"Sekarang, mari kita lanjutkan diskusi kita tentang Perilaku Konsumen," berkata sang ekonom. Ia lalu berkata, "Perilaku konsumen dalam ekonomi kapitalis, dijelaskan dalam hal kedaulatan para konsumen. Dikatakan bahwa seseorang bebas membeli apapun yang disukainya. Tak ada pengecekan moral disini. Namun para konsumen sangat dipengaruhi oleh serangan iklan. Godaan membeli sesuatu yang baru, dipromosikan sebagai nilai sosial, yang menganggap bahwa mengejar suatu kesenangan yang baru itu, sangat bernilai. Secara psikologis, konsumen dibujuk agar merasa bangga dengan diri mereka, jika memiliki sesuatu yang baru dibandingkan dengan orang lain dalam lingkaran sosial mereka. Sistem nilai seperti ini, cenderung menstigmatisasi bahwa mereka yang tak memiliki barang-barang yang lebih baru dibanding rekan atau tetangga mereka, akan berada dalam keadaan yang lebih inferior. Ini menciptakan dorongan agar mereka mengejar dan mengalahkan orang lain, yang menyebabkan persaingan yang tiada henti-hentinya. Ekonomi kaya negara-negara kapitalis telah menjadi masyarakat konsumtif massal, dengan banyak pemborosan.
Sikap yang seperti ini, mengakibatkan masyarakat yang tinggal di negara-negara maju, yang hampir 25 persen dari populasi dunia, mengkonsumsi kertas 15 kali lebih banyak, baja 10 kali lebih banyak, dan energi 12 kali lebih banyak dari sisa 75 persen penduduk dunia. Jelaslah, bahwa sumber daya dunia tak cukup untuk membeli gaya hidup yang sama bagi semua orang di bumi ini. Ada kebutuhan besar untuk menahan diri. Tetapi sistem kapitalis tak punya mekanisme untuk menahan semua orang dari kebiasaan belanja yang boros. Sebaliknya, bank, media, perusahaan bisnis, dan pemerintah semuanya memiliki kepentingan dalam mendorong konsumsi sehingga tingkat investasi yang tinggi dapat dipertahankan. Alih-alih menghapuskan bunga yang akan menghilangkan rem dari aliran modal bebas ke saluran-saluran produktif, pendekatan yang kocar-kacir, diadopsi untuk meningkatkan konsumsi, dengan tujuan untuk menjaga agar roda ekonomi tetap berputar.
Jenis ekonomi yang selaras dengan etos Islam adalah ekonomi konsumsi rendah. Pendekatan Islam membutuhkan individu agar menggunakan sumber daya seintensif mungkin dan tak menggantikannya sampai benar-benar telah habis masa penggunaannya. Rasulullah (ﷺ) memberikan penghargaan yang sangat tinggi pada kehidupan yang bersahaja dan tak menganjurkan hidup yang serba mewah. Ini bukanlah menganjurkan bahwa Islam menginginkan manusia agar menjalani kehidupan yang serba kekurangan dan penderitaan walau mereka sanggup untuk mendapatkan standar hidup yang lebih tinggi, Islam memvisualisasikan sebuah masyarakat yang egaliter dimana kesenjangan relatif dalam hal kondisi sosial-ekonomi, lebih sedikit dibanding apa yang telah kita amati dalam masyarakat kapitalis. Pandangan Islam tentang kehidupan, mengharuskan mereka yang mampu memiliki standar materi yang lebih tinggi, secara sukarela melepaskan sebagian dari kenyamanan mereka itu, untuk membantu orang lain meningkatkan kemampuan ekonomi mereka, agar dapat menikmati gaya hidup yang serupa. Hanya setelah sebagian besar orang memperoleh standar hidup yang sebanding, maka masyarakat secara keseluruhan haruslah bergeser ke tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi.
Sistem nilai Islam mendukung pola konsumsi di atas. Dalam masyarakat Islam, kedudukan taqwa dianggap sangat tinggi. Semakin seseorang bertaqwa, semakin tinggi ia dihargai di masyarakat. Taqwa terdiri dari sekelompok nilai-nilai seperti keadilan, ihsan, berinfaq, berdzikir, dll. Taqwa adalah nilai multi-dimensi. Seseorang dapat unggul di dalamnya dengan memupuk sejumlah kebajikan dalam diri sendiri. Orang-orang yang mencari status yang baik dalam masyarakat Islam berusaha unggul dalam hal taqwa. Dalam jargon ekonomi, kita dapat mengatakan bahwa taqwa adalah 'kenyamanan yang memuaskan'. Hal ini mengalihkan energi masyarakat, menjauh dari sifat ingin menumpuk materi sebanyak-banyaknya, menuju ke upaya berkelanjutan yang ditujukan untuk pengayaan spiritual diri dan peningkatan sosial."
Sang musafir muda bertanya, "Apa kerangka Islam tentang kemiskinan?" Sang ekonom berkata, "Kemiskinan adalah fenomena yang kompleks, para cendekiawan Islam sedang mengembangkan kumpulan doktrin untuk menganalisis dan menyelesaikan masalah ini. Beberapa gagasan telah beredar sejauh ini.
