Jumat, 26 Oktober 2018

Pelajaran dari Sirah : Penuh Kepastian (1)

Sang politisi melanjutkan, "Wahai anak muda, kita telah membahas beberapa aspek dari kehidupan Rasulullah (ﷺ) yang penuh rahmat, dan kita akan memperhatikan apek lain dari kehidupan beliau untuk melihat pelajaran kepemimpinan yang dapat dipelajari." Ia berhenti sejenak, dan melanjutkan, "Kepemimpinan yang berpirnsip, yang bertanggungjawab, berintegritas tinggi, dan berkomitmen terhadap keadilan sosial, adalah satu-satunya kekurangan terbesar dan paling nyata, yang mengarah pada krisis kita saat ini. Kita benar-benar tak punya pemimpin yang berprinsip secara global. Dunia yang kita tinggali ini, dan bahkan lebih banyak lagi di masa depan, seperti yang kita bayangkan, adalah dunia dengan kompleksitas tinggi, dimana informasi lebih mudah diakses, kekuasaan terkonsentrasi di tangan elit, keseimbangan faktor-faktor yang menentukan kelangsungan hidup planet kita berada dalam bahaya besar - mungkin tak dapat diperbaiki lagi. Masyarakat tempat kita hidup, masyarakat yang bertingkat-tingkat berdasarkan garis-garis pengelompokan ekonomi, ras, nasional, agama dan kekuasaan. Dan kesenjangan ini terus berkembang.
Secara materi, dalam hal gadget, peralatan, sumber daya, dan uang, lebih kita miliki dibanding yang mungkin pernah kita punyai sebelumnya. Apa yang tak kita miliki adalah kriteria pengambilan keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai etis dan moral, kriteria yang inklusif dan memperhitungkan mereka yang memiliki sedikit, dan yang sedikit itu, berada dalam bahaya kepunahan. Kriteria yang lebih mementingkan integritas daripada mengumpulkan kekayaan materi. Kriteria yang fokus pada dampak jangka panjang daripada strategi jangka pendek. Kriteria dimana kita menganggap diri kita bertanggungjawab atas tindakan kita, walau jika tak ada orang lain yang melakukannya. Kriteria dimana kita berpegang teguh pada ucapan kita, hidup dengan keyakinan kita dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai kita; peduli tentang warisan kehormatan bagi generasi penerus kita.

