Jumat, 19 Oktober 2018

Sebuah Pesan dan seorang Pemimpin (1)

"Wahai anak muda, Allah tak memberikan kedaulatan dan kekayaan kepada siapapun sehingga ia menggunakannya untuk kenyamanan dan keuntungannya sendiri, melainkan Dia memberikannya kepada manusia agar dapat mempergunakannya untuk membantu sesama makhluk ciptaan," berkata sang politisi kepada sang musafir muda. Ia melanjutkan, "Selalu ada perbedaan besar antara pemerintahan yang adil dan pemerintahan yang zhalim, bahwa tujuan pemerintahan yang adil selalu untuk menolong rakyat. Karena alasan ini, perbendaharaan negara yang dikelola oleh seorang pemimpin semacam ini, digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyatnya, serta untuk memajukan kemakmuran mereka, dan hanya akan menggunakan seperlunya bagi kebutuhannya sendiri, dan penguasa seperti ini, takkan merendahkan rakyatnya dengan beban pajak yang berlebihan. Sebaliknya, pemerintah yang zhalim, bertujuan memberi manfaat pada pemerintahannya, kenyamanan dan kesenangannya sendiri, serta memperkokoh kekuasaannya. Dengan demikian, penguasa seperti ini, takkan mau merasakan beban rakyatnya dan tak memperhatikan kesejahteraan mereka, dan bahkan, kalaupun ada rasa nyaman yang diberikan kepada rakyatnya, itu hanyalah janji-janji belaka. Dalam pemerintahan seperti ini, rakyat selalu terbebani pajak, dan dalam keadaan seperti ini, mayoritas rakyat berada dalam kemiskinan.
Jika engkau mendengarkan dan merenungkan kisah Dzul-Qarnain, engkau 'kan temukan bahwa dalam fakta catatan sejarah, bahwa didalam sejarah manusia, hampir setiap orang yang berkuasa, dan setiap negara yang berkuasa, menginginkan lebih banyak kekuasaan, dan setiap negara yang berkuasa, menginginkan bahkan lebih banyak kekuasaan daripada yang dimilikinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala takkan pernah membiarkan bangsa atau orang yang menginginkan lebih banyak kekuasaan, tumbuh-berkembang di dunia ini, karena setiap bangsa yang berusaha mendapatkan lebih banyak dan lebih banyak lagi kekuasaan itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membawa kehancuran kepada mereka, di tangan mereka sendiri. Sebaliknya, seorang penguasa yang diridhai Allah, adalah seorang penguasa yang menggunakan kekuasaannya untuk menyeru dan menegakkan sebuah pesan, dan pesan itulah kalimat Tauhid, "Laa ilaaha illallaah." Oleh karenanya, seorang penguasa sejati itu, seorang Muwahhid dan juga seorang Mujahid.

Jika kita berbicara tentang kekuasaan, akan selalu berkaitan dengan Kepemimpinan. Konsep kepemimpinan masih sama pentingnya, masih ambigu dan masih sama relevan saat ini seperti di masa lalu. Terlepas dari perkembangan industri dan popularitas publikasi, semua itu tetap dirancang untuk menciptakan pemimpin dalam ruang atau lingkup kehidupan yang terbatas. Jadi, itulah sebabnya, Kepemimpinan dalam Islam bukanlah hal yang biasa, melainkan hal yang luar biasa. Umat Islam telah memiliki teladan sempurna, Rasulullah (ﷺ), yang kualitas kepemimpinan beliau, yang beragam dan tak terbatas, telah mengubah masyarakat yang terpinggirkan, menjadi orang-orang terbaik, yang berjalan di muka bumi ini setelah para Nabi, alaihimussalam. Tak hanya diri beliau (ﷺ) seorang pemimpin, par-excellence, namun beliau juga menghasilkan para pemimpin. Beliau mampu membesarkan orang-orang seperti budak yang terdemoralisasi dan tertindas, menjadi pemimpin berkaliber tinggi.
Rasulullah (ﷺ) menetapkan standar kepemimpinan yang luar biasa, begitu meyakinkan dan jelas, sehingga bahkan musuh terburuknya pun terpaksa bersuara mendukungnya. Luar-biasa berarti menjadi abnormal dengan cara yang terbaik. Mendengar bisikan pesan dalam benak yang membuat orang lain bertanya-tanya. Berbaris dengan irama yang tak bisa didengar orang lain - namun mampu menginspirasi mereka untuk turut-serta. Hanya mereka yang luar biasa yang menginspirasi. Hidup tak hanya menarik napas. Jadi, jika seseorang bercita-cita untuk memimpin, ia harus melakukan lebih dari yang ada. Kuncinya, melakukan lebih dari apa yang orang lain anggap bijak, masuk-akal atau logis. Seseorang harus melakukan apa yang tak dilakukan orang lain, bukan karena ia ingin memberi mereka kesan, melainkan agar mereka dapat melihat bahwa sangat mungkin bagi mereka untuk dapat melakukan hal yang sama. Tiada keluhuran budi dalam berpura-pura menjadi lebih rendah darimu. Apa yang dituntut dari sang pemimpin adalah, bahwa ia akan terus-menerus melawan asumsi dan batasan yang ditentukannya sendiri, karena satu-satunya penghalang nyata dalam mengatasi kesulitan adalah apa yang ada didalam benak seseorang.

