Bagai Serigala-serigala Lapar (1)
Lalu, sang lelaki tua berkata, "Wahai anak muda, banyak orang, sadar atau tanpa sadar, telah membawa dirinya menuju kehancuran karena sesuatu yang didambanya. Menginginkan harta-benda duniawi, pengakuan dan kekuasaan di antara manusia - inilah cobaan bagi bangsa-bangsa di masa lalu, dan sekarang ini, banyak dari kita, tanpa henti mengejarnya. Akibat dari ketamakan mengumpulkan harta, dapat menyebabkan seseorang melakukan sesuatu yang menyimpang. Demikian juga, hawa-nafsu seseorang yang telah memperoleh status dan kedudukan - umumnya akan menghalanginya dari kebajikan, martabat dan kehormatan Akhirat - dan dapat menjadikannya angkuh dan memandang rendah, serta meremehkan orang lain.
Ketahuilah bahwa hawa-nafsu adalah hasrat yang paling rendah untuk mendapatkan sesuatu, yang ia bayangkan akan memuaskan atau menyenangkannya. Diri manusia itu, bersesuaian dengan hawa-nafsunya. Jika hawa-nafsu itu lepas kendali, manusia akan terus mencari lebih banyak dan lebih banyak lagi, yang akan membawanya pada kebinasaan. Mereka akan binasa karena melampaui batas dan meninggalkan jalan yang benar. Karena itu, penting bagi seseorang agar mengekang hawa-nafsunya dan menahan diri dengan kecukupan. Semakin banyak engkau melepaskan hawa-nafsumu, semakin banyak yang diinginkannya. Jika engkau membiasakannya dengan kecukupan, ia juga akan tetap merasa puas.
Ini berarti bahwa hawa-nafsu hendaknya selalu dijaga oleh benteng intelek yang tak dapat ditembus. Ia diperlukan sebagai bahan bakar bagi kehidupan di dunia ini, akan tetapi, siapapun yang terus-menerus menyerah kepadanya, akan ketagihan pada dunia ini, dan senang bersamanya, akhirnya mengorbankan Akhiratnya. Manusia adalah sukma dan tubuh. Sukmanya menginginkan agar ia naik ke tingkat keluhuran-budi yang tinggi dan diberi persyaratan sendiri dalam hal Al-Qur'an dan Sunnah, serta berbagai amal-shalih seperti shalat, puasa, zakat, menjaga ikatan kekerabatan, ucapan yang tulus, kebaikan, kelembutan dan kesabaran, dan menjaga hubungan kekerabatan.
Tubuh ini hanya memerlukan sedikit materi, yang cukup agar menjaga punggung tetap lurus. Jika mendapatkannya, hawa-nafsu akan merasa puas dan tak melampaui batas. Ini akan mendorongmu agar melakukan yang benar dan mencegahmu berbuat salah, dan menjadi teman bagimu, baik pada Dien maupun di dunia ini. Namun jika seseorang teralihkan dari dunia spiritual kepada dunia kebendaan, nafsu rendahnya pasti akan tertinggal di belakang kafilah iman, dan ia akan disibukkan oleh tuntutan, dorongan, dan ketidaksabaran. Ia layaknya seperti kuda yang tak terkendali, yang berkeliaran ke seluruh tempat tanpa ada yang menahannya, tiada tujuan yang akan dituju dan tiada jalan yang jelas untuk ditapaki. Kita berlindung kepada Allah! Itulah malapetaka, kegagalan total kehidupan yang menyedihkan.
