Senin, 24 September 2018

Hidup Kembali


Gelatik berkata, "Wahai saudaraku gajah, sampaikan kepada kami tentang kisah Uzair!" Sang gajah berkata, "Aku tak begitu mengetahui kisahnya, tetapi, maukah kalian mendengar kisahnya dari ia yang kuanggap sesuai untuk menyampaikannya kepada kalian?" Gelatik menjawab, "Tentu saja, persilahkan ia tampil ke depan!" Sang gajah berkata, “Wahai saudaraku, silahkan tampil ke depan!” Dan lihat! Itu sang keledai! Ia berkata, "Ya, aku hanyalah keledai!" Gelatik berkata, "Wahai saudaraku, mohon, sampaikanlah salam!" Keledai berkata, "Maaf! Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!" Para unggas menjawab, "Wa 'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh!" Sang keledai berkata, "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Akhirat untuk orang yang shalih, dan tiada permusuhan kecuali terhadap orang yang zhalim. Aku bersaksi bahwa tiada yang patut diibadahi dengan benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa baginda Nabi (ﷺ) adalah hamba dan Utusan-Nya. Semoga Allah merahmati beliau (ﷺ), keluarga beliau yang suci, para sahabat beliau yang mulia, radhiyallahu 'anhum, dan semua orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga Hari Kiamat.
Wahai saudara-saudariku, bangsa keledai adalah spesies yang sabar dan aku bangga menjadi bagian darinya. Jenis kami, jelas berbeda dari kerabat liar kami. Kerendahan hati mengubah penampilan luar sesosok makhluk serta realitas internalnya. Telinga kami lebih panjang, kepala kami lebih besar, gigi-gigi kami telah kehilangan ketajamannya, punggung kami, lebih kuat, dan perut kami, lebih besar. Untuk mengisi perut yang besar ini, kami harus menanggung cambukan yang menyakitkan di atas kepala dan punggung kami. Transformasi berbahaya yang terjadi dalam kehidupan keledai ini, terjadi sekitar dua belas ribu tahun yang lalu, dan bagiku, tampaknya Allah berkehendak menghormati manusia dan memberi mereka pelayanan sehingga Dia mempercayakan jenis kesabaran kami dengan misi yang sulit, melayani manusia.

Tiada sesuatupun di alam semesta ini, yang menggunakan keledai seperti manusia. Terlepas dari semua itu, tak ada ucapan terima kasih, tak ada pujian dan tak ada pengakuan terima kasih. Masalah utama manusia, dari sudut pandangan objektif kami, adalah, ia mengukur segala sesuatu di dunia ini sesuai dengan kepentingannya sendiri. Ia menganggap dirinya pusat alam semesta ini dan sesuatu yang terpenting di dalamnya. Selain itu, ia menjalankan kedaulatan ini secara spontan sejak ia dilahirkan. Ini bukan yang kami sepakati.
Kepalaku pusing setiap kali aku ingat apa yang terjadi. Lebih baik kita memulai kisahnya saja? Ide bagus, kan? Jadi, dengarkanlah kisah dari leluhur bangsa keledai. Aku akan memulai dengan apa yang dituturkan leluhurku,

"Aku adalah keledai putih kemerahan. Aku tinggal di kawasan pedesaan di Palestina. Kebanyakan orang mengatakan bahwa keledai lambat dan bodoh! Aku takkan diam berdebat tentang hal ini! Aku hanya terus mengibas-ngibaskan ekorku. Majikanku, seorang lelaki berambut putih yang baik, bernama Uzair. Tetapi sebelum kita melanjutkan, aku ingin meyakinkan para hadirin, baik ia itu keledai atau manusia, bahwa aku tak menuturkan kisah ini untuk pamer atau mencari kemuliaan dan kebanggaan. Aku tak ingin membuktikan bahwa aku lebih baik daripada semua keledai lainnya. Hanya saja, aku mengalami hal yang aneh; yang menarik dan mencengangkan. Pengalaman yang kualami ini, qadarullah, sehingga jika ada orang yang mengalami dan memberitahuku tentang hal semacam ini, aku mungkin takkan mempercayainya. Masalahnya, pengalaman ini terjadi padaku secara pribadi dan aku akan mengisahkannya persis seperti yang terjadi. Dapatkah engkau bayangkan, aku mati? Ringkikanku berhenti! Bahwa tulang-belulangku berubah menjadi debu! Dan kemudian, dengan rahmat Allah, aku hidup kembali dan mulai meringkik.

Majikanku Uzair, orang baik yang tak pernah memukulku dengan tongkat atau tangannya. Ia memberiku yang terbaik dari apa yang dimilikinya dan memakan sisanya untuk dirinya. Ia memperlakukanku dengan kasih-sayang dan menghiburku walau ia lebih bersikap keras pada dirinya sendiri. Aku telah tinggal bersamanya selama dua tahun. Dan setelah tinggal bersamanya selama satu setengah tahun, aku menemukan bahwa orang ini, orang yang sangat shalih, pendapat mayoritas ulama, ia adalah seorang nabi Allah. Ia punya ladang di luar desa. Ia bekerja dengan tangannya sendiri seperti para nabi melakukannya. Ia bekerja di lahan pertaniannya, membajak tanahnya, menyirami tanamannya, mengumpulkan buahnya, menjaga pohon-pohonnya dan memangkas ranting-rantingnya. Majikanku Uzair punya keledai, itulah aku. Ia pergi ke kebun dan kembali ke rumah bersamaku. Ia memberi makan hewan peliharaannya dan menyayangi mereka; ia tidak pernah memukul mereka dengan cambuk atau tongkat. Ia menyayangi sesamanya dan bersikap ramah terhadap mereka. Ia selalu memberi nasehat, berdakwah kepada mereka, dan mengajar mereka hukum agama, Taurat, dan bagaimana menjalani hidup mereka.

Pada hari itu sangatlah panas ketika majikanku Uzair mengendaraiku menuju ke ladangnya. Lahan pertaniannya jauh. Ketika majikanku Uzair dalam perjalan ke ladangnya, ia melewati reruntuhan kota yang telah terlupakan dan pekuburan tua yang telah teracak-acak. Kami berjalan melalui ladang hijau, dan kemudian melewati reruntuhan kota yang terlupakan dan pekuburan tua itu. Matahari terbit tinggi di langit dan mengirim cahaya panasnya ke bumi. Reruntuhan kota itu mulai merupa.
Kami mendekat ke pekuburan itu dan aku melihat bayangan dari reruntuhan berbentuk taman yang indah. Aku berlari menuju tempat teduh dan memasuki kota mati itu. Majikanku tersenyum dan membiarkanku pergi ke mana pun aku suka. Aku merasa amat sangat panas. Uzair turun, mengambil keranjang ara dan buah anggur dari punggungku dan duduk di tanah. Semuanya kelelahan karena panas; aku, majikanku, reruntuhan itu dan semut-semut yang ada disekitaran. Uzair duduk dan meremas beberapa anggur ke dalam mangkuk dan kemudian ia mematahkan beberapa potong roti kering dan mencampurkannya ke dalam buah anggur sehingga giginya bisa mengunyahnya.Aku memperhatikan ia menyiapkan makanan itu dalam ketakjuban. Manusia, hanya makan proporsi kecil makanan, dan tampaknya bahwa tuanku Uzair juga terserap dalam meditasinya. Aku merasakan kehidupan... Melihat bagaimana debu mencari debu dan menjadi belulang serta melihat bagaimana mereka tertutup oleh darah dan pembuluh darah, mengamati bagaimana kulit tumbuh diatasnya dan bagaimana rambut menutupi kulit. Keledaimu masih mati, lihatlah bagaimana ia terbangun diantara orang yang mati.

"Bangunlah! Wahai keledai yang telah mati selama seratus tahun." Perintah terakhir diarahkan padaku. Aku mendengarkan Cahaya ini tanpa melihat Dia atau Uzair. Begitu aku mendengar perintah itu, tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Aku mengangkat kepalaku dan menemukan bahwa udara sangat baik dan rasa panas telah hilang. Aku tidak melihat siapa pun kecuali majikanku Uzair. Ia berdiri di depanku, terkagum seolah-olah aku hidup kembali dari kematian. Aku bangkit gemetar dan mencoba untuk meringkik... Aku menemukan bahwa irama suaraku masih bersemangat. Dengan gemetar Uzair berkata saat mengamatiku, "Aku tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Makanan majikanku masih utuh. Bagaimana mungkin kami telah mati selama seratus tahun dan tubuhku telah membusuk jadi debu dan jus anggur itu masih tetap segar! Biasanya jus ini membusuk setelah beberapa jam dalam udara panas! Aku melihat Uzair tenggelam dalam doa yang mendalam. Ia mengulurkan tangan untuk meraih makanan, tapi keadaan emosinya tak memungkinkannya meraih tak lebih dari sepotong belaka. Setelah itu, ia naik ke punggungku dan mengarahkanku menuju desa. Kejutan pertama ini kutemui pada hari yang pelik itu, tak satupun desa yang ada disana! Maksudku desa yang telah kami tinggalkan sebelum kami tertidur di pekuburan itu.

Rumah-rumah telah berubah, pakaian orang telah berubah dan kekang keledai telah berubah... semuanya telah berubah saat ia merenungkan reruntuhan, belulang dan keheningan yang mengelilinginya. Kemudian, aku mendengar ia berkata dalam takjub seolah telah meyakinkan dirinya akan Kemahakuasaan Allah... Aku mendengar ia berkata, "Oh! Bagaimana Allah membawanya kedalam kehidupan, setelah tubuhnya hancur?" Uzair hampir tak dapat mengucapkan kata-kata ini saat ia terserang, sama seperti aku, oleh tidur yang sangat melelapkan; rasa kantuk disertai menggigil dan membuatmu merasa lelah hingga akhirnya engkau terurai menjadi debu.
Aku telah tertidur dalam lelap. Tidur yang berbeda dari yang lain. Semua ini terjadi sebelum aku sadar bahwa aku telah tertidur. Aku mencoba meringkik dan memperingatkan majikanku bahwa jika ia tidur, anggur yang diperasnya akan membusuk karena panas dan kemudian ketika ia terbangun ia tidak akan menemukan makanan lagi untuk dimakan. Tapi aku tak bisa... aku tertidur. Lelapku sangat dalam dan aneh. Benar-benar sangat aneh. Biasanya, dalam tidur normalku, aku bermimpi berjalan di antara ladang kacang atau aku bermimpi bertemu kakekku zebra atau aku bermimpi saat aku masih keledai kecil, tanpa beban atau tanggung jawab. Tapi tidur ini, aku terkejut, berbeda. Tidur ini benar-benar tanpa mimpi.
Lalu, tiba-tiba aku merasakan kehadiran-Nya. Aku tidak membicarakan tentang majikanku karena aku tidak melihat majikanku Uzair atau merasakan kehadirannya. Tapi, aku merasakan kehadiran Cahaya Ilahi. Cahaya ini bertanya pada majikanku, "Berapa lama engkau telah mati?" Aku tidak mendengar tanggapan majikanku atau melihatnya. Aku mendengar Cahaya ini setelah hening sejenak berkata, "Tidak, engkau telah mati selama seratus tahun. Lihatlah keledaimu yang mati Uzair... Lihatlah bagaimana tubuhnya telah membusuk menjadi debu... Lihatlah apa yang tersisa dari belulangnya... Kemudian lihat bagaimana Allah memerintahkan yang mati itu utuh kembali."

Aku mengendus tanah berusaha mencari aroma rumah Uzair tapi aku tak bisa menemukan aromanya. Aku berdiri di tempatku, ketakutan. Aku mulai menyadari apa yang telah terjadi. Aku menyadari setelah kami telah mencapai pusat desa, aku telah mati dan hidup kembali. Ini yang membuatku sangat takut. Kalau bukan karena Uzair, aku pasti sudah gila. Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Karena aku melihat bahwa tidur yang telah kami alami, telah memisahkan antara aku dan ras keledai. Ketika para keledai melihatku, mereka tidak mendekatiku dengan cara yang ramah seperti biasa. Sebaliknya, mereka meringkik ketakutan dan berbalik. Uzair mengumumkan bahwa ia telah kembali dan orang banyak mengolok-olok dirinya. Mereka mengatakan bahwa Uzair telah pergi selama seratus tahun dan tak pernah kembali. Uzair telah mati. Ia berkata, "Akulah Uzair dan Allah telah membawaku kembali dari kematian setelah seratus tahun... mana cucu-cucuku?"
Mereka memberitahukan di mana cucunya berada dan ia menemukan bungsu dari cucunya itu telah berusia enam puluh tahun. Cucunya itu tidak percaya bahwa orang tua ini adalah kakeknya. Hanya ada satu wanita yang hidup dari zaman ketika Uzair meninggalkan desa itu... Hanim, pelayan kami. Ia berumur dua puluh tahun saat kami pergi dan sekarang ia telah berusia seratus dua puluh tahun. Pelayan itu datang ketika ia mendengar tentang Uzair. Ia berjalan sambil meraba-raba dengan tongkat karena ia telah kehilangan penglihatannya karena usia tua. Aku bergegas ke arahnya ketika aku merasakan aromanya, meringkik gembira dan mengibaskan ekorku.

