Senin, 12 Maret 2018

Margasatwa, Sebuah Renungan

"Wahai anak muda!" berkata sang kusir kereta kepada sang musafir muda. "Salah satu bukti pertanda keberadaan Allah adalah penciptaan satwa, dengan segala kualitas, spesies, penampilan, penggunaan, warna, dan keunikan lain yang tak terlihat. Ada satwa yang berjalan dengan perutnya, ada yang berjalan dengan dua kaki dan yang lainnya dengan empat kaki; ada yang punya cara pertahanan di kaki, yakni cakarnya, ada yang menggunakan paruh, seperti rajawali, elang Mesir, dan gagak, ada yang menggunakan giginya, ada yang bertanduk sebagai alat penangkal terhadap apa yang berusaha menaklukkan mereka, ada juga, singa misalnya, punya cukup kekuatan mempertahankan diri tanpa senjata, kekuatan merekalah yang menjadi senjatanya, ada yang menggunakan defekasi sebagai pertahanan.
Spesies satwa sangat banyak jumlahnya, melebihi satu juta spesies, serangga yang terbesar. Al-Qur'an mengulangi banyak tanda, berkali-kali memberikan penekanan, menasihati manusia agar merenungkannya. Inilah sebenarnya salah satu tema Al-Qur'an yang paling mendasar.

Renungkan hikmah mengesankan yang tertanam dalam karunia Allah pada pendengaran dan penglihatan margasatwa, agar mereka dapat melakukan kepentingan mereka dan, akhirnya, memberikan bakti mereka kepada manusia. Jika mereka buta atau tuli, mereka takkan berguna bagi manusia. Di sisi lain, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, tak memperkenankan kecerdasan yang dimiliki manusia ada pada mereka, terlepas dari tubuh besar mereka. Ini tentu saja bagaimana mereka bisa dijinakkan oleh manusia, yang menuntun dan mengarahkan mereka kemanapun ia suka. Jika mereka punya kecerdasan, dengan ukuran mereka yang besar, pastinya mereka tak mematuhi perintah manusia, dan akan menolak ditaklukkan. Sebagaimana adanya, mereka telah diberi pemahaman dan persepsi seperti itu agar dapat mendapatkan kebutuhan mereka, dan pada akhirnya kebutuhan spesies yang akan ditakdirkan untuk dikendalikan. Di sisi lain, mereka diciptakan tak memiliki kecerdasan dan pemahaman, agar memberi superioritas pada manusia; dan ini juga menggarisbawahi prioritas dan prestise manusia. Amatilah bagaimana manusia menaklukkan dan menundukkan mereka, meskipun sebagian besar, takkan mampu mengendalikan mereka sebelum menundukkannya. Lihatlah bagaimana unta, dengan punuknya yang besar, dengan lemah lembut dan penurut dituntun oleh seorang bocah lelaki. Seandainya sang unta menyerang sang bocah, ia akan memecahkannya bagai telur dan menggilas tubuhnya!

Pikirkan hikmah yang terkandung dalam penyediaan peralatan terhadap satwa dan manusia. Karena manusia dicipta untuk mempraktikkan banyak karya kerajinan seperti tukang batu, menjahit, menulis dan sebagainya, ia dilengkapi dengan tangan dan jari yang bulat-datar, yang memungkinkannya memegang, melebarkan, melipat, membuka, membungkus, menebar, menggabungkan; satwa, di sisi lain, tak ditakdirkan untuk mempraktikkan kerajinan serupa, dan karenanya tak dilengkapi dengan tangan dan jari yang mirip dengan manusia. Karena ada satwa, seperti binatang buas, adalah karnivora, mereka dilengkapi dengan yang mirip dengan tangan ramping atau cakar yang disesuaikan dengan tangkapan mangsanya, bukan untuk alat kerajinan. Hal ini terjadi pada karnivora; Herbivora, di sisi lain, ditakdirkan tidak menangkap hewan lain, juga tak punya karya kerajinan; Dan ada yang memiliki kuku yang melindungi mereka dari kasarnya tanah saat mereka berkeliaran di padang rumput sambil merumput; ada yang memiliki kuku berbentuk-kaki dengan lengkungan seperti kaki manusia, sehingga bisa menapak ke tanah; Mereka ditakdirkan untuk membawa dan mengangkut, dan tak memerlukan cakar atau gigi taring untuk mendapatkan makanan, sehingga mereka tak memiliki cakar atau gigi taring itu.