Sang pemimpin harus memiliki keberanian untuk pergi ke tempat dimana tak ada yang berani mengambil resiko di hadapan dunia pikiran dan jiwa manusia. Ia hendaknya mempertanyakan apa yang selalu dianggap benar. Ia harus menantang kepercayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi dan diterima sebagai suatu keniscayaan. Ia harus membela kebenaran, apapun risikonya. Ia harus mendukung yang tertindas, yang lemah dan yang dirampok, serta berdiri melawan para penindas, tak peduli siapapun mereka. Semua ini membantu sang pemimpin menginspirasikan kepercayaan, sebuah fondasi kepemimpinan. Seorang pemimpin tak hanya harus dipercaya secara pribadi melainkan rakyatnya pun harus memiliki keyakinan bahwa dengan mengikutinya, akan menguntungkan mereka. Memimpin, menurut definisi, tampil terdepan. Dan yang memimpin itu, sang pemimpin, yang secara bersamaan memiliki kejelasan wawasan dan strategi ke depan. Tidaklah cukup hanya memimpikan hal-hal besar jika seseorang tak memiliki petunjuk tentang bagaimana mencapainya. Pemimpin harus bisa bermimpi dan kemudian memimpin rakyatnya di jalan yang benar-benar mengarah pada pemenuhan mimpi itu. Luar-biasa berarti mampu melakukan tugas impian maupun tugas konkret, menerjemahkan mimpi menjadi peta jalan aktual dengan tonggak sejarah. Kemudian, menemukan orang untuk memenuhi banyak peran yang pasti akan muncul, karena tak ada pemimpin yang bisa melakukan semuanya sendirian. Tanpa sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang sangat kompeten dan berdedikasi untuk menerapkan strategi, impian terbesar harus tetap diturunkan ke ranah keinginan. Merekrut tim, menginspirasi mereka agar dapat memberikan yang terbaik, melatih dan mengarahkan mereka, dan akhirnya mengawasi mereka dari pinggir lapangan, saat mereka memenuhi tugas yang telah mereka latih, adalah semua peran yang harus dilakukan oleh pemimpin yang luar biasa.
Akhirnya, pemimpin yang luar biasa, hendaknya menciptakan sistem yang dapat meneruskan warisannya, lama setelah ia menempuh jalan sepanjang hidup. Karisma pribadi yang tetap tak diterjemahkan ke dalam proses, ditakdirkan untuk mati bersama pemimpin - mungkin diingat dengan nostalgia, tetapi tak bermanfaat bagi mereka yang datang setelahnya. Agar sebuah perusahaan besar manapun berhasil, pemimpinnya harus memimpin transformasinya ,dari yang dipimpin oleh manusia, menjadi yang terarahkan oleh proses. Kegagalan melakukan ini dengan baik, selalu mengarah pada warisan pemimpin yang tak melampaui perubahan generasi.
Menjadi sesuatu yang luar-biasa bukanlah pilihan bagi seorang pemimpin. Melainkan bagian penting dari keberadaan bagi siapa saja yang bercita-cita untuk memimpin. Menjadi luar-biasa dalam cara dimana orang menemukan inspirasi, kesegaran, energi dan pemberdayaan. Hanya yang berani, yang bisa mendorong, dan tak ada seorang pun dalam sejarah umat manusia, yang meneladankan kepemimpinan luar biasa dalam setiap aspek kehidupannya seperti halnya Rasulullah (ﷺ). Itulah sebabnya para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, menunjukkan tingkat kesetiaan tinggi kepada beliau, yang merupakan teladan dalam dirinya sendiri. Mereka mencintai beliau dan beliau mencintai mereka.

Untuk melihat kualitas pertama yang luar biasa yang diperlihatkan Rasulullah (ﷺ) dalam karakternya, adalah Iman. Iman sangat penting karena tanpanya, akan mustahil menunaikan tugas monumental untuk mengubah qalbu seseorang. Inilah kata yang renik, namun dengan makna yang agung. Ini berarti hal yang berbeda bagi orang yang berbeda. Iman adalah proses dinamis yang didasarkan pada interaksi tiga faktor: Kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan rasa syukur atas karunia Allah; bertobat atas pelanggaran dan kesalahan kita; dan mencari keridhaan Allah dan kedekatan dengan-Nya karena kita mencintai-Nya. Iman tak buta seperti apa yang diharapkan dunia materialistis. Iman harus mampu melihat lebih dari apa yang tak bisa dideskripsikan oleh materi atau dilihat dengan mata kepala, melainkan yang jelas tampak oleh mata-hati.