Itulah satu-satunya aroma yang kukenali di desa itu, dan wanita itu berkata kepada Uzair, "Siapakah orang ini yang berbicara tentang Uzair dan ingat padanya saat orang-orang telah melupakannya?" Lalu, ia mulai menangis. Dalam tangisnya ia berkata, "Doa Uzair selalu diterima... Jika engkau Uzair, berdoalah kepada Allah agar mengembalikan penglihatanku." Dan demikianlah, Uzair berdoa untuknya agar dapat melihat lagi, dan kebutaan itu pergi dan ia dapat melihatnya. Ia mengenalinya dan meneriakkan salam kemudian menghempaskan dirinya ke tanah dan mencium kakinya selagi masih dalam tangisnya. Uzair diwafatkan pada usia empat-puluh tahun, dan Allah menghidupkannya kembali di usia yang sama pada saat wafatnya.
Aku menangis bersamanya dan cucu Uzair berkata, "Uzair memiliki salinan Taurat di rumahnya dan kami telah mencarinya setelah ia pergi, namun kami tidak pernah menemukannya. Jika lidahmu milik Uzair, lalu dimanakah Taurat itu? Halaman-halamannya telah hilang dan tercabik-cabik dalam perang dan kami telah benar-benar lupa." Uzair menunjuk kepala dan dadanya dan berkata, "Aku masih menyimpan Taurat itu aman didalam qalbuku, dan aku telah menyembunyikan salinannya di sebatang pohon tua, mari kita mencarinya."

Kami pergi ke sebuah pohon tua yang telah lama ditinggalkan hingga gulma telah tumbuh di sekitarnya dan Uzair memasukkan tangannya kedalam, lalu menarik keluar halaman Taurat. Orang di sekitar berteriak kaget. Di tengah kegembiraan khalayak ramai dengan Uzair, aku benar-benar terlupakan. Semuanya telah selesai dan aku meninggalkan tempat kejadian. Semua orang berkumpul di sekitar Nabi mereka yang telah dihidupkan kembali oleh Allah dari kematian, tapi mereka telah melupakanku. Aku berdiri sendirian, menjauh dari kerumunan untuk sementara waktu. Aku mendengar salah seorang dari mereka berbisik kepada temannya, "Uzair putra Tuhan." Tulang-belulangku tergetar karena kaget.
Sesungguhnya, Allah telah menjadikan Uzair sebagai bukti bagi manusia. Ini memaksaku menulis sebuah memoar dan bersaksi di hadapan Pengadilan Sejarah.
"Tak peduli seberapa banyak kemajuan spiritual yang dikerjakan seseorang dan tak peduli seberapa dekat ia kepada Allah, orang itu masih tetap seorang hamba Allah. Ia takkan pernah menjadi anak Allah, naudzubillah. Inilah penyimpangan terbesar akibat orang-orang melihat suatu perbuatan yang dilakukan seseorang, yang biasanya tampak mustahil atau ajib, lalu mereka menganggap orang itu sebagai orang sakti dan kemudian membangun keyakinan yang keliru terkait dengan diri orang itu. Dan inilah informasi untukmu!"

"Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?" - [QS.9:30]
Referensi :
- Ahmad Bahjat, Animals in The Glorious Qur'an, Islamic e-Books
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex 

Jumat, 21 September 2018

Sang Wakil Raja dan Sang Gajah

Ia, Zur'ah Dzu Nuwas, raja terakhir orang-orang Himyar. Ia menjalankan kekuasaan kerajaan di Yaman pada waktu itu, dan ia penganut Yudaisme. Ketika ia memeluk Yudaisme, ia mengganti namanya, Yusuf," berkata sang Gajah. "Lalu, ketika ia mendengar, di Najran, ada orang-orang yang penuh karunia dan kejujuran, yang berpegang teguh pada hukum yang dibawa Nabi Isa, putra Maryam, alaihissalam, Dzu Nuwas membawa pasukannya, yang terdiri dari suku-suku Himyar dan Yaman, untuk menaklukkan mereka. Ia mengumpulkan penduduk Najran, dan menawarkan agar mereka memeluk agama Yahudi, atau dibunuh. Mereka memilih dibunuh, maka ia memerintahkan menggali parit al-Ukhdud bagi mereka. Ia membakar sebagian dari mereka, menebas mereka dengan pedang, dan memuntungkan tubuh mereka dengan kejam, hingga ia membunuh sekitar dua puluh ribu orang.
Hanya ada satu orang, yang bernama Daus Dzu Tsa'laban, melarikan-diri dengan kudanya, menerobos padang pasir, sampai ia dapat menjauh dari pengejarnya. Ia mencapai Kaisar Romawi dimana ia memohon bantuan melawan Dzu Nuwas dan prajuritnya, dan menyampaikan apa yang telah mereka lakukan. Kaisar Romawi mengatakan bahwa negaranya sangat jauh. maka ia akan menulis surat kepada raja Abyssinia yang juga pemeluk Nasrani dan lokasinya lebih dekat dengan Yaman. Daus menemui raja Negus, raja Abyssinia, membawa surat Kaisar untuk membantunya memperoleh kemenangan dan membalas dendam. Kerajaan Abyssinia ini, sekarang dikenal sebagai Etiopia. Nama Abyssinia, berasal dari bahasa Arab, Al-Habash.

Jadi, raja Negus mengirim 70.000 pasukan Abyssinia di bawah pimpinan salah seorang perwira yang bernama Aryat, turut serta pula lelaki yang bernama Abrahah. Aryat menyeberangi laut dan mencapai pantai Yaman, disertai Daus. Dzu Nuwas dan pasukannya, yang terdiri dari suku Himyar dan suku Yaman, yang berada di bawah kendalinya, menyongsong mereka, Saat mereka bertempur, Dzu Nuwas dan pasukannnya, kalah. Ketika menyadari bahwa kekalahan telah menimpanya dan pasukannya, Dzu Nuwas mengarahkan kudanya ke laut, memacunya hingga masuk ke laut, membawanya dari pantai yang dangkal sampai di laut yang dalam, dan akhinya ia tenggelam. Aryat memasuki Yaman dan merebut kendali kekuasaan.
Aryat tetap mengendalikan Yaman selama beberapa tahun, namun akhirnya Abrahah menantangnya dan pasukan Abyssinia terpecah menjadi dua kelompok. Kemudian salah satu kelompok bergerak menyerang yang lain. Ketika kedua pasukan saling mendekat, Abrahah mengirim pesan kepada Aryat, "Engkau takkan menginnginkan pasukan Abyssinia saling bertempur dan menjadikan engkau sebagai penyebab kehancuran mereka, karenanya, lebih baik, keluarlah melawanku bertarung, satu lawan satu, dan siapapun dari kita yang kalah, maka pasukannya harus ikut bergabung dengan yang menang." Aryat mengirim balasan, "Engkau telah mengusulkan jalan keluar yang cukup adil, baik, majulah melawanku." Abrahah tampil ke medan laga; ia pendek, gemuk, dengan tubuh yang kuat, dan berpegang teguh pada iman Nasraninya. Aryat berjalan ke arahnya; ia seorang yang kuat, tinggi, dan tampan, dan membawa tombak di tangannya. Di belakang Abraha, ada bukit kecil yang berada di bagian belakangnya, dan bersembunyi di balik bukit kecil itu, seorang budaknya, `Atwadah. Ketika keduanya saling mendekat, Aryat mengangkat tombaknya dan melontarkannya ke arah kepala Abrahah, ia membidik tengkorak kepalanya. Namun tombaknya mengenai dahi Abrahah dan membelah alis, mata, hidung, dan bibirnya; karena alasan inilah, Abrahah disebut al-Asyram. Budak Abrahah, 'Atwadah. melompat ke arah Aryat dari belakang Abrahah dan membunuhnya. Akhirnya pasukan Aryat pun, bergabung dengan Abrahah, sehingga semua pasukan Abyssinia yang di Yaman, berada di bawah kendali Abrahah. Namun kelak, Atwadah dibunuh oleh seseorang yang menyerangnya.

Segala sesuatu yang Abrahah lakukan, tanpa sepengetahuan Negus, raja Abyssinia. Ketika berita tentang semua itu sampai padanya, ia menjadi murka dan berkata, "Ia telah menyerang komandan pasukanku dan membunuhnya tanpa perintahku!" Raja bersumpah bahwa ia takkan membiarkan Abrahah berkuasa sampai ia menguasai negeri itu dan memotong rambutnya. Ketika Abrahah mendengarnya, ia lalu menggunduli kepalanya dan mengisi karung kulit dengan tanah Yaman, kemudian mengirimkannya ke raja Negus disertai pesan. "Wahai baginda raja, Aryat hanyalah budakmu, dan aku pun budakmu. Kami berselisih faham tentang perintahmu; kami berdua berutang padamu, tetapi, aku lebih kuat dalam mungurus pasukan Abyssinia, lebih kuat dan lebih terampil dalam mengurus negara. Saat aku mendengar sumpah baginda, aku menggunduli kepalaku, dan aku mengirimkan sebuah karung dari tanah Yaman, agar baginda dapat meletakkannya di bawah kaki baginda, dan dengan demikian, menunaikan sumpah baginda." Ketika pesan ini sampai ke Negus, sekali lagi, ia memafkan Abrahah dan membalas pesannya. "Aku menetapkan engkau bertugas di negeri Yaman sampai ada perintah selanjutnya."
Setelah Negus memaafkan Abrahah dan telah mengukuhkannya sebagai wakil raja atas pasukan Abyssinia dan negeri Yaman, ia akhirnya membangun sebuah gereja di San'a', yang disebut al-Qullyas. Ia membuat bangunan yang luar biasa, yang tak pernah terlihat sebelumnya, menggunakan emas dan zat pewarna yang luar biasa. Ia bersurat kepada Kaisar Romawi, mengabarkan kepadanya bahwa ia bermaksud membangun sebuah gereja di San`a' yang jejak dan ketenarannya akan bertahan selamanya, dan ia meminta bantuan kaisar. Kaisar Romawi mengirimkan tukang-tukang terampil, kubus mosaik, dan marmer. Ketika gedung itu selesai, Abrahah menyurat kepada Negus, "Wahai baginda, aku telah membangun untukmu sebuah kathedral yang tak pernah dibangun untuk raja manapun sebelummu. Aku takkan menyerah sampai aku mengalihkan para hujjaj Arab ke kathedral itu."

Abrahah berusaha mempermalukan orang-orang Yaman dengan membangun gereja yang jelek ini, merendahkan mereka dalam berbagai cara. Ia selalu memotong tangan setiap buruh yang datang bekerja setelah fajar. Ia mulai memindahkan dari istana Balqis, marmer, batu, dan perabotan indah. Di dalamnya, ia mendirikan salib emas dan perak serta mimbar yang terbuat dari gading dan kayu hitam. Al-Qullyas dibangun sangat tinggi dan luar biasa lapang. Ketika akhirnya Abrahah mati, dan pasukan Abyssinia bubar, roh-roh jahat akan membisik kepada siapapun, sehingga berani mengambil bahan bangunan atau perabotannya. Ini karena bangunan itu diberlakukan atas nama dua berhala, Ku'aib dan istrinya. Tingginya 60 hasta. Akibatnya, orang-orang Yaman membiarkan gereja itu tetap ada sampai zaman al-Saffah, khalifah Abbasiyah yang pertama. Ia mengirim sekelompok orang-orang yang nekad, menghancurkannya batu demi batu; dan hari ini, jejak-jekaknya hilang sama sekali.
Ketika isi surat Abrahah kepada Negus terdengar oleh salah seorang yang bertugas sebagai interkalator, an-nasa'ah, ia sangat marah. Ia, salah seorang Banu Fuqaim, bagian kelompok suku yang lebih besar dari Banu Malik. Ia berangkat mendatangi gereja katedral itu, dan kemudian buang air besar di dalamnya, lalu pulang kembali ke negerinya. Ketika Abrahah mendengar kejadian itu, ia gusar, "Siapa yang melakukan ini?" Mereka berkata, "Seorang lelaki, dari Bait di Mekah, tempat orang-orang Arab berhaji, yang melakukannya, karena ia telah mendengar kata-kata tuanku, 'Aku akan mengalihkan para hujjaj Arab ke katedral baru.' Ia marah, datang ke sini, dan buang air besar di dalamnya, untuk menunjukkan bahwa tujuan seperti itu, tidaklah pantas." Abrahah sendiri penuh amarah dan bersumpah, ia akan membawa pasukan ke Baitullah dan menghancurkannya. Ia menyurat kepada Negus untuk menyampaikan kejadian itu, dan meminta Negus agar mengirimkan Mahmud, sang gajah - inilah gajah yang tak tertandingi di seluruh bumi dalam hal ukuran, kekuatan dan tubuh yang besar.

Negus akhirnya mengirimkan sang gajah kepadanya. Begitu sang gajah telah tiba, Abrahah berangkat dengan pasukannya, ditemani oleh raja Himyar dan Nufail bin Habib al-Khath'ami. Ia memerintahkan pasukan Abyssinia bersiap dan membawa perlengkapan, dan kemudian ia berangkat dengan gajahnya."
Beo menyela, "Wahai saudaraku gajah, ada yang mengatakan bahwa, terlepas dari ukurannya, gajah itu, takut pada kucing. Ada komandan tentara membawa kucing ke medan peperangan ketika bertempur melawan orang India, dan karenanya gajah lari," seraya tertawa. Namun, tak ada unggas yang ikut tertawa. Beo menoleh ke sekeliling, lalu duduk, diam. Gajah berkata, "Tidak juga, tetapi, tahukah kalian? Disebutkan, menurut Imam Tabari, bahwa orang pertama yang menjinakkan gajah adalah Ifridun bin Atsfiyan. Ia juga yang pertama kali memasang pelana kuda. Namun, orang pertama yang menjinakkan dan mengendarai kuda, adalah Fathamurath, raja ketiga dunia, juga dikatakan bahwa Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, alaihimussalam, adalah orang pertama yang menunggang kuda, dan kemungkinan, ia adalah orang Arab pertama yang mengendarai kuda. Wallahu a'lam.