Saat kita membaca Sirah Baginda Nabi (ﷺ), kita menyadari bahwa dunia yang pernah beliau tinggali, sangat mirip dengan dunia yang kita tinggali saat ini dalam hal gaya, fokus perhatian dan permasalahan. Hal ini memberi kita harapan besar, saat kita menyimak pelajaran kepemimpinan dari kehidupan beliau, jika masalahnya sangat mirip dengan keadaan kita sekarang ini, dan dipecahkan dengan menggunakan metodenya, maka kita punya alasan, untuk meyakini bahwa metode-metode itu tak lekang oleh zaman, dan membantu kita sekarang ini, di saat kita terguncang di bawah dampak negatif kekuatan yang kita hadapi. Metode yang teruji dan berfungsi dengan baik, lebih disukai daripada teori yang baru dan masih bersifat eksperimental. Terutama ketika metode itu diilhami oleh Sang Ilahi dan penerapannya dituntun oleh Sang Ilahi. Metode seperti ini, takkan pernah gagal.
Sejarah umat manusia sangat menyedihkan. Sejak Nabi Adam, alayhissalam, dan anak-anaknya diturunkan ke bumi, seiring berjalannya waktu dan peradaban berkembang dan generasi-generasi meningkat, manusia telah beraneka-ragam. Jika suatu hari mereka berada di jalur yang benar, mereka akan hilang selama berhari-hari setelahnya, dan jika sekali mereka melihat cahaya kebenaran, maka kegelapan kepalsuan menelan mereka berkali-kali sesudahnya. Jika kita meneliti sejarah umat manusia dalam cahaya keyakinan kepada Allah dan persiapan untuk akhirat, kita akan menemukan dunia yang sangat mirip dengan pemabuk yang periode mabuknya melebihi ketenangannya, atau orang sakit yang mengigau dan tidak tahu apa yang ia katakan
Meskipun dalam pengalaman dengan diri mereka sendiri dan dunia mereka, ada banyak pencegah manusia dari berbuat kejahatan dan banyak insentif untuk berbuat baik, namun hasrat yang besar, tidaklah bisa ditundukkan oleh ilmu saja.
Lihatlah nasib peradaban Mesir dan Yunani, India dan Cina, Persia dan Roma. Kita tak bermaksud melihat keadaan mereka dari sudut pandang politik, tetapi dari aspek perasaan dan alasan. Paganisme yang hina, menghancurkan mereka dan membuat mereka jatuh ke dalam lubang yang menyedihkan. Dan manusia, yang Allah tunjuk sebagai wali-Nya di bumi, menjadi budak yang tunduk pada hal yang paling rendah di tempat-tempat ini. Apa lagi yang bisa terjadi setelah sapi dan anak sapi dikeramatkan, kayu dan batu disembah? Semua bangsa tercemar dengan penyimpangan semacam itu. Paganisme berasal dari dalam diri dan bukan dari lingkungan. Sama seperti orang-orang yang sedih menerapkan perasaan mereka pada lingkungan mereka dan orang-orang yang ketakutan membayangkan benda-benda sebagai hantu, kepribadian yang cacat juga akan menerapkan kebodohan dan kemandulan mereka di lingkungan mereka, dan memuliakan batu dan binatang.
Mengumpulkkan kekayaan materi adalah satu-satunya pertimbangan dan yang diutamakan. Jebakannya, simbol status. Bagaimana orang berpakaian, parfum apa yang mereka kenakan, berapa banyak budak dan pelayan yang mereka miliki, jenis transportasi apa yang mereka gunakan, semua ini dibicarakan dan berfungsi untuk memicu imajinasi dan ambisi orang yang bercita-cita menjadi seperti mereka. Ungkapan, 'Jika engkau mendapatkannya, pamerkanlah,' pada zaman itu mungkin belum dikenal, namun gaya hidup, jelas mencerminkan filosofi ini. Keangkuhan menjadi hak dari yang kuat dan mereka yang mampu menindas yang lemah, menjadi simbol status. Siapapun yang menentang mereka, akan merasakan amarah mereka. Kemewahan diri adalah hak mereka yang kaya, dan tak ada hukum yang mengatur apa yang boleh atau tak boleh mereka lakukan. Uang-lah satu-satunya pertimbangan, dan sekali engkau memilikinya, maka fokusnya adalah menikmatinya dengan cara apapun yang dapat engkau pikirkan, hanya kemampuanmu menjalani apapun yang dapat engkau perbuat, itulah batas dari apa yang dapat engkau lakukan. Mereka yang miskin atau lemah, tanpa ampun ditindas oleh yang kaya. Budak dan perempuan, dianggap komoditas yang dipergunakan dan dibuang, serta diperlakukan tanpa pemikiran atau pertimbangan. Perbudakan merajalela. Kaum perempuan dianggap barang yang diperjual-belikan, diwariskan, dan dibuang sesuka-hati. Masyarakat kapitalistik, merupakan satu-satunya kriteria keberhasilan dimana terakumulasinya kekayaan dan kekuasaan. Nilai-nilai moral telah hilang. Pelacuran merajalela dan diterima. Kaum perempuan tak memiliki hak dan diperlakukan sebagai barang bergerak, menjalani hidup, tumbuh menjadi boneka manusia, atau sebagai barang kepemilikan, yang dipergunakan sesuka hati, buruk sekali. Uanglah kekuasaan, dan mereka yang hanya punya sedikit, yang lemah, menjadi objek penindasan, dan hidup di bawah kekangan elit penguasa.
Jika kita melihat faktor-faktor sosial dan ekonomi yang digambarkan, engkau dapat dengan mudah melihat seberapa dekat masyarakat saat itu, dengan masyarakat kapitalis modern kita. Kita mungkin tak memiliki budak dalam pengertian yang sama seperti pada waktu itu, tetapi perbudakan kita bahkan lebih kuat karena sifatnya ideologis, berjangkauan global, ditegakkan oleh sistem pendidikan yang mempromosikan nilai-nilainya, sistem ekonomi yang mengunci orang ke dalamnya, dan seorang eksekutif memastikan bahwa itu tidaklah terancam oleh cita-cita kebebasan dan kesetaraan yang keliru.
Bencana terbesar yang menimpa agama karena adanya serangan pagan terhadapnya adalah, perubahan mengerikan yang mempengaruhi agama Nabi Isa, putra Maryam. Mereka mengubah zamannya menjadi kegelapan dan kedamaiannya menjadi kesusahan; mereka mengubah pengesaan menjadi penyembahan berhala, merendahkan ras manusia dan menggantungkan peningkatannya pada suatu pengorbanan. Mitos Trinitas dan penebusan, dihidupkan kembali setelah paganisme awal berhasil mendorongnya pada agama Nasrani yang baru, dengan cara ini ia memperoleh dua kemenangan: memperkuat dirinya sendiri dan membuat orang lain tersesat. Jadi ketika abad keenam era Nasrani tiba, Delapan bimbingan di seluruh dunia telah pergi dan para setan melintasi hamparan luas tanah, mengagumi duri yang telah ditanamnya dan melihat betapa kuatnya mereka telah tumbuh.
Magianisme di Persia adalah pelopor keras kepala dari penyembahan berhala yang meluas di Cina, India, negara-negara Arab dan semua bagian dari dunia yang tak tahu apa-apa. Kaum Nasrani, yang dulunya sangat menentang, meminjam ciri-ciri paling menonjol yang menampilkan mitos-mitos orang India dan Mesir kuno. Dianggap sebagai istri dan anak kepada Allah dan menggoda para pengikutnya di Roma, Mesir dan Konstantinopel dengan semacam politeisme yang lebih maju daripada para penyembah api dan penyembah berhala: sebuah politeisme yang dicampur dengan monoteisme dan memerangi politeisme murni..


