Jumat, 12 Oktober 2018

Full Employment (2)

Sang ekonom berkata, "Singkatnya, ekonomi kapitalis masa kini, disusun atas dasar mekanisme pasar bebas dimana produksi barang dan jasa berasal dari kombinasi modal dan upah buruh. Modal disediakan baik sebagai ekuitas dan sebagai pinjaman berbunga-uang. Pasar, meskipun secara teoritis bebas, didominasi oleh perusahaan besar yang menentukan tingkat harga, dan dengan demikian mempengaruhi tingkat investasi, tabungan, produksi, dan konsumsi. Analisis ekonomi klasik yang didasarkan pada hukum kekal persaingan sempurna menjadi tak relevan karena konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan perusahaan-perusahaan besar.
Akumulasi kekuatan ekonomi dalam ekonomi kapitalis disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, pendapatan rente dari kaum rentenir mengubah aliran kekayaan dari orang miskin ke orang kaya, yang secara bertahap memungkinkan minoritas mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar. Kedua, inovasi hukum pendirian dan pertanggungjawaban perusahaan telah memungkinkan perusahaan mengumpulkan sejumlah besar modal karena risiko perusahaan. Meskipun hak pemegang saham perusahaan terhadap laba tak terbatas, risiko menanggung kerugian, terbatas pada sejauh mana modal mereka sendiri. Ketiga, manfaat dari perkembangan teknologi tak diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih rendah, yang akan menguntungkan para pekerja juga. Sebaliknya, keuntungan dari perkembangan teknologi terutama dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar yang menikmati kekuatan monopolistik untuk menentukan harga.

Ciri lain ekonomi kapitalis adalah, bahwa mereka dapat mencapai tingkat ekuilibrium tanpa mencapai tingkat "full employment". Persoalan ini telah banyak dibahas dalam ekonomi Keynesian. Alasan utamanya adalah adanya rente atas modal. Hal ini menundukkan investasi dan, karenanya, terhadap permintaan efektif. Akibatnya, mekanisme pasar, dengan sendirinya, tak dapat mencapai full employment. Hal ini membutuhkan kebijakan publik yang aktif untuk mendorong investasi. Pada saat yang sama, sektor swasta merasakan dorongan untuk mempromosikan penjualan barang dan jasa mereka sehingga laba atas investasi mereka, terjamin. Akibatnya, perekonomian harus menciptakan permintaan secara artifisial dengan beralih ke promosi iklan yang tak mengenal ampun, di televisi dan media massa lainnya. Konsumen terjerat, hari demi hari, tergoda agar lebih banyak belanja barang dan jasa. Sistem kapitalis dipaksa menciptakan permintaan secara artifisial agar sistem tetap berjalan.

Sang sejarawan menyela, "Sebentar, saudaraku! Sebelum melanjutkan, mohon jelaskan, apa itu "Full Employment"? Sang ekonom berkata, "Full employment adalah keadaan ekonomi dimana seluruh sumber daya yang tersedia, dipergunakan dengan cara yang paling efisien. Full employment mewujudkan jumlah tertinggi sumber-daya manusia, terampil dan tak terampil, yang dapat dipergunakan dalam perekonomian pada waktu tertentu. Setiap pengangguran yang ada dianggap friksional, struktural atau sukarela. Full employment dianggap sebagai tingkat pengangguran yang dapat diterima di atas 0%. Full employment ada tanpa pengangguran siklis atau kekurangan-permintaan, tetapi memang ada dengan tingkat pengangguran friksional, struktural dan sukarela. Full employment dilihat sebagai tingkat sumber-daya ideal dalam ekonomi dan biasanya diwakili oleh berbagai tingkatan tertentu untuk suatu wilayah, periode waktu dan iklim politik." Sang ekonom berhenti sejenak, kemudian berkata,"Baik, aku tak ingin kalian bingung tentang istilahnya. Dengarkan saja, dan nanti, aku akan memberikan poin pentingnya!" Ketiga lelaki itu serentak menjawab, "Baiklah!"

Sang ekonom melanjutkan, "Di sisi lain, Islam mengatur pasar bebas berdasarkan penawaran dan permintaan. Pada saat yang sama, memastikan bahwa kekuatan ekonomi tak terakumulasi, dan walau itu terjadi, dapat dicairkan dengan cara berikut:

Islam telah melarang bunga-uang atau rente atas modal dan dengan demikian, telah menutup pintu kekayaan yang terakumulasi tanpa kerja atau tanpa menanggung risiko. Aturan umumnya adalah, bahwa siapapun yang ingin memperoleh laba, juga harus menanggung risiko. Prinsip operasinya adalah: tak ada risiko, tak ada keuntungan.