Pikirkanlah tentang terciptanya hewan karnivora, hikmah yang terkandung pada giginya yang tajam, rahang yang kuat dan mulut yang lebar. Mereka dilengkapi dengan senjata dan alat yang disesuaikan untuk makan dan menangkap mangsa. Itulah mengapa engkau melihat burung pemangsa dengan paruh yang tajam dan cakar seperti kait. Itu pula sebabnya mengapa Rasulullah (ﷺ) melarang makan binatang dengan taring dan burung pemangsa, karena mereka bersifat ofensif, agresif dan destruktif. Pemakan makanan akan mengambil kualitas dari apa yang dimakannya, manusia akan mengenakan sifat binatang pemangsa sehingga ia dapat memakan daging mereka dan akan menjadi agresif dan merusak seperti mereka. Itulah sebabnya ummat Islam dilarang memakannya. Hyena, di sisi lain, meskipun memiliki gigi taring, tak dilarang dimakan, karena tak dianggap oleh negeri manapun sebagai predator: larangan terbatas pada hewan dengan dua kualitas, bertaring dan binatang pemangsa. Tak dikatakan bahwa hal berlawanan diterapkan dalam kasus binatang pemangsa tanpa taring, karena binatang pemangsa taring seperti itu, sebenarnya tak ada.

Pikirkan juga kaki-kaki pada satwa dan hikmah agung yang tersajikan. Bagaimana Allah menetapkan bahwa kaki-kaki mereka berpasangan, dua atau empat, tidak ganjil. Seekor binatang bisa berjalan dan berlari, dan dengan cara ini bisa mengatasi kepentingannya, yang tak mungkin terjadi bila kakinya berjumlah ganjil. Binatang berkaki banyak bila mengangkat kakinya, akan bertumpu pada kaki-kaki yang lain; Binatang berkaki dua, bila mengangkat satu kakinya, menopang dirinya pada kaki yang lain, dan binatang berkaki empat, bila mengangkat dua kakinya, menopang dirinya pada dua kaki lainnya, keduanya di sisi yang berlawanan, karena jika mengangkat dua kaki di sisi yang sama, dan menyanggah dirinya pada kaki yang lain, takkan stabil berdiri diatas tanah saat mengangkat kakinya, dan akan melompat-lompat seperti unggas, yang berbahaya dan melelahkan bagi satwa itu, meski tidak bagi bangsa unggas. Ini mirip jika manusia berjalan dengan cara seperti ini untuk jarak tertentu, ia akan cepat merasa penat dan lelah, tak seperti berjalan normal yang merupakan cara yang sesuai untuknya. Hikmah telah menentukan bahwa ia menggerakkan lengan kanannya dengan kaki kirinya dan menahan lengan kirinya dan kaki kanannya, lalu ia bergeser ke sisi lain, yang merupakan cara termudah dan paling mudah berjalan bagi satwa berkaki-dua.

Pikirkan juga secara mendalam hikmah di balik dimilikinya punggung belakang satwa pengangkut ibarat atap yang dibangun di atas kolom, yang nyaman dikendarai, dan membawa muatan. Unta, sebaliknya, berbeda, karena punggung mereka berpunuk, berbentuk melengkung; Karena mereka dirancang untuk beban ekstra berat dan dilengkapi dengan kekuatan khusus, Diketahui bahwa kubah dapat menahan bobot atap yang tak menanggungnya - bahkan dikatakan bahwa gagasan untuk membuat kubah berasal dari punggung unta. Perhatikan juga bahwa karena unta dilengkapi dengan kaki panjang, lehernya juga dibuat sedemikian panjang, sehingga bisa mencapai rerumputan saat unta berdiri. Unta takkan bisa merumput bila lehernya pendek. Alasan lain lehernya dibuat panjang adalah untuk menyeimbangkan beban di bagian belakang saat ia mulai melaju. Keadaannya mirip dengan yang engkau lihat di timbangan gantung - bahkan dikatakan bahwa skala timbangan gantung ditemukan dengan meniru unta, dengan mengamati panjang leher dan berat bebannya; engkau akan melihat bagaimana ia memanjangkan lehernya saat terus terbebani beban, seolah-olah sengaja menyeimbangkannya.

