Jumat, 14 Desember 2018

Ketika Ribuan Orang Dihidupkan Kembali

Burung nasar bertanya pada sang geluh, "Wahai saudaraku, aku ingin tahu kisah yang Allah sebutkan tentang orang-orang yang dihidupkan kembali dari kematian di negeri mereka, sementara mereka berjumlah ribuan. Tahukah engkau kisahnya?" Sang geluh berkata, "Ya, benar. Maukah engkau mendengarkannya?" Burung nasar berkata dengan gembira, "Tentu saja, dengan senang hati!" Sang geluh berkata, "Baik, duduk dan simaklah kisahnya!"
"Sekarang mari kita kembali pada Bani Israil dan para pemimpin mereka setelah kepergian Yusya' bin Nun. Tak ada perbedaan pendapat di antara para 'Ulama tentang sejarah generasi masa lalu dan urusan orang-orang terdahulu dari masyarakat kita dan yang lain, dimana Kalib bin Yufana bertanggung jawab atas urusan Bani Israil setelah Yusya' bin Nun. Kalib adalah suami Maryam, saudara perempuan Nabi Musa, alaihissalam. Ketika Allah mewafatkan Kalib bin Yufana, setelah berpulangnya Yusya', Dia menunjuk sebagai penerusnya di antara Bani Israil, Hizkil bin Budziy, yang merupakan putra seorang wanita tua. Hizkil bin Budziy adalah orang yang disebut "Ibnu al-`Ajuz" (putra sang perempuan tua). Hizkil bin Budziy bernama Ibnu al-`Ajuz karena ibunya memohon kepada Allah agar dikaruniakan seorang anak lelaki walau ia telah tua dan mandul. Kemudian Allah mengenugerahkannya Hizkil. Karenanya, ia disebut "putra sang perempuan tua."

Ada sebuah daerah yang bernama Dawardan sebelum al-Wasith, di Iraq Tengah, tertimpa wabah tha’un di dalamnya. Penduduk daerah tersebut menghindar dan tinggal di suatu tempat. Orang-orang yang tetap berada di daerah tersebut, sebagian binasa, dan yang lainnya selamat. Tak banyak yang menjadi korban dari kalangan mereka. Setelah wabah tha’un tersebut diangkat, mereka pun pulang dengan selamat. Orang-orang yang tetap tinggal di daerah tersebut berkata, “Sahabat-sahabat kita itu lebih beruntung dari kita. Sekiranya kita lakukan apa yang mereka lakukan, niscaya kita akan tetap hidup. Bila tha’un datang yang kedua kalinya, maka kita akan keluar bersama mereka.”
Setahun kemudian, wabah tha’un tersebut kembali menyerang. Merekapun pergi meninggalkan tempat itu. Jumlah mereka saat itu, 30.000 orang. Mereka tinggal di daerah lembah Afih. Kemudian, dari bawah tanah dan dari atasnya, malaikat berseru kepada mereka, "Matilah!" Merekapun binasa seluruhnya dan jasadnya membusuk.
Lama setelah itu, Hizqil melewati daerah tersebut. Tatkala ia melihat mereka, ia pun berfikir sambil merenggangkan kedua bibir dan jari-jarinya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya, “Inginkah engkau agar Aku memperlihatkanmu bagaimana Aku menghidupkan kembali mereka?” Hizqil menjawab, “Ya.” Hizqil berfikiran seperti itu karena merasa takjub atas kekuasaan Allah atas diri mereka. Dikatakan kepada Hizqil, “Panggillah.” Maka Hizqilpun memanggil, “Datanglah tulang-belulang, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar berkumpul.” Tiba-tiba tulang-belulang tersebut terbang satu-per-satu. Hingga akhimya menjadi sebuah kerangka-belulang. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Serulah.” Kemudian Hizqil menyerunya, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar engkau ditutupi dengan daging.”
Kemudian kerangka yang telah membentuk jasad tersebut ditutupi dengan daging, darah dan pakaian yang dikenakan saat mereka binasa. Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Serulah.” Maka Hizqil menyeru, “Wahai jasad, sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar bangkit berdiri.” Maka merekapun bangkit semua. Tatkala mereka dihidupkan kembali, mereka mengucapkan, "Maha Suci Engkau, wahai Allah. Segala puji bagi-Mu. Tiada illah yang berhak diibadahi selain Engkau.” Kemudian mereka kembali kepada kaum mereka dalam keadaan hidup. Mereka mengetahui bahwa sebelumnya mereka telah mati. Terlihat tanda-tanda kematian di wajah mereka. Mereka tak mengenakan pakaian yang tak menjadi kotor seperti kain kafan. Kemudian mereka meninggal sesuai dengan ajal yang telah ditentukan kepada mereka.