Orang-orang Arab sangat cemas dan khawatir saat mendengar tentang pasukan Abrahah dan menganggap sebagai tugas merekalah untuk menghadapinya, ketika mereka mengetahui bahwa Abrahah hendak menghancurkan Baitullah. Seorang anggota bangsawan Yaman bernama Dzu Nafr mengajak kaumnya dan orang-orang Arab yang mau mendukungnya, memerangi Abrahah dan mencegah kehancuran Baitullah. Ada yang turut-serta dan ikut dalam pertempuran. Dzu Nafr dan para pendukungnya kalah, dan ia sendiri ditawan dan dibawa ke hadapan Abraha. Ketika hendak dibunuh, Dzu Nafr menyarankan kepada Abrahah bahwa ia akan lebih berguna dalam keadaan hidup daripada mati. Maka Abrahahpun menawannya, dirantai. Abrahah terus maju dan di daerah Khatz'am datang melawan Nufail bin Habib al-Khatz'ami dengan dua suku sekutunya, Syahran dan Nahis, bersama dengan suku-suku pendukung Arab lainnya. Mereka terlibat dalam pertempuran, Abrahah menang, dan menawan Nufail. Ketika Abrahah akan membunuhnya, Nufail memohon diampuni dan menawarkan diri menjadi petunjuk jalan di wilayah Arab, menjamin bahwa suku-sukunya akan patuh kepada Abrahah. Maka Abrahah membebaskannya dan melanjutkan perjalanan, dengan Nufail bertindak sebagai penunjuk jalan.
Mencapai Ta'if, Abrahah disambut oleh Mas'ud bin Mu'anib bin Malik bin Ka'b bin 'Amr bin Sa'd bin 'Auf bin Tsaqif bersama dengan para pejuang Tsaqif. Mereka berkata kepada Abrahah, 'Wahai raja, kami ini budakmu, sepenuhnya patuh kepadamu; kami tak menentangmu dan kuil kami ini bukan yang engkau inginkan.' Yang mereka maksudkan adalah kuil yang dipersembahkan untuk dewi al-Lat. Kuil al-Lat adalah kuil yang mereka miliki di Ta'if, yang mereka hormati sama seperti Ka'bah. 'Yang engkau inginkan adalah Ka'bah di Mekah; kami akan mengirimkan pemandu untuk membawamu ke sana.' Maka Abrahah membiarkan mereka tanpa diganggu."

Maka Banu Tsaqif mengutus Abu Righal kepada Abrahah sebagai pemandu ke Mekah. Mereka melakukan perjalanan sampai al-Mughammis dimana mereka berhenti. Abrahah mengutus salah seorang Abyssinia bernama al-Aswad bin Maqsud dengan beberapa kavaleri ke Mekah. Ia membawa barang-barang milik Banu Tihama, Quraisy dan lainnya; termasuk 200 unta milik 'Abdul Muththalib bin Hasyim yang pada waktu itu, pemimpin dan yang dituakan oleh Banu Quraisy. Akibatnya, kaum Quraisy, Kinana, dan Hudzail, dan semua orang yang menghormati Ka'bah memutuskan memerangi Abrahah, namun mengabaikan gagasan ini ketika mereka menyadari bahwa mereka tak punya kekuatan yang cukup utuk mengimbanginya. Abrahah kemudian mengutus Hunata, seorang Himyar, ke Mekah, membawa perintah sebagai berikut, "Temukan pemimpin dan yang paling dihormati orang-orang ini. Kemudian katakan kepadanya bahwa raja berkata, 'Aku tak datang untuk berperang melawan kalian, tetapi hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika kalian tak memerangi kami untuk menutup jalan masuk kami ke sana, maka kami takkan menumpahkan darah kalian. ' Jika ia tak ingin perang, bawalah ia menghadapku."
Ketika Hunata memasuki Mekah, ia bertanya kepada para pemimpin Quraisy. Ia diarahkan kepada 'Abdul Muththalib bin Hasyim dan karenanya, menyampaikan pesan Abrahah kepadanya. Abdul Muththalib menjawab, "Demi Allah, kami tak menginginkan berperang dengannya dan tak punya kekuatan untuk melawannya; rumah ini adalah rumah suci Allah dan milik pengikut sejati-Nya, Nabi Ibrahim, alaihissalam." Ia berkata dengan tegas, "Jika Allah melindunginya dari Abrahah, maka itulah tempat suci-Nya dan rumah-Nya. Jika Dia menyerahkannya kepadanya, maka, demi Allah, tiada daya bagi kami mempertahankannya." Hunata kemudian menyampaikan kepada 'Abdul Muththalib bahwa sesuai perintah Abrahah, ia harus ikut menemui Abrahah.

Maka Abdul Muththalib berangkat bersama beberapa putranya. Sesampainya di perkemahan Abrahah, ia meminta bertemu dengan temannya, Dzu Nafr. Saat ia bertemu Dzu Nafr, yang masih berada dalam tahanan, ia bertanya punyakah ia jalan keluar untuk kesulitan mereka. Dzu Nafr menjawab, "Bagaimana mungkin seseorang memberi jalan keluar saat ia menjadi seorang tahanan raja dan mengkin akan dibunuh kapan saja? Aku tak punya masehat untukmu, kecuali mengatakan bahwa Unais, penjaga gajah, adalah temanku. Aku akan berpesan padanya agar memberikan izin kepadamu untuk berbicara dengan raja. Bicaralah kepadanya sesuai keinginanmu, dan Unais akan membantumu sebaik mungkin." Abdul Muththalib setuju dan Dzu Nafr mengirim kepada Unais pesan berikut, "Abdul Muththalib adalah penguasa kaum Quraisy dan penjaga sumur zamzam di Mekah; ia memberi makan manusia di dataran dan hewan liar di pegunungan. Raja merebut 200 untanya. Mintalah izin agar dapat menemui raja dan membantunya sebaik mungkin." Unais menjawab bahwa ia akan melakukannya. Unais kemudian berkata kepada Abrahah, "Wahai raja, disini, di depan pintumu, penguasa Quraisy dan penjaga sumur zamzam Mekah; pemberi makan manusia di dataran dan binatang buas di pegunungan, meminta bertemu. Perkenankanlah ia masuk menemuimu dan membicarakan sesuatu denganmu." Abrahah memperkenankannya masuk.
Abdul Muththalib adalah lelaki yang bermartabat, tampan, dan mengesankan. Ketika Abrahah melihatnya, ia ingin menghormatinya dengan tak membuatnya duduk lebih rendah dari dirinya. Namun, ia juga tak ingin orang-orang Abyssinia melihat Abdul Muththalib duduk di sejajar dirinya di singgasananya. Maka Abrahah beranjak, duduk di atas karpet, dan meminta Abdul Muththalib duduk di sampingnya. Ia kemudian berkata kepada penerjemahnya agar bertanya apa maksud kedatangannya. 'Abdul Muththalib menjawab, "Yang kuinginkan, agar raja mengembalikan 200 unta yang diambilnya dariku." Mendengar hal ini, Abrahah mengatakan kepada penerjemahnya agar menjawab, "Engkau telah membuatku terkesan ketika melihatmu, namun engkau membuatku kecewa ketika engkau berbicara. Engkau hanya membicarakan tentang 200 unta yang aku ambil darimu, namun tak membicarakan tentang rumah, yang agamamu dan agama leluhurmu, akan kuhancurkan? "

Abdul Muththalib menjawab, "Aku pemilik unta-unta itu; Rumah itu milik Majikannya sendiri Yang akan melindunginya." Abrahah berkata, "Dia takkan bisa mempertahankannya terhadapku!" Namun `Abdul Muththalib menjawab, "Itu urusanmu sendiri; kembalikan unta-untaku!" Abdul Muththalib bukanlah seorang pengecut, seperti sangkaan Abrahah. Melainkan ia tahu, yang mana wilayah miliknya dan yang mana wilayah milik Allah. Dan ia sadar, barangsiapa yang melanggar batas-batas milik Allah, bakal berurusan dengan-Nya.
Ketika Abdul Muththalib masuk menemui Abrahah, ia ditemani oleh Ya'mur bin Nafatza bin 'Adi bin al-Dil bin Bakr bin' Abdul Manat bin Kinana, pemimpin suku Banu Bakr, dan Khuwailid bin Wa'ila, pemimpin dari Banu Hudzail. Mereka menawarkan Abrahah sepertiga dari hasil Tihama jika ia mau mundur dan tak menghancurkan Baitullah. Akan tetapi, Abrahah menolak tawaran mereka. Dan hanyalah Allah Yang tahu apakah itu benar terjadi atau tidak. Namun sementara itu, Abrahah mengembalikan unta-unta milik Abdul Muththalib yang telah dirampasnya.

Abdul Muththalib kembali ke Banu Quraisy dan menyampaikan berita itu. Ia memerintahkan agar mereka keluar dari Mekah dan mencari perlindungan di puncak gunung dan ngarai, ia khawatir akan perlakuan kejam tentara Abyssinia. 'Abdul Muththalib kemudian bangkit dan mengambil cincin pintu Ka'bah, dan sekelompok orang Quraisy berdiri bersamanya, berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya terhadap Abrahah dan pasukannya. `Abdul Muththalib berdoa pada saat ia memegang cincin pintu Ka'bah,
Wahai Rabb-ku, aku tak mengharapkan sesuatu selain Engkau yang menghadapi mereka!
Wahai Rabb-ku, lindungilah hima-Mu dari mereka!
Sesungguhnya musuh Rumah-Mu itulah, yang menyerang-Mu!
Halaulah mereka agar mereka tak mengotori pemukiman milik-Mu!
Lebih lanjut ia berdoa,
Ya Allah, hamba-Mu mempertahankan rumahnya, maka lindungilah Rumah-Mu dan rakyatnya
Jangan biarkan salib dan siksaan mereka menang atas siksaan-Mu di hari esok!
Tetapi jika Engkau membiarkannya, maka itulah sesuatu yang terbaik, yang Engkau kehendaki, dan urusan terbaik yang Engkau kehendaki.
Dan jika Engkau membiarkannya, itulah urusan yang akan menetapkan suratan-Mu.
Ketika ada orang yang datang kepada-Mu mencari kedamaian, kami berharap Engkau memperlakukan kami dengan cara yang sama.
Jika mereka berpaling, mereka takkan memperoleh apa-apa selain penghinaan; kebinasaan akan menimpa mereka disana.
Aku tak pernah mendengar tentang orang-orang yang paling hina, yang menginginkan kemuliaan, dan yang kemudian melanggar kesucian tanah haram-Mu
Mereka membawa pasukan dan gajah dari negeri mereka, untuk menangkap dan memperbudak anggota keluarga-Mu
Mereka menyerang hima-Mu dengan kelicikan mereka, semata karena kebiadaban, dan tak memperdulikan keagungan-Mu.
Kemudian `Abdul Muththalib melepaskan cincin pintu Ka'bah, dan berangkat bersama kaum Quraisy ke puncak gunung dan mencari perlindungan di sana, menunggu apa yang akan dilakukan Abrahah di Mekah saat ia memasukinya.
Pagi berikutnya, Abrahah bersiap memasuki Mekah, menyiapkan gajahnya, Mahmud, dan mengumpulkan pasukannya. Abrahah bertekad menghancurkan Baitullah dan kemudian kembali ke Yaman. Ketika mereka mendorong sang gajah ke depan, Nufail bin Habib al-Khats'ami datang dan berdiri di sampingnya. Ia kemudian memegang telinganya dan berkata, "Berlututlah, hai Mahmud, dan pergilah langsung ke arah mana engkau datang, karena engkau berada di wilayah suci Allah!" Lalu ia melepaskan telinganya; sang gajah berlutut, sementara Nufail bin Habib segera melarikan diri secepat-cepatnya dan naik ke gunung. Para prajurit memukuli sang gajah agar mau bangkit, namun sang gajah menolak. Mereka memukul kepalanya dengan kapak perang agar ia bangkit, tetapi masih juga menolak. Mereka memasukkan pengait ke bagian bawah perutnya dan memerintahkan agar sang gajah bangkit, dan sekali lagi, sang gajah menolak. Kemudian mereka membalikkannya menghadap kembali ke Yaman, sang gajah bangkit dan menderap. Kemudian mereka mengarahkannya ke arah Suriah, dan sang gajah berperilaku persis sama. Mereka mengarahkannya ke arah Timur, dan sekali lagi, sang gajah melakukan hal yang sama, namun ketika mereka memperhadapkannya ke arah Mekah, sang gajah berlutut.
Saatnya, Allah mengirimkan al-ababil, sekawanan burung yang saling mengikuti dan berkelompok, bagai burung layang-layang, masing-masing burung membawa tiga bebatuan, yang tampak seperti kacang polong dan miju-miju, sebuah batu di paruhnya dan dua buah di cakarnya. Burung-burung itu, muncul dari laut secara beruntun. Setiap orang, yang burung-burung itu lemparkan batu, binasa, meskipun tak semuanya benar-benar terkena. Dan setiap orang yang tertabrak batu itu, menderita luka parah atau tempat yang terkena, berbintil dan melepuh, lalu pecah. Kemudian batu-batu itu menghabisi mereka semua, dan Allah mengirimkan aliran air yang deras, yang menyapu dan melemparkan mereka ke laut. Itulah pertama kalinya di tahun itu, campak dan cacar terlihat di negeri orang-orang Arab, dan juga, pertama kalinya, tumbuh semak belukar pahit seperti inggu-tumbuhan yang aroma daunnya tak sedap, colocynth-labu hias yang beracun, dan biduri-sejenis perdu besar.