Pikirkan pula bagaimana tubuh satwa dari spesies yang lebih rendah diselubungi kulit berambut dan berbulu seperti wol; bagaimana unggas diselubungi oleh bulu, dan bagaimana beberapa satwa yang dilengkapi dengan cangkang yang kuat dan tangguh, seperti kura-kura; ada yang berbulu seperti tombak; dan lihat bagaimana dalam setiap selubung itu disesuaikan dengan kebutuhan satwa akan perlindungan dari panas, dingin, dan dari musuh yang berusaha menyakitinya. Karena satwa itu tak dapat memperoleh pakaian, memproduksi pakaian dan mantel senjata, mereka dilengkapi dengan pakaian dan penutup yang permanen, dengan peralatan dan senjata yang dapat mereka gunakan untuk membela diri, dengan kuku, bantalan dan kaki yang bersarung menggantikan sepatu dan sandal, sehingga mereka memiliki sepatu dan tempat minum yang permanen. Kuda, bagal dan keledai, memiliki hak istimewa dengan kuku karena mereka diciptakan untuk berderap, berlari dan berpacu; Kuku juga digunakan sebagai senjata, pengganti ceker, cakar dan taring, saat hewan-hewan ini ingin membalas serangan musuh mereka. Oleh karena itu, renungkanlah, berkah dan karunia ini: karena mereka adalah binatang bodoh yang tak berakal dan tak memiliki tangan yang disesuaikan dengan alat kerajinan dan pertahanan, dan tak memiliki bagian dalam apa yang dimiliki manusia, keterampilan merajut dan menjahit, mereka diperlengkapi dengan penutup tubuh alami mereka, sehingga menyertai mereka selama mereka hidup; dan telah dilengkapi dengan senjata dan alat yang membantu mereka mempertahankan diri, sehingga mereka dapat memenuhi hikmah tujuan penciptaan mereka. 

Sedangkan manusia, ia memiliki keterampilan dan tangan yang disesuaikan untuk karya kerajinan, sehingga bisa merajut dan memintal; ia bisa memakai pakaian yang dapat ia ganti sesuka hati. Pakaian adalah tanda pembeda yang membedakan manusia dari satwa, yang lebih rendah darinya, dengan cara yang sama seperti Allah membedakan diantara manusia dengan gizi, tempat hunian, cara berekspresi, pikiran dan pemahamannya. Pakaian dan penutup tubuh bervariasi, sesuai dengan ragam situasi dan kesempatan; baik dalam keadaan damai ataupun perang, menetap atau bepergian, sehat atau sakit, tidur atau terjaga, dan untuk kemewahan. Setiap aspek ini, pakaian dan penutup tubuh itu digunakan, khas, disesuaikan dengan keadaannya. Tak ada pakaian yang sesuai dengan semua aspek itu, yang tak berbeda dengan beragam keadaan. Dalam hal ini, manusia telah dihargai dan diangkat diatas segala satwa lainnya.

Sekarang, pikirkanlah hikmah yang tersaji dalam bentuk wajah satwa tertentu. Amatilah bagaimana mata berada di bagian depan wajah; yang memungkinkan seekor satwa melihat di depannya lebih dari pada arah lain, yang membantu melindungi dirinya dan pengendaranya, yang menghalanginya agar ia tak berlari ke arah dinding atau jatuh ke lubang. Mata margasatwa berada dalam posisi yang sama dengan orang yang berdiri, karena mata berfungsi sebagai pengintai hewan. Mulut mereka adalah celah di bawah hidung, yang membantu mereka menggigit dan menahan umpan. Jika mulut itu sejajar dengan hidung dan di atas dagu, seperti pada manusia, mereka tak dapat mengambil apapun dari tanah: tidakkah engkau melihat bagaimana manusia mengambil makanan dengan tangannya, bukan dengan mulutnya.? Karena binatang tak mengambil makanan dengan tangannya, mulutnya terletak di bagian bawah kepala, yang memungkinkannya memasukkan makanan, mengambilnya dan kemudian mengunyahnya. Bibirnya seperti milik manusia, namun disesuaikan dengan kebutuhannya; yang membantu mencapai hal-hal yang dekat dan jauh. Fungsi ekor merupakan misteri bagi beberapa orang; mereka tak merasakan banyak kelebihannya. Ekor sebenarnya sebagai penutup anus dan penutup alat kelaminnya, menutupi dan menyembunyikannya. Selain itu, garis sepanjang perut satwa, antara anus dan bagian atasnya, adalah tempat kotor, dimana lalat dan nyamuk mengerumuni dan mengganggunya; dan ekor di sini berfungsi seperti kocokan atau kipas angin yang membuat serangga lari ketakutan. Fungsi lain adalah, bahwa satwa leluasa mengibaskannya ke kanan dan kiri: kaki-kakinya sibuk membawa beban tubuhnya, sehingga kaki-kaki itu tak leluasa bergerak, dan karena itu merasa lega saat mengibaskan ekornya. Mungkin ada, selain itu, fungsi lain yang tak dipikirkan oleh manusia, dan pembaca mungkin menolaknya kecuali jika ia melihatnya pada saat kritis; Misalnya ada hewan berkubang di lumpur, tak ada yang dapat membantunya keluar dari kubangan itu selain menariknya dari ekornya.