Secara internasional, dua kekaisaran superpower di zaman itu, adalah Kekaisaran Bizantium Romawi dan Kekaisaran Persia, yang terlibat dalam perang yang berlangsung dimana kadang-kadang, satu pihak berada di atas angin dan terkadang sebaliknya. Tak satupun dari mereka yang mau peduli menaklukkan negeri Arab, yang sebagian besar gurunnya kering, tak bisa ditanami, dan tak ramah dihuni oleh suku-suku nomaden dengan kota-kota oasis dan dua pusat perdagangan, Mekah dan Ta'aif. Bukan pula lingkungan terbaik memungut pajak atau mendapatkan tentara dan persenjataan, atau untuk menaklukkan suku-suku itu jika diperlukan. Bangsa Romawi dan Persia meremehkan dan mengabaikan orang-orang Arab di daerah ini, yang akibatnya dibiarkan dan tak ditaklukkan oleh salah satu kekaisaran itu.
Orang-orang Arab pada saat itu, hidup dengan hukum kesukuan mereka sendiri, diperintah oleh kepala-suku mereka sendiri, dan menjaga kemerdekaan mereka sendiri. Hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa merekalah orang-orang yang belum pernah ditaklukkan, sehingga tak memiliki karakteristik yang sama dibanding orang-orang yang pernah diperbudak. Dalam segala kerusuhan dan pertikaian internal mereka yang tampak jelas, kemandirian mereka yang kuat, adalah faktor yang sangat menonjol.
Mereka tak pernah membungkuk kepada siapapun dan sangat membanggakannya. Akhirnya, ketika mereka telah menundukkan kepala kepada Allah, mereka melakukannya dengan rasa harga diri yang sangat tinggi, yang memastikan bahwa mereka tak pernah membungkuk di hadapan orang lain dan melestarikan esensi Tauhid dalam setiap pengertian istilah. Hanya ketika Islam sampai di tanah para raja dan kekaisaranlah, umat Islam mulai mengambil jalan orang lain dan mulai menyerap perangkap budaya dan argumen filosofis yang tak ada hubungannya dengan doktrin yang murni, bersih dan sederhana yang dibawa oleh Rasulullah (ﷺ), sebersih dan semurni udara gurun dimana diwahyukan kepada beliau, oleh Sang Pencipta alam semesta.
Dari sketsa singkat tentang sifat masyarakat dunia pada zaman Baginda Nabi (ﷺ) ini, jelaslah seberapa dekat keadaan saat itu, dengan sifat budaya global yang dominan saat ini. Berfokus pada kekuatan uang, obyektifikasi perempuan (meskipun di zaman ini, dijual atas nama kebebasan) untuk kesenangan dan keuntungan, pergaulan bebas dan keleluasaan, penghancuran nilai-nilai moral dan sosial, berlomba mengumpulkan kekayaan materi, masyarakat yang bertingkat pada ekonomi dan ras atau garis-garis kasta; dan sebaliknya, segala upaya untuk mewujudkan keadilan, tanggung jawab moral, dan akuntabilitas - yang ingin dilakukan oleh agama - dipandang tak perlu dan tak diinginkan, sehingga ditentang dengan keras. Sekali lagi, yang miskin dan yang lemah, tak punya suara, kekuatan atau bahkan identitas, dan orang kaya fokus menjadi lebih kaya dengan sedikit atau tanpa kepedulian terhadap apa yang terjadi pada seluruh dunia, sebagai konsekuensi dari pengejaran mereka terhadap kekuatan pribadi. Dunia mengerang di bawah pikulan penindasan tanpa adanya solusi.
Dalam masyarakat dunia inilah Baginda Nabi (ﷺ) lahir dan tumbuh, dan dimana beliau mendakwahkan pesannya - sebuah pesan yang berusaha menciptakan perubahan revolusioner, yang bertujuan menjamin keadilan bagi semua, terlepas dari ras, kasta, jenis kelamin atau status ekonomi. Pesan bermartabat bagi individu, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan belas-kasih bagi yang lemah. Bebas dari perbudakan kepada manusia dan tunduk pada aturan Sang Pencipta, dengan aturan hidup yang menjamin kedamaian, keselarasan, dan keamanan bagi semua pihak. Apa lagi yang kita dambakan di zaman ini, selain dari pesan seperti ini?

