﷺ) pernah bermohon,
(Allahumma inni a’udzubika minal arba’i, min `ilmin laa yanfa`u, wa min qalbin laa yakhsya`u, wa min nafsin laa tasyba`u, wa min du`aa di laa yusma`u)
"Ya Allah! Aku berlindung pada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat; dan dari qalbu yang tak merasakan takut; dan dari jiwa yang tak pernah merasa puas; dan dari permohonan yang tak didengar." - [Ahmad dan Abu Dawud; Sahih oleh al-Hakim]
Dan beliau (ﷺ) pernah mengucapkan,
(Allahumma inni as`aluka `ilman naafi`an, wa a`udzubika min` ilman laa yanfa`u)
"Ya Allah! Aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan aku berlindung pada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat. ”- [Ibnu Hibban; Hasan]
Inilah yang dituturkan oleh Imam Abu Bakar al-Ajuri, rahimahullah, yang hidup di akhir abad keempat, ketika kejahatan merajalela pada zamannya - la haula wa la quwwata illa billah.

Bagi mereka yang mencintai Allah, maka mereka membatasi keinginan mereka terhadap sesama ciptaan. Mereka juga hendaknya mencintai Allah, taat kepada-Nya dan mengesakan-Nya dalam segala ibadah dan mengakui Keilahian-Nya. Tipe orang ini, tak menginginkan imbalan atau ucapan terima kasih apapun dari ciptaan, melainkan mengharap imbalan atas amalnya itu dari Allah. Allah berfirman,
"Tidaklah mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian ia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (ia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” Dan tak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Patutkah ia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi Muslim?" - [QS.3:79-80]
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
“Janganlah berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nasrani memuji al-Masih, putra Maryam. Sesugguhnya, aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah, hamba Allah dan Rasul-Nya.”[Sahih al-Bukhari]
Rasulullah (ﷺ) juga pernah mengkritik siapapun yang tak berpegang teguh pada tata-krama dalam menyebut beliau, seperti sabda beliau,
"Jangan katakan, 'Apapun yang Allah dan Fulan kehendaki,' melainkan katakan, ‘Apapun yang dikehendaki Allah dan kemudian apa yang Fulan kehendaki.' - [Imam Ahmad dan Abu Dawud; Sahih]
Rasulullah (ﷺ) pernah menjawab seseorang yang berkata, "Apapun yang Allah dan dirimu kehendaki," dengan mengatakan,
“Sudahkah engkau menjadikanku sekutu bagi Allah! Lebih baik mengatakan, "Apapun yang Allah kehendaki saja." - [Imam Ahmad; Hasan]
Ada hakim-hakim yang shalih pernah mencegah orang-orang memanggil mereka 'Hakim dari para hakim' (Qaadiyyul-Qudaat) karena nama ini menyerupai nama 'Raja para raja'  yang dicela oleh Rasulullah (ﷺ).
Khalafaur Rasyidin, sebagai penerus Rasulullah (ﷺ), para pengikut dan hakim mereka, tak pernah memberi panggilan yang mulia bagi diri mereka sendiri, melainkan hanya untuk kemuliaan Allah saja dan mengesakan-Nya dalam ibadah dan keilahian. Dari mereka, ada orang-orang yang tak menginginkan jabatan sama sekali, kecuali untuk membantu menegakkan seruan kembali kepada Allah saja. Ada orang shalih yang menerima posisi hakim berkata,
"Sesungguhnya, aku menerima ini untuk membantuku dalam amar ma'ruf nahi mungkar."
Jenis kedua, yang mencari status dan kedudukan, adalah melalui hal-hal yang menyangkut Dien seperti ilmu, amal dan zuhud (menghindari dunia dan kesenangannya). Ini lebih jahat dari tipe pertama, lebih memalukan, lebih merusak dan lebih berbahaya. Karena ilmu, amal dan zuhud adalah jalan untuk mencari pangkat tertinggi dan kebahagiaan tanpa akhir yang ada bersama Allah, dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sufyan ibnu Sa'id ats-Tsauri, imam dari para penerus tabi'in berkata,
"Keunggulan ilmu itu, hanya disebabkan oleh fakta bahwa ia menyebabkan seseorang takut dan taat kepada Allah, jika tidak, sama saja seperti yang lainnya."
Jadi, jika ada orang yang mencari melalui dunia ini, maka hal ini juga terbagi dalam dua jenis. Tipe pertama, orang yang mencari kekayaan melaluinya - maka inilah bagian dari keinginan mengejar kekayaan dan mencarinya melalui jalan yang diharamkan. Mengenai hal ini, ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah (ﷺ),
"Siapapun yang menuntut ilmu yang darinya Wajah Allah dicari, namun tak mempelajarinya kecuali untuk tujuan duniawi, maka ia takkan mencium aroma surga pada Hari Kiamat." - [Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban; Sahih]
Alasan untuk ini, wallahu a'lam, bahwa, di dunia ini, ada firasat surgawi, dan itulah ilmu tentang Allah, cinta kepada-Nya, bahagia dengan-Nya, ingin bertemu dengan-Nya, takut pada-Nya dan menaati-Nya. Jalannya, ditunjukkan oleh ilmu yang bermanfaat, dan ia yang ilmunya membawa kepada pengalaman mencicipi surga di dunia ini, akan memasuki surga di akhirat, dan ia yang tak mencium aroma wanginya, takkan mencium aroma surga di Akhirat. Karenanya, orang yang menerima hukuman terberat di akhirat, adalah Ulama yang Allah tak berikan manfaat dari ilmunya. Ia akan menjadi bagian dari orang-orang yang akan menderita penyesalan paling mendalam pada Hari Kiamat, karena ia memiliki apa yang diminta untuk membawanya ke tingkat tertinggi dan maqam tertinggi di Firdaus, namun ia menggunakannya hanya untuk mencapai yang tingkat paling rendah, yang terburuk dan terhina. Maka, ia bagaikan orang yang memiliki mutiara berharga dan mahal, lalu menjualnya dengan sepotong kotoran hewan, atau sesuatu yang kotor dan tak berguna. Inilah keadaan seseorang yang mengidamkan dunia ini dengan ilmunya, lebih tepatnya, ia lebih buruk. Lebih buruk lagi adalah orang yang mencari dunia dengan ilmunya, namun secara lahiriah memperlihatkan bahwa ia adalah orang yang menjauhkan diri dari dunia ini - inilah tipuan yang sangat tercela.

Tipe kedua adalah, orang yang melalui ilmu, amal dan zuhudnya, mencari kedudukan dan kehormatan di atas orang lain, dan bahwa ciptaan harus mematuhi dan tunduk padanya, dan memalingkan wajah mereka kepadanya. Ia berusaha agar tampak nyata bagi masyarakat bahwa ia memiliki ilmu yang lebih banyak dibanding para ulama lainnya, sehingga ia dapat mencapai jabatan yang lebih tinngi daripada mereka, dan seterusnya. Tempat yang ditunjuk bagi orang seperti ini adalah Api Neraka. Karena ia berniat, dengan angkuh mengangkat diri di atas ciptaan, sesuatu yang terlarang, maka jika seseorang mencari dunia melalui jalan untuk mencapai akhirat, maka inilah yang lebih buruk dan lebih hina daripada berusaha menggunakan cara-cara duniawi, seperti kekayaan dan kekuasaan.
Ibnu Mas`ud, radiyallahu `anhu, berkata,
"Janganlah menuntut ilmu demi tiga orang, berdebat dengan orang-orang bodoh, atau bersaing dengan para Ulama, atau agar orang lain lebih memandangmu. Lebih baik, carilah dengan perkataan dan perbuatanmu, apa yang ada pada Allah - karena hal-hal itu akan tetap ada, dan yang lainnya akan musnah."
Inilah perkataan yang baik, karena cinta akan kekayaan dan status, disebabkan oleh hasrat akan dunia ini, dan hasrat akan dunia ini dihasilkan dari mengikuti keinginan seseorang. Hasrat seseorang akan mengajak pada mendambakan dunia ini dan cinta akan kekayaan serta status di dalamnya. Namun, taqwalah yang mencegah seseorang dari mengikuti hasratnya dan mencegahnya mendambakan dunia ini. Allah berfirman,
"Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya)." - [QS.79:37-41]
Kemudian, sang lelaki tua berkata, "Wahai anak muda, ketahuilah bahwa jiwa manusia itu, suka mengejar kedudukan dan jabatan di atas yang sepertinya, dan inilah yang menghasilkan keangkuhan dan kedengkian. Namun, orang yang cerdas, berjuang untuk mendapatkan jabatan yang kekal dan abadi, yang berada dalam ridha Allah, dan dalam kedekatan dengan-Nya, dan ia berpaling dari pangkat yang singkat dan berumur pendek, yang diikuti oleh Kemurkaan Allah, dan berarti kejatuhan, kehinaan-diri dan membuat jarak dengan Allah.
Engkau terus-menerus dikelilingi oleh gelombang-gelombang materialisme yang menakutkan, mengamuk melawanmu dari segala arah, dan engkau hendaknya berusaha membangkitkan semangatmu, serta menggerakkan tubuhmu yang tak berdaya agar selamat dari gelombang-gelombang ganas dan membawanya dengan aman ke pantai iman yang kokoh. Tiada keraguan bahwa perjuangan ini akan dihadapi oleh setiap orang. Mudah diucapkan, namun tidaklah mudah menerapkannya dalam hidup seseorang. Ia harus berjuang melawan dunia ini, Iblis, hasrat rendahnya dan hawa-nafsunya. Anak-panah ditembakkan ke arahnya bertubi-tubi tanpa akhir. Begitu ia dapat menyelamatkan dirinya dari sebuah anak-panah, maka anak-panah yang lain mengikutinya: kegelapan di atas kegelapan. Kita memohon perlindungan kepada Allah! Wallahu a'lam."
"Sungguh, bukti-bukti yang nyata telah datang dari Rabb-mu. Barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tak melihat kebenaran itu), maka ia merugi. Dan aku (Muhammad) bukanlah penjaga-(mu)." - [QS.6:104]
[Bagian 1]
Rujukan :
- Al-Haafidh ibn Rajab al-Hanbaalee, The Evil of Craving for Wealth and Status, Al-Hidaayah.
- Sheikh 'Abd al-Hamid Kishk, Dealing with Lust and Greed According to Islam, Dar Al-Taqwa

Senin, 24 Desember 2018

Bagai Serigala-serigala Lapar (1)

Lalu, sang lelaki tua berkata, "Wahai anak muda, banyak orang, sadar atau tanpa sadar, telah membawa dirinya menuju kehancuran karena sesuatu yang didambanya. Menginginkan harta-benda duniawi, pengakuan dan kekuasaan di antara manusia - inilah cobaan bagi bangsa-bangsa di masa lalu, dan sekarang ini, banyak dari kita, tanpa henti mengejarnya. Akibat dari ketamakan mengumpulkan harta, dapat menyebabkan seseorang melakukan sesuatu yang menyimpang. Demikian juga, hawa-nafsu seseorang yang telah memperoleh status dan kedudukan - umumnya akan menghalanginya dari kebajikan, martabat dan kehormatan Akhirat - dan dapat menjadikannya angkuh dan memandang rendah, serta meremehkan orang lain.
Ketahuilah bahwa hawa-nafsu adalah hasrat yang paling rendah untuk mendapatkan sesuatu, yang ia bayangkan akan memuaskan atau menyenangkannya. Diri manusia itu, bersesuaian dengan hawa-nafsunya. Jika hawa-nafsu itu lepas kendali, manusia akan terus mencari lebih banyak dan lebih banyak lagi, yang akan membawanya pada kebinasaan. Mereka akan binasa karena melampaui batas dan meninggalkan jalan yang benar. Karena itu, penting bagi seseorang agar mengekang hawa-nafsunya dan menahan diri dengan kecukupan. Semakin banyak engkau melepaskan hawa-nafsumu, semakin banyak yang diinginkannya. Jika engkau membiasakannya dengan kecukupan, ia juga akan tetap merasa puas.