Mereka segera mundur di sepanjang jalan yang mereka lalui, meminta Nufail bin Habib menuntun mereka pulang ke Yaman. Ketika Nufail bin Habib melihat apa yang telah diturunkan Allah kepada mereka sebagai hukuman, ia berkata,
Kemanakah seseorang dapat bersembunyi, ketika Allah mengejar? Al-Asyram, yang ditaklukkan, bukanlah sang penakluk!
Duhai Rudainah, salam besertamu! Ketika kami berangkat pagi ini, mata kami bersukacita padamu!
Seorang pencari dikejar api dari kaummu, datang kepada kami kemarin malam, namun ia tak memperoleh apapun dari kami.
Jika engkau dapat melihat, duhai Rudainah - tetapi engkau tak dapat melihatnya - apa yang kami lihat di sekitar al-Muhassab
Engkau takkan menuduhku dan akan membenarkan keputusanku, dan tak berduka atas apa yang telah berlalu dan terjadi di antara kita.
Aku memuliakan Allah saat melihat dengan mata kepalaku sendiri, burung-burung itu, tetapi takut batu-batu itu akan menghujani kami.
Semua orang meminta Nufail, seolah-olah aku berutang budi pada orang-orang Abyssinia.
Ketika mereka mundur, para pasukan Abyssinia jatuh beruntun di pinggir jalan dan binasa di setiap tempat pemberhentian. Abrahah tersiksa oleh luka di tubuhnya; mereka membawanya pulang, dengan jari-jemarinya lepas satu demi satu. Ketika setiap jari terjatuh, diikuti oleh borok di tempatnya, yang mengeluarkan nanah dan darah, sampai mereka membawanya ke San'a ', ia tampak seperti anak ayam yang baru lahir, tak berbulu dan ceking. Mereka bersumpah bahwa, ketika ia binasa, dadanya memuntahkan jantungnya.
Adapun nasib Mahmud, sang gajah Negus, ia berbaring dan tak mau menyerang Tanah Haram, dan dengan demikian terlindungi dengan aman; namun mengenai gajah lainnya, ada tiga belas gajah, mereka bergerak melanggar batas Tanah Haram dan menderita hujan batu.
Ada yang mengatakan bahwa peristiwa gajah ini, terjadi pada hari pertama bulan Muharram. Ada juga yang mengatakan bahwa enam puluh ribu orang tak pulang ke negeri mereka, walaupun bisa pulang, mereka akan sakit dan takkan hidup lama. 'Abdul Muththalib turun dari Gunung Hira' dan dua orang Abyssinia menghampirinya, mencium tangannya dan berkata, "Engkau lebih berilmu daripada kami." Setelah Allah menghalau orang-orang Abyssinia dari Mekah, orang-orang Arab memperlakukan kaum Quraisy dengan sangat hormat."

Sang gajah lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, kisah ini, tanda yang indah atas kelahiran Nabi kita tercinta (ﷺ). Ini terjadi karena sejarah dunia, telah menunjukkan kepada kita bahwa setiap saat dan peristiwa, baik yang terjadi di dunia ini atau ketika wahyu yang penting terjadi, maka beberapa tanda alam yang penting dari alam langit ditunjukkan, yang jika manusia melihatnya, menganggapnya sebagai peringatan.
Peristiwa ini terjadi beberapa hari sebelum kelahiran Rasulullah (ﷺ). Itulah saat ketika hampir setiap bagian dunia ini hilang dari ibadah Allah. Pada saat itu, yang mengaku penganut agama sejati Allah hadir dimana-mana, tetapi ajaran yang benar telah hilang. Ciri-ciri sejati Dien ini telah dicampur-baurkan dan diubah sehingga sangat sedikit dari asalnya yang tersisa. Syirik dan Kufur hadir dimana-mana. Di satu tempat ada penyembahan berhala, di tempat lain ada penyembahan benda-benda langit dan di tempat lain ada penyembahan api. Di suatu tempat ada tujuan pemujaan, lalu di tempat lain ada pemujaan terhadap unsur-unsur sebagai tujuan utama agama. Beberapa tempat terlihat doktrin trinitas dimana nabi 'Isa, alaihissalam, disembah sebagai Anak Allah. Di tempat lain, orang menyebut Uzair sebagai putra Tuhan. Seluruh dunia menolak Allah atau menyembah berhala, benda-benda langit atau unsur-unsur alam atau hewan. Pada waktu itu, disamping penyembahan Allah, sesuatu yang lain juga disembah.
Dalam keadaan seperti itu, ketetapan Allah adalah bahwa seseorang harus diutus menjadi pembawa petunjuk dan hak bagi umat manusia di dunia ini, guna menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan untuk memutar haluan mereka, dari penyembahan berhala ke penyembahan Sang Pencipta, serta menghubungkan umat manusia dengan Majikan Sejati-nya. Kedatangannya adalah untuk memutus rantai kebodohan. Rasulullah (ﷺ) adalah buah dari do'a Nabi Ibrahim, alaihissalam, dan janji Nabi 'Isa, alaihissalam. Sekarang menjadi penting bahwa Ka'bah, yang merupakan lambang penyembahan Allah dalam Keesaan-Nya, dan yang semula ditegakkan oleh nabi Ibrahim dan Ismail, alaihimussalam, sudah saatnya dihormati dan dimuliakan sebagaimana layaknya. Amanah yang telah dipercayakan kepada Bani Israil dan dimana mereka telah melakukan pengkhianatan, saatnya diambil dari tangan mereka dan diserahkan kepada sepupu mereka, keturunan Nabi Ismail, alaihissalam. Ini berlaku karena Bani Israil ini telah melupakan janji para pendahulu mereka.
Ka'bah disebut Baitullah - Rumah Allah. Ini bukan berarti bahwa Allah tinggal di sebuah Rumah atau Dia membutuhkan sebuah rumah, naudzubillah. Yang terpenting, bahwa bagi umat manusia, dari berbagai penjuru dunia, dan bagi para penyembah-Nya yang sejati, Dia menjadikan Ka'bah sebagai kiblat mereka, dimana mereka harus menegakkan shalat dan berdoa. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, bebas dari arahan khusus manapun, sementara manusia, selalu membutuhkan arah itu, sehingga ditetapkan bagi umat manusia untuk mempersatukan dan menyeragamkan ibadah mereka. Namun, tak diperbolehkan bagi seorang Muslim, memuliakan Ka'bah karena menganggap Ka'bah itu layak disembah. Ka'bah itu, sebenarnya dimuliakan karena merupakan salah satu tanda khusus Allah dan merupakan titik sentrifugal Tauhid. Wallahu a'lam."
"Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)." - [QS.105:1-5]
Referensi :
- Ibn Kathir, The Life of the Prophet Muhammad (ﷺ), Volume I, Garnet Publishing
- The History of Al-Tabari, The Sasanids, the Byzantines, the Lakhmids, and Yemen, Volume V, translated by C.E. Bosworth, SUNY Pres.
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Idara Impex

Selasa, 18 September 2018

Mimpi Sang Raja

Lalu Murai berkata, "Wahai saudara-saudariku, kisah tentang sang penyihir muda, seperti yang telah kita diskusikan sebelumnya, terjadi berkali-kali dalam sejarah di berbagai belahan dunia. Imam Ibnu Katsir, dari referensi Ibnu Abi Hatim, menyebutkan tiga peristiwa khusus, pertama, peristiwa parit di Yaman. Perisitiwa ini terjadi selama periode fatrah, yakni masa transisi antara Nabi Isa, alaihissalam, dan Nabi kita tercinta (ﷺ), sekitar tujuh puluh tahun sebelum diutusnya Rasulullah (ﷺ). Kedua, peristiwa parit di Suriah, dan, ketiga, yang terjadi di Iran. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa peristiwa itu, juga disebutkan didalam Al-Qur'an, Surah Al-Buruj, yang pertama yang terjadi di Najran, yang dikenal sebagai kisah Ashabul Ukhdud. Imam Tabari, menyebutkan dalam kitab sejarahnya, setelah peristiwa ini, diikuti oleh kisah Pasukan Gajah, tentang penyerangan pasukan gajah yang akan menghancurkan Baitullah di Mekkah. Peristiwa ini terjadi pada tahun dimana Rasulullah (ﷺ) lahir di Mekah. Para ulama hadits menyimpulkan bahwa peristiwa ini sebagai mukjizat istimewa dari Rasulullah (ﷺ). Dan bila kita melihat kembali lebih jauh ke belakang, ada beberapa peristiwa yang menunjukkan tanda-tanda akan diutusnya Rasulullah (ﷺ)." Pipit berkata, "Wahai Murai, sampaikanlah kepada kami!"
Murai berkata, "Disebutkan bahwa asal-usul semua orang Arab, berasal dari Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, alaihimassalam. Namun, sebenarnya, bahwa 'Arab al-'Ariba (orang-orang Arab asli) ada sebelum Nabi Ismail, alaihissalam. Di antara mereka adalah kaum 'Ad, Tsamud, Tasm, Jadis, Umaim, Jurhum, dan 'Ameliq, serta yang lainnya, hanya Allah Yang mengetahui. Juga, kaum ini ada sebelumnya dan menjadi kaum yang sezaman dengan al-Khalil. Namun 'Arab al-Musta'riba, orang-orang Arab dari Hijaz, adalah keturunan Nabi Ismail, alaihissalam.

Orang-orang Arab dari Yaman, Himyar, terkenal berasal dari Qahtan, yang bernama Muhzam. Mereka adalah sekelompok empat bersaudara; Qahtaan. Qaahit, Muqhit, dan Faaligh. Sebagian besar menganggap bahwa semua orang Arab terbagi menjadi dua, yaitu yang berasal dari Qahtaan dan 'Adnaan. Kaum Qahtaan terdiri dari dua: Saba' dan Hadramaut. Yang dari 'Adnaan juga terbagi dua: Rabi'a dan Mudar, dua putra Nizaar bin Ma'ad bin 'Adnaan.
Saba' melampaui semua suku ini. Saba' Abd Syams bin Yashjub bin Ya'rub bin Qahtaan, adalah orang Arab Saba' pertama dan inilah mengapa mereka disebut kaum Saba'. Ada yang menyatakan bahwa ia seorang Muslim dan bahwa ia menulis bait-bait puisi yang memprediksi kedatangan Rasulullah (ﷺ). Dalam puisinya itu, ada bait-bait berikut,
"Ia akan menguasai setelah kami, wilayah yang luas
Seorang nabi yang takkan membolehkan kejahatan
Setelahnya, raja-raja lain di antara mereka akan memegang kekuasaan
Memerintah umat manusia, tanpa cela atau aib
Setelah mereka, penguasa dari kami, akan berkuasa
Dan kerajaan kami akan berpecah-belah.

Setelah Qahtaan, seorang nabi akan memerintah
Shalih, rendah-hati, yang terbaik dari umat manusia
Ia akan diberi nama Ahmad, dan aku berharap
Aku diberikan umur setahun setelah kedatangannya
Untuk mendukungnya dan memberinya bantuanku
Dengan segala prajurit bersenjata lengkap dan penembak jitu
Ketika ia tiba, jadilah penolongnya
Dan ia yang bersua dengannya, sampaikanlah salamku."
Di antara mereka ada raja-raja di negeri Yaman yang disebut Tabaabi'a; bila hanya seorang disebut Tubba'. Raja-raja mereka bermahkota selama masa pemerintahannya, seperti juga yang dilakukan Khosrau, raja-raja Sassania, Persia. Masyarakat Arab, sering menyebut kata Tubba' bagi setiap raja yang memerintah Yaman, sama seperti al-Syahr untuk raja-raja Hadramaut, sama seperti mereka menyebut Qaisar untuk raja-raja Suriah, Kisra bagi mereka yang berkuasa di Persia, Far'un bagi penguasa Mesir, al-Najaashi kepada penguasa di Abissinia, dan Batlaimuus untuk raja-raja India. Balqis adalah salah seorang penguasa Himyar di Yaman. Awalnya, negeri Yaman dalam keadaan sangat baik, dengan kemakmuran dan berlimpahnya buah-buahan serta penghasilan daerah. Namun, walau makmur, mereka hidup dengan kejujuran, kepatutan, dan mendapat petunjuk yang benar. Namun kemudian, mereka menjadi kufur dari nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, raja-raja inilah yang membawa kehancuran bagi rakyatnya.
Ketika kekayaan mereka hilang dan negeri mereka hancur, mereka terpaksa meninggalkan negerinya. Mereka lalu tersebar ke daerah-daerah yang lebih rendah dan ke daerah-daerah yang lebih tinggi dari negeri itu, ke segala arah, keadaan ini disebut Aidi Saba'. Dari mereka, ada yang menetap di Hijaz, suku Khuza'a di antara mereka; bermigrasi ke pinggiran kota Mekah. Yang lain pindah ke Yathrib, yang sekarang Medina, menjadi yang pertama menetap di sana. Mereka kemudian bergabung dengan tiga suku Yahudi: Banu Qainuqa, Banu Quraizah, dan Banu al-Nadir. Mereka membuat perjanjian dengan suku-suku Aus dan Khazraj dan tinggal bersama mereka. Kelompok-kelompok lain kaum Saba' pindah ke Suriah dan kemudian mereka memeluk agama Nasrani; yakni Ghassaan, 'Aamila, Bahraa', Lakhm, Judhaam, Tanakh, Tanuukhb, dan lain-lain.