Sebuah pesan yang sangat kita butuhkan sekarang ini, karena ada di dalamnya, jalan keluar, yang dengan putus-asa dicari selama ini oleh sang dunia. Jadi, hal pertama yang menonjol tentang Rasulullah (ﷺ) adalah kepastian-penuh, yang beliau miliki dalam kebenaran pesannya; imannya kepada Allah dan pada kenyataan bahwa beliau sendiri adalah utusan Allah, dan telah diutus untuk menyampaikan pesan itu kepada seluruh umat manusia.
Cobalah bayangkan adegan ini. Baginda Nabi (ﷺ) naik ke bukit Safa dan berseru, “Wa Subaha!” Orang-orang datang dengan cepat dari Tanah Haram dan pasar di sekitarnya, bukan hanya karena ini panggilan alarm, yang menuntut agar orang meninggalkan yang lain dan melihat keadaan darurat, melainkan juga karena itu adalah seruan Muhammad (ﷺ), As-Sadiqul Amin (yang jujur dan dapat dipercaya - gelar yang diberikan orang Quraisy kepada putra kesayangan mereka), yang memanggil mereka. Maka, jika beliau memanggil, "Wa Subaha!" Itu pasti penting. Merekapun berkumpul di sekelilingnya, di lembah Safa. Sekarang ini, saat kita berumrah dan setelah menyelesaikan Tawaf, pergilah ke As-Safa untuk Sa'i, berhenti dan renungkanlah, apa yang telah disaksikan bukit ini. Bahwa disinilah tempat dimana Baginda Nabi (ﷺ) berdiri dan mengumumkan kepada dunia, untuk pertama kalinya sejak Nabi Ibrahim, alaihissalam, pesan Tauhid.