Pertama, strategi Islam untuk memerangi kemiskinan harus memiliki orientasi yang berbeda sejauh ini, karena upaya pengembangan difokuskan pada manusia, ia berkonsentrasi pada pengembangan kapasitas produktif masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan.
Kedua, masyarakat harus diorganisir dalam kerjasama lokal dan melakukan pertukaran urusan mereka. Mereka hendaknya mengambil semua keputusan yang berkaitan dengan diri mereka. Ini akan memberi mereka insentif untuk pengembangan diri dan akan melibatkan mereka dalam upaya pengembangan secara keseluruhan.
Ketiga, pembiayaan hendaknya disediakan melalui bank dengan konsep kerjasama berdasarkan prinsip nagi-hasil. Masyarakat hendaknya diberikan akses ke sumber daya fisik dan ke organisasi publik dengan mendorong mereka untuk mengorganisir diri mereka secara lokal.
Keempat, Islam sangat menekankan pada pemerintahan yang jujur. Mungkin, ini untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, bahwa Islam memperkenalkan perbedaan antara kepemilikan pribadi dan milik umum ,serta menjadikan para penguasa bertanggung jawab kepada rakyat. Di zaman sekarang, masyarakat Islam harus memperkuat sistem akuntabilitasnya dengan cara yang sama. Sejumlah lembaga baru hendaknya didirikan untuk tujuan ini.
Kelima, strategi pembangunan Islam hendaknya berfokus pada kebutuhan manusia. Ini harus dimulai dengan membuat penilaian kebutuhan manusia dalam hal kesehatan, pendidikan, air bersih, udara bersih, telekomunikasi dan transportasi dan kemudian menerjemahkannya ke dalam investasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ini.
Keenam, karena Islam sangat menekankan pada kemandirian dan kebebasan umat manusia, strategi Islam untuk pembangunan seharusnya tak memvisualisasikan pinjaman dari negara lain dengan bunga, bahkan sebagai tindakan khusus. Namun, hendaknya mendorong kerja sama antara berbagai negara berdasarkan partisipasi ekuitas dalam usaha patungan atau dalam bentuk hibah atau pinjaman tanpa bunga.
Ketujuh, sebagai langkah jangka pendek, ekonomi Islam akan merekomendasikan bahwa sebagai jalan keluar dari hutang saat ini, negara-negara rente harus menghapuskan bunga atas pinjaman mereka dan mengkonversi jumlah yang tersisa - hutang pokok - menjadi modal ekuitas dari berbagai perusahaan publik dari negara-negara debitor. Ini akan mengurangi beban negara miskin dan juga akan mengurangi aliran sumber daya dari negara miskin ke negara kaya.
Kedelapan, Islam tak memperlakukan manusia sebagai kewajiban. Sebaliknya, merekalah aset paling berharga dari negara manapun. Oleh karena itu, strategi pengembangan Islam hendaknya diarahkan untuk mengembangkan potensi masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan serta menghilangkan hambatan dalam cara mereka memiliki akses ke sumber daya ekonomi.
Kesembilan, konsep Islam tentang keadilan ekonomi berevolusi melawan strategi umum pembangunan yang tak seimbang antara daerah pedesaan dan perkotaan. Sebagai manusia, masyarakat pedesaan punya hak yang sama menerima fasilitas dasar seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, air minum, listrik, dan telekomunikasi. Kriteria investasi konvensional yang menggunakan analisis biaya-manfaat untuk menentukan kesesuaian investasi akan mengalami perubahan jika investasi dilakukan dengan maksud untuk mengembangkan manusia dimana pun mereka tinggal. Sebagai prioritas pertama, pemerintah Islam di zaman sekarang hendaknya mengadopsi kebijakan yang akan menjembatani kesenjangan yang ada antara daerah pedesaan dan perkotaan, dan memberikan gaya hidup yang sama kepada semua.
Kesepuluh, ekonomi Islam memvisualisasikan pengenalan teknologi yang terencana. Sebagai langkah praktis, negara Islam di zaman sekarang dapat melembagakan dana dimana kontribusi dapat dilakukan oleh pengusaha dari keuntungan yang mereka hasilkan dengan memperkenalkan teknologi baru. Dana ini akan digunakan untuk melatih kembali dan merehabilitasi mereka yang kehilangan pekerjaan karena pengenalan teknologi baru.