Islam memvisualisasikan masyarakat dimana setiap individu tak bergantung pada orang lain. Islam mengakui kebutuhan setiap individu untuk mengaktualisasikan potensi kemampuannya. Dengan demikian, hal ini memvisualisasikan sebuah komunitas dimana terdapat sebanyak-banyaknya orang yang independen dalam hal penghasilan dan penghidupan mereka. Ini juga salah satu implikasi dari keyakinan pada Satu Illah yang merupakan penopang seluruh alam semesta. Rasulullah (ﷺ) menunjukkan preferensinya terhadap pola mata pencaharian seperti ini saat beliau menaikkan status seorang budak menjadi seorang saudara dan kolega. Secara tradisional, didalam masyarakat Muslim, nilai upah tenaga-kerja itu, seyogyanya tak diharapkan tinggi. Sebaliknya, mereka selalu mendorong kewirausahaan atau bentuk-bentuk bisnis seperti syirkah atau mudarabah, Sebenarnya, cara produksi kapitalislah yang, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, menjadikan sebagian besar populasi manusia bergantung pada kaum kapitalis bagi penghidupan mereka. Ekonomi Islami mendorong bentuk-bentuk bisnis dimana masyarakat bergandengan tangan, lebih disukai dalam bentuk mitra, dan bukan sebagai karyawan dan pekerja. Setelah prinsip ini diterima, rincian hubungan sosial-ekonomi dapat diusahakan. Namun satu hal sudah jelas. Organisasi ekonomi semacam ini, menyebarkan basis kepemilikan atas seluruh ekonomi, dan dapat mencegah akumulasi kekuatan ekonomi.

Etos Islami, tak mendorong pengenalan teknologi baru yang tak terencana. Sebaliknya, diperlukan pengenalan teknologi secara bertahap dan terencanakan. Selain itu, keadaan ini akan mendesak para industrialis agar menanggung biaya dislokasi atau kesulitan ekonomi yang tercipta oleh pengenalan teknologi baru. Dasar kebijakan publik tersebut adalah prinsip umum, bahwa biaya dan manfaat berjalan beriringan. Orang yang menghasilkan laba, juga harus menanggung ongkosnya. Selain itu, setelah ekonomi diatur pada prinsip kepemilikan pekerja, manfaat teknologi baru secara otomatis akan menyebar ke seluruh perekonomian.

Karena ekonomi Islami tak membolehkan bunga pinjaman modal, dalam semua kemungkinan usaha bebas-rente, kredit takkan tersedia dalam skala besar. Akibatnya, persoalan tentang tanggung jawab terbatas pemegang saham dalam perusahaan saham gabungan akan banyak kehilangan relevansinya. Dengan cara ini, ekonomi Islami akan mematikan saluran lain terakumulasinya kekuatan ekonomi.

Ekonomi Islami tak memperkenankan malpraktek pasar, misalnya, menimbun barang dengan maksud menaikkan harga (ihtikaar), kolusi menaikkan harga (tanaajush), kontra-penawaran (tasaawum), upaya mencegah persaingan murni dengan mengecilkan hati para penjual untuk mencapai pasar (bai' 'talaqqii al-rukbaan), dan perantara oleh orang-orang lihai untuk merampas para penjual dari harga terbaik yang tersedia (bai' al-haadir li baad). Inilah praktik-praktik khas di pasar untuk melemahkan persaingan murni pada zaman Nabi (ﷺ). Pada analogi ini, seseorang boleh mengklaim bahwa semua praktik pasar yang mengarah pada monopoli atau yang melemahkan kekuatan persaingan harus dihalangi dalam perekonomian Islami. Satu hal yang hampir pasti. Perekonomian Islami saat ini, hendaknya mengembangkan beberapa saluran baru agar informasi pasar tetap terjaga, sehingga pembeli dan penjual mengetahui keadaan pasar. Informasi ini hendaknya tersedia dengan murah dan mudah. Ketersediaan informasi yang relevan dan tepat waktu akan mencegah kecurangan, penipuan, kolusi, dan eksploitasi orang lain karena ketidaktahuan mereka.