Diceritakan bahwa dalam pertempuran hebat melawan Jerman, seorang prajurit meminta izin kepada komandannya pergi ke tanah tak bertuan, untuk membawa kembali jasad rekannya yang telah roboh selama pertempuran. Sang komandan berusaha berunding dengan prajuritnya dan berkata, “Lihat, ia telah gugur. Apa gunanya mempertaruhkan nyawamu mengembalikan jenazahnya?' Namun sang prajurit bersikeras dan gigih sehingga pada akhirnya sang komandan menyerah dan memerintahkan pasukannya agar menghentikan tembakan sementara sang prajurit keluar menjemput jenazah rekannya. Beberapa menit kemudian, ia kembali tanpa cedera, bersama jasad rekannya. Sang komandan bertanya, ‘Jadi, layakkah engkau pertaruhkan nyawamu itu? Sedangkan apa yang engkau bawa telah gugur?' Sang prajurit menjawab, ‘Ya Pak. Masih layak, karena saat aku menemukannya, ia masih hidup dan berkata kepadaku, "Aku tahu, engkau 'kan datang untukku." Ia sedang menungguku dan ia menutup-mata dalam rangkulanku. Ya Pak, masih pantas.'
Iman, tidaklah buta. Ia melihat apa yang tak dapat dilihat oleh mereka yang tak beriman. Ia melihat melalui lensa cinta, pengabdian, rasa-syukur atas pertolongan yang diterimanya - tanpa alasan apapun. Iman adalah kerinduan bersama orang yang dicintai. Iman menerangi jalan gelap kekecewaan pada akhir upaya yang melelahkan, karena ia tahu bahwa keberhasilan dan kegagalan di jalan ini, tak diukur dalam ukuran jarak, namun oleh kemauan untuk berdiri dan berupaya menggapai ridha-Nya, Dia Yang mengetahui apa yang ada di dalam qalbumu. Iman adalah senyum di wajah orang yang berjalan ketika semua orang lain memalingkan muka, karena ia mendengarkan suara yang tak dapat mereka dengar. Saat ia berjalan, yang lain berhenti, melihat dan bertanya-tanya; kemudian perlahan-lahan mereka berbalik dan bergabung dengannya sampai ada sebuah kafilah. Mereka mengikutinya karena ia memberi mereka makna dan mereka menemukan kepuasan-diri. Iman, dalam bahasa Islam, termanifestasikan dalam bentuk Tawakkal. Tawakkal adalah hasil dari taubat, sabar dan syukur, serta cinta kepada Allah.

Kisah yang paling kuat tentang Tawakkal dari Sirah adalah pada awal kenabian dimana Baginda Nabi (ﷺ) berdiri di puncak bukit Safa dan berseru, 'Wa Subaha!' Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, radhiyallahu 'anhu," Ketika ayat, 'Dan berikanlah peringatan..." - diwahyukan, Rasulullah (ﷺ) naik ke Safa dan mulai berseru, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani `Adi!" Memanggil berbagai suku Quraisy hingga mereka berkumpul. Mereka yang tak dapat datang mengirim wakil mereka untuk melihat apa yang terjadi. Abu Lahab, salah seorang paman Rasulullah (ﷺ) dan orang-orang lain dari kaum Quraisy, berdatangan. Baginda Nabi (ﷺ) kemudian berkata, “Seandainya aku memberitahu kalian bahwa ada pasukan musuh di lembah yang bermaksud menyerang kalian, akankah kalian mempercayaiku?” Mereka berkata, “Ya, karena kami tak menemukanmu berbicara selain kebenaran." Baginda Nabi (ﷺ) kemudian berkata," Aku pemberi peringatan kepada kalian tentang hukuman yang mengerikan di Akhirat kelak, jika kalian tak meninggalkan penyembahan berhala dan beribadah kepada Allah tanpa menykutukan-Nya." Abu Lahab berkata kepada Rasulullah (ﷺ)," Semoga tanganmu binasa pada hari ini. Karena inikah engkau mengumpulkan kami? " Maka turunlah Surah al-Lahab.
Allah memerintahkan kita agar bertobat dengan tulus atas dosa-dosa kita. Taubat adalah syarat pertama dari sebuah petunjuk, karena Taubat menunjukkan sikap ingin berubah. Takkan ada perubahan atau koreksi yang dapat terjadi kecuali seseorang sadar akan kebutuhannya. Jadi, ketika kita bertobat, kita menunjukkan bahwa kita telah sadar akan perlunya mengubah sikap dan cara kita. Pelajaran pertama yang Allah ajarkan kepada Nabi Adam dan Hawwa', adalah Taubat. Baik Nabi Adam dan Hawwa', serta Iblis, tak menaati Allah. Namun perbedaannya, terletak pada sikap mereka di saat menyadari kesalahan mereka. Nabi Adam dan Hawwa', segera menyesal dan bertobat, dan berkata,
“Wahai Rabb kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”
Allah memaafkan mereka dan memberi mereka petunjuk, serta menjadikan mereka sumber petunjuk bagi yang lain. Iblis, di sisi lain, tak bertobat dan meminta waktu dan berkata,
“Berilah aku penangguhan waktu, sampai hari mereka dibangkitkan.”