Dari Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Api (Neraka) dikelilingi oleh segala jenis keinginan dan nafsu, sementara Firdaus dikelilingi oleh segala jenis hal-hal yang tak diinginkan, yang tak disukai." - [Sahih al-Bukhari]
Penjelasannya dapat ditemukan dalam hadits lain,
"Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Neraka, dan Dia berfirman kepada Jibril, 'Pergi dan lihatlah.' Jibril pergi dan melihatnya, lalu kembali dan berkata, "Demi Kegungan-Mu, tak ada yang akan mendengarnya dan kemudian memasukinya!" Kemudian Allah menyelubunginya dengan nafsu dan berkata, 'Sekarang pergi dan lihatlah.' Maka Jibril pergi dan melihatnya, lalu kembali dan berkata, "Demi Keagungan-Mu, sekarang aku khawatir tak ada yang akan selamat bila memasukinya!" Dia menciptakan Surga dan berkata kepada Jibril, "Pergi dan lihatlah." Ia pergi dan melihatnya, dan berkata," Demi Keagungan-Mu, tiada yang akan mendengarnya tanpa memasukinya!" Kemudian Dia menyelubunginya dengan hal-hal yang sulit dan kemudian berkata, "Pergi dan lihatlah." Jibril pergi dan melihatnya, lalu kembali dan berkata, 'Demi Keagungan-Mu, aku khawatir, sekarang tak ada yang akan memasukinya!' "- [Jami 'at-Tirmidzi; Hasan]
Jadi, barangsiapa yang memaksa qalbunya agar tak menuruti hasratnya dan yang didamba oleh nafsunya itu, serta tak disukai oleh Rabb-nya, maka ia telah melindungi dirinya dari Api Neraka dan telah mewajibkan Allah melindunginya dari sana. Sebagian besar tindakan yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Allah, tak menyenangkan-hati dan meletihkan anggota tubuh. Hal-hal ini, cenderung bertentangan dengan sifat manusia dan membebani nafsu.
Allah mengenal ciptaan-Nya dan mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Dia tahu bahwa bagian dari sifat manusia itu, menyukai apa yang bersepakat dengannya dan tak menyukai apa yang menentangnya. Hawa-nafsu melompat menuju yang satu dan menafikan yang lain. Tak seorang pun akan meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya tanpa ancaman hukuman yang menyakitkan, yang menantinya, jika tidak; maka tak seorang pun akan menghadapi kesulitan, tanpa harapan dan janji kebahagiaan kekal yang menantinya, jika ia melakukannya. Orang-orang hanya meninggalkan nafsunya dan menghadapi kesulitan karena rasa takut dan harapan. Oleh karena itu, Allah menakuti dan memberi ancaman kepada hamba-hamba-Nya, namun Dia memberi mereka harapan dan janji yang pasti kepada mereka, sehingga mereka takut dan berharap hanya pada-Nya.
Beginilah cara Allah menggambarkan mereka yang memahaminya dan takut pada-Nya,
"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya)." - [QS.79:40-41]
Allah berfirman bahwa ketika seseorang takut pada Rabb-nya, ia akan mengekang hawa-nafsunya. Dengan kata lain, orang-orang yang bertaqwa, menjauhkan diri dan menghindari apa yang dilarang oleh Allah. Allah menggambarkan mereka ketika Dia berfirman,
"Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu setelah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (menghadap) ke hadirat-Ku dan takut akan ancaman-Ku.” - [QS.14:14]
Hawa-nafsu merupakan kekuatan psikologis yang kuat, yang dijalin bersama dengan kepribadian dan kebutuhan jasmani. Beberapa di antaranya diperlukan untuk kelangsungan keberadaan manusia di muka bumi. Namun jika berlebihan, akan menjadi sumber dari segala konflik, dari awal penciptaan hingga sekarang. Konflik dalam keluarga adalah hasil dari keinginan akan makanan, pakaian, perhiasan dan berbagai keinginan lain dari hawa-nafsu. Konflik antar negara adalah hasil dari keinginan akan kekayaan dalam berbagai bentuk, keinginan untuk berkuasa, serta untuk mengeksploitasi barang-barang milik orang lain.
Para utusan dan pesan-pesan Allah, datang satu demi satu untuk mengobati hawa-nafsu yang diakibatkan oleh manusia, yang menjadi ujian dan cobaan baginya. Para Nabi menunjukkan kepada kita bagaimana mengendalikan hasrat kita agar dapat menjaga kebutuhan jasmani kita, dalam batas-batas tertentu yang bermanfaat, dan memungkinkan kita agar menggunakan kecerdasan kita untuk merenungkan luasnya langit dan bumi; dan bahwa pada gilirannya, memungkinkan kita untuk menegaskan kebesaran Sang Pencipta sehingga kita dapat merendahkan diri di hadapan-Nya sebagai orang mukmin. Inilah peran sejati kita yang ada. Kita bukan sekadar hewan yang berusaha memuaskan naluri kita, mencurahkan seluruh energi, harta, dan hidup kita untuk pemuasan-diri itu.