Ini berarti bahwa hawa-nafsu hendaknya selalu dijaga oleh benteng intelek yang tak dapat ditembus. Ia diperlukan sebagai bahan bakar bagi kehidupan di dunia ini, akan tetapi, siapapun yang terus-menerus menyerah kepadanya, akan ketagihan pada dunia ini, dan senang bersamanya, akhirnya mengorbankan Akhiratnya. Manusia adalah sukma dan tubuh. Sukmanya menginginkan agar ia naik ke tingkat keluhuran-budi yang tinggi dan diberi persyaratan sendiri dalam hal Al-Qur'an dan Sunnah, serta berbagai amal-shalih seperti shalat, puasa, zakat, menjaga ikatan kekerabatan, ucapan yang tulus, kebaikan, kelembutan dan kesabaran, dan menjaga hubungan kekerabatan.
Tubuh ini hanya memerlukan sedikit materi, yang cukup agar menjaga punggung tetap lurus. Jika mendapatkannya, hawa-nafsu akan merasa puas dan tak melampaui batas. Ini akan mendorongmu agar melakukan yang benar dan mencegahmu berbuat salah, dan menjadi teman bagimu, baik pada Dien maupun di dunia ini. Namun jika seseorang teralihkan dari dunia spiritual kepada dunia kebendaan, nafsu rendahnya pasti akan tertinggal di belakang kafilah iman, dan ia akan disibukkan oleh tuntutan, dorongan, dan ketidaksabaran. Ia layaknya seperti kuda yang tak terkendali, yang berkeliaran ke seluruh tempat tanpa ada yang menahannya, tiada tujuan yang akan dituju dan tiada jalan yang jelas untuk ditapaki. Kita berlindung kepada Allah! Itulah malapetaka, kegagalan total kehidupan yang menyedihkan.

Dari Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Api (Neraka) dikelilingi oleh segala jenis keinginan dan nafsu, sementara Firdaus dikelilingi oleh segala jenis hal-hal yang tak diinginkan, yang tak disukai." - [Sahih al-Bukhari]
Penjelasannya dapat ditemukan dalam hadits lain,
"Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Neraka, dan Dia berfirman kepada Jibril, 'Pergi dan lihatlah.' Jibril pergi dan melihatnya, lalu kembali dan berkata, "Demi Kegungan-Mu, tak ada yang akan mendengarnya dan kemudian memasukinya!" Kemudian Allah menyelubunginya dengan nafsu dan berkata, 'Sekarang pergi dan lihatlah.' Maka Jibril pergi dan melihatnya, lalu kembali dan berkata, "Demi Keagungan-Mu, sekarang aku khawatir tak ada yang akan selamat bila memasukinya!" Dia menciptakan Surga dan berkata kepada Jibril, "Pergi dan lihatlah." Ia pergi dan melihatnya, dan berkata," Demi Keagungan-Mu, tiada yang akan mendengarnya tanpa memasukinya!" Kemudian Dia menyelubunginya dengan hal-hal yang sulit dan kemudian berkata, "Pergi dan lihatlah." Jibril pergi dan melihatnya, lalu kembali dan berkata, 'Demi Keagungan-Mu, aku khawatir, sekarang tak ada yang akan memasukinya!' "- [Jami 'at-Tirmidzi; Hasan]
Jadi, barangsiapa yang memaksa qalbunya agar tak menuruti hasratnya dan yang didamba oleh nafsunya itu, serta tak disukai oleh Rabb-nya, maka ia telah melindungi dirinya dari Api Neraka dan telah mewajibkan Allah melindunginya dari sana. Sebagian besar tindakan yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Allah, tak menyenangkan-hati dan meletihkan anggota tubuh. Hal-hal ini, cenderung bertentangan dengan sifat manusia dan membebani nafsu.

Allah mengenal ciptaan-Nya dan mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Dia tahu bahwa bagian dari sifat manusia itu, menyukai apa yang bersepakat dengannya dan tak menyukai apa yang menentangnya. Hawa-nafsu melompat menuju yang satu dan menafikan yang lain. Tak seorang pun akan meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya tanpa ancaman hukuman yang menyakitkan, yang menantinya, jika tidak; maka tak seorang pun akan menghadapi kesulitan, tanpa harapan dan janji kebahagiaan kekal yang menantinya, jika ia melakukannya. Orang-orang hanya meninggalkan nafsunya dan menghadapi kesulitan karena rasa takut dan harapan. Oleh karena itu, Allah menakuti dan memberi ancaman kepada hamba-hamba-Nya, namun Dia memberi mereka harapan dan janji yang pasti kepada mereka, sehingga mereka takut dan berharap hanya pada-Nya.
Beginilah cara Allah menggambarkan mereka yang memahaminya dan takut pada-Nya,
"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya)." - [QS.79:40-41]
Allah berfirman bahwa ketika seseorang takut pada Rabb-nya, ia akan mengekang hawa-nafsunya. Dengan kata lain, orang-orang yang bertaqwa, menjauhkan diri dan menghindari apa yang dilarang oleh Allah. Allah menggambarkan mereka ketika Dia berfirman,
"Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu setelah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (menghadap) ke hadirat-Ku dan takut akan ancaman-Ku.” - [QS.14:14]
Hawa-nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat, yang dijalin bersama dengan kepribadian dan kebutuhan jasmani. Beberapa di antaranya diperlukan untuk kelangsungan keberadaan manusia di muka bumi. Namun jika berlebihan, akan menjadi sumber dari segala konflik, dari awal penciptaan hingga sekarang. Konflik dalam keluarga adalah hasil dari keinginan akan makanan, pakaian, perhiasan dan berbagai keinginan lain dari hawa-nafsu. Konflik antar negara adalah hasil dari keinginan akan kekayaan dalam berbagai bentuk, keinginan untuk berkuasa, serta untuk mengeksploitasi barang-barang milik orang lain.
Para utusan dan pesan-pesan Allah, datang satu demi satu untuk mengobati hawa-nafsu yang diakibatkan oleh manusia, yang menjadi ujian dan cobaan baginya. Para Nabi menunjukkan kepada kita bagaimana mengendalikan hasrat kita agar dapat menjaga kebutuhan jasmani kita, dalam batas-batas tertentu yang bermanfaat, dan memungkinkan kita agar menggunakan kecerdasan kita untuk merenungkan luasnya langit dan bumi; dan bahwa pada gilirannya, memungkinkan kita untuk menegaskan kebesaran Sang Pencipta sehingga kita dapat merendahkan diri di hadapan-Nya sebagai orang mukmin. Inilah peran sejati kita yang ada. Kita bukan sekadar hewan yang berusaha memuaskan naluri kita, mencurahkan seluruh energi, harta, dan hidup kita untuk pemuasan-diri itu.

Allah menciptakan manusia agar mengisi kembali eksistensinya, dengan kecerdasan dan upayanya, untuk menyebarkan keamanan, keadilan dan kemakmuran, dan untuk memerangi kebodohan, ketidakadilan dan penindasan. Allah menciptakan manusia agar berjuang melawan hawa-nafsunya, yang mendorongnya berbuat kejahatan, dan Allah memberi manusia kekuatan batin agar ia dapat menghadapi kesulitan dan beban hidupnya. Inilah yang sesungguhnya membentuk kehidupan manusia. Hidup yang bergelimang harta, kesenangan, dan pemenuhan hawa-nafsu, pada kenyataannya adalah kematian itu sendiri, karena manusia telah tertarik ke dalam bumi dan mengikuti hawa-nafsunya. Allah berfirman,
"Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir." - [7:176]
Ayat-ayat Allah yang jelas adalah makanan bagi sukma dan kecerdasan. Itulah cahaya yang nyata, yang merasuk ke dalam dada dan menghembuskan kehidupan ke dalam diri manusia, serta mengobati penyakit yang berupa keinginan, yang tiada pernah berakhir. Saat seseorang memuaskan keinginan hawa-nafsunya, ia berkata, "Masih ada lagi?" Jika hawa-nafsu terlepas kendali, ia pasti akan melemparkan manusia ke dalam jurang maut dan kegelapan yang terdalam.
Dalam Al-Qur'an, kita menemukan daftar hawa-nafsu yang paling menyeluruh. Semuanya ditempatkan dalam kategori utama dengan banyak turunannya. Allah berfirman,
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik." - [QS.3:14]
Allah menyebutkan enam jenis hawa-nafsu yang sering menyibukkan qalbu umat manusia dan mengalihkannya dari Dien mereka. Semua itulah dasar dari segala cobaan dalam kehidupan ini. Dua dari enam hawa-nafsu ini, terkait dengan wanita dan anak-anak, dan empat sisanya terkait dengan harta-benda, baik dalam bentuk uang maupun barang. Hal ini disebabkan peran pentingnya harta-benda dalam urusan manusia, dan bagian penting yang dimainkannya dalam membangun dan memajukan kehidupan, serta memberikan kemudahan dan kemewahan yang sangat disukai manusia.
Harta-benda, apalagi, adalah sarana mendasar untuk mewujudkan hasrat manusia lainnya. Ka'b bin Malik, radiyallahu ‘anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Dua serigala lapar yang dilepaskan ke tengah-tengah kawanan domba, tidaklah lebih merusaknya, dibanding ketamakan manusia akan harta dan status terhadap Dien-nya." - [Imam Ahmad, an-Nasa'i, at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban; Hasan-Sahih menurut at-Tirmidzi]
`Aasim bin `Adiy, radiyallahu `anhu, berkata, ‘Aku membeli seratus saham dari saham Khaibar dan itu didengar Rasulullah (ﷺ), maka beliau bersabda,
"Dua serigala lapar yang berada di antara kawanan domba, yang telah lepas dari pemiliknya, takkan lebih berbahaya dibanding seorang Muslim, yang mencari harta-kekayaan dan status, terhadap Dien-nya." - [At-Tabarani; Hasan oleh al-Haitsumi]
Ini suatu perumpamaan yang sangat besar, dituturkan Rasulullah (ﷺ) kepada kita, untuk menunjukkan bagaimana Dien umat Islam bila dirusak oleh keinginan akan harta dan status, dan bahwa kerusakan Dien yang disebabkannya, lebih berbahaya dibanding kerusakan yang disebabkan oleh serigala-serigala lapar dan rakus, yang menghabiskan malam di antara domba yang telah kehilangan gembalanya - sehingga serigala-serigala itu berpesta-pora dan membantainya.
Jelas sekali, takkan ada seekor dombapun yang selamat dari malapetaka yang disebabkan oleh serigala yang lapar ini - dan Rasulullah (ﷺ) menyampaikan bahwa hasrat akan harta dan status, akan menyebabkan kerugian yang lebih besar dibanding akibat yang ditimbulkan oleh serigala-serigala yang lapar ini. Paling tidak, hasilnya akan sama atau bahkan lebih buruk. Jadi, ini juga menunjukkan bahwa Dien seorang Muslim, takkan bisa aman jika ia menginginkan harta dan status di dunia ini - bagaikan domba-domba itu, yang tak selamat dari serigala yang lapar. Kesamaan ini mengandung peringatan keras terhadap akibat buruk dari keinginan akan harta dan status di dunia ini.
Ada dua jenis keinginan akan harta. Jenis pertama adalah, seseorang terlalu mendambakan harta dan juga tanpa henti mengerahkan tenaga untuk menggapainya - dengan cara yang diperbolehkan - namun sangat berlebihan dalam mengejarnya, berupaya keras dan melakukan upaya yang melelahkan dan membanting-tulang untuk memperolehnya.
Mengejar-ngejar harta-kekayaan tidaklah lebih bernilai dibanding menghamburkan kehidupan mulia seseorang. Sebenarnya, ia bisa memperoleh peringkat tertinggi di Firdaus dan kebahagiaan abadi, namun ia akan kehilangan itu karena sibuk mengejar harta-kekayaan - padahal telah dipastikan kepadanya, bahwa takkan mungkin ada sesuatu yang didatangkan kepadanya kecuali telah digariskan untuknya - kemudian setelah memperoleh harta itu, ia tak memperoleh apa-apa darinya, kemudian mengabaikannya, dan membiarkannya diambil orang lain.