Tak semua kaum Saba' meninggalkan Yaman ketika mereka terserang aliran banjir Arim; mayoritas tetap tinggal. Kaum Ma'rib, yang memiliki bendungan, pindah ke berbagai bagian negara. Seluruh Saba' tak meninggalkan Yaman, melainkan empat yang berpindah ke Suriah, sementara enam suku tetap tinggal. Yakni Madhhij, Kinda, Anmar, dan Asy'aris. Anmar adalah induk dari Khath'am, Bajila, dan Himyar; jadi, inilah enam suku dari Saba' yang tinggal di Yaman. Mereka terus mempertahankan hak kekuasaan dan kerajaan tabaabi'a sampai raja Abyssinia merebutnya melalui tentara yang ia kirim di bawah dua jendralnya, Abrahah dan Aryaat. Pemerintahan Abyssinia berlangsung sekitar 70 tahun sampai Saif bin Dzu Yazan, orang Himyar, merebutnya kembali, dan itulah waktu yang mendekati kelahiran Rasulullah (ﷺ).
Rabi'ah bin Nasr, salah seorang raja Tubba' dari Himyar, ia berasal dari suku Lakhm dan tentang dirinya, disampaikan kisah pertemuannya dengan dua peramal, Satih dan Syiqq, serta bagaimana mereka memperingatkannya tentang akan diutusnya Rasulullah (ﷺ).
Rabi'ah bermimpi sesuatu yang membuatnya gundah dan gelisah. Maka iapun mengumpulkan semua peramal, dukun, pawang burung, dan ahli nujum, di kerajaannya dan berkata, "Aku telah bermimpi sesuatu yang membuatku kagum dan takut. Sampaikan apa itu dan bagaimana menafsirkannya!" Mereka menjawab, "Ceritakanlah mimpi baginda kepada kami dan kami akan menafsirkannya." Sang raja menjawab, "Jika aku menyampaikannya pada kalian, aku takkan puas dengan penjelasan kalian; satu-satunya yang mampu menafsirkannya ialah orang yang telah mengetahuinya sebelum mendengarnya."

Seorang bijak kemudian menyarankan, "Jika itu yang diinginkan baginda, maka baginda hendaknya mengundang Syiqq dan Satih. Tiada yang lebih berilmu dibanding mereka; mereka akan meyampaikan apa yang baginda minta."
Maka sang raja mengundang mereka, dan Satih tiba terlebih dahulu dari Syiqq. Sang raja memanggilnya dan berkata, "Wahai Satih, aku telah bermimpi sesuatu yang telah membuatku cemas dan gelisah, jadi, sampaikanlah padaku, karena jika engkau memahami mimpi itu dengan benar, engkau akan tahu dengan benar penafsirannya." Satih menjawab, "Baik, akan kuusahakan. Baginda melihat api muncul dari kegelapan, turun ke negeri yang rendah, dan memangsa setiap makhluk hidup dengan tengkorak (jumjumah)." Sang raja berkata, "Wahai Satih, engkau telah mengungkapkannya dengan tepat; menurutmu, apa penafsirannya?" Satih menjawab, "Aku bersumpah atas naga yang ada di antara dua harrasy, pasti akan menukik ke negerimu, dan kemudian akan menguasai seluruh negeri dari Abyan ke Jurash."

Sang raja berkata kepada Satih, "Demi ayahmu! Wahai Satih, ini sungguh menyedihkan dan menyakitkan bagi kami; namun kapan ini akan terjadi — dalam masaku, atau berikutnya?" Satih menjawab, "Tidak, sesungguhnya, waktu yang baik setelah itu - lebih dari enam puluh atau tujuh puluh tahun akan berlalu." Sang raja berkata, "Akankah kekuasaan penerusku tetap bertahan, atau akan runtuh?" Ia menjawab, "Tidak, akan runtuh setelah tujuh puluh tahun berlalu, dan kemudian mereka semua akan terbunuh atau akan diusir sebagai buronan." Sang raja berkata, "Lalu siapa yang akan melaksanakan tugas membunuh dan mengusir mereka?" Satih menjawab, "Iram dari Dzu Yazan-yang akan maju melawan mereka dari Aden-dan tak meninggalkan seorang pun dari mereka di Yaman." Sang raja bertanya, "Akankah kekuasaan Iram bertahan, atau akan runtuh?" Ia menjawab, "Sesungguhnya akan runtuh." Sang raja berkata, "Dan siapa yang akan meruntuhkannya?" Ia menjawab, "Seorang nabi - seorang yang suci - kepada siapa wahyu yang diturunkan (al-wahy), akan datang dari tempat tinggi." Sang raja bertanya, "Siapa yang akan menjadi nabi ini?" Ia menjawab, "Seorang lelaki dari keturunan Ghalib bin Fihr-putera Malik bin al-Nadr-kekuasaannya atas umatnya akan bertahan sampai akhir zaman." Sang raja berkata, "Wahai Satih, akankah waktu (al-dahr) berakhir?" Ia menjawab, "Ya, hari dimana para generasi pertama dan generasi terakhir akan dikumpulkan-orang-orang shalih akan gembira - tetapi orang-orang yang berbuat jahat akan celaka." Sang raja berkata, "Benarkah yang engkau sampaikan kepada kami, wahai Satih?" Satih menjawab, "Ya, demi merahnya matahari yang terbenam di petang hari - dan awal dari kegelapan malam - dan fajar ketika telah merekah - apa yang kusampaikan kepada baginda, tak diragukan lagi kebenarannya."
Ketika Satih telah selesai, Syiqq tiba, maka sang raja pun memanggilnya. Ia berkata, "Wahai Syiqq, aku telah bermimpi sesuatu yang telah membuatku cemas dan gelisah, maka sampaikanlah tentang mimpi itu, karena jika engkau memahami mimpi itu dengan benar, engkau akan tahu betul penafsirannya," seperti yang ia katakan kepada Satih. Namun sang raja menyembunyikan dari Syiqq apa yang dikatakan Satih, agar ia bisa melihat, bersetuju atau berbedakah kedua penafsirannya. Syiqq berkata, "Ya, baginda melihat tengkorak yang keluar dari kegelapan dan jatuh di atas seluruh negeri, padang rumput, dan semak-semak dan melahap segala sesuatu yang hidup di sana." Ketika sang raja merasa bahwa kata-kata dari dua peramal itu saling sepakat secara total, ia berkata kepada Syiqq, "Wahai Syiqq, engkau telah mengungkapkannya dengan benar, jadi, menurut pendapatmu, bagaimana penafsirannya?" Syiqq menjawab, "Aku bersumpah atas mereka yang diam di antara dua barrah — orang-orang kulit hitam pasti akan turun ke negerimu — dan akan merebut hak asuh setiap yang disayangi dari tangan baginda — dan kemudian akan menguasai seluruh negeri dari Abyan ke Najran."

Sang raja berseru, "Demi ayahmu! Wahai Syiqq, ini sungguh menyedihkan dan menyakitkan bagi kami; tapi kapan ini akan terjadi — dalam masa pemerintahanku, atau yang berikutnya?" Syiqq menjawab, "Beluum, sesungguhnya, waktunya masih lama setelah baginda — kemudian yang kuat, berderajat yang tinggi, akan menyelamatkan baginda darinya — dan akan membuat mereka merasakan kehinaan yang terdalam." Sang raja berkata, "Siapa orang yang tinggi derajatnya ini?"
Syiqq menjawab, "Seorang pemuda yang bebas dari rasa bersalah dan tanpa cela, dan akan muncul dari garis keturunan Dzu Yazan." Sang raja berkata, "Akankah kekuasaannya bertahan, atau akan terpotong di tengah jalan?" Ia menjawab, "Sesungguhnya, akan diakhiri oleh seorang nabi yang akan diutus, yang akan datang dengan hak dan keadilan - di antara orang-orang shalih dan kebajikan-kekuasaan akan tetap di antara umatnya sampai Hari Pemisahan. Seseorang mungkin bertanya, "Apa Hari Pemisahan itu? Jawabannya, Hari dimana orang-orang yang dekat dengan Allah akan diperhitungkan-suara dari langit akan terungkap-yang hidup dan mati akan mendengarnya-dan dimana orang-orang akan dikumpulkan bersama di tempat yang ditentukan, dimana akan ada keselamatan dan berkah bagi mereka yang takut kepada Allah." Sang raja berkata, "Benarkah yang engkau katakan, wahai Syiqq?" Ia menjawab, "Ya, demi Rabb langit dan bumi - dan dataran tinggi dan dataran rendah yang terletak di antaranya - apa yang telah kusampaikan kepada baginda, benar adanya, tiada dusta didalamnya."
Ketika Rabi'ah bin Nasr mangkat, seluruh kerajaan di Yaman diserahkan ke Hassan bin Tubban As'ad Abu Karib. Imam Tabari menyebutkan dari Muhammad Ibnu Ishak, ketika Al-Aakhar atau Tubba' II, yaitu, Tubaan As'ad Abu Karib, kembali dari Timur, ia pulang melalui Yathrib. Ketika melewatinya di awal ekspedisi, tak menimbulkan perasaan gelisah di antara pasukannya, namun muncul setelah salah seorang putranya, tertinggal di sana, yang kemudian dibunuh.
Karenanya, ia sekarang datang ke kota itu dengan tujuan untuk menghancurkannya, memusnahkan penduduknya, dan menebang pohon kurmanya. Ketika mereka mendengar rencananya, suku-suku di Yathrib bersatu melawannya, membela diri. Pemimpin kaum mereka pada waktu itu, 'Amr bin al-Tallah, salah seorang Banu an-Najjar, dan kemudian dari Banu 'Amr bin Mabdzul. Mereka bersatu menyerang Tubba'. Ketika Tubba' telah berkemah dengan pasukannya dekat Yathrib, salah seorang dari Banu 'Adi bin an-Najjar, yang disebut Ahmar, membunuh seorang pengikut Tubba' yang ia temukan menebang pohon kurma miliknya. Karena itu, ia memukulnya dengan pengaitnya dan membunuhnya, berkata, "Buah itu milik orang yang menanam dan memeliharanya!" Setelah membunuhnya, ia melemparkan mayatnya ke sumur bernama Dzat Tuman; ini menambah kemarahan Tubba', dan kedua belah pihak terlibat dalam peperangan. Suku-suku Yathrib ini, melawan Tubba' pada siang hari, tetapi memperlakukannya sebagai tamu setiap malam. Tubba' kagum dan sering berkata, "Demi Allah, orang-orang ini, murah-hati!"

Sementara ia sibuk, kemudian datanglah dua rabi dari orang-orang Yahudi Banu Quraizah, para ahli ilmu dengan ilmu yang kuat, telah mendengar niat Tubba' menghancurkan kota itu dan penduduknya. Mereka berkata kepadanya, "Wahai raja, janganlah baginda lakukan itu, karena jika baginda melaksanakan rencana baginda, akan ada yang turut campur-tangan mencegahmu, dan kami khawatir bahwa baginda akan menjatuhkan pada diri sendiri azab yang cepat." Sang raja berkata kepada mereka, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Mereka menjawab, "Disinilah tempat dimana seorang nabi, yang akan muncul dari suku Quraisy pada akhir zaman, akan berhijrah, dan akan menjadi rumah dan tempat peristirahatannya." Setelah mendengar kata-kata itu, Tubba` mengurungkan niat yang ingin ia lakukan terhadap Yathrib, memahami bahwa kedua rabi itu memiliki pengetahuan yang istimewa dan merasa kagum pada apa yang didengarnya. Ia meninggalkan Yathrib, membawa mereka bersamanya ke Yaman, dan kelak memeluk agama kedua rabi itu. Nama-nama rabi itu, Sukhait dan Munabbih, keduanya dari Banu Hadl dan saling bersepupu dari pihak ayah. Merekalah orang yang paling terpelajar di zamannya.
Tubba' kemudian berangkat menuju Mekah dalam perjalanan pulang ke Yaman. Ketika ia tiba di antara Usfaan dan Amaj, ia didekati oleh serombongan orang dari Banu Hudzail. Mereka bertanya kepadanya, "Wahai raja, bisakah kami membawamu ke perbendaharaan kuno yang diabaikan oleh raja-raja sebelum engkau, dimana ada mutiara, bahan mineral, safir, emas, dan perak?" "Tentu saja boleh," jawabnya. Mereka berkata, "Ada sebuah bangunan di Mekah yang penduduknya menyembahnya dan berdoa di sana." Sebenarnya, orang-orang Banu Hudzail itu, berupaya membinasakan Tubba' dengan cara ini, karena mereka tahu bahwa setiap raja menginginkannya atau binasa dengan terhinakan. Setelah menyetujui saran mereka, Tubba' bertanya kepada kedua rabi, meminta saran mereka. Mereka menjawab, "Orang-orang itu hanya menginginkan kematian dan kehancuran tentara baginda. Kami tahu, tak ada bangunan lain selain itu di negeri yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah tetapkan untuk-Nya. Jika baginda lakukan seperti yang mereka sarankan, engkau akan binasa, beserta semua orang yang bersamamu."

Tubba' bertanya apa yang harus ia lakukan ketika ia mendekati bangunan itu, dan kedua rabi mengatakan bahwa ia hendaknya melakukan hal yang sama dengan mereka yang tinggal di sana, ia seyogyanya mengelilingi dan menghormati serta memuliakannya, mencukur rambut kepalanya dan berperilaku dengan kerendahan-hati, sebelum dan sampai ia meninggalkannya. Sang raja lalu bertanya, "Mengapa kalian berdua tak melakukan hal yang sama?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya, inilah rumah ayah kami, Nabi Ibrahim, alaihissalam, dan kami sampaikan apa adanya, namun orang-orang di sana telah menciptakan penghalang di antara kami dan itu disebabkan oleh tuhan-tuhan yang telah mereka tetapkan sendiri dan darah yang mereka tumpahkan di sana. Mereka najis dan musyrik." Inilah inti dari kata-kata para rabi itu.
Tubba' melihat kebaikan nasihat dan kebenaran kata-kata mereka, lalu ia memanggil Banu Hudzail itu, memotong kedua lengan dan kaki mereka, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mekkah. Di sana, ia melakukan thawaf, berqurban, dan bercukur. Ia tinggal di Mekah selama enam hari, disebutkan, ia melaksanakan qurban dan memberi mereka madu untuk diminum. Dalam mimpi, ia ditunjukkan bahwa ia hendaknya membuat selubung bagi Ka'bah, maka iapun memberinya selubung dari daun palem. Kemudian, ia bermimpi lagi, ditunjukkan bahwa ia hendaknya memberi selubung yang lebih baik, maka ia memberinya selubung dari kain suku Yaman. Sekali lagi, ia bermimpi bahwa seyogyanya, ia memberikan selubung yang lebih baik lagi, maka ia memberinya selubung dari kain bagus dan bergaris. Karena itu, masyarakat mengakui bahwa Tubba'-lah, orang pertama yang memberi kain selubung, atau kiswah, bagi Ka'bah. Ia memerintahkan wali suku Jurhum agar membersihkannya secara menyeluruh dan mencegah darah, mayat, atau menstruasi wanita, agar tak menyentuhnya. Ia juga membuatkan pintu dan kunci.