Baginda Nabi (ﷺ) berkata kepada mereka, “Wahai manusia, jika aku mengumumkan kepada kalian bahwa ada pasukan di belakang bukit ini, akankah kalian mempercayaiku?” Mereka berkata, “Engkau tak pernah berbohong kepada kami, dan kami akan mempercayaimu.” Beliau ( ﷺ) berkata, "Aku datang untuk memperingatkan kalian tentang hukuman yang berat (di Akhirat, jika kalian tak meninggalkan berhala-berhala itu dan menyembah Allah)."
Abu Lahab, kerabat terdekat Baginda Nabi (ﷺ), saudara laki-laki ayah beliau, berbicara atas nama mereka, ia berkata, “Semoga kejahatan menimpamu selama sisa hari ini; inikah sebabnya engkau mengumpulkan kami di sini?" Menurut Abu Lahab, berbicara tentang Hari Kiamat itu, buang-buang waktu, dan ia menganggap, dipanggil keluar dari kamar dagangnya, akan merugikannya. Orang-orang semacam ini, tak keberatan menghabiskan waktu membicarakan hal-hal keduniawian, tetapi bukan tentang keselamatan atau Hari Kiamat. Sampai hari ini, jika engkau mengatakan bahwa engkau akan membicarakan tentang cara menghasilkan satu milyar rupiah, orang akan meluangkan waktu dan bahkan rela membayar untuk mendengarkanmu. Namun bila engkau mengatakan bahwa engkau ingin menyampaikan jalan keluar dari neraka dan masuk surga, mereka akan menuduhmu membuang-buang waktu.

Abu Lahab menganggap membicarakan Akhirat itu, membuang-buang waktu, dan ia menganggap, dipanggil meninggalkan barang dagangannya, sangat merugikannya, sehingga ia menyalahkan keponakannya. Namun, keponakan ini, Utusan Allah dan Allah tak menyukai mereka yang mengutuk para Utusan-Nya. Maka Allah berfirman,
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh binasalah ia! Tiadalah guna baginya, hartanya dan apa yang ia usahakan. Kelak, ia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka)." - [QS.111:1-3]
Surah inilah salah satu dari banyak bukti tentang sumber Ilahi Al-Qur'an, bagi mereka yang meminta bukti, karena meramalkan bahwa Abu Lahab akan mati tanpa Islam.
Prakiraan bahwa yang harus dilakukan Abu Lahab untuk 'membuktikan' bahwa Al-Qur'an itu salah, cukup dengan berpura-pura menerima Islam, terbukti keliru. Ia tak melakukannya. dan bertahun-tahun kemudian, ia mati tanpa Islam karena penyakit mengerikan dimana jenazahnya membusuk tak terkuburkan, tak ada yang sudi menyentuh jenazahnya. Akhirnya setelah tiga hari, anak-anaknya menggunakan tongkat panjang, mendorong mayatnya ke dalam lubang, dan melemparkan batu untuk menutup lubang itu. Abu Lahab dirajam oleh anak-anaknya sendiri, dan akan berada dalam Api Jahannam seperti yang dijanjikan Allah.
Pelajaran kepemimpinan pertama yang kita pelajari adalah, bahwa sangat penting bagi seorang pemimpin, yakin pada diri-sendiri; dalam visinya, strateginya, metodenya, dan keyakinan bahwa siapapun yang mengikutinya, tentu akan mendapat manfaat bila melakukannya. Jika sang pemimpin menunjukkan sedikit saja keraguan dalam pesannya, kekuatan kepemimpinannya akan terkompromikan dengan rawan. Orang mengikuti pemimpin karena berbagai alasan - ada yang karena mereka yakin pada pesannya, yang lain karena pemimpinnya kuat, yang lain karena berbagai afiliasi dengan sang pemimpin.
Jika pemimpin tetap istiqamah di jalannya, maka secara bertahap, jumlah pengikutnya meningkat dan bentuk tetesan itu, menjadi banjir. Tetap istiqamah dan tak tergoyahkan adalah satu-satunya syarat terpenting untuk hal ini.