Dalam tatanan ekonomi Islami, masalah penciptaan permintaan melalui iklan juga takkan seserius yang kita temukan dalam dispensasi kaum kapitalis. Tanpa adanya bunga-uang, pedal-rem terhadap perluasan investasi akan terlepas. Ekonomi akan menetap dalam keadaan Full Employment atau mendekati tingkat Full Employment. Minat organisasi bisnis terhadap iklan untuk menciptakan permintaan secara artifisial, akan sangat rendah. Tingkatan, cakupan, tujuan dan biaya iklan dalam ekonomi Islami juga akan mengalami perubahan. Tetapi persoalan ini tak menjadi perhatian kita saat ini. Persoalannya adalah, tentang bagaimana perekonomian Islami akan terus berjalan, dimana penciptaan permintaan takkan menjadi praktik normal, membutuhkan beberapa pertimbangan. Sebagaimana telah kita bicarakan, Islam lebih menyukai masyarakat dimana kepemilikan sumber daya, tersebar luas. Islam juga ingin mempertahankan tingkat permintaan efektif yang tinggi sehingga sumber daya tetap dipergunakan sepenuhnya. Untuk mencapai tujuan ini, ekonomi Islami memiliki mekanisme transfer kekayaan, dari orang kaya ke orang miskin. Dan ini menjadi wajib bagi setiap orang yang memiliki kekayaan minimum tertentu, untuk membayar jumlah yang tetap sebagai zakat, sebagai pengeluaran untuk kesejahteraan orang miskin dan yang membutuhkan. Selain itu, infaq juga dianjurkan sebagai pengeluaran sukarela kepada tetangga dan kerabat serta kebutuhan sosial lainnya. Hukum waris Islam juga berkontribusi terhadap penyebaran kekayaan dalam skala luas. Jadi, Islam memvisualisasikan transfer daya beli yang cukup kepada orang miskin untuk menjaga permintaan efektif hingga cukup tinggi agar tetap dalam posisi Full Employment."
Sang musafr muda bertanya, "Bagaimana dengan peranan uang dalam Islam?" Sang ekonom berkata, "Di dunia kaum kapitalis, uang diperlakukan sebagai komoditas, selain sebagai alat tukar dan penyimpan nilai. Seperti komoditas lain, ia mempunyai harga. Seseorang harus membayar harganya jika ingin meminjamnya. Harga ini dianggap sebagai rente. Ada banyak bukti sejak zaman kuno yang menunjukkan bahwa rente adalah instrumen yang kuat untuk melakukan ketidakadilan. Di masa sekarang, tirani rente telah nyata dalam bentuk hutang publik yang besar dari negara-negara berkembang. Ada arus keluar sumber daya bersih dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya, negara-negara miskin bekerja keras hanya untuk membayar negara-negara rentenir yang kaya.

Perbedaan bunga-uang memainkan peran penting dalam maraknya pasar valuta asing. Pasar keuangan dunia bergeser sekitar 200 miliar dolar dari satu tempat ke tempat lain setiap hari. Sembilan puluh persen dari pergerakan valuta asing ini bersifat spekulatif dan hanya berusaha mendapatkan perbedaan dalam tingkat suku-bunga dan nilai tukar. Transaksi-transaksi ini tetap aktif hampir sepanjang waktu. Transfer dana ini menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang memperkuat kecenderungan mengalihkan dana. Rente atas modal merupakan penyebab utama dalam ketidakstabilan sistem moneter internasional.

Rente atau bunga-uang punya peran penting dalam merusak dan mencemari lingkungan. Negara-negara berkembang terlalu sering menggunakan tanah mereka, sehingga mengubah tanah yang subur menjadi gurun gersang karena mereka berada di bawah tekanan untuk membayar hutang mereka dengan rente. Negara-negara berkembang, yang menghadapi utang besar dan kesulitan neraca pembayaran, beralih ke lembaga seperti IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia. Persyaratan yang diberlakukan oleh lembaga-lembaga ini, memaksa negara-negara berkembang meningkatkan ekspor mereka, yang akhirnya memaksa mereka menambang sumber daya alam lebih dalam lagi.