Subai'a, putri al-Ahabb, mengucapkan bait-bait berikut untuk putranya Khalid, menyampaikan kepadanya agar menghindari perbuatan dosa di Mekah dan mengingatkan apa yang telah dilakukan Tubba di sana,
"Wahai anakku, di Mekkah, janganlah menzhalimi kaum-muda maupun yang tua.
Peliharalah kekeramatannya, anakku, dan jangan jadikan kecongkakan menipumu.
Siapapun yang berbuat dosa di Mekkah, anakku, akan menghadapi bencana besar.
Wajahnya, anakku, akan dihajar, pipinya akan termakan api.
Aku telah mencobanya di sana, anakku, dan melihat mereka yang merusaknya, binasa.
Allah menjadikannya aman, walau tiada menara yang dibangun di halamannya.
Allah menjadikan unggasnya tak terjamah dan juga gagak-gagak berkaki putih di Gunung Tsabir.
Tubba' menyerangnya, namun kemudian menghiasi bangunannya dengan kain baru yang lembut.
Rabb-ku merendahkan kekuatannya di sana, maka ia memberi qurban yang sepatutnya,
Berjalan tanpa alas kaki ke arahnya, di halamannya,
Dan mempersembahkan dua ribu unta,
Memberi makan penduduknya mahar daging unta dan ternak,
Memberi mereka madu dan air jelai untuk diminum.
Dan Allah menghancurkan tentara gajah, melontarkan batu di antara mereka,
Mengakhiri kekuasaan mereka di negeri jauh, Persia dan Khazir.
Maka camkan ini saat dikisahkan, dan pahami bagaimana sesuatu itu berakhir."
Lalu Murai berkata, "Wahai saudara-saudariku, para ulama hadits telah menjadikan peristiwa-peristiwa ini sebagai mukjizat istimewa Rasulullah (ﷺ), tetapi istilah mukjizat, dalam arti sebenarnya, mengacu pada peristiwa luar biasa yang ditunjukkan Allah, untuk membuktikan seorang nabi telah diutus oleh-Nya. Karena itu, mukjizat ditampilkan saat pelaksanaan perutusan nabi tersebut. Namun, terkadang, terjadi peristiwa ajaib sebelum datangnya seorang nabi. Ini, dalam bahasa para ulama hadits, disebut irhas, yang berarti 'prolog atau pengantar'. Kata rahs berarti 'batu fondasi' (Qamus). Sebagai peristiwa menakjubkan yang terjadi sebelum kedatangan para nabi atau sebelum pengakuan mereka atas kenabian, yang dimaksudkan untuk memperkenalkan dan menegaskan bahwa tak lama lagi seorang nabi akan diutus, inilah yang disebut sebagai irhas. Banyak irhasat terjadi sebelum kelahiran dan diutusnya Rasulullah (ﷺ). Di antara berita gembira akan kenabian Nabi kita (ﷺ), bahwa ketika ibunya mengandung, beliau melihat dalam tidurnya, ada cahaya terpancar darinya sampai ke Syam. Dari Khalid bin Ma’dan dari para shahabat Rasulullah (ﷺ) bahwa mereka berkata, "Wahai Rasulullah, mohon sampaikan kepada kami tentang dirimu. Maka beliau (ﷺ) bersabda, “(Aku adalah hasil) doa ayahku, Ibrahim, dan kabar gembira, Isa. Dan ibuku bermimpi ketika beliau mengandungku, seakan keluar cahaya darinya menyinari istana Bushra di negeri Syam.” Kenabian nabi kita tercinta (ﷺ),  telah ada ketetapan dengan petunjuk yang pasti, dimana orang yang rasional, tak mungkin mau mengingkarinya. Wallahu a'lam."
"Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, 'Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).' Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, 'Ini adalah sihir yang nyata'." - [QS.61:6]
Reference :
-  Ibn Kathir, The Life of the Prophet Muhammad (ﷺ), Volume I, Garnet Publishing
- The History of Al-Tabari, The Sasanids, the Byzantines, the Lakhmids, and Yemen, Volume V, trasnlated by C.E. Bosworth, SUNY Pres.

Jumat, 14 September 2018

Sang Penyihir Muda

Musim berlalu, para unggas berkumpul lagi. Tetapi, kali ini, mereka berkumpul dalam sebuah lingkaran belajar. Seperti biasa, Nuri bertindak sebagai moderator, dan kali ini, Murai batu bertindak sebagai relawan yang berbagi cerita. Murai memulai dengan berkata, "Wahai saudara-saudariku, sesungguhnya, pemerintahan manapun bertanggung-jawab atas hasil akhir dari segala lapisan masyarakat; ia membentuk dasar kebiasaan dan kerangka peradaban dan etikanya. Akan menjadi apakah akhir dari masyarakat ini, dasar kebiasaan dan kerangka peradabannya, bila segalanya bersumber dari penindasan dan sihir?
Pemerintahan yang seperti inilah yang melambangkan tirani, karena semua jenis pemerintahan merupakan bentuk kontrol atas keadaan manusia. Jika pemerintahan itu sehat, maka ia akan berusaha membangun dan membentuk struktur manusiawi, dan penguasa itu sendiri akan diuntungkan jika rakyatnya sehat, cerdas dan kuat. Namun jika pemerintahan itu lalai, ia akan berusaha merubuhkan struktur manusiawi dan membubarkan masyarakat, karena pemerintah yang lalai hanya mengejar tak lain selain kendali-kekuasaan yang terus-menerus, bahkanpun jika hal itu menyebabkan kehancuran masyarakatnya. Dalam keadaan seperti ini, penguasa itu berharap mendapatkan keuntungan jika orang-orang yang mengikutinya itu lalai, bebal dan lemah.
Lebih lanjut, sihir adalah bentuk penipuan dan kebatilan, maka bisa membantu mencapai tujuan penguasa tiran. Setiap metodologi yang bukan dari Allah dan bilamana manusia tak berserah-diri kepada-Nya, juga akan mencapai hasil yang sama dengan sihir; perbedaannya hanyalah dalam hal nama dan bentuk, namun keduanya memiliki kesamaan, bahwa mereka menginginkan agar tak ada kekuatan rasional atau pikiran yang kuat dalam masyarakat. Akhir ini dapat dicapai melalui sihir atau melalui sistem pemerintahan buatan manusia. Sihir hadir dengan sendirinya, dengan memberangsang ketakutan dan mengeksploitasi ketidaktahuan. Setiap sistem buatan manusia yang mengarahkan seseorang agar yakin bahwa ia aman, dengan memberangsang rasa takut yang memaksakan metodologi yang diinginkan kepadanya melalui ketidaktahuan dan kelemahannya, mencapai hasil yang sama dengan sihir.

Demikian pula kisahku ini. Tersebutlah, di sebuah negeri, di zaman terdahulu, pernah ada seorang raja yang mempekerjakan seorang penyihir. Ketika sang penyihir telah tua, ia menyampaikan kepada sang raja, "Aku sudah tua, utuslah padaku seorang anak lelaki yang dapat kuajari ilmu sihir," maka sang raja mengirim seorang bocah untuk digembleng.
Setiap hari, dalam perjalanan menuju tempat sang penyihir, sang bocah melewati seorang rahib. Sekali waktu, ia memutuskan duduk dengan rahib tersebut dan mendengarkan apa yang ia ucapkan. Setelah beberapa lama duduk dengan sang rahib, ia sangat terkesan dengan ucapan-ucapannya. Sejak saat itu, menjadi kebiasaannya duduk bersama sang rahib dalam perjalanan menuju sang penyihir. Namun, setiap kali ia datang terlambat, sang penyihir memukulnya. Ketika sang bocah mengeluh kepada sang rahib tentang pemukulan itu, sang rahib berkata kepadanya, "Bila engkau merasa takut pada penyihir itu, katakanlah, 'Keluargaku yang menghalangiku.' Dan bila engkau merasa takut terhadap keluargamu, katakanlah, 'Penyihir itulah yang menghalangiku.' "
Saat berada dalam rutinitas itu, seekor binatang besar menghalangi lalu-lalang orang banyak, dan sang bocah berkata, "Hari ini, aku akan tahu, sang penyihir atau sang rahibkah yang lebih unggul." Ia mengambil sebuah batu kecil dan berkata, "Ya Allah, jika cara sang rahib lebih Engkau ridhai daripada cara sang penyihir, matikanlah binatang ini agar orang-orang bisa lewat." Ia melemparkan batu itu, dan membunuhnya, sehingga orang-orang pun bisa lewat. Sang bocah lalu mendatangi sang rahib dan menceritakan kejadiannya, dan sang rahib berkata, "Nak, hari ini engkau telah melampauiku, aku melihat bahwa urusanmu telah sampai pada tahap dimana engkau akan segera menjalani cobaan. Jika engkau menjalani cobaan itu, jangan beritahu mereka tentangku."

Sang bocah kemudian mulai bisa mengobati orang buta dan penderita kusta, dan atas kehendak Allah, ia dapat menyembuhkan penderita dari segala jenis penyakit. Salah seorang dari laskar istana yang buta, mendengar tentang dirinya. Ia lalu mendatangi sang bocah dengan membawa banyak hadiah, dan berkata, "Jika engkau menyembuhkanku, semua ini jadi milikmu." Sang bocah berkata, "Bukan aku yang menyembuhkan, Allah-lah Yang menyembuhkan, dan jika engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa kepada-Nya, semoga Dia menyembuhkanmu." Laskar istana itu menegaskan keimanannya kepada Allah, dan Allah menyembuhkannya. Ia mendatangi sang raja dan duduk di sampingnya seperti yang biasa ia lakukan sebelumnya. Sang raja bertanya, "Siapa yang mengembalikan penglihatanmu?" Ia menjawab, "Rabb-ku." Sang raja berkata, "Punyakah engkau tuhan selain aku?" Ia menjawab, "Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah." Sang raja menangkapnya dan memerintahkan ia disiksa agar ia menceritakan tentang sang bocah.
Sang bocah ditangkap, dan sang raja berkata, "Wahai bocah, engkau telah mahir dalam ilmu sihir sehingga engkau menyembuhkan orang buta dan orang kusta, dan engkau telah melakukan beragam hal." Ia berkata, "Bukan aku yang menyembuhkan, Allah-lah Yang menyembuhkan." Raja menangkapnya dan membiarkannya disiksa sampai ia menceritakan tentang sang rahib. Sang rahib ditangkap dan diancam, "Tanggalkan keyakinanmu!" Namun ia menolak melakukannya. Raja memerintahkan agar sebuah gergaji dibawa kehadapannya, diletakkan di tengah kepalanya, dan sang rahib dibelah dua. Kemudian, laskar istana itu dihadirkan dan diancam, "Tanggalkan keyakinanmu!" namun ia menolak, maka gergaji pun diletakkan di tengah kepalanya, dan iapun dibelah dua.

Kemudian, sang bocah dihadirkan dan diperintahkan agar menanggalkan keyakinannya, namun ia menolak melakukannya. Sang raja menyerahkannya kepada sekelompok laskar istana dan berkata kepada mereka, "Bawa ia ke gunung itu dan naiklah sampai ke puncak, bersamanya. Bila kalian telah mencapai puncak, dan jika bocah itu tak mau menanggalkan keyakinannya, lemparkan ia dari atas puncak itu!" Maka mereka pun membawanya ke puncak gunung yang ditunjuk sang raja, dan sang bocah berkata, "Wahai Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara apapun yang Engkau ridha." Gunung itu kemudian mulai bergetar, dan mereka semua jatuh dari atas gunung kecuali sang bocah, yang berjalan pulang menemui sang raja. Sang raja bertanya, "Apa yang terjadi dengan laskarku?" Ia menjawab, "Allah telah menyelamatkanku dari mereka."
Sang raja kembali menyerahkannya kepada beberapa laskarnya dan berkata, "Bawa ia naik sebuah kapal ke tengah lautan, jika ia tak mau menanggalkan keyakinannya, tenggelamkan saja ke laut." Maka mereka pun membawanya, dan sang bocah berdoa, "Wahai Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara apapun yang Engkau ridhai." Kapal itu terbalik; mereka tenggelam, dan sang bocah melangkah gontai pulang menemui sang raja, yang bertanya padanya, "Apa yang terjadi dengan para laskar itu?" Ia menjawab, "Allah telah menyelamatkanku dari mereka."
Lalu ia berkata kepada sang raja, "Engkau takkan bisa membunuhku kecuali jika engkau melakukan apa yang kuajarkan kepadamu." Sang raja bertanya, "Apa itu?" Ia berkata, "Kumpulkanlah masyarakat di lapangan terbuka dan gantunglah aku di atas sebatang pohon, dan ambillah setangkai anak panah dari tempat anak panahku, tariklah anak panah itu dari busurnya dan ucapkanlah, 'Atas nama Allah, Rabb bocah ini,' lalu panahlah aku. Jika engkau melakukannya, engkau akan dapat membunuhku.'