Ada juga kearifan yang sangat aneh terkait dengan hewan piaraan, binatang buas, hewan pemangsa dan satwa pada umumnya: bahwa engkau takkan melihat sisa-sisa bangkai mereka yang mati meskipun jumlahnya banyak. Begitu banyaknya namun tetap tersembunyi dari pandangan; Kelangkaan jelas bukan penyebabnya. Mereka lebih banyak daripada manusia. Ambillah contoh dari apa yang ada di padang gurun, antelop, rusa, sapi, serigala, harimau, segala jenis reptil dan serangga yang melimpah, banyak spesies burung yang sama banyaknya dengan manusia; Tetapi engkau hampir tak pernah menemukan bangkai mereka di sarang, habitat, liang atau padang rumput mereka; di sepanjang jalur mereka, dekat tempat minum mereka, tempat persembunyian atau tempat perlindungan, atau tempat penyergapan; Kecuali jika ada di antara mereka yang mendapat serangan mendadak, dimakan binatang liar, atau ditembak oleh pemburu, dimana mereka atau kelompoknya tak punya kesempatan, untuk menyembunyikan bangkai itu saat mati. Inilah bukti bahwa ketika seekor binatang merasakan dekatnya kematian, berbeda dengan kematian mendadak, ia berbaring dimana tak ada yang dapat menjamah tubuhnya, dan mengubur bangkainya sebelum kematian terjadi. Jika tidak, padang pasir akan penuh dengan bangkai satwa yang mati, udara akan tercemar, dan mereka akan menjadi sumber kesulitan, dan wabah pun menyebar di antara umat manusia.

Banyak ibrah yang berharga dapat diambil dari kehidupan satwa yang engkau benci dan remehkan! Banyak tanda yang ada di dalamnya tentang kebaikan, rahmat dan hikmah dari Sang Pencipta. Contoh menakjubkan dari kecerdasan satwa itu, saat seekor rubah gagal mendapatkan makanan, jika ia tak berhasil menangkap mangsanya, ia berpura-pura mati dan menggelembungkan perutnya, sehingga seekor burung mengira ia mati dan higgap di tubuhnya untuk memakan dagingnya. Kemudian rubah itu tiba-tiba menerkam dan menangkap burung itu. Maka, siapakah yang mengilhami kiat cerdas ini dan cara yang lembut menangkap mangsa mereka, yang merupakan rezeki mereka? Siapa yang menyediakan kiat seperti ini sebagai kompensasi karena kurangnya kekuatan dan kemampuannya. Siapa lagi selain Yang Maha Lembut, Yang Maha Mengetahui, Yang mengimbanginya dengan kecerdikan bila terdapat kurangnya kekuatan dan kemampuan?"
Sang kusir kereta terdiam beberapa saat, dan berkata, "Sangat jarang ada dua orang yang identik dalam segala hal. Keadaan ini sangat tak mungkin terjadi, sementara tak demikian halnya dengan semua spesies satwa, burung peliharaan maupun yang liar, dan sebagainya. Lihatlah kawanan antelop, kawanan domba, kawanan unta atau sapi, sangat mirip satu sama lain, sehingga engkau harus memerlukan waktu yang lama mengamatinya agar dapat menemukan tanda yang membedakan antara satu dengan yang lain. Sebaliknya, sangat bervariasi dalam bentuk dan fisik, sedemikian rupa sehingga jarang ada dua yang tampak identik walau hanya dalam satu fitur, bahkan dari nada suara saja, bukan dalam satu ucapan. Hikmah ini seharusnya jelas, karena manusia perlu saling mengenal, saling membedakan dari penampilan dan pakaiannya, sehingga mereka bisa saling berkomunikasi. Jika perbedaan seperti itu tak ada, kekacauan dan gangguan yang besar akan terjadi; tak ada kesempatan untuk membedakan penggugat dari terdakwa, kreditur dari debitur; seorang lelaki takkan bisa membedakan antara istrinya dengan wanita lain. Siapakah yang membuat perbedaan dalam fitur, bentuk, dan suara, perbedaan yang tak dapat dijelaskan oleh kata-kata, dan tak ada kefasihan yang bisa diungkapkan? Karya alamkah itu?"