Hari ini, ketika kita diminta meninggalkan jalan keburukan, kita malah meminta waktu. Mari kita renungkan dan lihat sikap siapa yang kita reflesikan; sikap Nabi Adam dan Hawwa' ataukah sikap Iblis? Bersikap keras atas dosa adalah alasan bagi akhir yang buruk (su'ul khatima). Tiada dosa besar dengan Taubat dan tiada dosa kecil dengan peringatan. Bersikap keras atas dosa akhirnya membuat pintu-pintu Hidaya tertutup dan mengundang murka Allah di kepala kita. Dalam Surah Al-An'aam [6]: 44, Allah berfirman tentang orang-orang yang menolak memperbaiki diri dan bersikap keras melakukan dosa,
"Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa."
Setelah memberikan banyak kesempatan untuk memperbaiki diri, ketika kita bersikeras memberontak, Allah menutup pintu-pintu Hidayah. Sebaliknya, Dia membuka pintu semua yang diinginkan oleh sang pemberontak sampai ia tenggelam dalam pemberontakannya, dan kemudian tiba-tiba maut menerpa dirinya dan ia tak punya kesempatan lagi bertobat. Kita memohon kepada Allah agar diselamatkan dari nasib seperti itu.
Allah memperingatkan kita terhadap segala bentuk ketidaktaatan dan dosa. Seseorang tak boleh menganggap dosa sebagai 'kecil' karena setiap dosa adalah tanda ketidaktaatan kepada Allah dan sikap seperti itulah masalah yang sangat gawat. Jadi bukan tindakan spesifik yang perlu diperhatikan, tetapi seluruh masalah sikap kita yang mengarah ke Jahannam. Dari semua dosa, dosa terburuk adalah syirik, dan itulah satu-satunya dosa yang Allah takkan pernah ampuni, jika seseorang mati karenanya. Oleh sebab itu, sangat penting bahwa kita segera ber-Istighfaar dan bertobat, serta langsung meninggalkan segala ketidaktaatan kepada Allah dan yang melawan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ)." Sang musafir muda bertanya, "Berapa lama waktu yang kita miliki sebelum kita perlu melakukan ini?" Sang politisi berkata, "Selama kita berharap hidup!"

Lalu ia melanjutkan, "Langkah kedua adalah bersyukur atas karunia Allah. Hanya ketika seseorang bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya, maka ia bisa puas dan memiliki ketenangan pikiran. Dalam Surah Ibrahim [14]: 7, Allah berfirman tentang rasa syukur,
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
Karunia terbesar untuk bersyukur kepada Allah, adalah kesempatan dan taufiq untuk bertaubat. Apa yang akan kita lakukan jika pintu Taubat tak dibuka oleh Allah? Semakin seseorang berterima kasih kepada Allah atas karunia-Nya, semakin ia menyadari mereka dan semakin ia mencintai Allah. Bersyukur meningkatkan kesadaran seseorang tentang keagungan dan kemuliaan Allah, dan fakta bahwa Sang Pencipta dan Pemilik langit dan bumi ini, telah bersikap baik kepadanya. Berkah syukur terbesar adalah kenikmatan yang lebih besar dari apa yang diberkahi seseorang dan hukuman pertama dari tak bersyukur adalah bahwa nikmat berkah itu, diambil, dan seseorang tak menikmati apa yang dimilikinya, serta menjalani kehidupan dengan rasa sakit yang ditanggungnya sendiri.
Tentang Syukur, Allah telah mewahyukan dengan jelas bahwa bersyukur kepada-Nya adalah hak-Nya atas kita dan Dia akan membalasnya dengan menambahkan karunia-Nya. Ayat pertama Al-Qur'an setelah Bismillah adalah ayat Syukur: Alhamdulillahi Rabbil 'alamin (segala puja dan puji kepada Allah, Rabb alam semesta). Allah tak hanya menyebutkan manfaat mengekspresikan rasa syukur, Allah juga menyebutkan masalah bagi yang tak melakukannya dan benar-benar tak tahu berterima kasih, yang dengannya, Dia menggunakan kata Kufur (Menyangkal). Dan bagi orang-orang seperti itu, Dia memperingatkan hukuman-Nya.
Suatu hal yang menarik diperhatikan, bahwa Allah berjanji kepada mereka yang bersabar, pahala dan pertolongan-Nya adalah Syukur. Sabar dan Syukur, karenanya saling terkait. Dalam Surah al-Baqarah [2]: 153, Allah berfirman,
"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar."
Dan juga, dalam Surah Al-Anfal [8]: 46, Allah berfirman,
"Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar."