Maka sang raja pun mengumpulkan masyarakat di lapangan terbuka dan menggantung sang bocah di sebuah batang pohon. Ia mengambil setangkai anak panah milik sang bocah, menariknya dari busurnya, dan mengucapkan, "Atas nama Allah, Rabb bocah ini." Ia lepaskan anak panah itu, yang menabrak pelipis sang bocah. Sang bocah meletakkan tangannya di pelipis yang tertembus anak panah, dan menemui ajalnya. Kerumunan orang berkata, "Kami beriman kepada Rabb bocah ini! Kami beriman kepada Rabb bocah ini! Kami beriman kepada Rabb bocah ini!" Para pengawal bergegas mendatangi sang raja dan berkata, "Tahukah baginda tentang apa yang baginda khawatirkan? Demi Allah, apa yang baginda takutkan telah terjadi! Khalayak ramai beriman kepada Allah!"
Sang raja memerintahkan agar dibuat parit di sepanjang jalan. Saat parit digali, api dinyalakan ke dalamnya. Diumumkan kepada masyarakat, "Siapapun yang tak meninggalkan agama barunya, akan dilemparkan ke dalam api atau disuruh terjun ke dalamnya." Banyak orang yang segera terjun kedalam parit berapi yang panas itu, hingga sampailah pada seorang wanita yang membawa bayinya, dan ia merasa ragu melompat ke dalam api. Sang orok tiba-tiba berkata kepadanya, "Wahai ibu, istiqamahlah, karena engkau sebenarnya berada dalam Kebenaran yang nyata."

Dan sesungguhnya, Allah-lah Yang menyembuhkan. Allah-lah Yang menyelamatkan. Allah-lah Yang menghidupkan dan mematikan, Al-Haq, tersingkap oleh sang bocah bukan demi dialektika dan kata-kata belaka. Namun ia mengungkapkannya sebagai Kebenaran Abadi yang didirikan dalam realita, sedemikian rupa sehingga tiada yang sanggup menolak atau memperdebatkannya.
Sang raja berusaha menghapuskan rasa-hormat masyarakat kepada sang bocah, dengan mencoba mengaitkan kemampuannya menyembuhkan dengan ilmu sihir yang telah ia pelajari dari sang penyihir. Inilah reaksi yang selalu terjadi pada mereka yang menolak mengakui kebenaran - mereka berusaha menafsirkannya dengan cara yang lain." 

Nuri berkata, "Kisah yang menarik!" Lalu ia berkata, "Wahai saudaraku, adakah di antara kalian yang dapat mengambil ibrah dari kisah ini?" Pipit bertanya, "Rasanya seperti kisah Nabi Musa, alaihissalam, dan Firaun dengan para ahli sihirnya. Wahai Murai, nyatakah kisahmu ini?" Murai menjawab, "Ya, sebenarnya, kisah ini dari Nabi kita tercinta (ﷺ), yang diriwayatkan atas otoritas Suhaib, disampaikan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan An-Nasa'i, rahimakumullah, dari Hadis Hammad Ibnu Salamah, rahimahullah. Menurut Ibnu Katsir, beberapa ulama berpendapat bahwa kejadian parit ini berulang, atau terjadi di masa lalu lebih dari sekali. Ibnu Abu Hatim berkata: Ayahku menyampaikan kepadaku dari Abul Yaman, dari Safwan Ibnu 'Abdur Rahman Ibnu Jubair, yang mengatakan: 'kejadian parit tersebut terjadi di Yaman selama masa Tubba'. Dan, juga terjadi di Konstantinopel selama masa Konstantinopel, yang menyalakan api dimana ia melemparkan orang-orang Nasrani yang berpegang pada agama Nabi Isa, alaihissalam, dalam tauhid Islam. Juga terjadi di Irak, di tanah Babilon selama masa hidup Nebukad nesar yang mendirikan sebuah patung, dan memerintahkan penduduknya agar sujud di hadapannya. Hananya, Azarya dan Misael menolak, dan kemudian, menyalakan api besar dan mereka dilemparkan ke dalamnya. Namun, Allah menyelamatkan mereka dari api dan menyebabkan sembilan orang yang menzhalimi mereka, jatuh ke dalam api yang dibuatnya sendiri.'
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa sehubungan dengan firman Allah: "Binasalah orang-orang yang membuat parit" dalam Surah Al-Buruj [85]: 4, as-Sadii berkata: Ada tiga parit: satu di Syam (Siria), yang lain di Irak, dan yang ketiga di Yaman."

Elang berkata, "Ini menunjukkan bahwa sang raja telah mempekerjakan seorang penyihir untuk menggunakan ilmu sihir sebagai sarana mempertahankan pemerintahannya. Sihir bukanlah sekedar fenomena yang hadir di masyarakat, namun justru kekuatan yang mendikte dan mengarahkan masyarakat. Faktor ini dapat membawa kita untuk memahami realitas di zamannya - inilah realita kerusakan, yang didasarkan pada penindasan dan diperintah oleh hasrat, yang pada gilirannya adalah seorang raja yang percaya pada sihir dan kekuatannya yang ada, dalam menundukkan masyakatnya.
Ada dimensi baru yang bersinar disini: setelah penyihir itu menjadi tua dan telah menjalani hidupnya bekerja untuk membuat keadaan agar menguntungkan sang raja, ia tak lagi tertarik pada keuntungan pribadi. Sebaliknya, ia sendiri menginginkan pekerjaannya itu berlanjut melalui sang bocah - ia telah menjadi penyihir selama hidupnya, dan harus terus menjalani hidupnya melalui kehidupan baru, maka ia meminta murid baru. Tapi analisis kita tak boleh berhenti sampai di sini - kita juga dapat melihat bahwa apa yang mendorongnya agar membuat permintaan ini adalah, setanlah yang menguasai segala zaman kelalaian; setan telah mengalami semua tahap eksistensi manusia sejak zaman awal, sehingga memungkinkan ia menghubungkan semua generasi kebodohan satu per satu, agar ia dapat memanfaatkannya dalam propaganda kebatilan dan kerusakan."

Pelatuk berkata, "Dalam kisah ini, Allah memilih sang bocah agar menjadi latar-belakang mengapa kaumnya menemukan iman yang benar. Pesan ilahi telah terpinggirkan dalam masyarakat itu, dan hanya diajarkan secara diam-diam oleh sang rahib. Melalui usaha sang bocah yang syahid, agama sejati, Islam, dikenal orang dan banyak dari mereka menerimanya.
Rencana kebatilan takkan bisa lebih besar dari rencana Allah. Sang raja yang lalim memilih sang bocah agar menjadi juru sihirnya, yang selanjutnya akan memperkuat pondasi kerajaannya, namun Allah menginginkannya menjadi hamba yang shaleh, yang akan menghancurkan kerajaan brutal dan membimbing penduduknya kembali ke Islam.
Pelajaran moralnya adalah, bahwa Allah mempersiapkan seseorang untuk membela agama-Nya, yang bahkan mungkin tumbuh di kediaman para tiran. Nabi Musa, alaihissalam, adalah contoh klasik dari prinsip ini. Firaun sadar bahwa bani Israel ditakdirkan menghancurkan kerajaannya, maka ia membunuh semua bani Israel yang baru lahir. Ibu Nabi Musa diilhami Allah agar menaruh bayi lelakinya yang baru lahir ke dalam keranjang di sungai Nil, dan Firaun dan istrinya menemukannya, mengangkatnya sebagai anak, serta membesarkannya di istana mereka sendiri."

Burung layang-layang berkata, "Tak mungkin mudah bagi sang bocah belajar sihir dari sang penyihir sekaligus belajar agama dari sang rahib, dan ada kontradiksi yang jelas diantara keduanya: agama adalah tentang kenyataan yang jelas dan cara berfikir yang tertata, sementara sihir adalah tentang penyimpangan yang mendalam dan kebohongan yang terukir; agama mengembangkan pikiran, sementara sihir membunuhnya; agama adalah obat bagi penyakit pada masa itu, sementara sihir menyebabkan seseorang menderita penyakit; dan agama membangun kehidupan, sementara sihir meruntuhkannya. Karenanya, sangat sulit bagi sang bocah untuk terus belajar agama dan sihir dalam pikiran yang tenang, dan kita harus mencatat bahwa ia mau duduk bersama sang rahib sebagai suatu pilihan, namun dengan sang penyihir, sebagai suatu paksaan."
Gagak berkata, "Sang bocah menjelaskan kepada sang raja cara bagaimana ia bisa dibunuh agar menolak sang raja yang mengaku sabagai tuhan; membangun keyakinan pada Tuhan sejati, Allah, yang menjadi dakwaan sang raja; dan untuk memberi bukti hidup tentang realitasnya. Dalam kisah tersebut, ada orang beriman dari penduduk kota dilemparkan ke dalam api, sementara yang lain segera masuk ke sana sendirian. Namun, masuknya mereka dengan segera ke dalam api bukanlah bunuh-diri, melainkan merupakan penegasan terbuka terhadap keimanan mereka kepada Allah, yang membuat gusar sang raja dan para pendukungnya, dan yang ini, di ridhai Allah, Rabb semesta alam. Meskipun peristiwa sang bocah dan pengikutnya, telah digunakan oleh beberapa gerakan modern untuk membenarkan bom bunuh-diri di beberapa bagian dunia Islam, keadaannya sama sekali tak ada kaitannya. Pertimbangannya berbeda, dan kepentingan masyarakat sipil yang tak bersalah, tak terusik dalam proses itu."

Serak-Jawa berkata, "Keyakinan yang kuat tak perlu waktu lama untuk berkembang. Keyakinan teguh dapat dengan cepat berkembang dalam qalbu orang-orang yang menerima Islam atau membangunkan Islam dan menghidupkan kembali jiwa mereka.
Kesabaran sejati itu sendiri merupakan hasil dari keyakinan total pada Allah pada saat bencana. Keyakinan pada Rabb seseorang adalah konsekuensi alami dari iman yang nyata. Karena kepercayaan pada Allah berarti menerima bahwa tak ada yang dapat terjadi di alam semesta tanpa seizin-Nya, maka hanya Allah Yang patut diimani sepenuhnya oleh manusia. Sebab, hanya janji Allah-lah yang tak pernah diingkari."
Bangau berkata, "Orang beriman hendaknya tak boleh dengan sengaja membiarkan dirinya terjatuh dalam kesulitan dan kesusahan. Mungkin sebuah keluarbiasaan bahwa sang rahib meminta sang bocah agar tak mengungkapkan jati dirinya saat ia disiksa. Rupanya, ia melakukannya karena ia takut bila ia juga dihadapkan pada cobaan yang sama. Namun, ketika gilirannya tiba, meskipun ia dibelah dua, ia tak menanggalkan keyakinannya. Lalu, mengapa ia meminta sang bocah agar tak membuka jati dirinya pada kesempatan pertama? Jawabannya ada dua hal: pertama, seseorang seyogyanya berusaha menjauhkan diri dari cobaan, karena ia tak dapat memastikan hasilnya, dan kedua, ia semestinya tak berharap agar diuji, karena, dengan berharap ia diuji, ada unsur kesombongan yang dapat membatalkan amal-shalihnya itu. Dan itulah sebabnya mengapa Rasulullah (ﷺ) tak manganjurkan agar manusia mengharapkan bertemu dengan musuhnya, seperti yang diriwayatkan dalam hadis berikut ini, "Wahai manusia! Janganlah ingin bertemu musuhmu. Sebagai gantinya, mintalah perlundungan Allah dari segala cobaan. Dan jika engkau bertemu mereka, maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwa Firdaus itu ada di bawah bayang-bayang pedang."

Murai kemudian berkata, "Wahai saudara-saudariku, sihir itu nyata, dan inilah sebuah sains yang memiliki prinsip dan aturan mendasar. Setiap hari, sang bocah pergi ke sang penyihir untuk mempelajari prinsip-prinsip sihir. Namun, sihir adalah salah satu ilmu yang dilarang. Imam adz-Dzahabi berkata, "Di antara ilmu yang dilarang adalah sihir, alkimia protosains, perdukunan, jampi-jampi, ilusionis, astrologi, geomansi. Ada di antaranya tindakan kekufuran.
Kesimpulannya, kisah ini mencakup sebuah hasil yang sebenarnya bertentangan dengan cara yang diinginkan manusia: Allah menginginkan bocah yang sama, yang masyarakat inginkan menyeru kepada kebatilan, menjadi penyeru Kebenaran. Dan di jalan yang sama, yang ditempuh sang bocah menuju sang penyihir, ia bertemu dengan sang rahib, duduk bersamanya, mendengarkannya, dan terkesan dengan ucapan-ucapannya.
Kisah ini mencakup sebuah hasil yang baik, karena penyebabnya yang sederhana: sang bocah membunuh binatang yang menghalangi jalan dengan menggunakan batu kecil. Ini juga pelajaran yang bisa kita pelajari dari sang raja yang dikalahkan, dan bahwa apa yang dikhawatirkan terjadi, terjadi karena bocah ini.
Kisah ini juga mencakup berbagai hasil yang terjadi berdasarkan sebab tunggal: ketika sang bocah dan laskar sang raja berada di gunung dan gunung bergetar menyebabkan semuanya runtuh, sang bocah berjalan pulang ke sang raja. Demikian pula, ketika sang bocah dan laskar sang raja berada di atas kapal dan kapal itu menenggelamkan semua laskar itu, dan sekali lagi, sang bocah melangkah pulang menemui sang raja.
Dari sejumlah kebenaran ini, kita dapat memahami firman Allah Subhanahu wa-ta'Ala, "Mahakuasa berbuat apa yang Dia kehendaki.," karena ayat inilah yang menunjukkan Al-Haq dari segala yang hak. Wallahu a'lam."
"Binasalah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (yang mempunyai) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang mukmin. Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." - [QS.85:4-9]
Referensi :
- Shaykh Rifa'i Surur, People of the Ditch, at-Tibyan Publications
- Dr. Abu Ameenah Bilal Philips, A Commentary of Surah Al-Buruj, Al-Hidaayah Publishing

Senin, 10 September 2018

Dua Lelaki didalam Goa

Ya Allah, sampaikan selawat dan salam kami kepada pemimpin kami, Nabi Muhammad (ﷺ);
dan sibukkan para penindas dengan para penindas lain;
dan selamatkan kami dari kejahatan mereka;
dan sampaikan selawat kami kepada keluarga, kerabat dan para pengikut beliau (ﷺ).
Murai berkata, "Selamat Tahun Baru Hijriah, saudara-saudariku. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala, menyiramkan berkahnya kepada umat Islam dan seluruh negara Islam. Segala pujian dan ucapan syukur hanya kepada Allah, Pemilik segala yang ada di langit dan di bumi. Selamat memasuki bulan Muharram yang penuh berkah.
Sekarang, saudara-saudariku, kita akan mendengarkan kisah dari saudari kita, laba-laba. Silahkan, saudariku lelaba, tampil ke depan." Laba-laba melangkah ke depan dan berkata, "Wahai saudara-saudariku, aku akan mengisahkan sebuah kisah yang kudengar dari ibu dari ibuku, dari ibu dari ibunya, hingga dari nenek-buyutku.
Nenek buyutku berkata, "Aku seekor lelaba yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan lelaba lainnya. Dengan segala kerendahan hati, jika seluruh lelaba di dunia ini dikumpulkankan diatas satu telapak tangan dan aku diletakkan diatas telapak tangan yang lain, aku akan lebih besar dibanding mereka. Aku bukanlah salah satu yang membuat pernyataan palsu dan pamer, aku hanya menyatakan fakta. Kupikir bahwa aku perlu memperkenalkan diri kepada hadirin, karena aku yakin, engkau mengerti bahwa akulah lelaba di gua tempat Rasulullah (ﷺ) bersembunyi. Akulah yang bertanggung jawab bagi penyelamatan Rasulullah (ﷺ). Akulah yang Allah kirimkan untuk melindungi dirinya (ﷺ).