Selama masa 23 tahun dari seluruh masa Kenabian beliau, tiada satupun contoh, bahkan dalam kesulitan terburuk, yang dapat dikatakan bahwa iman dan keyakiban Baginda Nabi (ﷺ), dalam hal pesan dan tanggung jawab beliau, goyah sedikit pun. Yang ini saja menunjukkan keajaiban dan bukti misi Ilahi yang telah dipercayakan kepada beliau. Iman ini, digabungkan dengan fakta bahwa Baginda Nabi (ﷺ) adalah seorang manusia dengan kualitas mulia, yang dikenal luas sebagai orang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya, memiliki tatakrama yang indah, karakter yang sempurna, kearifan yang agung, pengambil-keputusan yang luar biasa, dan punya banyak kebajikan, menjadikan beliau sangat dapat dipercaya. Kepercayaan itu, pada mulanya, bukan karena mereka percaya pada pesan tersebut, melainkan karena mereka percaya pada Baginda Nabi (ﷺ) dan percaya bahwa jika ia mengatakannya, maka dapat dipastikan kebenarannya. Pentingnya karakter pribadi seorang Nabi, tampak jelas dari hal ini, dan tak perlu terlalu ditekankan dan dapat secara serius mendukung atau mengkompromikan pesannya.

Di dunia sekarang ini, dimana organisasi Islam, berdakwah menggunakan segala macam metodologi, ada yang baik, ada yang buruk atas nama Dakwah Islam, sebaiknya mengingatkan diri kita tentang Dakwah para Nabi dan karakteristik khususnya; bahwa mereka melakukannya demi ridha Allah semata dan tak meminta imbalan, langsung atau tak langsung.
Allah berfirman tentang para Nabi-Nya,
"Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah (Muhammad), “Aku tak meminta imbalan kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur'an).” Al-Qur'an itu tak lain peringatan untuk (segala umat) seluruh alam." - [QS.6:90]
Para Nabi diutus untuk diikuti dan jalan merekalah satu-satunya jalan yang dijamin oleh Allah, dan yang diajarkan Allah kepada mereka. Dakwah para Nabi ditandai oleh, pertama, langsung dan jelas, tanpa kompromi; kedua, tak ada filosofi rumit yang berbelit-belit; ketiga, sadar akan kekuatan Allah; keempat, hanya mengandalkan Allah; kelima, tak meminta imbalan; keenam, bekerja hanya untuk ridha Allah."

Sang musafir muda bertanya, "Lalu, apa pesannya?" Sang politisi berkata, "Lebih dari 1400 tahun yang lalu, sebuah jendela terbuka di langit dan Allah berfirman kepada manusia. Malaikat Jibril, alaihissalam, menjumpai Nabi Muhammad (ﷺ), mendekapnya dan memerintahkan, 'Iqra' (bacalah). Rasulullah (ﷺ) menjawab, "Aku tak bisa membaca." Ini terjadi 3 kali. Kemudian Jibril menyampaikan pesan bahwa ia telah diutus, dan membacakan ayat pertama dari Sura Al-'Alaq, rangkaian wahyu pertama dari Ayat Al-Qur'an.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya." - [QS.96:1-5]
Inilah komunikasi pertama antara Sang Pencipta dan Utusan-Nya (ﷺ); diturunkan bersama Jibril, utusan-Nya yang lain. Inilah pertemuan dua bentuk ciptaan yang berbeda, dari dimensi yang berbeda. Inilah pertama kalinya Baginda Nabi (ﷺ) mengalami pertemuan seperti itu, dan tentu saja, beliau ketakutan.