Ia meninggalkan semua itu, tanpa sadar bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban, namun orang lainlah yang mendapatkan keuntungannya. Jadi, sebenarnya, ia hanya mengumpulkannya, namun orang lain yang mendapat manfaatnya. Pada kenyataannya, ia hanya mengumpulkannya bagi seseorang, yang takkan pernah mau memuliakannya dengan hasil itu, sementara ia sendiri, harus berhadapan dengan Dia Yang takkan mau memaafkannya, dan inilah bukti dari akibat buruk mengejar hasrat akan harta-benda. Orang yang memiliki hasrat ini, membuang-buang waktu berharganya dan melibatkan dirinya ke dalam sesuatu yang tak bermanfaat bagi dirinya sendiri - dalam perjalanannya dan menjeratkan diri terhadap bahayanya menumpuk harta, yang sebenarnya, hanya akan bermanfaat bagi orang lain. Ada yang berkata kepada orang bijak, "Fulan telah menumpuk harta," maka ia bertanya, "Sanggupkah ia menghabiskannya?" Dijawab, "Tidak" Maka ia berkata, "Kalau begitu, ia tak mengumpulkan apapun!"

Ibnu Mas’ud, radiyallahu `anhu, berkata,
"Iman adalah bahwa engkau tak membahagiakan orang lain dengan mengundang murka Allah, dan bahwa engkau tak iri pada siapapun atas apa yang telah Allah berikan, dan bahwa engkau tak menyalahkan siapapun atas sesuatu yang Allah tak berikan kepadamu - karena rezeki itu takkan diberikan kepada seseorang yang mengejarnya, juga takkan diingkari oleh orang yang tak menyukainya. Sesungguhnya, Allah melalui Keadilan-Nya, telah menjadikan sukacita dan kebahagiaan bergantung pada Iman dan kecukupan, dan Dia telah menjadikan kekhawatiran dan kesedihan muncul dari keragu-raguan dan ketidaksenangan."
Orang bijak berkata,
“Mereka yang memiliki tingkat kegelisahan terbesar adalah orang yang iri, mereka yang memiliki tingkat kebahagiaan terbesar adalah orang yang merasa cukup. Mereka yang sangat gigih melalui penderitaan adalah mereka yang tamak. Mereka yang memiliki kehidupan paling bersahaja dan paling menyenangkan adalah mereka yang paling kuat menolak dunia ini. Orang yang akan mengalami penyesalan terbesar adalah 'Ulama yang perbuatannya bertentangan dengan ilmunya.”
Mendambakan dunia ini, menyiksa seseorang, ia sibuk dan tak memperoleh kesenangan atau kenikmatan saat menimbunnya - karena kesibukannya itu. Ia tak punya waktu untuk Akhirat, karena cintanya pada dunia ini, dan ia disibukkan dengan apa yang akan binasa dan melupakan apa yang akan kekal dan abadi.

Jenis keinginan kedua terhadap harta adalah, bahwa selain dari apa yang telah disebutkan dalam jenis pertama, ia juga mengejar harta-kekayaan dengan cara-cara yang melanggar hukum dan menahan hak-hak orang lain - maka ini jelas merupakan keserakahan dan ketamakan yang patut dicela. Allah, Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"...Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." - [QS.59:9]
Diriwayatkan Abdullah bin 'Amr bin al-'As, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) berkhotbah dan bersabda,
"Jauhkan diri kalian dari ketamakan, karena mereka yang sebelum kamu, binasa akibat ketamakan. Ketamakan itu memerintah mereka agar memperlihatkan kebodohan; ketamakan itu memerintah mereka agar memutuskan tali silaturahim, maka mereka memutuskannya. Ketamakan itu memerintah mereka agar berlaku boros, maka mereka melakukannya.' - [Sunan Abi Dawud, al-Hakim dan Ahmad; Sahih]
Kata syuh (tamak) terkadang digunakan untuk sesuatu yang bermakna bukhl (kikir) dan sebaliknya, namun sebenarnya berbeda makna. Al-Qadi `Iyaad berkata,
"Ada kemungkinan bahwa kehancuran itu, adalah kehancuran mereka yang darahnya tumpah, yang disebutkan di sini, dan ada kemungkinan bahwa hal itu adalah kehancuran di akhirat - dan yang ini lebih jelas, dan mungkin itu berarti kehancuran dalam dua hal, Dunia dan Akhirat. Ada orang yang mengatakan bahwa ketamakan (syuh) lebih kejam daripada kekikiran (bukhl), dan menyebabkan orang tersebut tak mau memberi pada tingkat yang lebih tinggi. Ada yang mengatakan bahwa kekikiran berbaur dengan keserakahan, dengan mengacu pada sebuah tindakan yang spesifik, sedangkan ketamakan itu, bersifat umum, ada yang mengatakan bahwa kekikiran adalah tindakan tertentu dan ketamakan mengacu pada kekayaan dan tindakan yang baik, yang lain mengatakan bahwa ketamakan adalah keinginan yang tak dimiliki seseorang, dan kekikiran menyangkut apa yang dimiliki.”
Beberapa ulama berkata,
“Ketamakan itu, keinginan yang kuat, yang menyebabkan seseorang mengambil hal-hal yang tak halal baginya, dan menahan hak-hak orang lain. Kenyataannya, bahwa seseorang sangat membutuhkan apa yang diharamkan Allah, dan bahwa, seseorang tak puas dengan harta dan wanita, serta apa yang Allah telah halalkan untuknya. Jadi Allah Subhanahu wa Ta'ala, telah menghalalkan bagi kita, apa yang baik, dari makanan, minuman, pakaian dan wanita, dan Allah telah mengharamkan bagi kita memperolehnya, kecuali dengan cara yang halal, dan Dia telah menghalalkan bagi kita, darah dan harta orang-orang kafir dan mereka yang memerangi kita. Dia juga mengharamkan bagi kita, segala hal yang tidak suci, dari makanan, minuman, pakaian dan wanita, dan Dia telah mengharamkan bagi kita, merebut harta orang lain dan menumpahkan darah mereka secara tak adil. Jadi, orang yang membatasi dirinya pada hal-hal yang diperbolehkan baginya, adalah orang yang beriman, dan orang yang melampaui batas dan masuk ke dalam apa yang diharamkan - maka inilah ketamakan yang tercela, yang tak sejalan dengan Iman."
Karenanya, Rasulullah (ﷺ) menyampaikan bahwa ketamakan menyebabkan seseorang memutuskan hubungan kekerabatan, berbuat dosa dan menjadi kikir - dan kekikiran adalah orang yang dengan serakah tetap memegang pada apa yang ada didalam genggamannya. Sedangkan ketamakan berusaha mendapatkan apa yang bukan miliknya secara keliru dan tak adil - baik itu kekayaan maupun sesuatu yang lain. Bahkan dikatakan bahwa itulah induk segala dosa - inilah bagaimana Ibnu Mas`ud dan para Salaf, radiyallaahu` anhum, menjelaskan ketamakan dan keserakahan.
Abu Hurairah, radiyallahu `anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Ketamakan (syuh) dan Iman, takkan menyatu didalam qalbu orang yang beriman"
Juga, dalam hadits lain, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Yang terbaik dari Iman itu, menahan diri (sabr) dan patuh (musaamahah)."
Sabr di sini, dijelaskan sebagai menahan diri dari hal-hal yang tak diperkenankan, dan musaamahah sebagai pelaksanaan terhadap apa yang diwajibkan.
Jika keinginan seseorang akan harta mencapai tingkat ini, maka kerusakan yang diakibatkannya terhadap Dien seseorang akan tampak jelas - karena tak dapat memenuhi apa yang diwajibkan; dan bila terjerembab ke dalam apa yang dilarang, tanpa ragu lagi, akan mengikis Dien dan Iman seseorang, hingga tanpa ada setitikpun yang tersisa.

Mendamba dan mengejar status, bahkan lebih merusak dibanding keinginan akan harta. Mengejar status, kedudukan, kewenangan, dan kekuasaan di dunia ini, menyebabkan lebih banyak kerugian bagi seseorang dibanding bila ia mengejar harta - akan lebih merusak dan lebih sulit dihindari, karena bahkan hartapun dikeluarkan untuk mendapatkan kekuasaan dan status.
Mendambakan status ada dua jenis. Yang pertama adalah, mencari status melalui otoritas, kekuasaan, dan kekayaan, dan ini sangat berbahaya - karena biasanya akan mencegah seseorang dari kebaikan akhirat dan kemuliaan serta kehormatan dalam kehidupan selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Negeri akhirat itu, Kami jadikan bagi orang-orang yang tak menyombongkan diri dan tak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu, bagi orang-orang yang bertakwa." - [QS.28-83]
Jadi sangat jarang seseorang mencari kedudukan di dunia ini dengan cara mencari kekuasaan, dan diberi petunjuk, serta diberikan apa yang terbaik untuknya. Melainkan ia akan dibiarkan sendiri, seperti sabda Rasulullah (ﷺ) kepada `Abdur-Rahmaan ibnu Samurah, radiyallaahu `anhu,
"Wahai Abdur-Rahmaan! Janganlah meminta kekuasaan karena bila engkau diberikan karena memintanya, maka engkau diabaikan padanya, namun jika engkau diberikan tanpa memintanya, maka engkau akan ditolong di dalamnya." - [Ahmad dan al-Bukhari]
Ini bukan berarti menafikan peran-serta umat Islam dalam siyasah dan suksesi. Salah seorang Salaf berkata,
"Tiadalah orang yang mencari kedudukan melainkan berlaku adil di atasnya."
Imam an-Nawawi, rahimahullah, berkata,
“Inilah alasan yang baik untuk menghindari posisi kekuasaan, terutama mereka yang lemah - dan ini merujuk pada mereka yang tak cakap dan yang tak berlaku adil diatas kedudukan tersebut - maka ia akan menyesali kelalaiannya, saat ia dihina pada Hari Kiamat. Namun orang yang cakap bagi kedudukan itu, dan berlaku adil diatasnya - maka ada pahala yang sangat besar seperti yang ditunjukkan dalam sejumlah hadis. Namun berhubung masuk ke dalamnya membawa banyak bahaya, maka para Ulama besar, menghindarinya."
Ketahuilah bahwa mendamba dan mengejar status dan kedudukan, bila akan menghasilkan ketidakadilan, kesombongan dan kejahatan lainnya, pastilah menyebabkan kerugian besar sebelum pencapaiannya, karena perjuangan yang diperlukan untuk mencapainya, dan juga, dorongan hawa-nafsu yang kuat untuk meraihnya.
[Bagian 2]

