Selasa, 09 Oktober 2018

Full Employment (1)

"Hanya ada sebuah kursi yang tersisa di meja sudut." Angsa melanjutkan kisahnya. "Sang musafir muda merasa ragu, karena di meja itu, ada tiga pengunjung, namun tampaknya pengunjung lain enggan duduk bersama mereka. Ketika sang musafir muda bersiap beranjak pergi, salah seorang dari ketiga pengunjung itu, yang mamakai peci ungu, mengangkat tangannya, memberi isyarat agar duduk di kursi yang kosong itu.
"Terima kasih!" berkata sang musafir muda seraya duduk. "Sama-sama, anak muda!" sambut lelaki itu, lalu ia berkata, "Sepertinya engkau bukan dari kota ini?" Sang musafir muda berkata, "Ya, aku berasal dari Negeri para pelayar. Aku datang ke kota ini untuk menuntut ilmu." Lelaki itu bertanya, "Muslimkah engkau?" Sang musafir muda berkata, "Ya, aku seorang Muslim!" Lelaki itu berkata, "Bagus! Ketahuilah anak muda, Islam sangat menekankan pada penyebaran ilmu dan berbagi dengan orang lain. Secara historis, umat Islam telah berfungsi sebagai sarana untuk menyebarkan ilmu kepada umat manusia, dari berbagai bangsa dan penjuru." Lelaki itu diam, tampaknya ia paham bahwa sang musafir muda merasa segan terhadap mereka, lalu ia berkata, "O ya, perkenalkan, aku seorang sejarawan, dua orang yang menemani kita ini, kawan-kawanku. Yang berpeci abu-abu ini, seorang politikus, dan yang mengenakan peci coklat ini, seorang ekonom." Kedua lelaki yang diperkenalkan itu, tersenyum dan menyapa, "Senang bertemu denganmu, anak muda!" Sang musafir muda tersenyum, dan berkata, "Bolehkah aku bertanya?" Sang sejarawan berkata, "Tentu!" Sang musafir muda berkata, "Yang manakah lebih penting atas satu dengan yang lain, politik, ekonomi atau sejarah?" Ketiga lelaki itu tertawa. "Tentu, politik lebih penting!" kata sang politisi. Sang ekonom berkata, "Tidak, ekonomi lebih penting." Sang sejarawan menyela, "Tidak, tidak, tanpa sejarah, takkan ada politik dan ekonomi." Ketiga lelaki itupun tertawa lagi. Sang musafir muda berkata, "Bagiku, ketiga pelajaran ini penting. Bolehkah aku tahu pendapat masing-masing ditinjau dari perspektif Islam?"

Ketiga lelaki itu saling memandang, lalu sang ekonom berkata, "Wahai anak muda, Allah Azza wa Jalla telah menciptakan alam semesta ini untuk kepentingan umat manusia. Allah telah menjadikan sumber daya di bumi ini tersedia bagi manusia, yang bertanggung-jawab untuk memanfaatkan, membentuk, dan mengubahnya sesuai dengan kebutuhannya. Allah telah memberi manusia alat yang diperlukan untuk menumbuhkan kemampuannya, agar memahami dirinya dan alam sekitar, dan agar mengembangkan sarana untuk menyehatkan dirinya dan memenuhi kebutuhannya. Namun, manusia hendaknya memperhatikan batas-batas tertentu dalam melaksanakan kebebasannya itu. Dalam batas-batas dimana segala perbuatannya hanyalah untuk menyembah Allah, tak ada yang boleh tercemar atau tersekulerkan. Keyakinan ini membekali manusia dengan antusiasme agar terus melanjutkan usahanya untuk menemukan, memahami,menjalani dan menikmati dunia ini tanpa merasa bersalah, asalkan ia berusaha menggapai ridha Allah dan hidup dalam batas yang ditentukan oleh-Nya.
Islam menuntut manusia agar menjaga keseimbangan antara kesukaan dan berpantang terhadap hal-hal yang bersifat materi. Anjuran dalam mengendalikan perolehan sumber daya material ini, berlaku bagi seluruh umat manusia. Syaratnya, bahwa manusia hendaknya tak menyebabkan sumber daya bumi yang tak terbarukan, terkuras habis-habisan. Setiap generasi seyogyanya mempertimbangkan generasi mendatang dalam penggunaan sumber daya. Di tingkat global, segala bangsa hendaknya menahan diri dalam penggunaan sumber daya alam.