Allah menciptakan manusia agar mengisi kembali eksistensinya, dengan kecerdasan dan upayanya, untuk menyebarkan keamanan, keadilan dan kemakmuran, dan untuk memerangi kebodohan, ketidakadilan dan penindasan. Allah menciptakan manusia agar berjuang melawan hawa-nafsunya, yang mendorongnya berbuat kejahatan, dan Allah memberi manusia kekuatan batin agar ia dapat menghadapi kesulitan dan beban hidupnya. Inilah yang sesungguhnya membentuk kehidupan manusia. Hidup yang bergelimang harta, kesenangan, dan pemenuhan hawa-nafsu, pada kenyataannya adalah kematian itu sendiri, karena manusia telah tertarik ke dalam bumi dan mengikuti hawa-nafsunya. Allah berfirman,
"Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir." - [7:176]
Ayat-ayat Allah yang jelas adalah makanan bagi sukma dan kecerdasan. Itulah cahaya yang nyata, yang merasuk ke dalam dada dan menghembuskan kehidupan ke dalam diri manusia, serta mengobati penyakit yang berupa keinginan, yang tiada pernah berakhir. Saat seseorang memuaskan keinginan hawa-nafsunya, ia berkata, "Masih ada lagi?" Jika hawa-nafsu terlepas kendali, ia pasti akan melemparkan manusia ke dalam jurang maut dan kegelapan yang terdalam.
Dalam Al-Qur'an, kita menemukan daftar hawa-nafsu yang paling menyeluruh. Semuanya ditempatkan dalam kategori utama dengan banyak turunannya. Allah berfirman,
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik." - [QS.3:14]
Allah menyebutkan enam jenis hawa-nafsu yang sering menyibukkan qalbu umat manusia dan mengalihkannya dari Dien mereka. Semua itulah dasar dari segala cobaan dalam kehidupan ini. Dua dari enam hawa-nafsu ini, terkait dengan wanita dan anak-anak, dan empat sisanya terkait dengan harta-benda, baik dalam bentuk uang maupun barang. Hal ini disebabkan peran pentingnya harta-benda dalam urusan manusia, dan bagian penting yang dimainkannya dalam membangun dan memajukan kehidupan, serta memberikan kemudahan dan kemewahan yang sangat disukai manusia.
Harta-benda, apalagi, adalah sarana mendasar untuk mewujudkan hasrat manusia lainnya. Ka'b bin Malik, radiyallahu ‘anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Dua serigala lapar yang dilepaskan ke tengah-tengah kawanan domba, tidaklah lebih merusaknya, dibanding ketamakan manusia akan harta dan status terhadap Dien-nya." - [Imam Ahmad, an-Nasa'i, at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban; Hasan-Sahih menurut at-Tirmidzi]
`Aasim bin `Adiy, radiyallahu `anhu, berkata, ‘Aku membeli seratus saham dari saham Khaibar dan itu didengar Rasulullah (ﷺ), maka beliau bersabda,
"Dua serigala lapar yang berada di antara kawanan domba, yang telah lepas dari pemiliknya, takkan lebih berbahaya dibanding seorang Muslim, yang mencari harta-kekayaan dan status, terhadap Dien-nya." - [At-Tabarani; Hasan oleh al-Haitsumi]
Ini suatu perumpamaan yang sangat besar, dituturkan Rasulullah (ﷺ) kepada kita, untuk menunjukkan bagaimana Dien umat Islam bila dirusak oleh keinginan akan harta dan status, dan bahwa kerusakan Dien yang disebabkannya, lebih berbahaya dibanding kerusakan yang disebabkan oleh serigala-serigala lapar dan rakus, yang menghabiskan malam di antara domba yang telah kehilangan gembalanya - sehingga serigala-serigala itu berpesta-pora dan membantainya.