Jumat, 21 Desember 2018

Wanita Bersandal Kayu

"Wahai anak muda, kita terperangkap oleh pesona dunia ini dan memanjakan diri dalam urusan duniawi, sehingga kita melupakan kewajiban utama dan tujuan akhir kita." ucap sang lelaki tua kepada sang musafir muda." Angsa melanjutkan kisahnya, "Lalu sang lelaki tua berkata, "Bila engkau merenungkan betapa kenyirnya manusia dalam kehidupan ini, menjalani dan menikmatinya, dan dengan riang berupaya keras mengumpulkan kekayaan yang hanya sementara, engkau akan merasa terkejut dan heran. Kehidupan seperti inikah yang mereka anggap sebagai tujuan akhir dan satu-satunya kehidupan yang dijalani? Mereka berperilaku seolah-olah mereka diciptakan untuk mengumpulkan harta dan berjuang untuk mendapatkan kekayaan dunia. Mereka telah melupakan hari dimana mereka akan kembali kepada Allah. Allah berfirman menggambarkan kehidupan ini,
"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tak lain hanyalah kesenangan yang palsu." - [QS.57:20]
Nabi Musa, alaihissalam, berkata kepada umatnya,
"Wahai kaumku! Sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal." - [QS.40:39]
Rasulullah (ﷺ) mengingatkan para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, tentang dunia dan kehidupannya yang beragam warna, dan mendorong mereka agar memikirkan akhirat.
Ibnu Khazimah meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri, radhiyallahu 'anhu, menyampaikan bahwa pada suatu hari, Rasulullah (ﷺ) berkhutbah yang panjang, tentang urusan dunia dan akhirat. Beliau (ﷺ) juga bersabda, "Sesungguhnya, hal pertama yang menghancurkan Bani lsrail adalah kemiskinan dan wanita miskin yang sangat mengistimewakan pakaian dan warna. Mereka mengenakan pakaian warna-warni yang hanya bisa dimiliki oleh wanita kaya."
Beliau (ﷺ) kemudian menyebut seorang wanita Bani Israil yang bertubuh pendek. Ia membeli sandal kayu untuk dirinya (agar menyembunyikan perawakannya yang pendek) dan membuat sendiri cincin dengan lubang yang dikunci dari atas. Ia mengisinya dengan minyak kesturi. Ia kemudian berjalan bersama wanita bertubuh jangkung atau gemuk. Orang-orang menyuruh seorang lelaki menguntit di belakang mereka dan ia mengenali wanita-wanita jangkung itu, namun tidak pada wanita bersandal kayu. - [Sahih Muslim dan Ahmad]
Rasulullah (ﷺ) mengingatkan para Sahabat agar menahan diri, tak melakukan apa yang dilakukan Bani Israil dan menghancurkan diri mereka sendiri. Beliau menyebutkan akar dan awal kehancuran Bani Israil. Awal kehancuran mereka terletak pada orang-orang kaya yang bermemegah-megah dalam hal berpakaian, berhias dan makan-minum. Mereka bersikap boros. Orang-orang miskin terkesan dengan standar kaum gani itu, dan istri mereka ikut-ikutan bersaing dan berusaha melakukan seperti yang dilakukan oleh para wanita rani itu. Keadaan ini, pada gilirannya, akan sangat memberatkan kaum suami yang miskin.

Kita melihat hal yang sama terjadi dalam masyarakat kita sekarang ini. Dalam usaha mengekor orang kaya, orang-orang miskin semakin melemahkan dan menempatkan diri mereka dalam jeratan hutang, yang menambah beban mereka. Manusia sibuk dalam kehidupan yang mewah, menetapkan bagi dirinya, standar yang keliru, dan walau ia telah mengumpulkan banyak sarana kenyamanan, ia tak pernah puas atau bahagia. Inilah salah satu contohnya. Wanita bertubuh pendek, yang sadar bahwa ia berpostur tubuh pendek, dan berusaha menampilkan dirinya dengan mengenakan sandal kayu khusus, agar menambah tinggi badannya, dan menggunakan minyak-wangi agar tercium aroma harum di sekitar tubuhnya. Ia menggunakan cincin emas, yang diisinya dengan minyal kesturi dan menyentaknya sesekali agar aromanya merebak. Orang-orang di sekeliling, mengenal wanita-wanita yang bertubuh jangkung, namun tak dapat mengenalinya.
Rasulullah (ﷺ) menunjukkan dengan menuturkan kisah ini, bahwa seseorang hendaknya tak menjalani kehidupan yang berlebih-lebihan dan tak mengikuti cara hidup yang penuh kepalsuan itu. Hal-hal inilah yang akan membuatnya melupakan tujuan hidupnya dan menyebabkan ia mengabaikan perbuatan baik dan benar. Islam menganjurkan hidup bersahaja dan berfikiran jernih.

Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Ada dua karunia yang banyak orang kehilangan (dengan tak mengambil keuntungan darinya): kesehatan dan waktu luang." - [Sahih al-Bukhari]
Hadits ini menggambarkan seseorang yang telah menjual sesuatu atau menawarkan sesuatu, dengan harga lebih rendah dari nilainya. Waktu luang dan kesehatan ibarat modal seseorang. Jika seseorang memanfaatkannya dengan benar, dengan menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah, seseorang akan memperoleh banyak keuntungan. Jika seseorang tak memanfaatkannya dengan benar, dengan melupakan Allah atau tak menaati Allah, maka ia akan merugi.
Dalam hadits lain, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Manfaatkanlah lima sebelum lima (yang lain) terjadi: Masa-mudamu sebelum datang masa-tuamu, masa-sehatmu sebelum datang masa-sakitmu, masa-ganimu sebelum datang masa-fakirmu, masa-luangmu sebelum datang masa-ripuhmu, masa-hidupmu sebelum datang ajalmu." - [Al-Hakim dan Ahmad]
Allah telah memberi manusia banyak sarana dan kesempatan untuk mengerjakan amal-shalih. Ini berarti termasuk kesehatan, energi masa-muda, kekayaan, waktu luang dan, pada kenyataannya, kehidupan itu sendiri. Namun, sehubungan dengan empat yang pertama, Allah biasanya tak memberikannya disepanjang kehidupan seseorang. Inilah fakta yang diingatkan oleh Rasulullah (ﷺ) kepada kita, karena sarana ini mungkin tak selalu bersama seseorang sepanjang hidupnya, ia hendaknya mengambil keuntungannya dan menggunakannya sebagai manfaat di Hari Akhirat saat ia memilikinya.

Harta adalah salah satu cobaan terbesar yang dihadapi manusia. Seperti firman Allah,
"Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu, hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar." - [QS.8:28]
Rasulullah (ﷺ) juga bersabda,
"Sesungguhnya, setiap umat ada fitnah (ujian dan cobaan). Dan fitnah umatku adalah harta." - [Jami 'al-Tirmidzi dan al-Hakim]
Allah menunjukkan bagaimana harta dapat mengalihkan perhatian seseorang dari hal yang paling penting, dzikir dan ibadah kepada Allah. Rasulullah (ﷺ) juga bersabda,
"Sesungguhnya, orang-orang yang memiliki (harta) paling banyak akan menjadi orang-orang dengan porsi yang paling sedikit pada Hari Kiamat, kecuali bagi orang yang mengatakan, 'Ini untuk itu, ini untuk itu dan ini untuk itu (dengan kata lain, ia membelanjakan hartanya untuk tujuan yang baik). "'- [Sahih al-Bukhari dan Muslim]
Secara umum, mengumpulkan banyak harta di dunia ini membutuhkan banyak waktu dan upaya. Mereka yang mengumpulkan kekayaan seperti itu, menghabiskan banyak waktu dalam hal-hal duniawi dan karenanya, mereka tak punya banyak waktu untuk dihabiskan bagi urusan Akhirat. Kecuali mereka menggunakan harta itu dengan cara yang baik sebelum Allah mengambilnya, mereka akan berada di antara orang-orang yang punya porsi paling sedikit pada Hari Kiamat.
Amirul Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu' anhu, berkata,
"Barangsiapa yang memiliki enam kualitas ini, tidaklah meninggalkan jalan ke Firdaus dan menjauh dari neraka, melainkan telah menempuhnya. Yaitu, ia mengenal Allah dan menaati-Nya; ia mengenal iblis dan tak menaatinya; ia mengenal Keshalihan dan mengikutinya; ia mengenal Kebathilan dan menjauhinya; ia mengenal Dunia dan menghindarinya; ia mengenal Akhirat dan berupaya mencarinya."
Dalam konteks ini, kita memahami hikmahnya dari Al-Fudail bin 'Iyad,
"Memasuki kehidupan dunia ini, mudah, namun meninggalkannya, sangat sulit. Ya, meninggalkan kehidupan ini, berkenaan dengan terhentinya napas dan mengalami saat-saat sulit ketika sukma dikeluarkan dari dalam tubuh. Dan bahkan jika saat kematian itu mudah, dan itu tak mudah, mengejar fasad kehidupan ini dan mendapatkan kekayaannya, masih membawa depresi dan kebingungan. Karena itu, jadilah di antara penduduk akhirat dan jangan berada di antara penduduk di kehidupan duniawi ini. "
Al-Quran menggambarkan orang-orang yang tak menyadari kesalahan mereka, yang disebabkan tak mau memberi karena Allah dan tak menggunakan harta-kekayaannya dengan cara yang benar, hingga akhirnya terlambat. Allah berfirman,
"Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), 'Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.' Dan Allah takkan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." - [QS.63:10-11]
Muhammad bin Abu ‘Imran berkata,
"Seorang lelaki bertanya kepada Hatim Al-Asamm, ‘Apa dasar dari kayakinanmu yang teguh kepada Allah?" Hatim berkata, "Empat kualitas: Aku tahu bahwa rezekiku takkan dimakan oleh orang lain selainku, sehingga qalbuku merasa aman. Aku tahu bahwa orang lain takkan melakukan amal-shalihku, maka aku sibuk mengerjakannya. Aku tahu bahwa kematian datang tiba-tiba, jadi aku bersegera memenuhi kewajiban agamaku sebelum itu terjadi. Aku tahu bahwa aku takkan pernah lepas dari Mata Allah, dimanapun aku berada, jadi aku selalu merasa malu pada-Nya, dan karenanya menjauh dari apa yang telah dilarang-Nya."
Lebih lanjut, Abdullah bin Al-Mubarak berkata,
"Wahai putra Adam! Persiapkanlah dirimu akan Akhirat dan taatlah kepada Allah, sebanyak yang engkau butuhkan, atau, buatlah Dia murka, semampu yang engkau sanggup menahan Api Jahannam! Segala puji bagi Allah, kita tak pernah bisa cukup memuliakan-Nya selayaknya Dia dimuliakan, hanya Dia yang bisa melakukan itu sendiri. Kita sering tak menaati-Nya karena kebodohan kita dan Dia mengampuni kita dengan rahmat-Nya.”
Waktu luang juga merupakan karunia penting yang diberikan Allah kepada umat manusia. Selama seseorang benar-benar dapat mendedikasikan waktu luangnya untuk belajar, menghafal Al-Quran, membantu orang miskin dan segala bentuk amal-shalih. Penggunaan waktu luang seseorang dengan benar adalah cara yang sangat penting untuk mendapatkan keridhaan Allah di Akhirat kelak. Ibnu Hajar menunjukkan bahwa orang yang memiliki waktu luang, sebenarnya tak punya alasan untuk tak mengerjakan amal-shalih dan mengembangkan dirinya. Waktu luang itu, akan menjadi bukti melawannya, kecuali ia menggunakannya dengan benar.
Abdullah bin Daud meriwayatkan bahwa para Salaf terbiasa tidur sebagian malam dan kemudian terjaga, membaca Al-Qur'an dan memohon ampun kepada Allah, sehingga mereka menghabiskan hidup mereka dengan cara terbaik dan dalam persiapan untuk Akhirat mereka. Sebaliknya, ada orang yang tertawa-tawa dan bersenang-senang, tak menyadari takdir mereka yang mendekat. Mereka membangun kehidupan ini (atau rumah mereka) di jalur bencana banjir; tetapi mereka hendaknya bergegas mengerjakan amal-shalij sebelum hidup mereka berakhir. Mereka harus tahu bahwa ada mereka (malaikat maut dan alat bantu malaikatnya) yang menghitung napas dan bersiap untuk bertemu dengan mereka, jadi mengapa tertawa-tawa dan bersenang-senang? Abdullah bin Tsa‘labah, radhiyallahu 'anhu, berkata,
"Tertawakah engkau, ketika kain kafanmu mungkin telah dijahit oleh sang penjahit?"
Al-Fudail bin ‘Iyad berkata tentang orang mukmin,
“Di dunia ini, orang mukmin merasakan duka dan nestapa, mengarahkan perhatiannya untuk mengumpulkan perbekalan yang cukup guna Hari Akhirat. Ia yang merasakan hal yang serupa, dalam kehidupan ini, maka usahanya akan diarahkan untuk mengumpulkan apa yang menguntungkannya ketika ia pulang ke rumah; ia tak bersaing dengan penduduk di daerah tempat dimana ia tinggal, karena ia orang asing. Ia hidup di tengah-tengah kekuasaan mereka, namun itu tak membuatnya bersedih walau ia tak nampak gagah-perkasa di antara mereka."
Sayangnya, banyak peradaban modern dipersembahkan untuk hiburan, kenikmatan, kesenangan, dan kepuasan sensual, seperti yang dapat dilihat dengan berkuasa dan berkedudukannya bioskop, sarana olahraga, hingar-bingarnya musik dan seni, minuman beralkohol, dan sebagainya. Seorang Muslim hendaknya berhati-hati agar tak terjerat ke dalam peradaban ini, dengan segala yang dianggap menyenangkan dan kegemerlapannya, mempengaruhi dirinya secara negatif dan membuang-buang waktu berharganya. Sangatlah mudah tertarik dengan hal-hal keduniawian ini dan menghabiskan seluruh waktu seseorang, menikmati dan mencari barang-barang di dunia ini. Seorang Muslim hendaknya menghabiskan waktu luangnya - sebelum ia kemudian disibukkan dengan banyak hal dalam hidupnya - dengan cara yang bermanfaat.