Bergandengan tangan dengan Syukur adalah Sabar. Konsep Sabar adalah unik dalam Islam, karena bukan apa yang biasanya dipahami oleh kesabaran, yaitu menanggung kesulitan dalam keheningan. Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, kesabaran bukan sekadar penerimaan fatalistik atas apapun yang terjadi. Ini berjuang di jalan Allah dengan segala daya dan kekayaan seseorang, dan kemudian menyerahkan hasilnya kepada-Nya. Allah menggunakan kata 'sabirun' yang bermakmna 'mujahidun' di beberapa tempat. Seorang mujahid, tak hanya duduk dan menunggu bantuan Allah datang. Ia berjuang di jalan Allah dengan semua yang ia miliki dan kemudian ia berdoa memohon bantuan. Jelas seseorang yang bertempur dalam pertempuran, tak duduk diam menanggung kesulitan. Ia sepenuhnya hidup, sibuk, berpikir, merencanakan dan melakukan upaya terbaik yang bisa ia lakukan untuk memenangkan pertempuran. Tetapi pada akhir usahanya, ia berdiri di hadapan Rabb-nya dan memohon pertolongan-Nya, karena ia tahu bahwa tanpa bantuan itu, ia tak memperoleh apapun.
Sabar adalah tindakan; untuk melakukan upaya terakhir dan kemudian bergantung kepada Allah. Perwujudan dari konsep Sabar ini adalah tindakan Baginda Nabi (ﷺ) di Pertempuran Badar, dimana setelah membuat semua persiapan yang bisa beliau lakukan, menggunakan sumber daya dari kemampuan terbaiknya, kemudian berdiri di depan Rabb-nya dan menjadikannya doa yang sangat dikenal. Baginda Nabi (ﷺ) berdoa tanpa henti, memohon pertolongan Allah dan bersabda,
"Ya Allah! Orang Quraisy yang sombong dan angkuh, sudah ada di sini menantang-Mu dan mendustakan Utusan-Mu. Ya Allah! Aku menunggu kemenangan dari-Mu, yang telah Engkau janjikan kepadaku. Aku bermohon pada-Mu untuk mengalahkan mereka. Ya Allah! Jika umat ini dikalahkan hari ini, tiada yang 'kan tersisa untuk menyembah-Mu di muka bumi."
Beliau terus memanggil Rabb-nya, mengulurkan tangan dan menghadap kiblat, sampai jubahnya jatuh dari bahunya. Kemudian Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, datang, mengambil jubahnya, dan meletakkannya kembali di pundaknya dan berkata, “Wahai Rasulullah, engkau sudah cukup banyak menyeru kepada Rabb-mu. Dia pasti akan memenuhi apa yang telah Dia janjikan padamu.”
Seketika, jawaban dari Allah, yang mengutus para malaikat dari langit untuk menolong Rasul-Nya (ﷺ) dan para Sahabat. Allah mewahyukan,
"Sesungguhnya Aku bersamamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukullah di atas leher mereka dan pukullah tiap-tiap ujung jari mereka." [QS.8:12]
“Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”[QS.8:9]
Baginda Nabi (ﷺ) bersandar pada sesuatu yang dibuat untuknya dan ia sedikit tertidur, kemudian mengangkat kepalanya dengan gembira sambil berseru, "Wahai Abu Bakar, kabar gembira untukmu, kemenangan Allah telah mendekat. Demi Allah, aku bisa melihat Jibril di atas kudanya di tengah badai pasir." Beliau kemudian keluar dengan mengucapkan,
"Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang." [QS.54:45]
Atas petunjuk malaikat Jibril, alaihissalam, Baginda Nabi (ﷺ) mengambil segenggam pasir dan kerikil, melemparkannya ke arah musuh dan berkata, "Kebingungan menguasai wajah mereka!" Saat ia melemparkan debu, badai pasir yang hebat meledak bagai ledakan tungku, ke mata sang lawan. Sehubungan dengan ini, Allah berfirman,
"... dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar..." [QS.8: 17]
Catatan-catatan Hadis mengutarakan dengan fasih tentang fakta bahwa para malaikat muncul pada hari itu dan berperang di pihak kaum Muslimin. Ibnu Abbas, radhiyallahu 'anhu, berkata, “Sementara pada hari itu, seorang Muslim mengejar orang yang tak beriman dan ia mendengar darinya hentakan cambuk dan suara pengendara berkata:‘ Majulah Haizum!’. Ia melihat tentara musuh telah jatuh di punggungnya, terpenggal. Seorang Ansar mendatangi Baginda Nabi (ﷺ) dan menceritakan kejadian itu kepadanya. Rasulullah (ﷺ) menjawab, ‘Engkau telah berkata benar. Inilah pertolongan dari langit ketiga.” Dalam perang Badar, baginda (ﷺ) memperlihatkan lambang perintah Al-Qur'an untuk mengambil bantuan Sabar dan Shalat ketika dihadapkan dengan kesulitan. Beliau membuat semua persiapan dan kemudian bermohon kepada Rabb-Nya.