Jelas sekali, takkan ada seekor dombapun yang selamat dari malapetaka yang disebabkan oleh serigala yang lapar ini - dan Rasulullah (ﷺ) menyampaikan bahwa hasrat akan harta dan status, akan menyebabkan kerugian yang lebih besar dibanding akibat yang ditimbulkan oleh serigala-serigala yang lapar ini. Paling tidak, hasilnya akan sama atau bahkan lebih buruk. Jadi, ini juga menunjukkan bahwa Dien seorang Muslim, takkan bisa aman jika ia menginginkan harta dan status di dunia ini - bagaikan domba-domba itu, yang tak selamat dari serigala yang lapar. Kesamaan ini mengandung peringatan keras terhadap akibat buruk dari keinginan akan harta dan status di dunia ini.
Ada dua jenis keinginan akan harta. Jenis pertama adalah, seseorang terlalu mendambakan harta dan juga tanpa henti mengerahkan tenaga untuk menggapainya - dengan cara yang diperbolehkan - namun sangat berlebihan dalam mengejarnya, berupaya keras dan melakukan upaya yang melelahkan dan membanting-tulang untuk memperolehnya.
Mengejar-ngejar harta-kekayaan tidaklah lebih bernilai dibanding menghamburkan kehidupan mulia seseorang. Sebenarnya, ia bisa memperoleh peringkat tertinggi di Firdaus dan kebahagiaan abadi, namun ia akan kehilangan itu karena sibuk mengejar harta-kekayaan - padahal telah dipastikan kepadanya, bahwa takkan mungkin ada sesuatu yang didatangkan kepadanya kecuali telah digariskan untuknya - kemudian setelah memperoleh harta itu, ia tak memperoleh apa-apa darinya, kemudian mengabaikannya, dan membiarkannya diambil orang lain.
Ia meninggalkan semua itu, tanpa sadar bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban, namun orang lainlah yang mendapatkan keuntungannya. Jadi, sebenarnya, ia hanya mengumpulkannya, namun orang lain yang mendapat manfaatnya. Pada kenyataannya, ia hanya mengumpulkannya bagi seseorang, yang takkan pernah mau memuliakannya dengan hasil itu, sementara ia sendiri, harus berhadapan dengan Dia Yang takkan mau memaafkannya, dan inilah bukti dari akibat buruk mengejar hasrat akan harta-benda. Orang yang memiliki hasrat ini, membuang-buang waktu berharganya dan melibatkan dirinya ke dalam sesuatu yang tak bermanfaat bagi dirinya sendiri - dalam perjalanannya dan menjeratkan diri terhadap bahayanya menumpuk harta, yang sebenarnya, hanya akan bermanfaat bagi orang lain. Ada yang berkata kepada orang bijak, "Fulan telah menumpuk harta," maka ia bertanya, "Sanggupkah ia menghabiskannya?" Dijawab, "Tidak" Maka ia berkata, "Kalau begitu, ia tak mengumpulkan apapun!"
Ibnu Mas’ud, radiyallahu `anhu, berkata,
"Iman adalah bahwa engkau tak membahagiakan orang lain dengan mengundang murka Allah, dan bahwa engkau tak iri pada siapapun atas apa yang telah Allah berikan, dan bahwa engkau tak menyalahkan siapapun atas sesuatu yang Allah tak berikan kepadamu - karena rezeki itu takkan diberikan kepada seseorang yang mengejarnya, juga takkan diingkari oleh orang yang tak menyukainya. Sesungguhnya, Allah melalui Keadilan-Nya, telah menjadikan sukacita dan kebahagiaan bergantung pada Iman dan kecukupan, dan Dia telah menjadikan kekhawatiran dan kesedihan muncul dari keragu-raguan dan ketidaksenangan."
Orang bijak berkata,
“Mereka yang memiliki tingkat kegelisahan terbesar adalah orang yang iri, mereka yang memiliki tingkat kebahagiaan terbesar adalah orang yang merasa cukup. Mereka yang sangat gigih melalui penderitaan adalah mereka yang tamak. Mereka yang memiliki kehidupan paling bersahaja dan paling menyenangkan adalah mereka yang paling kuat menolak dunia ini. Orang yang akan mengalami penyesalan terbesar adalah 'Ulama yang perbuatannya bertentangan dengan ilmunya.”