Kesehatan, adalah salah satu penghalang terbesar dalam mengerjakan amal-shalih. Kebanyakan amal-shalih membutuhkan pengerahan tenaga. Jika seseorang sakit, sementara atau permanen, ia takkan menemukan cara untuk mengerjakan amal-shalih itu. Dengan rahmat Allah, jika seseorang mengerjakan amal-shalih dan kemudian jatuh-sakit, menghalanginya untuk melanjutkan amal-shalih itu, Allah akan terus memberikan pahala baginya atas perbuatan-perbuatan yang akan ia kerjakan itu, jika penyakit tak menghalanginya. Namun jika seseorang tak mengerjakan amal-shalih, baik sebelum ia sakit, ia takkan diberi imbalan dari setiap perbuatan yang sekarang tak dapat ia lakukan karena penyakitnya. Oleh karena itu, penyakitnya akan terbentuk, tak ada alasan baginya karena ia telah menunjukkan, saat ia sehat, bahwa ia bukanlah diantara orang-orang yang mengerjakan amal-shalih.

Masa muda adalah salah satu saat terpenting dalam kehidupan seseorang. Inilah masa dimana seseorang punya kekuatan, energi dan semangat. Tak hanya itu, masa-masa inilah yang biasanya menggabungkan banyak dari berkah lain yang disebutkan oleh Rasulullah (ﷺ). Biasanya selama masa muda, seseorang memiliki waktu paling banyak dan tanggung jawab paling sedikit. Biasanya selama masa muda seseorang yang berada di puncak kesehatan yang baik.
Sudah lazim di zaman moderat ini bagi orang banyak, menganggap masa muda sebagai waktu untuk bersenang-senang dan berfoya-foya, hingga usia delapan-belas, dua-puluh-satu, atau sampai mereka selesai kuliah dan seterusnya. Bahkan di kalangan umat Islam, seringkali tak banyak penekanan pada penanaman kedewasaan dan pemahaman di masa muda. Namun, ini bukan pendekatan Islam yang tepat. Adalah para Sahabat yang masih muda, yang diberikan Rasulullah (ﷺ) hadits-hadits yang paling bermakna. Menurut hukum Islam, pada saat seseorang mencapai usia pubertas — sekitar tiga belas tahun bagi banyak orang — ia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Karenanya, pelatihan, pengajaran, dan persiapan untuk tanggung jawab berat itu, hendaknya terjadi, bahkan sebelum ia mencapai usia itu.

Pandangan sepintas pada contoh pemuda yang dibesarkan di bawah asuhan Rasulullah (ﷺ), yang menunjukkan bagaimana mereka memanfaatkan masa muda mereka dengan baik dan memanfaatkan berkah itu sebelum Allah mengambilnya dari mereka. Beberapa sahabat Nabi (ﷺ), seperti ibnu Umar, ingin berpartisipasi dalam perang Badar dan mempertaruhkan nyawa mereka demi Allah, namun Rasulullah (ﷺ) menolak mereka karena belum mencapai usia pubertas.
Pada Pertempuran Badar, dua pemuda Muslim yang membunuh Abu Jahal. Keduanya begitu muda sehingga Abdul Rahman bin Auf menggambarkan mereka sebagai "masih tampak tak berpengalaman dalam seni pertempuran."
Usaama bin Zaid, ditunjuk memimpin salah satu pasukan Muslim terbesar, termasuk Abu Bakar dan Umar, namun usianya baru delapan belas tahun. Memang, beberapa orang mempertanyakan pilihan Usama karena usianya yang masih belia. Jelas, Rasulullah (ﷺ) takkan menunjuknya ke posisi itu kecuali ia telah memasuki usia kematangan, keyakinan dan pemahaman bahwa dibutuhkan posisi seperti itu.
Sebagian besar ilmu tentang sunnah diturunkan kepada para Sahabat belia yang tinggal dan tumbuh di sekitar Rasulullah (ﷺ). Sahabat seperti itu termasuk ibnu Mas'ud, ibnu Abbas, ibnu Umar dan Aisya (radhiyallahu 'anhum).

Kehidupan ini, akan segera berakhir dan ketika seseorang mati, pengejarannya akan keinginan hidup ini berakhir. Juga, ketika kehidupan berakhir, kesempatannya untuk berusahapun berakhir. Setiap Muslim harus menyadari apa cobaan hidup itu sendiri dan mengapa Allah telah memberikan kehidupan kepadanya. Allah telah menggambarkan tujuan hidup dan mati dalam ayat berikut,
"Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." - [QS.57:1-2]
Abul Ala Maududi menyoroti beberapa poin penting dan relevan untuk ayat-ayat ini,
"Yakni, tujuan memberikan kehidupan kepada manusia di dunia dan menyebabkan kematian mereka adalah untuk menguji mereka agar melihat mana di antara mereka yang paling baik dalam perbuatan. Kiasan telah dibuat dalam kalimat singkat ini kepada sejumlah kebenaran: (1) Bahwa hidup dan mati diberikan oleh Allah, tiada yang bisa memberikan kehidupan atau menyebabkan kematian; (2) bahwa baik kehidupan maupun kematian ciptaan seperti manusia, yang telah diberi kekuatan untuk melakukan yang baik dan yang buruk, tak memiliki tujuan; Sang Pencipta telah menciptakannya di dunia untuk ujian: hidup baginya adalah masa ujian dan kematian berarti waktu ujian yang ditentukan, telah berakhir; (3) bahwa demi pengujian ini, Sang Pencipta telah memberi setiap orang kesempatan untuk bertindak, sehingga ia dapat mengerjakan kebaikan atau melakukan kejahatan di dunia dan secara praktis menunjukkan orang seperti apa dirinya; (4) bahwa Sang Pencipta sendiri yang akan memutuskan siapa yang telah melakukan yang baik atau yang buruk; bukanlah kita yang memberi kriteria bagi perbuatan baik dan buruk itu, melainkan Allah, karena itu, siapapun yang ingin melewati ujian, hendaknya mencari tahu apa kriteria perbuatan baik di mata-Nya; poin kelima terkandung dalam makna ujian itu sendiri, yaitu, setiap orang akan dibalas sesuai dengan perbuatannya, karena jika tak ada ganjaran atau hukuman, ujian itu takkan berarti."
Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Tiga hal akan menyertai [orang yang meninggal], dua di antaranya akan pulang dan satu tetap bersamanya. Keluarga, kekayaan, dan perbuatannya, menyertainya, sementara keluarga dan kekayaannya pulang, dan hanya perbuatannya yang tetap bersamanya." - [Sahih al-Bukhari dan Muslim]
Namun, di alam barzakh, ia membutuhkan perbekalan, jika tidak, alam barzakh akan menjadi tempat yang menyiksanya. Namun sayang, bagi almarhum, bekal untuk alam barzakh dan Akhirat, harus diperoleh saat seseorang masih berada dalam kehidupan ini, sebelum ajal datang menjemputnya. Allah telah mengingatkan manusia akan kenyataan ini dengan mewahyukan kepada mereka,
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." - [QS.59:18]
Jika orang itu tak mengumpulkan bekal selagi ia masih hidup, ia akan merindukan kembali ke alam dunia ini untuk memperoleh perbekalan yang sangat dibutuhkan itu. Namun, tak ada lagi titik balik. Ia akan tersesat dan sedih atas kegagalannya mendapatkan dan mengumpulkan perbekalan bagi perjalanan itu saat ia masih berkemampuan mengerjakannya. Ia akan putus asa, tak menemukan jalan keluar dari apa yang sekarang harus ia hadapi."

Kemudian sang lelaki tua berkata, "Wahai anak muda, jika orang puas dengan harta dunia ini, maka jadilah benar-benar kaya dengan bergantung pada Allah. Jika orang merasakan suka-ria dalam aspek-aspek kehidupan ini, maka bergembiralah karena dekat dengan Allah. Jika mereka merasa memiliki orang-orang yang mereka cintai, maka jadikan Allah sahabatmu. Jika mereka menyambut dan mencari kedekatan dengan para pemimpin dan ketua mereka, sehingga mereka mendapatkan kekuasaan dan kedudukan, maka kenalilah Allah dan carilah cara mendekat kepada-Nya, dan engkau akan memperoleh kekuasaan dan kedudukan tertinggi.
Kita memohon kepada Allah agar menjadikan jalan kita, dalam hidup ini, berakhir di Surga Firdaus. Kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita di antara mereka yang mengumpulkan bekal yang cukup dari kehidupan ini, guna tempat tinggal kesenangan abadi dan naungan yang kekal. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita, orangtua dan kaum-kerabat kita, dalam tingkatan yang dinaungi oleh rahmat-Nya, yang takkan pernah merasakan takut, dan juga takkan pernah merasakan duka. Wallahu a'lam."
"Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." - [QS.18:45-46]
Rujukan :
- Maulana Muhammad Zakaria Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Isha'at
- Jamaal al-Din M. Zarabozo, Commentary On The Forty Hadith Of Al Nawawi Volume 1, Al-Basheer Publications
- Abdul Malik bin Muhammad, Life is a Fading Shadows, Darussalam

Selasa, 18 Desember 2018

Menyertai Orang Shalih

Burung dara bertanya, "Wahai geluh, saudaraku, siapa yang diutus, setelah wafatnya Hizkil?" Geluh berkata, "Setelah Allah mewafatkan Hizkil, kemudian Dia mengutus Ilyas, lalu diteruskan oleh Ilyasa'. Pada tahap awal kehidupan Ilyasa', ia selalu menyertai Ilyas. Setelah kematian Ilyas, Allah mengangkatnya sebagai nabi untuk membimbing Bani Israil. Ia terus menuntun Bani Israil dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Ilyas. Di antara Bani Israil, sangatlah jarang ada dimana seorang nabi menyertai nabi lain dan kemudian diangkat pada kedudukan yang sama. Dari hal ini, dapat kita simpulkan bahwa menyertai orang shalih adalah sarana yang manjur untuk menggapai keshalihan.