Saat seseorang bertobat dan ber-Istighfar, serta terus-menerus bersyukur kepada Allah atas rahmat-Nya, wajar saja bahwa seseorang mulai mencintai Allah. Namun cinta Allah tidaklah sama dengan jenis cinta lain yang mungkin kita rasakan. Cinta Sang Pencipta adalah ibadah, dan ada aturannya sendiri. Ia bukan sesuatu yang diungkapkan atau diakui dengan cara apapun yang kita suka. Orang-orang yang mencintai Allah, selalu taat sepenuhnya kepada-Nya dan tak pernah menggunakan apa yang telah Dia berikan terhadap-Nya dalam ketidaktaatan. Menggunakan apa yang Allah berikan kepada kita - hidup, waktu, kekuatan, kekayaan, pendidikan, kekuasaan, dan pengaruh kita - dalam ketidaktaatan pada-Nya adalah salah satu dari banyak cara mengungkapkan kekufuran. Itulah sebabnya mengapa cara mendekat kepada Allah adalah dengan memperbanyak sujud. Sujud adalah simbol ikon Muslim dimana ia menyerahkan diri sepenuhnya, tanpa syarat dan ketentuan, kepada Allah. Itulah sebabnya, bersujud diharamkan terhadap siapapun selain Allah - karena seorang Muslim tak diperbolehkan menyerahkan diri dan menampilkan dirinya sedemikian rupa, tanpa daya kepada siapapun selain Penciptanya. Melakukan hal itu, bertentangan dengan martabat manusia dan pengingkaran terhadap kebenaran - bahwa hanya Allah-lah yang pantas atas kepatuhan seperti itu. Semua ibadah hanya untuk Allah, tiada yang layak disembah selain Dia."
Sang musafir muda bertanya, "Bagaimana caranya agar Allah mencintai kita?" Sang politisi berkata, "Allah memberi jawaban langsung ketika Dia berfirman kepada Baginda Nabi (ﷺ), "Katakanlah (Muhammad),
“Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."[QS.3: 31]
Cara untuk mengekspresikan cinta kita kepada Sang Pencipta adalah dengan taat kepada-Nya dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya (ﷺ). Dan ketika kita melakukan ini, maka Allah akan mencintai kita. Itulah kuncinya. Agar Allah mencintai kita. Jalan menuju cinta Allah dan hubungan dengan-Nya adalah melalui kepatuhan kepada-Nya dan dengan mengikuti Sunnah Rasul-Nya (ﷺ). Seharusnya tiada keraguan dalam pikiran kita tentang ini. Jika ada yang percaya bahwa ia dapat mendurhakai Allah atau mengabaikan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ) atau melawan Sunnah Nabi (ﷺ) dan masih dapat memiliki hubungan dengan Allah, ia hanya membodohi dirinya sendiri. Allah menyebutkan cinta untuk-Nya yang menggantikan segala sesuatu yang lain sebagai tanda orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman mencintai Allah lebih dari siapapun dan apapun, dan itu diungkapkan oleh kepatuhan penuh mereka kepada-Nya. Dia berfirman,
"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zhalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal)." [QS.2: 165].
Allah menyebutkan posisi orang-orang beriman ketika mereka mendengar perintah Allah. Dia berfirman,
"... Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Rabb kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali”." [QS.2: 285]
Dan Allah juga menyebutkan mereka yang memperturutkan hasrat dan angan-angan mereka sendiri dibandingkan menaati perintah-Nya dan berfirman,
"Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Akankah engkau menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya." [QS.25:43-44].
Benang-merahnya telah tampak dengan jelas. Kitalah yang hendaknya membuat pilihan. Allah berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang dekat dengan-Nya,
"Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS.16: 128]
Dan Dia berfirman kepada mereka yang mengaku mencintai-Nya dan ingin dekat dengan-Nya,
"Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." [QS.3: 31]
Allah menciptakan dunia yang terhubung dimana perbuatan kita memiliki dua jenis konsekuensi: manfaat atau bahaya dalam kehidupan ini, dan pahala atau adzab di akhirat. Setiap perbuatan menghasilkan dua jenis konsekuensi ini. Yang satu di kehidupan ini dan yang satu lagi di akhirat. Perhatikan bahwa hanya ketika Allah mencintai seorang hamba, cinta untuknya diperlihatkan di dunia dan semua ciptaan. Dan ketika Allah membenci seorang hamba, kebencian terhadapnya diperlihatkan di muka bumi dan semua ciptaan. Orang-orang mencintai, menghargai, dan menghormati kita, atau membenci, mendendam, dan tak menghormati kita, berdasarkan ridha atau tidakkah Allah kepada kita.