Efek merugikan dari rente, terhadap  penyediaan tenaga kerja dan peranannya terhadap pengaruh siklus bisnis sudah diketahui. Namun, sampai sekarang, ekonomi konvensional percaya bahwa suku-bunga dan inflasi memiliki hubungan terbalik. Akibatnya, kebijakan publik bermohon agar suku-bunga dinaikkan, agar dapat memerangi inflasi. Namun, penelitian terkini menunjukkan bahwa inflasi dan suku-bunga berkorelasi secara langsung. Hal ini terjadi karena bunga-uang masuk ke dalam biaya produksi dan perusahaan-perusahaan memulihkannya melalui peningkatan harga produk atau output. Perusahaan dapat mengalihkan beban rente itu kepada pelanggan karena kekuatan ekonomi yang mereka nikmati dalam menetapkan tingkat harga. Di tingkat wilayah, pemerintah cenderung hidup di luar kemampuan mereka. Mereka meminjam sejumlah besar atas nama 'pembangunan'. Tetapi mereka tak dapat menghasilkan sumber daya yang cukup untuk membayar kembali pokok dan bunga-uang di atasnya. Hal ini mengarah pada pembiayaan defisit, yang memicu kebakaran inflasi dengan hasil bahwa pada saat ini seluruh dunia berada dalam genggaman inflasi, namun tak ada yang punya keberanian untuk menunjuk hidung pelaku sesungguhnya, yakni rente atas modal."

Sang musafir muda bertanya, "Jadi, bagaimana konsep Islami tentang uang?" Sang ekonom berkata, "Dibandingkan dengan kaum kapitalis, Islam memperlakukan uang sebagai alat tukar dan penyimpan nilai, akan tetapi, bukan sebagai komoditas, karena uang itu sendiri, tak dapat berfungsi apa-apa. Uang hanya akan berguna ketika ditukarkan menjadi barang, atau saat digunakan membeli jasa, karenanya, uang itu tak dapat dijual atau dibeli secara kredit, seseorang perlu menghargai kebijakan Nabi (ﷺ) yang dibimbing oleh wahyu, yang tak hanya menyatakan rente pinjaman itu sebagai tak sah, tetapi juga, melarang pertukaran uang dan beberapa barang berharga lainnya untuk jumlah yang tak sama, dan atas dasar pembayaran ditangguhkan jika komoditas atau mata uang itu sama. Efek bersihnya adalah untuk mencegah bunga masuk ke sistem ekonomi melalui pintu belakang. Islam, dengan adanya pelarangan rente, dapat mengatasi masalah pengangguran, inflasi, gejolak valuta asing, siklus bisnis, dan menipisnya sumber daya alam yang berlebihan.

Sistem perbankan dalam ekonomi Islami, didasarkan pada konsep pembagian keuntungan dan kerugian. Prinsip umumnya adalah, mereka yang ingin mendapatkan laba atas tabungan mereka, juga harus bersedia menanggung risiko. Bank-bank juga harus membagi kerugian perusahaan jika mereka ingin mendapatkan pengembalian modal mereka.
Pentingnya modal ekuitas dalam pembangunan ekonomi, sekarang ini dihargai di kalangan pembiayaan. Struktur pembiayaan yang benar-benar Islami akan menjadi satu dimana, seperti faktor-faktor lain dari modal produksi, turut menanggung risiko. Setelah transaksi berbasis bunga-uang dihapuskan dari sistem perbankan dan modal tersedia atas dasar ekuitas, transfer modal yang bergejolak juga akan reda. Penyihir keuangan dunia takkan lagi tertarik meminjamkan uangnya ke negara-negara Dunia Ketiga. Negara-negara Dunia Ketiga yang telah mengalami utang besar tak selalu meminjam dari kebutuhan mereka yang sebenarnya. Sebaliknya, cukup sering lembaga keuangan negara-negara kaya, menyadari bahwa diri mereka mengalami kelebihan likuiditas (terutama setelah krisis minyak 1973), yang menemukan saluran investasi menguntungkan untuk dana surplus mereka di negara-negara miskin dan, entah bagaimana, berhasil membanjiri mereka dengan pinjaman. Lembaga keuangan mengatur departemen ‘pengembangan’ mereka untuk menarik lebih banyak pelanggan. Lembaga-lembaga ini menyediakan pelanggan mereka dengan layanan konsultasi, sering secara gratis, dan melakukan sebagian besar pekerjaan kertas atas nama mereka dan mengidentifikasi proyek-proyek yang menarik bagi mereka. Dengan demikian permintaan pinjaman berbunga-uang dibuat oleh bank itu sendiri. Jika dalam sistem seperti yang divisualisasikan oleh Islam, iming-iming menarik ini, dihapuskan, dan bank dipaksa membagi kerugian atas investasi karena mereka memiliki bagian dari pengembalian, ukuran hutang publik pun akan menyusut. Bahkan, hutang global akan tetap hanya sebatas kredit perdagangan yang bersifat rutin. Akhirnya, arus keluar sumber daya dari negara-negara miskin ke negara-negara kaya juga akan berhenti, dan dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih bahagia sebagai tempat bermukim."
[Bagian 3]
[Bagian 1]