Dari Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir menuturkan, "Ketika Allah mewafatkan Hizkil, kejahatan merebak di antara Bani Israil. Mereka lupa apa yang telah menjadi perjanjian Allah dengan mereka, sampai-sampai mereka menegakkan berhala dan menyembahnya sebagai pengganti Allah. Kemudian Allah mengutus kepada mereka Ilyas bin Yasin bin Fanhash bin Al-'Izar bin Harun. Disebutkan, Ilyas diutus bagi penduduk Ba'labak, sekarang menjadi salah satu kota di Lebanon, sebelumnya bagian dari Asy-Syam, sebelah Barat Damaskus. Setelah Nabi Musa, para nabi dari Bani Israil yang diutus kepada mereka, hanya dengan memperbarui apa yang telah mereka lupakan dari Taurat, Ilyas bersama salah seorang raja Bani Israil bernama Ahab, yang isterinya bernama Izebel. Ia mendengarkan nasihat Ilyas dan percaya padanya, dan Ilyas akan menjaga urusannya, sementara Bani Israil lainnya telah menyembah berhala, dan bukan lagi Allah, melainkan berhala yang disebut "Ba'l." Ada orang bijak yang mengatakan bahwa Ba'l hanyalah seorang wanita yang mereka sembah, bukan Allah. Allah berfirman,
"Dan sungguh, Ilyas benar-benar termasuk salah seorang rasul. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada kaumnya, 'Mengapa kamu tidak bertakwa? Patutkah kamu menyembah Ba’l dan kamu tinggalkan (Allah) sebaik-baik pencipta. (Yaitu) Allah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu yang terdahulu?'." - [QS.37:123-126]
Ilyas mulai mengajak mereka kembali kepada Allah, namun mereka tak mau mendengarkan apapun darinya, kecuali pada apa yang dperintahkan para raja. Saat itu, para raja tersebar di seluruh Suriah, masing-masing memanfaatkan wilayahnya. Suatu hari, sang raja yang percaya kepada Ilyas, mengatur urusannya, menganggap dirinya di antara pemimpin yang mendapat petunjuk yang benar, berkata, "Wahai Ilyas! Demi tuhan, aku menganggap bahwa apa yang engkau serukan hanyalah khayalan. Aku tak percaya bahwa Fulan dan Fulan (menyebutkan beberapa raja Bani Israil) yang menyembah berhala selain Allah, bernasib berbeda dibanding kita, makan, minum, menikmati hidup, mengikuti arutan, tak kehilangan harta duniawi mereka, karena perilaku mereka, yang engkau nyatakan sebagai khayalan, sementara kami tak melihat bahwa kami memiliki keunggulan atau keutamaan di atas mereka."

Ada yang menyebutkan-wallahu a'lam-bahwa Ilyas terkejut dan rambut dan kulitnya berdiri. Kemudian, ia meninggalkan Ahab dan pergi. Sang raja kemudian mengikuti perbuatan rekan-rekannya yang lain, menyembah berhala dan melakukan apa yang mereka perbuat. Ilyas berdoa, "Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya Bani Israil telah mendustakan Engkau dan menyembah yang lain, maka cabutlah nikmat-Mu terhadap mereka." Ilyas menerima wahyu, "Kami telah menempatkan sumber rezeki mereka dalam genggamanmu, engkaulah yang diberi kewenangan memberi perintah tentang kehidupan mereka." Maka Ilyas berkata, "Wahai Rabb-ku! Tahanlah hujan dari mereka!" Dan hujanpun tak turun selama tiga tahun, sampai binatang pengangkut beban, ternak, serangga, dan pepohonan, mati, dan mereka menjalani hidup yang menyedihkan. Setelah Ilyas memohon permintaan ini terhadap Bani Israil, ia bersembunyi, agar tak dibunuh. Dimana pun ia berada, rezeki dikirimkan kepadanya. Setiap kali orang mencium bau roti di sebuah rumah, mereka akan berkata, "Ilyas pasti telah memasuki tempat ini!" Mereka akan mencarinya, dan orang-orang di tempat tinggal itu akan menderita di tangan mereka. Suatu malam, Ilyas mencari perlindungan dirumah seorang wanita Israil yang memiliki seorang putra bernama Ilyasa' bin Akhthub, yang menderita luka-luka. Wanita itu memberi Ilyas perlindungan dan menyembunyikannya. Maka Ilyas berdoa bagi Ilyasa', dan ia sembuh dari luka-lukanya. Kemudian Ilyasa' mengikuti Ilyas, beriman kepadanya dan berpegang-teguh bahwa ia orang yang shalih. Ilyasa' selalu menyertai Ilyas kemanapun ia pergi. Ilyas tumbuh semakin renta, Ilyasa' beranjak dewasa.
Kemudian Bani Israil memohon kepada Ilyas agar membebaskan mereka dari bencana itu, dan berjanji bahwa mereka akan beriman kepadanya jika hujan diturunkan. Ada yang menyebutkan-wallahu a'lam-bahwa Ilyas berkata, "Sesungguhnya, malapetaka yang melanda kalian, ternak, burung, serangga, dan pepohonan yang telah binasa, karena dosa-dosa kalian. Sesungguhnya, kalian telah mengikuti khayalan dan kebathilan." -...- "dan ketahui dan sadarilah bahwa Allah telah murka terhadap pada apa yang telah kalian lakukan, dan ketahuilah bahwa apa yang telah aku serukan kepada kalian, adalah kebenaran, maka bawalah berhala-berhala yang kalian sembah itu, yang kalian nyatakan lebih baik daripada apa yang aku serukan kepada kalian. Jika berhala-berhala itu menjawab permohonan kalian, maka itu seperti yang kalian nyatakan. Namun, jika mereka tak menjawabnya, maka kalian akan tahu bahwa kalian telah terperdaya dan harus meninggalkannya. Aku akan berdoa kepada Allah, dan Dia akan membebaskan kalian dari kesusahan yang kalian alami," Mereka berkata, "Engkau bersikap adil." Maka merekapun membawa berhala-berhala mereka, yang dengannya mereka memohon pertolongan Allah, namun Allah menolaknya. Mereka meminta kepada berhala-berhala itu, namun tak ada jawaban, mereka tetap dalam kesusahan yang mereka alami, maka merekapun menyadari kekeliruan dan kebathilan itu. Kemudian mereka berkata kepada Ilyas, "Wahai Ilyas! Kami telah binasa. Berdoalah kepada Allah untuk kami."
Maka Ilyas berdoa memohon kesulitan mereka diangkat, agar mereka diberikan hujan. Sebuah awan laksana perisai, muncul di permukaan laut, atas seizin Allah, sementara mereka menyaksikan. Lalu awan-awan lain berarak ke arahnya, dan awan itupun menjadi mendung, lalu Allah menurunkan hujan dan menyirami mereka. Tanah mereka dihidupkan kembali, dan Dia membebaskan mereka dari kesusahan yang mereka alami. Namun, apa yang terjadi? Mereka tak meninggalkan penyembahan berhala atau bahkan bertobat, melainkan terus melakukan perbuatan yang semakin buruk.

Bagaimana dengan akhir kehidupan Ilyas? Masih diperdebatkan, karena cerita-cerita yang ada, termasuk dalam kategori Israiliyat, yang tak dapat dibenarkan dan tak dapat disangkal. Bahkan secara eksplisit, cerita itu jauh dari kebenaran.
Setelah Ilyas, Ilyasa' diutus sebagai nabi di antara Bani Israil. Ia berada di antara Bani Israil sampai batas tertentu, menyeru mereka kepada Allah, sampai Allah mewafatkannya. Setelah itu, para pemimpin Bani Israil silih-berganti. Ada berbagai peristiwa dan kesalahan besar di antara mereka. Banyak muncul pembangkangan dan mereka juga membunuh para nabi.
Ilyasa' hanya disebutkan dua kali dalam Al-Qur'an. Allah berfirman,
"Dan Ismail, Ilyasa‘, Yunus, dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan (derajatnya) di atas umat lain (pada masanya), (dan Kami lebihkan pula derajat) sebagian dari nenek moyang mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Kami telah memilih mereka (menjadi nabi dan rasul) dan mereka Kami beri petunjuk ke jalan yang lurus." - [QS.6:86-87]
Dan Allah juga berfirman,
"Dan ingatlah Ismail, Ilyasa‘ dan Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik. Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sungguh, bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) tempat kembali yang terbaik, (yaitu) surga ’Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka." - [QS.38:48-50]
Barangsiapa yang selalu bersama dengan orang-orang shalih, ia juga memperoleh bagian dari keshalihan mereka. Lihatlah ketika anjing Ashabul Kahfi mencintai para pemuda itu dan mengikuti mereka seakan menjadi bagian dari mereka, Allah menyebutkannya dalam Al-Quran. Dan begitu juga Ilyasa', ia diabadikan dalam Al Qur'an, berada di antara para nabi."

Kemudian sang geluh berkata, "Wahai saudara-saudariku, menyertai orang-orang shalih juga merupakan salah satu karakteristik para Salaf. Dari moral dan perilaku para Salaf, semangat mereka kuat karena Allah untuk mendukung kemurnian Syari'ah dan takkan mau memberi penghormatan kepada mereka yang masuk ke ranah yang tak diperkenankan. Jadi, mereka takkan pernah melakukan tindakan atau menemani siapapun tanpa mengetahui ada atau tidakkah ridha Allah di sana, mereka tak pernah membenci siapapun atau mencintai siapapun karena alasan duniawi. Rasulullah (ﷺ ) bersabda,
"Barangsiapa yang memiliki tiga kualitas ini, akan merasakan manisnya iman; orang yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dibanding yang lain; orang yang mencintai seseorang dan ia hanya mencintainya karena Allah, orang yang tak menyukai kembali menjadi kufur sebagaimana ia tak mau dilemparkan ke dalam api neraka." - [Sahih al-Bukhari]
Rasulullah (ﷺ ) juga bersabda,
"Barangsiapa yang mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan karena Allah, telah menunaikan imannya." [Sunan Abu Dawud]
Ahmad bin Harb, rahimahullah, berkata,
"Tiada yang lebih bermanfaat bagi qalbu seorang Muslim selain bergaul dengan orang-orang shalih dan turut memelihara perbuatan mereka, sementara tiada yang lebih berbahaya bagi qalbu daripada bercampur dengan para pendosa dan turut memelihara perbuatan mereka."
Abu Hatim memberikan nasihat ini.
"Orang bijak, yang Allah telah berikan kepadanya sahabat Muslim lain, yang persahabatannya tulus, hendaknya tetap berpegangan pada temannya itu. Ia hendaknya menjaga hubungan dengan sang teman, walau jika ia terpisah dengannya, pergi menemuinya jika ia pergi jauh, memberi walau ia tak memberi, mendekat walau ia mundur jauh, dan singkatnya, bertindak seolah-olah ia adalah salah satu dari pilar-pilar temannya itu."
Malik bin Dinar berkata,
"Setiap teman dan sahabat yang engkau tak memperoleh manfaat Dien darinya, maka putuskanlah ia dan persahabatannya."
Karena itu, Dien adalah ukuran sebenarnya, yang dengannya engkau dapat, dan hendaknya, menimbang segala sesuatu, baik itu manusia maupun ucapannya. Jika tidak, seseorang akan berakhir dengan kegagalan dan pilihan yang keliru. Ini bukan berarti bahwa engkau akan dapat menemukan teman dan sahabat yang terlepas dari kekeliruan, atau bahwa seseorang mumutuskan teman-temannya jika mereka berbuat kekeliruan. Wallahu a'lam."
"Dan Kami abadikan untuk Ilyas (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. 'Selamat sejahtera bagi Ilyas.' Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." - [QS.37:129-131]
Rujukan :
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume VIII, Darussalam
- The History of al-Tabari, The Children of Israel, Volume III, Translated by William M. Brinner, SUNY Press.