Mendambakan dunia ini, menyiksa seseorang, ia sibuk dan tak memperoleh kesenangan atau kenikmatan saat menimbunnya - karena kesibukannya itu. Ia tak punya waktu untuk Akhirat, karena cintanya pada dunia ini, dan ia disibukkan dengan apa yang akan binasa dan melupakan apa yang akan kekal dan abadi.
Jenis keinginan kedua terhadap harta adalah, bahwa selain dari apa yang telah disebutkan dalam jenis pertama, ia juga mengejar harta-kekayaan dengan cara-cara yang melanggar hukum dan menahan hak-hak orang lain - maka ini jelas merupakan keserakahan dan ketamakan yang patut dicela. Allah, Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"...Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung." - [QS.59:9]
Diriwayatkan Abdullah bin 'Amr bin al-'As, radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah (ﷺ) berkhotbah dan bersabda,
"Jauhkan diri kalian dari ketamakan, karena mereka yang sebelum kamu, binasa akibat ketamakan. Ketamakan itu memerintah mereka agar memperlihatkan kebodohan; ketamakan itu memerintah mereka agar memutuskan tali silaturahim, maka mereka memutuskannya. Ketamakan itu memerintah mereka agar berlaku boros, maka mereka melakukannya.' - [Sunan Abi Dawud, al-Hakim dan Ahmad; Sahih]
Kata syuh (tamak) terkadang digunakan untuk sesuatu yang bermakna bukhl (kikir) dan sebaliknya, namun sebenarnya berbeda makna. Al-Qadi `Iyaad berkata,
"Ada kemungkinan bahwa kehancuran itu, adalah kehancuran mereka yang darahnya tumpah, yang disebutkan di sini, dan ada kemungkinan bahwa hal itu adalah kehancuran di akhirat - dan yang ini lebih jelas, dan mungkin itu berarti kehancuran dalam dua hal, Dunia dan Akhirat. Ada orang yang mengatakan bahwa ketamakan (syuh) lebih kejam daripada kekikiran (bukhl), dan menyebabkan orang tersebut tak mau memberi pada tingkat yang lebih tinggi. Ada yang mengatakan bahwa kekikiran berbaur dengan keserakahan, dengan mengacu pada sebuah tindakan yang spesifik, sedangkan ketamakan itu, bersifat umum, ada yang mengatakan bahwa kekikiran adalah tindakan tertentu dan ketamakan mengacu pada kekayaan dan tindakan yang baik, yang lain mengatakan bahwa ketamakan adalah keinginan yang tak dimiliki seseorang, dan kekikiran menyangkut apa yang dimiliki.”
Beberapa ulama berkata,
“Ketamakan itu, keinginan yang kuat, yang menyebabkan seseorang mengambil hal-hal yang tak halal baginya, dan menahan hak-hak orang lain. Kenyataannya, bahwa seseorang sangat membutuhkan apa yang diharamkan Allah, dan bahwa, seseorang tak puas dengan harta dan wanita, serta apa yang Allah telah halalkan untuknya. Jadi Allah Subhanahu wa Ta'ala, telah menghalalkan bagi kita, apa yang baik, dari makanan, minuman, pakaian dan wanita, dan Allah telah mengharamkan bagi kita memperolehnya, kecuali dengan cara yang halal, dan Dia telah menghalalkan bagi kita, darah dan harta orang-orang kafir dan mereka yang memerangi kita. Dia juga mengharamkan bagi kita, segala hal yang tidak suci, dari makanan, minuman, pakaian dan wanita, dan Dia telah mengharamkan bagi kita, merebut harta orang lain dan menumpahkan darah mereka secara tak adil. Jadi, orang yang membatasi dirinya pada hal-hal yang diperbolehkan baginya, adalah orang yang beriman, dan orang yang melampaui batas dan masuk ke dalam apa yang diharamkan - maka inilah ketamakan yang tercela, yang tak sejalan dengan Iman."