Atas otoritas Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, yang meriwayatkan bahwa Baginda Nabi (ﷺ) bersabda,
"Jika Allah mencintai seorang hamba-Nya, Dia memanggil Jibril dan berfirman,' Aku mencintai si Fulan, maka cintailah ia." Baginda (ﷺ) bersabda, "Maka Jibril pun turut mencintainya. Kemudian Jibril berseru di langit, menyerukan, 'Allah mencintai si Fulan, karenanya, cintailah ia.' Dan penduduk langit pun mencintainya." Baginda (ﷺ) bersabda, "Maka diturunkanlah rasa-cinta kepadanya di seluruh permukaan bumi. Dan jika Allah tak menyukai seorang hamba-Nnya, Dia memanggil Jibril dan berfirman, 'Aku tak menyukai si Fulan, maka bencilah padanya.' Maka Jibril pun turut membencinya. Kemudian Jibril menyeru para penghuni langit, 'Allah tak menyukai si Fulan, maka bencilah padanya.' Baginda (ﷺ) bersabda," Maka merekapun membencinya, dan diturunkanlah rasa ketidaksukaan padanya di seluruh permukaan bumi. " [Imam Muslim, Al-Bukhari, Malik, dan at-Tirmidzi]
Atas otoritas Abu Hurairah, yang meriwayatkan bahwa Baginda Nabi (ﷺ) bersabda,
"Allah berfirman, 'Barangsiapa yang menunjukkan permusuhan kepada seseorang yang mengabdi kepada-Ku, Aku akan memeranginya. Tiadalah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-cintai daripada tugas-tugas keagamaan yang telah Ku-perintahkan kepadanya, dan hamba-Ku terus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah nawafil sehingga Aku mencintainya. Saat Aku mencintainya, Aku-lah, pendengarannya, yang dengannya ia mendengarkan; penglihatannya, yang dengannya ia melihat; tangannya, yang dengannya ia menggayung; dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta sesuatu pada-Ku, pastilah 'kan Ku-berikan padanya, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, pastilah 'kan Ku-berikan perlindungan itu. Aku tak ragu tentang apapun seberat keberatan-Ku mengambil nyawa hamba-Ku yang setia: ia membenci kematian dan Aku benci menyakitinya. " [Hadits Qudsi, oleh Imam Al-Bukhari]
Jika engkau renungkan, Baginda Nabi (ﷺ) punya beberapa pilihan untuk memperkenalkan Islam kepada komunitasnya. Beliau bisa saja mengklaim hak superioritas suku dan kebangsawanan. Beliau berasal dari bangsawan paling mulia - Bani Hasyim suku Quraisy. Jadi, beliau bisa berusaha menetapkan dirinya sebagai pemimpin suku utama dan kemudian memperkenalkan Islam. Atau, beliau bisa saja menempuh rute reformis sosial. Mekah adalah tempat yang ditandai dengan kejahatan sosial yang berlebihan, penindasan dan dosa. Baginda Nabi (ﷺ) juga dapat bersuara menentang mereka, berusaha mendapatkan dukungan dan kemudian memperkenalkan Islam sebagai doktrin yang menjadi dasar gerakan reformis sosialnya. Akhirnya, Baginda Nabi (ﷺ) juga bisa memperkenalkan Islam sebagai agama alternatif, cara baru dalam memandang berbagai hal, teori baru - sama dengan segala sesuatu yang ada, cara alternatif untuk sampai pada kebenaran, jalan lain menuju Roma. Bukan sebagai satu-satunya jalan menuju Jannah, satu-satunya jalan menuju keselamatan, satu-satunya agama kebenaran dimana yng lain takkan diterima oleh Allah pada Hari Kiamat. Baginda Nabi (ﷺ) bisa menampilkan Islam sebagai salah satu dari banyak teori dan mode zaman baru, yang berputar di zaman ini, yang dalam masyarakat politeistis, mendapat penerimaan yang luas.
Namun, beliau tak melakukan hal semacam itu. Baginda Nabi (ﷺ) tak menggunakan salah satu alternatif yang tersedia baginya, tetapi berdiri dengan jelas dari segalanya dan mengumumkan kepada kaumnya, 'Tinggalkan penyembahan berhala dan sembahlah Allah tanpa menyektukan-Nya atau bersiaplah dihukum saat kalian bertemu Allah.' Dengan metode seruan ini, dengan sekali pukulan, Baginda Nabi (ﷺ) berhasil membuat benci semua orang di Mekah karena secara ideologis, beliau menyerang agama mereka dan menunjukkan sifat khayalinya. Mitologinya sangat menonjol; sebuah mitos. Dan beliau memperkenalkan konsep pertanggungjawaban kepada Allah yang tiada yang dapat disembunyikan dari-Nya. Bukan pemikiran yang nyaman bagi mereka yang terbiasa melakukan apa pun yang mereka sukai berdasarkan kekayaan dan kekuatan pribadi mereka. Orang kaya dan berkuasa sepanjang masa, tak pernah berbaik hati dengan pemikiran bahwa mereka akan dipanggil untuk bertanggung jawab kelak, dan harus membayar atas perbuatan mereka. Semua hal ini sangat asing dan berseberangan bagi orang-orang Mekah pada umumnya, dan kaum Quraisy khususnya, sehingga mereka langsung memberontak. Orang-orang Quraisy secara khusus terpengaruh karena mereka adalah kelas imam, pemelihara Ka'bah tempat mereka menyimpan 350 berhala; pemujaan yang, terutama saat musim Haji tahunan, menjadi sumber pendapatan utama bagi mereka.