Jumat, 14 Desember 2018

Ketika Ribuan Orang Dihidupkan Kembali

Burung nasar bertanya pada sang geluh, "Wahai saudaraku, aku ingin tahu kisah yang Allah sebutkan tentang orang-orang yang dihidupkan kembali dari kematian di negeri mereka, sementara mereka berjumlah ribuan. Tahukah engkau kisahnya?" Sang geluh berkata, "Ya, benar. Maukah engkau mendengarkannya?" Burung nasar berkata dengan gembira, "Tentu saja, dengan senang hati!" Sang geluh berkata, "Baik, duduk dan simaklah kisahnya!"
"Sekarang mari kita kembali pada Bani Israil dan para pemimpin mereka setelah kepergian Yusya' bin Nun. Tak ada perbedaan pendapat di antara para 'Ulama tentang sejarah generasi masa lalu dan urusan orang-orang terdahulu dari masyarakat kita dan yang lain, dimana Kalib bin Yufana bertanggung jawab atas urusan Bani Israil setelah Yusya' bin Nun. Kalib adalah suami Maryam, saudara perempuan Nabi Musa, alaihissalam. Ketika Allah mewafatkan Kalib bin Yufana, setelah berpulangnya Yusya', Dia menunjuk sebagai penerusnya di antara Bani Israil, Hizkil bin Budziy, yang merupakan putra seorang wanita tua. Hizkil bin Budziy adalah orang yang disebut "Ibnu al-`Ajuz" (putra sang perempuan tua). Hizkil bin Budziy bernama Ibnu al-`Ajuz karena ibunya memohon kepada Allah agar dikaruniakan seorang anak lelaki walau ia telah tua dan mandul. Kemudian Allah mengenugerahkannya Hizkil. Karenanya, ia disebut "putra sang perempuan tua."

Ada sebuah daerah yang bernama Dawardan sebelum al-Wasith, di Iraq Tengah, tertimpa wabah tha’un di dalamnya. Penduduk daerah tersebut menghindar dan tinggal di suatu tempat. Orang-orang yang tetap berada di daerah tersebut, sebagian binasa, dan yang lainnya selamat. Tak banyak yang menjadi korban dari kalangan mereka. Setelah wabah tha’un tersebut diangkat, mereka pun pulang dengan selamat. Orang-orang yang tetap tinggal di daerah tersebut berkata, “Sahabat-sahabat kita itu lebih beruntung dari kita. Sekiranya kita lakukan apa yang mereka lakukan, niscaya kita akan tetap hidup. Bila tha’un datang yang kedua kalinya, maka kita akan keluar bersama mereka.”
Setahun kemudian, wabah tha’un tersebut kembali menyerang. Merekapun pergi meninggalkan tempat itu. Jumlah mereka saat itu, 30.000 orang. Mereka tinggal di daerah lembah Afih. Kemudian, dari bawah tanah dan dari atasnya, malaikat berseru kepada mereka, "Matilah!" Merekapun binasa seluruhnya dan jasadnya membusuk.
Lama setelah itu, Hizqil melewati daerah tersebut. Tatkala ia melihat mereka, ia pun berfikir sambil merenggangkan kedua bibir dan jari-jarinya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya, “Inginkah engkau agar Aku memperlihatkanmu bagaimana Aku menghidupkan kembali mereka?” Hizqil menjawab, “Ya.” Hizqil berfikiran seperti itu karena merasa takjub atas kekuasaan Allah atas diri mereka. Dikatakan kepada Hizqil, “Panggillah.” Maka Hizqilpun memanggil, “Datanglah tulang-belulang, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar berkumpul.” Tiba-tiba tulang-belulang tersebut terbang satu-per-satu. Hingga akhimya menjadi sebuah kerangka-belulang. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Serulah.” Kemudian Hizqil menyerunya, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar engkau ditutupi dengan daging.”
Kemudian kerangka yang telah membentuk jasad tersebut ditutupi dengan daging, darah dan pakaian yang dikenakan saat mereka binasa. Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Serulah.” Maka Hizqil menyeru, “Wahai jasad, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar bangkit berdiri.” Maka merekapun bangkit semua. Tatkala mereka dihidupkan kembali, mereka mengucapkan, "Maha Suci Engkau, wahai Allah. Segala puji bagi-Mu. Tiada illah yang berhak diibadahi selain Engkau.” Kemudian mereka kembali kepada kaum mereka dalam keadaan hidup. Mereka mengetahui bahwa sebelumnya mereka telah mati. Terlihat tanda-tanda kematian di wajah mereka. Mereka tak mengenakan pakaian yang tak menjadi kotor seperti kain kafan. Kemudian mereka meninggal sesuai dengan ajal yang telah ditentukan kepada mereka.

Ada yang berpendapat bahwa jumlah mereka, 30.000 orang. Tetapi diriwayatkan juga bahwa jumlah mereka ada 8.000 orang. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah mereka ada 9.000 orang, dan juga ada yang mengatakan, bahwa jumlah mereka 40.000 orang. Wallahu a'lam.
Selanjutnya, beberapa ulama di kalangan Salaf mengatakan bahwa orang-orang ini adalah penduduk sebuah kota pada masa Bani Israil. Iklim di negeri mereka tak sesuai bagi mereka dan wabahpun menyebar. Mereka meninggalkan negeri mereka karena takut mati dan berlindung di hutan belantara. Mereka kemudian tiba di sebuah lembah subur dan menetap di antara kedua sisinya. Kemudian Allah mengutus dua malaikat, yang satu dari sisi bawah dan yang lain dari sisi atas lembah. Malaikat itu hanya sekali berseru dan semua orang mati seketika, bagai mematikan seorang saja. Mereka kemudian dipindahkan ke tempat lain, dimana dibangun kuburan dan tembok di sekitar mereka. Semuanya binasa, dengan tubuh membusuk dan hancur.

Suatu saat, ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, radhiyallahu 'anhu, sedang shalat, ada dua orang Yahudi di belakangnya. Ketika `Umar ingin bersujud, ia memberikan tempat, lalu salah seorang Yahudi berkata kepada temannya, "Iakah orangnya?" Ketika Umar selesai dari shalatnya, ia berkata, "Jelaskan tentang apa yang diantara kalian ucapkan, 'Iakah orangnya? "' Mereka berkata, "Kami menemukan sebuah tanduk besi di dalam kitab kami yang menyebutkan, "yang memberikan apa yang diberikan kepada Hizkil, yang membangkitkan orang mati atas seizin Allah." `Umar berkata, "Kami tak menemukan Hizkil di dalam Kitab kami, dan tak ada yang menghidupkan orang mati atas seizin Allah kecuali 'Isa bin Maryam." Mereka berdua berkata, "Tidakkah engkau temukan di dalam Kitabullah dan para rasul yang belum kami sebutkan kepadamu?" Umar berkata, "Tentu saja." Mereka berkata, "Adapun kebangkitan orang mati itu, kami akan menyampaikan kepadamu bahwa wabah telah menimpa Bani Israil. Sebuah kelompok pergi dan, ketika mereka berada dalam jarak satu mil, Allah mematikan mereka, dan orang-orang membangun tembok di atas mereka. Ketika tulang-belulang mereka telah rusak, Allah mengutus Hizkil, dan ia berdiri di samping mereka. Ia mengucapkan apapun yang dikehendaki Allah, dan Dia menghidupkan mereka untuknya. Allah mewahyukan tentang peristiwa itu,
"Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya, sedang jumlahnya ribuan karena takut mati? Lalu Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tak bersyukur." - [QS.2:243]
Menghidupkan kembali orang-orang inilah, bukti nyata bahwa kebangkitan fisik akan terjadi pada Hari Kiamat. Dia menunjukkan kepada umat manusia tanda-tanda agung-Nya, bukti-bukti yang kuat dan bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tak bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Dia berikan kepada mereka dalam kehidupan duniawi dan urusan agama mereka. Ada hadits shahih dimana Umar bin Khattab pergi ke Asy-Syam (Suriah). Ketika ia mencapai daerah Sargh, ia bertemu dengan para komandan pasukan, Abu Ubaidah bin Jarrah dan teman-temannya. Mereka menyampaikan bahwa wabah telah menyebar di Asy-Syam. Hadits itu menyebutkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Jika engkau mendengar ada wabah penyakit di suatu negeri, jangan memasukinya; tetapi jika wabah itu menyebar di suatu tempat saat engkau berada di dalamnya, jangan tinggalkan tempat itu." - [Sahih al-Bukhari]
Ada riwayat lain yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas, radhiyallahu 'anhu, bahwa Hizkil berkata kepada Bani Israil, "Bersiaplah berperang melawan musuh, dan lakukan tugasmu demi menegakkan kalimat Allah," namun mereka melarikan diri karena takut mati dan berpikir bahwa dengan melarikan diri dari Jihad, mereka akan selamat. Mereka pergi menetap di lembah yang jauh. Perbuatan mereka ini menyebabkan Allah tak ridha dan murka, dan akibatnya, mereka dikejar-kejar kematian. Merekapun semua mati. Seminggu kemudian, Hizkil kebetulan lewat, dan ia sangat menyesali keadaan mereka, lalu ia berdoa kepada Allah agar menyelamatkan mereka semua dari kematian, sehingga hidup mereka dapat menjadi peringatan dan pelajaran bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Doanya dikabulkan dan mereka semua bangkit dari kematian sebagai peringatan bagi orang lain."
Allah berfirman,
"Dan berperanglah kamu di jalan Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." - [QS.2:244]
Ada dua pendapat mengenai peristiwa ini. Pendapat pertama, dan ini yang paling kuat, mayoritas ulama berpendapat bahwa kisah tersebut benar-benar terjadi. Pendapat kedua, Ibnu Juraij berpendapat bahwa kisah ini merupakan metafora. Peristiwa tersebut merupakan sebuah permisalan yang menjelaskan, sikap waspada terhadap sesuatu, tak berguna di hadapan takdir Allah! Berwaspada saja, takkan mengubah nasib, meninggalkan Jihad, takkan mendekatkan atau menunda waktu yang telah ditetapkan. Sebaliknya, takdir dan kadar yang telah ditentukan itu, tetap, dan takkan pernah berubah ataupun bertukar, baik dengan penambahan maupun penghapusan. Demikian pula, Allah berfirman,
"(Mereka itulah) orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, 'Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tak terbunuh.' Katakanlah, 'Cegahlah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang yang benar'.” - [QS.3:168]
Abu Sulaiman, Khalid bin al-Walid, komandan pasukan tentara Muslim, veteran perang di antara tentara Muslim, pelindung Islam dan Pedang Allah yang diangkat atas musuh-musuh-Nya, berkata dalam sekarat, “Aku telah berperan-serta dalam sejumlah pertempuran. Tak ada bagian tubuhku kecuali menderita tembakan panah, tikaman tombak atau sabetan pedang. Namun, di sinilah aku, mati di atas tempat tidur laksana unta mati! Semoga mata para pengecut tak pernah merasakan tidur.” Ia, radhiyallahu 'anhu, menyesal dan kesakitan karena ia tak gugur sebagai syahid dalam pertempuran. Ia sedih harus mati di atas tempat tidur!

Panjang persinggahan Hizkil di antara Bani Israil belum pernah disebutkan. Ketika Allah mengambil Hizkil, perangai buruk berlipat-ganda terjadi di antara Bani Israil. Mereka meninggalkan perjanjian dengan Allah yang telah dibuat dalam Taurat dan menyembah berhala yang dinamakan "Ba'l."

Kemudian sang geluh berkata, "Wahai saudara-saudariku, saat akal-budi seseorang telah menerima kenyataan bahwa baik dan buruk, hidup dan mati, semuanya tunduk pada takdir Allah, ia hendaknya, walau sesaatpun, menafikan pandangan bahwa, entah bagaimana, ia akan dapat menghindari ketetapan Allah itu, dan jika di suatu tempat ketetapan Allah itu berlaku, ia akan bisa lepas darinya di tempat lain.
Dalam pandangan Islam, falsafah hidup tentang takdir, seseorang hendaknya membangun keyakinan bahwa "tugasku adalah melaksanakan perintah Allah." Adapun rasa takut dalam melaksanakan perintah-Nya, tentu ada rasa khawatir kehilangan nyawa atau keluarganya menjadi korban, yang ia tak kuasa mengelaknya. Jika Allah telah menetapkan takdir dari keadaan seperti itu, Dia telah menyuratkan jalan dan cara hal itu terjadi. Begitu sebuah keyakinan merasuk ke dalam diri seseorang, akan menjadikannya orang yang kokoh dan berani, menjauhkan diri dari sifat pengecut. Pandangannya hanya akan tertuju pada sikap istiqamah.