Islam memperlakukan semua manusia sebagai anak-anak Nabi Adam, alaihissalam. Sebagai manusia, mereka semua sama. Perlakuan ini memvisualisasikan peluang yang sama bagi semua orang. Juga, prinsip ini menentang terciptanya monopoli. Islam membebaskan manusia dari cengkeraman manusia lain. Prinsip ini memberi bayangan dalam masyarakat bahwa semua orang dapat mandiri. Pada skala global, diharapkan agar semua bangsa di dunia ini, menjalani kehidupan yang terhormat. Jadi, keadaan saat ini, dimana negara-negara miskin, berhutang kepada negara-negara kaya, tak sesuai dengan pandangan Islam terhadap dunia. Dengan cara yang sama, menurut pandangan Islam, keadilan harus diberikan kepada semua orang dan semua bangsa. Islam menentang berbagai bentuk eksploitasi. Islam mendorong ekonomi pasar bebas, namun dengan campur-tangan pemerintah pada tingkatan tertentu, yang mencegah pembentukan konsentrasi kekuatan ekonomi.
Sebagai khalifah Allah, manusia bertanggung jawab kepada-Nya, atas segala tindakannya kelak di Akhirat. Dengan demikian, Islam mengatur sistem pertanggungjawaban yang kuat di semua lini. Ini juga berlaku di tingkat internasional. Situasi saat ini, dimana negara-negara kuat dan perusahaan global tertentu tak bertanggung jawab kepada siapapun di dunia ini, tak selaras dengan pandangan Dunia Islam. Islam melihat sebuah dunia dimana setiap orang yang memiliki otoritas, bertanggung jawab atas tindakannya. Ini bertujuan agar pembentukan tatanan ekonomi, dimana seluruh negara di dunia, berkumpul menyusun pengaturan global, memantau dan meneliti perilaku yang tak bertanggung jawab oleh negara manapun. Sumber daya bumi harus dijaga terhadap limbah, penipisan ozon yang sembrono, dan kehancuran, hanya untuk laba ekonomi yang sempit.

Sang ekonom diam sejenak, kemudian berkata, "Wahai anak muda, jika kita membahas tentang Ekonomi Islami, dalam hal ini, aku akan membicarakannya dari sisi perekonomian secara keseluruhan, atau dalam ilmu ekonomi disebut ekonomi makro, dan ada asumsi-asumsi dasarnya. Pertama, tentang sifat manusia. Analisis ekonomi konvensional mengasumsikan bahwa manusia pada dasarnya egois, bahwa perhatian utama mereka adalah mendapatkan kepuasan maksimal atau utilitas. Dan bahwa, dengan demikian mereka memaksimalkan utilitas masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, di bawah kapitalisme, perilaku ego individu dan bangsa tak hanya dirasionalisasi, namun juga dianjurkan. Pada tingkat individu, ego dan individualistis, sikap yang menunjukkan sedikitnya kepedulian terhadap perbaikan orang lain, diterima sebagai sesuatu yang masuk akal. Pada pelataran nasional, hal ini dianggap sah, baik bagi individu dan negara untuk mengadopsi kebijakan yang melayani kepentingan ego. Asumsi ini telah banyak dikritik dalam kaitannya dengan pengamatan sehari-hari dan temuan ilmu sosial lainnya, seperti psikologi, sosiologi, dan antropologi.
Islam, bagaimanapun juga, mengakui sifat ganda manusia. Manusia itu egois dan juga altruistik. Namun, ini bukan berarti mendorong keegoisan manusia. Sebaliknya, Islam berusaha mengendalikan keegoisan manusia. Islam menyalurkan ego manusia itu untuk kebaikan bersama dan mencegah manusia menyakiti manusia lain. Islam memberi energi motif altruistik dan menumbuhkan rasa agar saling membantu. Akibatnya, tatanan ekonomi Islam memvisualisasikan sektor ketiga, selain sektor swasta dan publik, yang dikenal sebagai sektor kerja-sukarela. Islam mengakui bahwa setiap individu, selain melayani kepentingan egonya, seyogyanya memainkan peran positif dalam mempromosikan kebaikan bersama dengan membantu manusia lain. Dengan demikian, akan menyebar bahwa setiap orang dapat dan harus memberikan kontribusi bagi terciptanya masyarakat yang lebih baik.

Yang kedua, tentang materialisme. Tatanan ekonomi kapitalis menempatkan nilai yang sangat tinggi pada pencapaian materi. Bahkan, kemajuan dan harta-kekayaan dianggap sepadan. Pendekatan kapitalis terhadap kehidupan telah mengakibatkan meluasnya sumber daya alam tak terbarukan, penggundulan hutan di wilayah yang luas, pencemaran lingkungan, dan ketidakseimbangan ekologis.
Islam memperlakukan harta-kekayaan sebagai hiasan kehidupan. Namun Islam memperlakukannya sebagai hal sekunder bagi perkembangan moral dan spiritual kepribadian manusia. Islam mendorong usaha dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan materi seseorang, namun juga memerintahkan bahwa fokus perjuangan manusia di bumi ini adalah untuk menaati Allah, dan untuk menggapai ridha-Nya. Perubahan dalam fokus perjuangan manusia ini, memperkenalkan pendekatan yang seimbang terhadap pembangunan ekonomi. Pendekatan Islam memvisualisasikan pengendalian dalam upaya manusia untuk meningkatkan konsumsi materi. Islam melengkapi prestasi material dengan pertumbuhan kepribadian moral dan spiritual sebagai tujuan yang diinginkan.