Jejaringku sangat tipis dan ringan serta sedikit saja angin yang menerpa akan dapat meluluhkannya. Namun, meskipun jejaringku lemah, aku berhasil menepis pedang besi dari orang-orang kafir yang mengejar Rasulullah
(ﷺ), dan terlebih lagi, aku dapat mengalahkan mereka! Hasil pertentangan antara sutra lemah lelaba dan pedang besi adalah kekalahan sebatang besi. Rumahku dianggap sebagai perumpamaan kelemahan, "Sesungguhnya, rumah yang paling lemah adalah rumah lelaba." Aku duduk di rumahku melindungi rumah Islam yang mulia dan menjaga Nabiyullah, Muhammad ibnu 'Abdillah, (ﷺ).

Tak hanya itu yang terjadi padaku. Sesuatu yang lebih indah terjadi; Aku melihat Rasulullah
(ﷺ). Aku tahu bahwa setelah wafatnya Rasulullah (ﷺ), jutaan orang akan mengunjungi makamnya, menangis dan berdoa. Selain itu, masing-masing dari mereka yang menangis dan berdoa akan membayangkan wajah Rasulullah (ﷺ) dalam pikirannya. Tapi aku melihatnya. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Ia tinggal sebagai tamu di bawah sarang lelabaku selama tiga hari penuh. Ah! Hatiku terenyuh ketika aku teringat hari-hari itu. Hari-hari yang mengesankan. Sebelum aku melihatnya, aku hanya mencintai lelaba, makanan dan kehidupan, tapi setelah aku melihatnya, aku hanya bisa membawa diri untuk mencintai kebenaran. Aku berubah setelah aku melihatnya. Pernahkah engkau mendengar teriakan lelaba sebelumnya? Aku melakukannya. Aku, lelaba, menangis ketika beliau (ﷺ) hendak meninggalkan gua. Beliau (ﷺ) meninggalkan gua dan pergi ke kota.

Aku berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah
(ﷺ), aku akan merindukanmu." Beliau (ﷺ) tak mendengarku. Aku berkata kepadanya lagi, "Wahai Rasulullah (ﷺ)! Berikan tanganmu untuk kucium atau biarkan aku mencium ujung jubahmu." Beliau tak mendengarku dan pergi. Saat beliau (ﷺ) meninggalkan gua, beliau (ﷺ) terpaksa menghancurkan rumahku yang telah kubangun untuknya. Aku tak mengerti mengapa beliau (ﷺ) melakukan itu "Terkadang aku berkata pada diriku bahwa beliau (ﷺ) harus menghancurkan rumahku agar dapat keluar." Rumahku terletak di pintu gua, dan pintu harus dibuka. Maka, Rasulullah (ﷺ) mengulurkan tangannya ke arah rumahku dan dengan lembut menyingkirkan jejaring sutraku. Aku berusaha mendekatinya dan mencium tangannya. Beliau (ﷺ) tak menyadari bahwa aku ingin sekali mencium tangannya karena beliau (ﷺ) menarik kembali tangannya sebelum aku bisa membungkuk dan menciumnya. Beliau (ﷺ) pun pergi.

Aku membungkuk di atas sutra robek yang pernah menjadi rumahku dan berkata, "Sutra ini telah menyentuh tangan Rasulullah
(ﷺ) sebelum aku dapat melakukannya." Lalu aku menangis. Aku terus menangis hingga rumahku luluh dalam air mataku dan gua itu kembali seperti semula. Biarlah aku menceritakan kisahku dari awal. Aku mohon maaf kepada hadirin karena tak menjadi diriku sendiri.

Aku adalah seekor lelaba gunung dan lelaba gunung sangat tak beruntung. Makanan utama kami adalah lalat dan serangga. Aku terlahir di sebuah gua yang sepi di Jabal Tsur. Sebuah gunung di Makkah, sebuah kota kecil yang belum pernah kulihat selama hidupku. Terkadang kami mendengar para merpati memuliakan Allah, Subhanahu wa-ta'Ala, yang kami pahami mereka hidup di bawah naungan rumah suci Allah di Makkah. Aku berusaha membayangkan bagaimana Makkah atau rumah suci Allah itu akan terlihat, tapi aku tak bisa, karena aku terpenjara di gua Tsur. Sebuah gua terpencil di siang hari dan yang menyeramkan pada malam hari. Gua ini terletak ke arah Yaman. Tak ada yang mengunjungi kami. Bahkan binatangpun lari dari tandusnya pegunungan ini dan lebih memilih tempat yang lebih layak huni.

Singkatnya, akulah inang-inang gunung ini dan ratunya. Suatu hari, aku menggelantung dengan tali sutraku, yang telah kubuat dari langit-langit gua. Hari itu, hari yang sangat panas sehingga aku mengayunkan diri ke sana kemari. Lalu aku mendengar suara aneh yang bertanya, "Siapakah makhluk Allah yang mendiami gua ini?" batas-batas spiritual pun terkuak dan aku menyadari bahwa aku mendengar suara malaikat. Aku berhenti berayun, membungkukkan seluruh tubuhku dan bersujud mengucapkan salam. Aku menjawab suara malaikat itu dengan berkata, "Lelaba gua ini Meme putri Muma cucu dari Mamu, merasa sangat terhormat berbicara denganmu." Suara malaikat berkata, "Keluarlah ke pintu gua." Aku menggerakkan benang sutraku ke pintu gua dan keluar. Suara itu berkata, "Nanti, dua orang makhluk Allah akan datang ke gua ini, Muhammad
(ﷺ), dan sahabatnya dalam kehidupan ini dan akhirat, Abu Bakar (radhiyallahu 'anhu)."

Aku bertanya, "Dan siapakah Muhammad
(ﷺ)?" Suara itu menjawab, "Ia adalah yang terakhir dari para nabi Allah di bumi ini, rahmat Allah yang diturunkan-Nya ke dunia. Engkau akan menjadi pelayan dan rekannya selama tiga hari di gua." Aku dipenuhi dengan perasaan heran dan kegembiraan, keterkejutanku pun meningkat setiap menit. Aku berkata, "Apa yang membawanya ke sini di gua yang sepi ini?" Suara itu menjawab lagi, "Ia telah meninggalkan rumahnya demi agama Allah dan orang-orang kafir menginginkan darahnya. Berapa banyak waktu yang engkau butuhkan untuk membangun rumahmu di atas pintu gua?" Seolah-olah mengukur sudut, aku berkata, "Empat jam kerja terus-menerus dengan dua kali istirahat." 
Suara malaikat itu memerintahkan, "Bekerjalah tanpa istirahat, Allah telah membebankanmu tanggung jawab agar menjaga utusan-Nya (ﷺ). Perlindungan Ilahi telah menempatkan segel pada nasib Pesan terakhir ini dan masa depan seluruh peradaban dipercayakan padamu." Aku memperdalam sujudku dan berbisik, "Aku mendengar dan taat!" Komandan malaikat pun pergi, dan dalam suasana hening dan sunyi sepi, aku mulai bekerja. Aku memeriksa ketujuh kelenjarku yang membuat sutra dan ternyata semuanya telah penuh. Dengan seksama aku memeriksa pintu masuk gua. Pintu itu lebar dan aku mulai mengukur sudut dan dengan cepat menghitung dari sudut mana aku harus memulai. "Aku akan membutuhkan enam pilar sutra yang kokoh yang ditopang dengan dua puluh enam benang yang akan bertindak sebagai pilar tambahan. Juga, aku akan membutuhkan sembilan puluh lima senar untuk mendukung dinding," pikirku.

Setelah itu, aku mulai membuat sutra, yang terlihat begitu tipis, tapi yang lebih kuat dari apa yang keras karena menjadi benang halus yang berdiameter seperseribu inci. Itulah diameter benang dalam jejaringku. Manusia banyak yang tak tahu bahwa lelaba dapat mengukur sudut dan membaginya, dan mereka dapat memperkirakan daya tahan materialnya dan tekanan rata-rata. Selain itu, mereka dapat menghitung ribuan masalah arsitektur rumit yang dihadapi dalam proses pembangunan. Manusia tak tahu bahwa lelaba menenun berbagai jenis sutra untuk memenuhi segala kebutuhan mereka. Kami menggunakan jejaring untuk menjebak mangsa, sebagai meja makan, tempat tidur, selimut, sistem alarm, pintu gerbang, sarana transportasi dan sebagai perisai untuk perlindungan. Dengan kata lain, kami, lelaba, menghasilkan bahan yang paling berguna yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Sutra yang dikeluarkan oleh kelenjar lelaba tak diragukan lagi seperti sutra yang dihasilkan oleh ulat tetapi ada beberapa perbedaan. Perbedaan ini yang membuat tenunan lelaba lebih baik, karena lebih halus, lebih lembut dan lebih padat daripada sutra lainnya.

Aku terkejut melihat Rasulullah
(ﷺ) telah memasuki gua dengan Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu. Aku berhenti bekerja sejenak dan menatap wajah yang mulia dan penuh keagungan yang terlihat bagaikan selembar emas dan merasakan perasaan hormat yang mendalam. Setelah itu aku berkata, "Selamat datang wahai Rasulullah (ﷺ)!" Aku hampir saja tak menyelesaikan salamku kepadanya saat aku mulai menenun rumahku di atas pintu gua. Aku turun secara vertikal dari gua hingga ke lantai sambil menenun sutraku. Lalu aku menariknya dan menancapkannya ke tanah dengan zat asam yang mengeluarkan kelenjarku. Setelah itu, aku naik dengan cepat ke pintu masuk gua dan mulai naik dan turun, condong ke kanan dan ke kiri sementara aku menenun rumahku. Tenunan itu memakan waktu tiga jam, enam menit dan dua puluh detik. Orang-orang kafir datang ke pintu masuk gua dengan pedang mengkilap mereka berhadapan dengan jejaring lelabaku yang telah tegak berdiri.

Salah satu orang kafir itu berkata, "Jika ia telah masuk di sini maka jaring lelaba ini tak akan ada di atas pintu." Aku tersenyum lebar di dalam rumahku dan Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, berkata kepada Rasulullah
(ﷺ) dengan suara berbisik, "Jika salah seorang dari mereka melihat ke bawah kakinya, ia akan menemukan kita." Rasulullah (ﷺ) berkata, "Jangan takut karena Allah beserta kita." Rasulullah(ﷺ) hampir tak berkata-kata ketika tempat itu tiba-tiba penuh dengan malaikat, dan penuh dengan suara yang berkata, "Jika engkau tak menolongnya, tak masalah, karena sesungguhnya Allah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya, lalu, ketika mereka berada di dalam gua, dan beliau (ﷺ) berkata kepada temannya Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, 'Janganlah bersedih atau takut, sesungguhnya Allah beserta kita.'
Kemudian Allah menurunkan sakinah-Nya kepadanya, dan menguatkannya dengan malaikat yang tak terlihat, dan membuat kata-kata orang-orang kafir itu menjadi yang terendah, sedangkan firman Allah yang paling tinggi, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Setelah suara itu mereda, sekali lagi gua menjadi penuh malaikat. Aku terkejut menemukan malaikat berdiri di depan rumah lelaba dan berdiri di belakangnya. Aku bertanya kepada yang terdekat denganku, "Apa yang terjadi?" Ia menjawab, "Kami datang atas perintah Allah untuk melindungi Rasul-Nya yang mulia." Aku berteriak dan berkata, "Tapi aku telah ditugaskan untuk melindungi dan menjaga beliau! Mengapa kalian menghancurkan hatiku? Tak ada yang boleh menzalimi dirinya! Beliau tamuku dan aku pelayannya."

Aku menangis karena aku begitu emosional dan aku terkejut menemukan bahwa aku bisa menangis. Aku berbalik ke arah Rasulullah
(ﷺ), ingin mengeluh kepadanya. Namun aku melihatnya sibuk dalam shalatnya. Beliau (ﷺ) sedang shalat, dan sahabatnya, Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, bersamanya, juga sedang shalat, di belakangnya. Ketika mereka bersujud, aku pun bersujud bersama mereka.
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." - [QS.29:41-42]
Referensi :
- Ahmad Bahjat, Animals in The Glorious Qur'an, Islamic e-Books