Pesan Baginda Nabi (ﷺ) itu, mengancam bukan hanya keyakinan mereka, melainkan jauh lebih penting di mata mereka, perekonomian, dan bahwa mereka tak bisa menanggungnya. Jadi, mereka memerangi beliau, dengan gigih dan ganas. Satu-satunya cara untuk memahami mengapa Baginda Nabi (ﷺ) memilih cara khusus ini untuk mengabarkan Islam adalah, dengan merujuk pada Al-Quran dan melihat apa yang dilakukan oleh semua Nabi Allah, alaihimussalam. Mereka semua melakukan hal yang sama. Mereka mengumumkan pesan mereka dengan jelas dan langsung tanpa berbelit-belit atau menyamarkannya dengan cara apapun. Mereka tak meminta imbalan, baik finansial, sosial ataupun politik. Mereka bertindak karena tak takut kepada siapapun selain Allah, dan tak meminta imbalan dari siapapun nelainkan dari Allah. Keterusterangan dalam berdakwah dan mengajar yang tanpa imbalan materi ini, adalah ciri khas dari para Nabi sepanjang masa. Rasulullah (ﷺ) hanya mengulangi apa yang selalu dilakukan saudara-saudara beliau, para Nabi, selama berabad-abad, selama umat manusia membutuhkan tuntunan. Sampai hari ini, para pewaris para Nabi - orang-orang berilmu yang membawa firman Allah ke seluruh umat manusia - juga mengikuti metode yang sama. Mereka berbicara dengan jelas dan langsung, dan mereka juga bekerja tanpa mengharapkan atau menerima upah. Siapapun yang mengubah metodologi ini, telah melepaskan diri dari tradisi turun-temurun para Nabi dan dari bantuan Allah yang menyertainya.

Pada awal dakwah Islam, setiap kali engkau berpikir tentang keimanan Baginda Nabi (ﷺ) yang kuat, bernas, abadi, dan tak tergoyahkan, semuanya menggambarkan ketergantungan sepenuhnya pada Allah agar sukses, dimana beliau hanya melakukan apa yang diperintahkan kepadanya untuk dilakukan. tanpa membiarkan apapun, termasuk penilaiannya sendiri, merintangi jalan yang diperintahkan kepada beliau. Allah telah memerintahkan beliau untuk memperingatkan kaumnya. Dan itulah yang beliau lakukan. Bukanlah sesuatu yang buruk atau salah tentang menggunakan akalmu sendiri, tetapi bagi orang yang menerima Wahyu, tak ada pilihan selain mengikuti apa yang beliau terima tanpa pertanyaan. Logika yang sama berlaku bagi mereka yang menanggung Wahyu hari ini - umat Islam - yang beriman pada apa yang diwahyukan, dalam kebenarannya, peruntukannya bagi semua orang, sumber Ilahi dan penerapannya yang takkan berubah sampai akhir zaman. Kita melakukan apa yang diperintahkan kepada kita untuk dikerjakan, tanpa pertanyaan, tanpa mengubah atau menukar pesan itu dengan cara apapun. Itulah yang menunjukkan integritas diri kita. Inilah yang membedakan umat Islam dengan mereka yang juga menerima wahyu di hadapan mereka - karena mereka berubah dan menafsirkan dan menukarkan, hingga Wahyu itu kehilangan kualitas Ilahi dan Firman Allah menjadi firman manusia. Umat Islam selama berabad-abad tak pernah melakukannya.
Seluruh periode Kenabian di Mekah selama 13 tahun adalah periode kekecewaan demi kekecewaan, kegagalan demi kegagalan. Jika seseorang mencari tanda-tanda material keberhasilan potensial, tak ada. Bagaimana kemudian Baginda Nabi (ﷺ) masih melanjutkan misinya, energi dan komitmennya tak berkurang, berdiri di malam hari dan terhubung dengan Rabb-Nya, dan bekerja sepanjang hari untuk menyampaikan pesannya kepada siapa saja yang akan berhenti untuk mendengarkan - tak peduli mereka menerima atau tidak apa yang beliau sampaikan. Tak peduli bagaimana mereka bereaksi atau apa yang mereka lakukan, beliau tak pernah kehilangan kesabaran, tak pernah marah, tak pernah bereaksi terhadap mereka dan perilaku buruk mereka, dan beliau tak pernah meninggalkan misinya atau bahkan malas sedikitpun dalam menyebarkannya. Baginya dan misinya, tiada akhir pekan, tiada hari libur, tiada jeda - beliau bekerja terus-menerus, siang dan malam tanpa henti. Apakah, selain iman yang lengkap dan total, yang dapat menopang upaya seperti itu? Dan siapa yang selain Utusan Allah (ﷺ) yang dapat memiliki tingkat keunggulan itu? Dalam kehidupan kita, salah satu dari banyak pelajaran penting untuk dipelajari adalah kemampuan untuk mempertahankan upaya dalam menghadapi kekecewaan dan kegagalan yang nyata. Bukanlah yang tercepat, melainkan yang paling tangguhlah, yang memenangkan perlombaan. Kita terlalu mudah menyerah, terlalu mudah berkecil-hati dan terlalu fokus untuk mendapatkan hasil yang terlihat. Kita lupa bahwa Islam masuk ke dalam qalbu, dan bahwa sebagian besar yang masuk itu, tak terlihat."
[Bagian 2]