Ada yang berpendapat bahwa jumlah mereka, 30.000 orang. Tetapi diriwayatkan juga bahwa jumlah mereka ada 8.000 orang. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah mereka ada 9.000 orang, dan juga ada yang mengatakan, bahwa jumlah mereka 40.000 orang. Wallahu a'lam.
Selanjutnya, beberapa ulama di kalangan Salaf mengatakan bahwa orang-orang ini adalah penduduk sebuah kota pada masa Bani Israil. Iklim di negeri mereka tak sesuai bagi mereka dan wabahpun menyebar. Mereka meninggalkan negeri mereka karena takut mati dan berlindung di hutan belantara. Mereka kemudian tiba di sebuah lembah subur dan menetap di antara kedua sisinya. Kemudian Allah mengutus dua malaikat, yang satu dari sisi bawah dan yang lain dari sisi atas lembah. Malaikat itu hanya sekali berseru dan semua orang mati seketika, bagai mematikan seorang saja. Mereka kemudian dipindahkan ke tempat lain, dimana dibangun kuburan dan tembok di sekitar mereka. Semuanya binasa, dengan tubuh membusuk dan hancur.

Suatu saat, ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, radhiyallahu 'anhu, sedang shalat, ada dua orang Yahudi di belakangnya. Ketika `Umar ingin bersujud, ia memberikan tempat, lalu salah seorang Yahudi berkata kepada temannya, "Iakah orangnya?" Ketika Umar selesai dari shalatnya, ia berkata, "Jelaskan tentang apa yang diantara kalian ucapkan, 'Iakah orangnya? "' Mereka berkata, "Kami menemukan sebuah tanduk besi di dalam kitab kami yang menyebutkan, "yang memberikan apa yang diberikan kepada Hizkil, yang membangkitkan orang mati atas seizin Allah." `Umar berkata, "Kami tak menemukan Hizkil di dalam Kitab kami, dan tak ada yang menghidupkan orang mati atas seizin Allah kecuali 'Isa bin Maryam." Mereka berdua berkata, "Tidakkah engkau temukan di dalam Kitabullah dan para rasul yang belum kami sebutkan kepadamu?" Umar berkata, "Tentu saja." Mereka berkata, "Adapun kebangkitan orang mati itu, kami akan menyampaikan kepadamu bahwa wabah telah menimpa Bani Israil. Sebuah kelompok pergi dan, ketika mereka berada dalam jarak satu mil, Allah mematikan mereka, dan orang-orang membangun tembok di atas mereka. Ketika tulang-belulang mereka telah rusak, Allah mengutus Hizkil, dan ia berdiri di samping mereka. Ia mengucapkan apapun yang dikehendaki Allah, dan Dia menghidupkan mereka untuknya. Allah mewahyukan tentang peristiwa itu,
"Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya, sedang jumlahnya ribuan karena takut mati? Lalu Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tak bersyukur." - [QS.2:243]
Menghidupkan kembali orang-orang inilah, bukti nyata bahwa kebangkitan fisik akan terjadi pada Hari Kiamat. Dia menunjukkan kepada umat manusia tanda-tanda agung-Nya, bukti-bukti yang kuat dan bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tak bersyukur kepada Allah atas apa yang telah Dia berikan kepada mereka dalam kehidupan duniawi dan urusan agama mereka. Ada hadits shahih dimana Umar bin Khattab pergi ke Asy-Syam (Suriah). Ketika ia mencapai daerah Sargh, ia bertemu dengan para komandan pasukan, Abu Ubaidah bin Jarrah dan teman-temannya. Mereka menyampaikan bahwa wabah telah menyebar di Asy-Syam. Hadits itu menyebutkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Jika engkau mendengar ada wabah penyakit di suatu negeri, jangan memasukinya; tetapi jika wabah itu menyebar di suatu tempat saat engkau berada di dalamnya, jangan tinggalkan tempat itu." - [Sahih al-Bukhari]
Ada riwayat lain yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas, radhiyallahu 'anhu, bahwa Hizkil berkata kepada Bani Israil, "Bersiaplah berperang melawan musuh, dan lakukan tugasmu demi menegakkan kalimat Allah," namun mereka melarikan diri karena takut mati dan berpikir bahwa dengan melarikan diri dari Jihad, mereka akan selamat. Mereka pergi menetap di lembah yang jauh. Perbuatan mereka ini menyebabkan Allah tak ridha dan murka, dan akibatnya, mereka dikejar-kejar kematian. Merekapun semua mati. Seminggu kemudian, Hizkil kebetulan lewat, dan ia sangat menyesali keadaan mereka, lalu ia berdoa kepada Allah agar menyelamatkan mereka semua dari kematian, sehingga hidup mereka dapat menjadi peringatan dan pelajaran bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Doanya dikabulkan dan mereka semua bangkit dari kematian sebagai peringatan bagi orang lain."
Allah berfirman,
"Dan berperanglah kamu di jalan Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." - [QS.2:244]
Ada dua pendapat mengenai peristiwa ini. Pendapat pertama, dan ini yang paling kuat, mayoritas ulama berpendapat bahwa kisah tersebut benar-benar terjadi. Pendapat kedua, Ibnu Juraij berpendapat bahwa kisah ini merupakan metafora. Peristiwa tersebut merupakan sebuah permisalan yang menjelaskan, sikap waspada terhadap sesuatu, tak berguna di hadapan takdir Allah! Berwaspada saja, takkan mengubah nasib, meninggalkan Jihad, takkan mendekatkan atau menunda waktu yang telah ditetapkan. Sebaliknya, takdir dan kadar yang telah ditentukan itu, tetap, dan takkan pernah berubah ataupun bertukar, baik dengan penambahan maupun penghapusan. Demikian pula, Allah berfirman,
"(Mereka itulah) orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, 'Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tak terbunuh.' Katakanlah, 'Cegahlah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang yang benar'.” - [QS.3:168]
Abu Sulaiman, Khalid bin al-Walid, komandan pasukan tentara Muslim, veteran perang di antara tentara Muslim, pelindung Islam dan Pedang Allah yang diangkat atas musuh-musuh-Nya, berkata dalam sekarat, “Aku telah berperan-serta dalam sejumlah pertempuran. Tak ada bagian tubuhku kecuali menderita tembakan panah, tikaman tombak atau sabetan pedang. Namun, di sinilah aku, mati di atas tempat tidur laksana unta mati! Semoga mata para pengecut tak pernah merasakan tidur.” Ia, radhiyallahu 'anhu, menyesal dan kesakitan karena ia tak gugur sebagai syahid dalam pertempuran. Ia sedih harus mati di atas tempat tidur!