Jika seseorang dikarunia dengan sifat yang bermoral, maka petunjuk baginya di jalan yang benar, cukuplah bahwa perhatiannya akan tertuju pada penalaran dan penggunaan akal-sehat. Sifat kemanusiaannya akan langsung mengarah pada jalan yang lurus, mencari tujuan yang diinginkan. Namun jika seseorang telah berbelok arah, kemudian bahkan jika ia telah berkali-kali diajak agar dapat kembali atau meluruskan kekeliruannya, maka setelah setiap panggilan yang ditujukan itu diabaikannya, maka kecakapan dan kesiapsiagaannya akan berkurang, dan hal sebaliknya yang akan terjadi, ia akan terpuruk lebih jauh lagi dalam kelalaian dan ketidaktaatan.
Islam menyatakan bahwa watak pemberani menjadi sifat yang terpuji dan telah menyatakan watak pengecut sebagai salah satu sifat yang terhina. Dalam sebuah hadis dimana Rasulullah (ﷺ) menyebutkan perangai yang buruk, beliau bersabda,
"Menjadi seorang Muslim, mungkin saja orang itu melakukan kekeliruan karena keteledoran dan kelalaian, namun, bersama dengan Islam, sifat pengecut tak dapat ditemukan pada orang yang sama."
Namun hendaknya diingat bahwa menunjukkan kekuatan besar pada saat menghadapi cobaan bukanlah sifat pemberani. Sifat pemberani itu, bermakna bahwa tetap isitiqamah pada kebenaran dan tegak melawan kejahatan tanpa ada rasa takut sedikitpun. Wallahu a'lam."
"Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ”Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut (dari itu). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu takkan dizhalimi sedikit pun.”
Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah,” dan jika mereka ditimpa suatu keburukan, mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tak memahami pembicaraan (sedikit pun)?” - [QS.4:77-78]
Rujukan :
- The History of al-Tabari, The Children of Israel, Volume III, Translated by William M. Brinner, SUNY Press.
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume I, Darussalam

Senin, 10 Desember 2018

Pertanyaan yang Tidak Perlu

Kenari berkata, "Wahai Geluh, sampaikan kepada kami tentang kisah Bani Israil dan sang lembu betina!" Geluh berkata, "Aku bukanlah orang yang pantas menyampaikannya, namun, maukah kalian mendengarkannya dari ia yang tahu lebih banyak tentangnya?" Para unggas serentak berkata, "Ya, tentu saja, katakan padanya agar tampil ke depan!" Maka, sang geluh berkata, "Wahai saudariku, majulah!" Dan lihat! itu seekor lembu. Ia menyapa, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!" Para unggas menjawab, "Wa 'alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakaatuh." Sang lembu melanjutkan, "Segala puja dan puji hanya untuk Allah, Rabb manusia dan jin, serta segala yang ada, dan selawat dan salam turuntuk Baginda Nabi (ﷺ), keluarga beliau dan para sahabat, radhiyallahu 'anhum.
Akulah hewan peliharaan yang berkuku, berukuran besar, yang paling umum diternak. Aku anggota yang paling menonjol diantara subfamili Bovinae modern, spesies yang paling luas dari genus Bos, dan paling sering diklasifikasikan secara kolektif sebagai Bos taurus. Aku dipelihara sebagai ternak pedaging, dan sebagai penghasil susu serta produk semacamnya, serta juga sebagai hewan yang menarik pedati, bajak dan peralatan lainnya. Ya, aku seekor ternak, lebih khusus lagi, aku seekor lembu betina. Aku hewan yang taat, ketika majikanku menarik hidungku, maka aku ikut kemanapun ia pergi tanpa banyak berrtanya, ya, aku tak bertanya pertanyaan yang tak perlu. Tahukah engkau, Allah tak menyukai mereka yang mengajukan pertanyaan yang tak perlu, tentang kewajibannya, terutama dalam hal memperselisihkan Dien. Mengapa? Karena banyak bertanya tentang hal yang tak bermanfaat, dapat menyulitkanmu. Tak percaya? Simaklah kisahnya!

Ada seorang lelaki Bani Israel yang impoten. Ia punya harta yang berlimpah, dan hanya seorang keponakan yang akan mewarisi hartanya. Lalu, sang keponakan membunuhnya dan memindahkan jazadnya pada malam hari, meletakkannya di depan pintu rumah seorang. Keesokan paginya, keponakan itu berteriak ingin membalas dendam, dan para penduduk mengambil senjata mereka dan hampir saling menyerang. Orang bijak di antara mereka berkata, "Mengapa kalian ingin saling membunuh, sedangkan masih ada di antara kalian utusan Allah?" Jadi, merekapun menemui Nabi Musa, alaihissalam, dan menyampaikan permasalahannya, kemudian Nabi Musa berkata,

“...'Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor lembu betina.” Mereka bertanya, “Akankah engkau menjadikan kami sebagai ejekan?” Ia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tak termasuk orang-orang yang bodoh.” - [QS.2:67]
Allah menyebutkan betapa keras kepalanya Bani Israil dan banyak pertanyaan yang tak perlu, yang mereka tanyakan kepada Nabi mereka. Itulah sebabnya, saat sikap keras kepala mereka muncul, Allah menjadikan keputusan sulit bagi mereka. Seandainya mereka menyembelih seekor lembu, apapun jenisnya, itu sudah cukup bagi mereka. Sebaliknya, mereka menjadikan masalah ini menjadi rumit, dan inilah mengapa Allah menjadikannya semakin sulit bagi mereka.
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (lembu betina) itu.” Ia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa lembu betina itu, tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.” Ia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa (lembu) itu adalah lembu betina yang kuning tua warnanya, yang menyenangkan orang-orang yang memandang(nya).”
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (lembu betina) itu. (Karena) sesungguhnya lembu itu belum jelas bagi kami, dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.”
Ia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, (lembu) itu adalah lembu betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.” Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.” Lalu mereka menyembelihnya, dan nyaris mereka tidak melaksanakan (perintah) itu." - [QS.2:68-71]
Jika saja mereka tak memperselihkannya, sudah cukuplah bagi mereka menyembelih seekor lembu. Namun, mereka berselisih, dan masalah ini menjadi lebih berbelit-belit bagi mereka, sampai mereka akhirnya mencari lembu tertentu, yang kemudian akan disembelih. Bahkan setelah semua pertanyaan dan jawaban tentang deskripsi sang lembu, Bani Israil masih enggan menyembelihnya. Itulah perilaku mereka, karena satu-satunya tujuan mereka hanyalah keras kepala, dan inilah sebabnya mereka hampir tak menyembelih sang lembu.
Dikatakan bahwa mereka tak dapat menemukan seekor lembupun yang telah dipersyaratkan itu, kecuali dengan seorang pemuda yang shalih dan berbhakti kepada ayahnya. Mereka memintanya agar menyerahkan sang lembu kepada mereka, namun ia menolak. Mereka merayu dan menawarnya dengan berbagai harga sampai mereka menawarnya setara dengan emas. Namun, sang pemuda menolak. Ia berkata, “Demi Allah! Aku hanya akan menjualnya dengan emas sepenuh kulitnya.' Akhirnya, mereka sepakat dan sang pemuda menerima tawaran mereka dan menyerahkan sang  lembu.
Jadi, mereka membayar sang lembu seharga emas sepenuh isi kulitnya, lalu menyembelihnya. Nabi Musa memerintahkan mereka, sesuai Perintah Allah, agar memukulkan potongan lembu itu kepada mayat sang lelaki yang terbunuh. Menurut beberapa Ulama, yang dipergunakan adalah bagian tulang paha atau bagian daging di pundak sang lembu. Ketika bagian itu menyentuh mayatnya, atas seizin Allah, ia hidup kembali. Nabi Musa bertanya kepadanya, "Siapa pembunuhmu?" Ia berkata, "Keponakanku yang membunuhku." Kemudian, iapun kembali mati, dan keponakannya tak diperbolehkan mewarisinya. Setelah itu, siapapun yang melakukan pembunuhan dengan tujuan mendapatkan warisan, batal menjadi ahli waris diantara mereka. Allah berfirman,
"Lalu Kami berfirman, 'Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu!' Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti." - [QS.2:73]
Kisah ini, menunjukkan kekuasaan Allah dalam menghidupkan kembali orang mati. Allah telah menggariskan kejadian ini sebagai bukti terhadap Bani Israil bahwa Hari Kebangkitan akan terjadi, dan mengakhiri pertikaian dan kekeraskepalaan mereka atas orang mati. Allah mewahyukan bahwa Dia menghidupkan orang mati dalam lima contoh dalam Surat Al-Baqarah. Allah juga menyebutkan kisah orang-orang yang lolos dari kematian di negeri mereka, sementara jumlah mereka ada ribuan. Dia juga menyebutkan kisah Nabi yang melewati sebuah desa yang hancur, kisah Nabi Ibrahim, alaihissalam dan empat ekor burung, dan negeri yang hidup kembali setelah mati. Semua kejadian dan kisah ini, mengingatkan kita pada fakta bahwa tubuh akan kembali menjadi utuh, setelah membusuk.
Bani Israil menyaksikan tanda-tanda luar biasa dan bukti-bukti Allah, termasuk menghidupkan kembali orang mati, namun qalbu mereka laksana batu yang tak pernah melunak. Inilah sebabnya mengapa Allah melarang orang-orang beriman meniru orang-orang Yahudi ketika Dia berfirman,
"Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik." - [QS.57:16]
Dengan berlalunya waktu, qalbu Bani Israel tak mungkin menerima peringatan apapun, bahkan setelah mukjizat dan tanda-tanda yang mereka saksikan. Qalbu mereka menjadi lebih keras daripada batu, tanpa harapan melunak. Terkadang, mata air dan sungai keluar dari batu, ada bebatuan yang pecah dan air keluar darinya, bahkan jika tak ada mata-air atau sungai di sekitarnya, terkadang bebatuan jatuh dari puncak gunung karena rasa-takut mereka kepada Allah. Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, mengatakan bahwa,
"Dan sesungguhnya, ada bebatuan darimana sungai mengalir, dan sesungguhnya, ada dari bebatuan, yang terbelah sehingga air mengalir melaluinya, dan sesungguhnya, ada dari bebatuan, yang berjatuhan karena takut akan Allah",
artinya, "Ada bebatuan yang lebih lembut dari qalbumu, mereka mengakui kebenaran yang telah diserukan kepadamu."
Kemudian sang lembu berkata, "Wahai saudara-saudariku, mengajukan pertanyaan yang tidak perlu tentang suatu kewajiban, dapat menyebabkan keruwetan dan kekalutan. Bani Israil meminta penjelasan yang sangat rinci kepada Nabi Musa tentang lembu yang akan dicari. Pada akhirnya, Allah menjadikannya rumit dan mereka harus menghabiskan lebih banyak uang untuk menebus sang lembu. Jadi, apa yang tak diperkenankan adalah, mengajukan pertanyaan yang akan menimbulkan kebingungan, keraguan dan kekacauan, seperti mengajukan pertanyaan tentang rincian yang tak perlu. Lebih baik, mengajukan pertanyaan yang tepat agar mendidik diri sendiri, yang menuntun pada ilmu dan kebaikan. Pertanyaan yang tepat akan memperoleh jawaban yang tepat. Wallahu a'lam." 
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." - [QS.5:101]
Rujukan :
- Ibn Kathir, Stories of The Quran, Darussalam
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume I, Darussalam