Lalu sang kusir kereta berkata, "Wahai anak muda, renungkan hikmah Allah Yang Maha Kuasa dalam ciptaan dan firman-Nya, dalam apa yang Dia ciptakan dan dalam apa yang Dia putuskan; dan engkau akan menemukan segala sumber hikmah yang agung, yang berbicara tentang sistem yang sangat mudah, yang tak pernah gagal, dan juga yang tak bercelah. Ada orang yang melihat hikmah firman lebih dari sekedar memperhatikan hikmah penciptaan - inilah pilihan di antara hamba-hamba Allah, yang telah memahami dengan baik apa yang Allah tetapkan dari firman dan agama, dan menyadari hikmah-Nya dalam apa yang Dia anjurkan dalam merancangnya. Pikiran dan akal-budi mereka bersaksi bahwa dasar dari apa yang mereka lihat adalah hikmah, karunia dan manfaat yang mendalam bagi manusia , dalam kehidupan duniawi dan akhirat mereka. Kelas orang ini, dari tingkat yang tak terhitung jumlahnya, yang hanya dapat dihitung oleh Allah. Ada manusia melihat kearifan penciptaan lebih dari yang mereka lihat tentang hikmah firman-Nya, dan kelas inilah mayoritas dokter yang mendedikasikan pemikiran mereka untuk mengekstrak manfaat dan penggunaan hewan dan tumbuhan, potensinya dan apa yang dapat tersajikan, baik secara terpisah maupun secara terpadu. Bagian mereka dalam memahami hikmah firman ini, setingkat atau kurang dari ulama fikih dalam memahami hikmah penciptaan.

Kelas yang lain, diberkahi untuk memperhatikan ciptaan dan perintah sesuai dengan potensi dan kemampuan mereka: Mereka memperhatikan apa yang mereka lihat dari hikmah yang melampaui pikiran; Dan saat mereka mengamati ciptaan dan banyak aspek hikmah yang diimplikasikannya, akan memperteball iman, menambah ilmu dan dukungan dari apa yang diajarkan oleh para nabi. Ketika mereka memikirkan perintah-perintah-Nya dan hikmah yang mereka sebutkan, iman dan ketertundukan mereka kepada Allah bertambah. Mereka tak seperti orang-orang yang telah dibutakan oleh Sang Pencipta dengan apa yang Dia ciptakan, atau dibutakan oleh bintang-bintang untuk mewujudkan pembuat bintang; Mereka yang pandangannya buta, yang dihalangi Allah dengan tirai yang tebal. Jika yang terakhir ini menaruh pengetahuan mereka untuk dimanfaatkan dengan baik, mereka akan termasuk orang yang paling teguh, karena telah menyaksikan hikmah Allah. Tanda-tanda-Nya yang paling menakjubkan, keajaiban dari keahlian-Nya yang menunjuk kepada-Nya, karena ilmu, kekuatan, dan hikmah-Nya yang tak ada pada orang lain. Namun, hikmah Allah bahwa pikiran sebagian besar kelompok ini, tak memanfaatkan tempat istimewa mereka; mereka terhalang dari mengenal-Nya, terhenti pada aspek eksternal dari kehidupan duniawi, tanpa berpikir akan kampung akhirat. Pikiran seperti ini tak layak mengenal-Nya, nama dan Atribut-Nya, dan rahasia agama dan peraturan-peraturan-Nya, yang menjadi kepentingan dasar. Tapi karunia ada di Tangan Allah, dan Dia memperluasnya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, karena Allah adalah pemberi karunia yang banyak. Tapi dalam hal ini, apa yang dapat diperoleh manusia sangat kecil dibandingkan dengan apa yang tersembunyi darinya. Sesungguhnya, ilmu yang dimiliki setiap manusia, relatif terhadap apa yang mereka abaikan, bagai hanya sebuah tegukan seekor burung kecil, relatif terhadap lautan. Namun, meski demikian, ini bukanlah alasan untuk berpaling dari apa yang bisa kita pelajari dan menjadi hilang harapan: manusia yang berpikir, akan menemukan apa yang ia lihat sebagai gejala tentang apa yang ada di baliknya. Wallahu a'lam."
"Dan tiada seekor binatangpun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan." - [QS.6:38]
Referensi :
- Capt. Anas Abdul-Hameed Al-Qoz, Men and The Universe - Reflections of Ibn Al-Qayyem, Darussalam