Yang ketiga, tentang kepemilikan. Kapitalisme memvisualisasikan hak mutlak bagi kepemilikan pribadi sejauh tak diperoleh dengan melanggar hak orang lain. Akibatnya, orang bebas menggunakan sumber daya mereka, sesuka mereka. Misalnya, jika mereka memilih, mereka dapat menghancurkan dan menghamburkan sebagian dari sumber daya mereka. Mereka bebas mengkonsumsi, menyimpan, berinvestasi (atau meminjamkan bunga) apapun yang mereka miliki. Mereka punya kebebasan tanpa batas dalam aktivitas atau profesi apapun. Mereka boleh menginvestasikan uang mereka dalam perdagangan atau pekerjaan apapun, bahkan jika itu secara sosial berbahaya atau merusak.
Islam mengakui hak kepemilikan mutlak itu, hanyalah milik Allah. Manusia telah diberi hak untuk mengambil manfaat dari sumber daya bumi. Manusia diperbolehkan mencari penghidupannya dengan cara yang halal. Ia tak sepenuhnya bebas untuk mengkonsumsi, menyimpan atau menginvestasikan penghasilannya dengan cara apapun yang ia suka. Ada batas-batas moral yang pasti pada haknya untuk mendapatkan, mengkonsumsi, menyimpan, dan berinvestasi. Dalam kerangka umum ini, Islam menerima hak seseorang untuk menjual, mewariskan, dan meninggalkan ahli warisnya hak-milik yang ia punyai. Dengan demikian, konsep Islam tentang hak-milik membatasi kebebasan manusia terhadap penggunaan sumber daya bumi. Konsep ini menuntut semua orang bertanggung-jawab kepada Allah sehingga menggunakan sumber dayanya secara tepat-guna.

Keempat, tentang universalisme. Ilmu ekonomi kapitalis belum mampu keluar dari kerangka umum yang dikandung oleh para pendirinya pada abad ke-18. Saat "The Wealth of Nations" ditulis oleh Adam Smith (meninggal 1776), sebagian besar negara kaya masa kini mengejar tujuan kolonial mereka. Ide-ide Adam Smith merasionalisasikan gagasan negara-bangsa. The Wealth of Nations memberikan dasar filosofis pendekatan sempit bagi isu-isu ekonomi global. Alih-alih menganggap dunia sebagai tempat bagi semua manusia, ia merasionalisasikan konsep kebijakan nasional dalam likuifaksi orang lain di dunia ini. Ia memperkenalkan pendekatan sovinistis terhadap masalah ekonomi, memberi negara-negara industri maju hak yang tak terkendali untuk mengejar kebijakan apapun yang sesuai bagi mereka. Pendekatan yang sama masih berlanjut. Masing-masing negara mengambil keputusan ekonomi demi kepentingan egonya. Ini tak menyangkal fakta bahwa mereka mempelajari situasi di sekitar mereka. Namun, mereka terus mengadopsi kebijakan yang sesuai dengan tujuan ego mereka, mengabaikan dampak kebijakan tersebut terhadap negara lain. Dalam proses ini, umat manusia di seluruh dunia menderita.

Islam memandang bahwa dunia ini diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia. Oleh karenanya, ada kebutuhan besar bagi seluruh manusia di dunia agar saling menasehati dan saling bekerja sama seraya mengejar kebijakan ekonomi yang mungkin dapat merugikan orang lain. Meskipun lip service dibayar untuk kebutuhan kerjasama internasional yang lebih besar, dalam prakteknya, manusia belum melakukan kemajuan yang signifikan ke arah itu. Telah tiba saatnya bagi manusia  agar mengatasi ide ekonomi konvensional dan membangun ekonomi global atas dasar kesempatan yang sama dan kerja sama timbal-balik."

Sang ekonom lalu melanjutkan, "Wahai anak muda, dari asumsi dasar ini kemudian akan muncul pertanyaan tentang organisasi ekonomi, peran uang, perilaku konsumen, masalah kemiskinan, dan manajemen fiskal." Sang musafir muda bertanya, "Bagaimana tentang organisasi ekonomi menurut pandangan Islam."

[Bagian 2]