Kesebelas, di atas semua langkah-langkah ini, sistem zakat Islam akan menyediakan jaminan sosial di tingkat lokal. Masyarakat dari suatu daerah harus mengatur urusan mereka sehingga mereka dapat mengumpulkan persentase tertentu dari kekayaan mereka untuk memelihara dan merehabilitasi mereka yang tak dapat memenuhi tujuan mereka. Karena pengumpulan dan distribusi zakat diperlukan untuk dilakukan secara lokal, masalah ‘pengendara gratis' juga harus ditangani secara luas. Jauh lebih sulit bagi seseorang untuk tetap diikutsertakan ketika gram transfer diberikan oleh masyarakat lokal daripada ketika mereka dikelola secara terpusat oleh birokrasi negara anonim. Dalam suatu pengaturan Islam, jaminan sosial adalah, terutama, tanggung jawab keluarga. Jika seseorang tak dapat menerima dukungan dari keluarga, komunitas lokal diharuskan merawat orang tersebut. Bantuan dari pusat perbendaharaan negara datang hanya ketika semua pengaturan lokal kekurangan sumber daya."
Sang musafir muda bertanya, "Bagaimana dengan Manajemen Fiskal?" Sang ekonom berkata, "Prinsip-prinsip Islam manajemen fiskal juga berbeda. Pertama, pajak pokok zakat yang menetapkan tren untuk perpajakan lainnya mudah diatur. Nilainya rendah. Cakupannya lebar. Insidensinya proporsional dengan kekayaan seseorang, sehingga mereka yang berkelapangan membayar lebih dari mereka yang memiliki lebih sedikit .Kedua, zakat dikumpulkan secara lokal atas nama pemerintah pusat dan didistribusikan di wilayah yang sama. Prinsip ini menangani sejumlah masalah karena komplain masyarakat regional terhadap adanya transfer sumber daya dari satu daerah ke daerah lain.[Bagian 1]
Ajaran Islam yang wajar, juga berlaku untuk anggaran negara. Pendekatan Islam terhadap ekonomi tampaknya akan mendukung anggaran yang seimbang. Kejahatan pembiayaan defisit terlalu jelas untuk perlu disebutkan di sini. Masalah menciptakan permintaan yang efektif dengan intervensi pemerintah tetap tak relevan dalam konteks ekonomi Islam karena menghapuskan bunga yang merupakan hambatan utama dalam mencapai pekerjaan penuh. Namun, jika orang ingin pemerintah memainkan peran aktif dalam kehidupan ekonomi, mereka harus membayarnya dalam bentuk pajak yang lebih tinggi. Meminjam untuk pembangunan - dan itu juga dengan bunga - sama sekali asing bagi prinsip-prinsip Islam. Namun, dalam kasus proyek jangka panjang, yang manfaatnya akan tersebar selama beberapa generasi, negara dapat meningkatkan pinjaman tanpa bunga untuk kepentingan ekuitas antar generasi. Untuk mengurangi kesulitan pengangguran, skema jaminan sosial juga dapat diperkenalkan.
Manajemen fiskal dalam ekonomi kapitalis sangat kacau. Ia bergantung pada pembiayaan defisit untuk merangsang ekonomi. Seluruh siklus dimulai seperti ini. Bunga memiliki hubungan terbalik dengan efisiensi modal marjinal. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin rendah akan efisiensi modal marjinal dan semakin rendah akan tingkat investasi, yang mengarah ke peningkatan pengangguran. Pajak dipungut untuk membayar tunjangan jaminan sosial. Ketika beban pajak menjadi tak tertahankan, pemerintah meminjam dari bank dan penabung swasta dengan bunga, yang pada gilirannya menambah pengeluaran publik dalam bentuk pembayaran hutang, yang mengarah ke defisit yang lebih besar dan memulai lagi lingkaran setan.
Dalam ekonomi Islam, alih-alih masuk ke lingkaran setan ini, kejahatan bisa dihentikan sejak awal. Karena rente atas modal dihapuskan, akan mungkin terjadi full-employment. Untuk mengatasi masalah pengangguran tidak sukarela atau kasus kesulitan lainnya, ada lembaga zakat dan infaq. Tetapi lembaga-lembaga ini akan beroperasi di tingkat lokal. Anggaran negara takkan dibebani dengan utang publik atau pajak tambahan untuk menyediakan tunjangan jaminan sosial."
Kemudian sang ekonom berkata, "Wahai anak muda, kita telah membahas secara singkat fitur-fitur utama dari ekonomi Islam. Sementara itu, kita telah membandingkannya dengan fitur-fitur tatanan ekonomi kapitalis kontemporer. Islam berusaha membangun tatanan ekonomi yang sama sekali baru. Akan tetapi, strategi untuk membangun ekonomi semacam ini, lebih bersifat evolusioner daripada revolusioner."
Sang musafir muda bertanya, "Jadi, darimana kita memulainya?" Sang ekonom berkata, "Kita mulai dari diri kita sendiri dengan menjauh dari segala hal yang bersifat ribawi. Kemudian, ingatlah selalu petuah Rasulullah (ﷺ), "Bersatu dalam jama’ah itu, rahmat. Sedangkan perpecahan itu, azab.”
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa. Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tiada rasa takut pada mereka dan mereka tak bersedih hati. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tak berbuat zhalim (merugikan) dan tak dizhalimi (dirugikan). Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai ia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." - [QS.2:276-280]
[Bagian 2]
Rujukan :
- Muhammad Akram Khan, An Introduction to Islamic Economics, Institute of Policy Studies.