Baginda Nabi (ﷺ) pulang menemui istri beliau, Sayyidah Khadija, radhiyallahu 'anha, dalam keadaan sangat ketakutan, menggigil, dan berkata,' Zammiluni, zammiluni '. (selimuti aku). Beliau takut bahwa apa yang dilihatnya, mungkin jin karena beliau tak menyukai sesuatu yang ada hubungannya dengan jin atau sihir. Beliau mengutarakan kepada isterinya tentang apa yang telah terjadi padanya, dan ketakutannya bila makhluk itu akan membunuhnya, namun isteri beliau berkata, "Allah takkan meninggalkanmu, karena engkau suka menolong mereka yang membutuhkan, engkau membantu orang miskin dan engkau selalu bermurah-hati terhadap tamu."
Sangat menarik bahwa kualitas-kualitas yang dsebutkan oleh Sayyidah Khadijah, berkaitan dengan perlakuan terhadap orang lain, dengan tatakrama dan kebajikan. Inilah sesuatu yang tampaknya telah kita buang ke tempat pembakaran belakang rumah, dalam hidup kita dan inilah alasan bagi keadaan kita yang secara global, menyedihkan. Kita diutus untuk memberi kepada dunia. Marcapada ini, mencintai mereka yang memberi, mereka yang penuh perhatian dan murah-hati, dan membenci mereka yang kikir, penuh-perhitungan dan berusaha mengambil dari orang lain. Baginda Nabi (ﷺ) dan para Sahabat mencontohkan sesuatu yang mudah dilihat, dengan fakta bahwa orang-orang yang mengaku mengikuti mereka, tak menerapkan jalan mereka. Jadi apalah arti dari 'mengikuti' itu? Kita perlu bertanya pada diri-sendiri dan memperbaiki apa yang kita jalani, sebelum terlambat dan kita akan dibiarkan berdiri sendirian di hadapan Rabb kita, dengan para Sahabat sebagai saksi melawan kita.

Saat kita melihat pemimpin besar sepanjang zaman dan terutama pada Baginda Nabi (ﷺ), kita melihat bahwa kualitas dasar kebajikan, keramahan, kasih-sayang, mau memaafkan kezhaliman yang dilakukan terhadap dirinya, kepedulian terhadap orang lain dan kesediaan untuk membantu, jujur, dapat dipercaya, kemurahan-hati dan tekad membela yang lemah dan tak berdaya; semua ini, ada dalam diri para pemimpin sejak awal; jauh sebelum beliau mulai mendakwahkan pesannya. Kualitas-kualitas inilah yang membuat beliau disukai khalayak, menginspirasi rasa-hormat dan cinta mereka, serta meningkatkan keyakinan mereka padanya. Dari sini, dapat dikatakan bahwa kualitas-kualitas inilah dasar dari kepemimpinan yang menginspirasi.
Inilah kualitas yang membuat sang pemimpin layak dihormati dan diikuti. Adalah logis mengatakan bahwa orang tak cenderung mengikuti seseorang, yang tak mereka sukai atau hormati. Siapapun yang ingin memimpin, hendaknya bersungguh-sungguh memperbaiki karakter dirinya dan menilai dimana ia berdiri sehubungan dengan kualitas-kualitas ini, dan melakukan segala upaya untuk menjembatani kesenjangan apapun, karena kualitas-kualitas inilah yang akan menentukan keberhasilan atau kegagalannya sebagai seorang pemimpin.

Baginda Nabi (ﷺ) tak hanya memiliki kualitas-kualitas ini pada tingkat kesempurnaan, melainkan beliau juga sebuah citra dan dipandang sebagai panutan di dalamnya. Orang-orang memberinya gelar As-Sadiqul Amin. Inilah kehormatan yang sangat besar bagi seorang pemuda di masyarakat suku dimana kepercayaan merupakan ukuran keutamaannya. Baginda Nabi (ﷺ) sangat dipercaya, yang memberinya akses ke dewan para tetua, dan masyarakat menghormatinya untuk dimintai nasihat.
Sayyidah Khadijah mengantarkan beliau menemui sepupunya, orang yang berilmu dan pendeta Nasrani bernama Waraqah bin Naufal, dan ia meminta Baginda Nabi (ﷺ) menjelaskan apa yang terjadi. Ketika Waraqah mendengar kisah pertemuan itu - pertemuan antara dua makhluk berbeda dalam penciptaan, antara dua dunia yang berbeda melintasi batas ruang dan waktu, ia menjawab dan berkata, “Itulah An-Namus al-Akbar - malaikat mulia - yang turun menemui Nabi Musa, alaihissalam. Andai aku masih muda (sehingga aku dapat membantumu) saat kaummu, mengusirmu dari negerimu."