Panjang persinggahan Hizkil di antara Bani Israil belum pernah disebutkan. Ketika Allah mengambil Hizkil, perangai buruk berlipat-ganda terjadi di antara Bani Israil. Mereka meninggalkan perjanjian dengan Allah yang telah dibuat dalam Taurat dan menyembah berhala yang dinamakan "Ba'l."

Kemudian sang geluh berkata, "Wahai saudara-saudariku, saat akal-budi seseorang telah menerima kenyataan bahwa baik dan buruk, hidup dan mati, semuanya tunduk pada takdir Allah, ia hendaknya, walau sesaatpun, menafikan pandangan bahwa, entah bagaimana, ia akan dapat menghindari ketetapan Allah itu, dan jika di suatu tempat ketetapan Allah itu berlaku, ia akan bisa lepas darinya di tempat lain.
Dalam pandangan Islam, falsafah hidup tentang takdir, seseorang hendaknya membangun keyakinan bahwa "tugasku adalah melaksanakan perintah Allah." Adapun rasa takut dalam melaksanakan perintah-Nya, tentu ada rasa khawatir kehilangan nyawa atau keluarganya menjadi korban, yang ia tak kuasa mengelaknya. Jika Allah telah menetapkan takdir dari keadaan seperti itu, Dia telah menyuratkan jalan dan cara hal itu terjadi. Begitu sebuah keyakinan merasuk ke dalam diri seseorang, akan menjadikannya orang yang kokoh dan berani, menjauhkan diri dari sifat pengecut. Pandangannya hanya akan tertuju pada sikap istiqamah.

Jika seseorang dikarunia dengan sifat yang bermoral, maka petunjuk baginya di jalan yang benar, cukuplah bahwa perhatiannya akan tertuju pada penalaran dan penggunaan akal-sehat. Sifat kemanusiaannya akan langsung mengarah pada jalan yang lurus, mencari tujuan yang diinginkan. Namun jika seseorang telah berbelok arah, kemudian bahkan jika ia telah berkali-kali diajak agar dapat kembali atau meluruskan kekeliruannya, maka setelah setiap panggilan yang ditujukan itu diabaikannya, maka kecakapan dan kesiapsiagaannya akan berkurang, dan hal sebaliknya yang akan terjadi, ia akan terpuruk lebih jauh lagi dalam kelalaian dan ketidaktaatan.
Islam menyatakan bahwa watak pemberani menjadi sifat yang terpuji dan telah menyatakan watak pengecut sebagai salah satu sifat yang terhina. Dalam sebuah hadis dimana Rasulullah (ﷺ) menyebutkan perangai yang buruk, beliau bersabda,
"Menjadi seorang Muslim, mungkin saja orang itu melakukan kekeliruan karena keteledoran dan kelalaian, namun, bersama dengan Islam, sifat pengecut tak dapat ditemukan pada orang yang sama."
Namun hendaknya diingat bahwa menunjukkan kekuatan besar pada saat menghadapi cobaan bukanlah sifat pemberani. Sifat pemberani itu, bermakna bahwa tetap isitiqamah pada kebenaran dan tegak melawan kejahatan tanpa ada rasa takut sedikitpun. Wallahu a'lam."
"Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ”Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut (dari itu). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu takkan dizhalimi sedikit pun.”
Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah,” dan jika mereka ditimpa suatu keburukan, mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tak memahami pembicaraan (sedikit pun)?” - [QS.4:77-78]
Rujukan :
- The History of al-Tabari, The Children of Israel, Volume III, Translated by William M. Brinner, SUNY Press.
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume I, Darussalam