Karenanya, Rasulullah (ﷺ) menyampaikan bahwa ketamakan menyebabkan seseorang memutuskan hubungan kekerabatan, berbuat dosa dan menjadi kikir - dan kekikiran adalah orang yang dengan serakah tetap memegang pada apa yang ada didalam genggamannya. Sedangkan ketamakan berusaha mendapatkan apa yang bukan miliknya secara keliru dan tak adil - baik itu kekayaan maupun sesuatu yang lain. Bahkan dikatakan bahwa itulah induk segala dosa - inilah bagaimana Ibnu Mas`ud dan para Salaf, radiyallaahu` anhum, menjelaskan ketamakan dan keserakahan.
Abu Hurairah, radiyallahu `anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Ketamakan (syuh) dan Iman, takkan menyatu didalam qalbu orang yang beriman"
Juga, dalam hadits lain, Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Yang terbaik dari Iman itu, menahan diri (sabr) dan patuh (musaamahah)."
Sabr di sini, dijelaskan sebagai menahan diri dari hal-hal yang tak diperkenankan, dan musaamahah sebagai pelaksanaan terhadap apa yang diwajibkan.
Jika keinginan seseorang akan harta mencapai tingkat ini, maka kerusakan yang diakibatkannya terhadap Dien seseorang akan tampak jelas - karena tak dapat memenuhi apa yang diwajibkan; dan bila terjerembab ke dalam apa yang dilarang, tanpa ragu lagi, akan mengikis Dien dan Iman seseorang, hingga tanpa ada setitikpun yang tersisa.
Mendamba dan mengejar status, bahkan lebih merusak dibanding keinginan akan harta. Mengejar status, kedudukan, kewenangan, dan kekuasaan di dunia ini, menyebabkan lebih banyak kerugian bagi seseorang dibanding bila ia mengejar harta - akan lebih merusak dan lebih sulit dihindari, karena bahkan hartapun dikeluarkan untuk mendapatkan kekuasaan dan status.
Mendambakan status ada dua jenis. Yang pertama adalah, mencari status melalui otoritas, kekuasaan, dan kekayaan, dan ini sangat berbahaya - karena biasanya akan mencegah seseorang dari kebaikan akhirat dan kemuliaan serta kehormatan dalam kehidupan selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Negeri akhirat itu, Kami jadikan bagi orang-orang yang tak menyombongkan diri dan tak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu, bagi orang-orang yang bertakwa." - [QS.28-83]
Jadi sangat jarang seseorang mencari kedudukan di dunia ini dengan cara mencari kekuasaan, dan diberi petunjuk, serta diberikan apa yang terbaik untuknya. Melainkan ia akan dibiarkan sendiri, seperti sabda Rasulullah (ﷺ) kepada `Abdur-Rahmaan ibnu Samurah, radiyallaahu `anhu,
"Wahai Abdur-Rahmaan! Janganlah meminta kekuasaan karena bila engkau diberikan karena memintanya, maka engkau diabaikan padanya, namun jika engkau diberikan tanpa memintanya, maka engkau akan ditolong di dalamnya." - [Ahmad dan al-Bukhari]
Ini bukan berarti menafikan peran-serta umat Islam dalam siyasah dan suksesi. Salah seorang Salaf berkata,
"Tiadalah orang yang mencari kedudukan melainkan berlaku adil di atasnya."
Imam an-Nawawi, rahimahullah, berkata,
“Inilah alasan yang baik untuk menghindari posisi kekuasaan, terutama mereka yang lemah - dan ini merujuk pada mereka yang tak cakap dan yang tak berlaku adil diatas kedudukan tersebut - maka ia akan menyesali kelalaiannya, saat ia dihina pada Hari Kiamat. Namun orang yang cakap bagi kedudukan itu, dan berlaku adil diatasnya - maka ada pahala yang sangat besar seperti yang ditunjukkan dalam sejumlah hadis. Namun berhubung masuk ke dalamnya membawa banyak bahaya, maka para Ulama besar, menghindarinya."
Ketahuilah bahwa mendamba dan mengejar status dan kedudukan, bila akan menghasilkan ketidakadilan, kesombongan dan kejahatan lainnya, pastilah menyebabkan kerugian besar sebelum pencapaiannya, karena perjuangan yang diperlukan untuk mencapainya, dan juga, dorongan hawa-nafsu yang kuat untuk meraihnya.
[Bagian 2]