Baginda Nabi (ﷺ) terheran dan mempertanyakan ucapan Waraqah bin Naufal, "Akankah mereka mengusirku, dari negeriku?" Beliau terkejut, karena beliaulah orang yang paling dicintai dan dari keluarga yang paling mulia, serta hidup dalam budaya dimana tak mungkin mereka mengusir siapapun dari sukunya, apalagi orang seperti beliau, dengan garis keturunan dan leluhurnya. Namun di sini, ada Waraqah yang memberitakan bahwa orang-orang yang sama, yang mencintainya lebih daripada orang lain, tak hanya akan menentangnya, melainkan juga akan melakukan hal yang tak terbayangkan dalam masyarakat suku Arab, mengusir beliau dari tanah kelahirannya. Waraqah berkata, "Siapapun yang menawarkan kepada kaumnya sesuatu yang mirip dengan ini, akan selalu diusir dari negerinya." Inilah manfaat dari ilmu sejarah dan pelajaran dari para 'Ulama, yang berperspektif dan dapat melihat hasil sebuah perbuatan.
Hal ini disebabkab konflik Dakwah adalah konflik antara kebenaran dan kebathilan, antara kebaikan dan keburukan, antara para Nabi yang mulia dan setan-setan yang dirajam. Inilah sumber konflik primordial, yang akan tetap ada sampai Akhir Zaman ketika Allah akan menetapkan keputusan-Nya, dan semua hutang akan terbayar. Namun dalam kehidupan ini, perjuangan akan terus berlanjut.

Sampai hari ini, kita melihat kebenaran kata-kata itu, karena tak ada yang menentang seorang Muslim jika ia hanya menjalankan agamanya dengan tenang. Namun di saat ia membawanya masuk ke ruang publik, baik dalam bentuk pakaian (baju, jenggot, sorban, jilbab) atau dalam bentuk Dakwah, aliran pertentangannya sangat deras dan bertubi-tubi. Memang, sungguhlah aneh dilihat, padahal, segala yang dilakukan oleh orang yang mempresentasikan Islam, membicarakan tentang alternatif cara untuk menjadi manusia seutuhnya; yang akan menyelamatkan seseorang dari Jahannam dan membukakan jalan masuk ke Jannah.
Umat Islam hanya menginginkan yang terbaik bagi mereka yang diperkenalkan tentang Islam, tak hanya yang terbaik di dunia ini, melainkan yang terbaik dan kekal. Jika seseorang memberi makan orang yang lapar, ia dianggap orang yang baik. Namun jika seseorang ingin menyelamatkannya dari penderitaan abadi, ia ditentang, difitnah dan diserang. Semua ini terjadi pada setiap nabi sebelum Baginda Nabi (ﷺ) diutus, dan semua ini terjadi pada Baginda Nabi (ﷺ), di tangan kaumnya sendiri. Dan dalam beberapa hal atau lain hal, inilah yang hendaknya dipersiapkan oleh siapapun yang ingin menyajikan Islam kepada dunia. Setan berjuang mati-matian dengan mereka yang berusaha melindungi orang lain dari Api Neraka dan melakukan segala daya untuk menentang mereka.
Ruang publik saat ini dipenuhi dengan orang-orang yang mengiklankan dan mempromosikan segala macam cara alternatif dalam melakukan sesuatu, baik itu pengobatan alternatif, arsitektur, diet, pendidikan atau terapi. Semua ini diterima dan disambut, dan hak pendukung mereka untuk menyebarkan cara-cara mereka, walau tampak aneh, dengan dahsyatnya, dipertahankan. Akan tetapi, begitu engkau bersuara tentang jalan alternatif yang disebut Islam, pembelaan ini berbalik arah, dan orang yang menyebarkannya, diserbu. Serbuan ini sebenarnya merupakan indikator yang paling dapat dipercaya, bahwa penyebaran Islam adalah perang melawan para setan. Kata-kata Waraqah inilah, yang merupakan peringatan awal bagi Baginda Nabi (ﷺ), bahwa pekerjaan beliau takkan mudah.
[Bagian 2]