Senin, 22 Oktober 2018

Sebuah Pesan dan seorang Pemimpin (2)

Sang politisi melanjutkan, "Baginda Nabi (ﷺ), dengan kepastian absolut, yakin akan pesan yang dibawanya; kebenarannya, kepentingan dan kekritisannya, bagi kesejahteraan semua umat manusia. Inilah tujuan yang luar biasa. Pada masa awal Islam di Mekah, dimana tak seorangpun yang mendukung beliau, dan Baginda Nabi (ﷺ) mendakwahkan pesannya hampir sendirian.
Di puncak musim panas dan tengah hari, sangat terik dan menyengat. Seorang lelaki keluar-masuk dari tenda ke tenda, menyeru manusia menyembah hanya Allah dan memperingatkan mereka agar tak menyembahan berhala. Ada yang mendengarkan, lalu berpaling. Yang lain langsung menolaknya. Yang lain lagi, secara fisik mendorongnya. Tak ada yang mau menerima pesannya. Di bawah teriknya matahari, lelaki itu berhenti di dekat sebuah batu di samping tendanya untuk beristirahat. Putrinya keluar dari tenda, membawa air dan membasuh wajah ayahnya dan memberinya air minum. Ia sangat sedih melihat keadaannya dan berkata, ‘Wahai Ayah, apa yang telah mereka lakukan padamu?" Sang lelaki menjawab, "Jangan sedih putriku. Kelak, pesan ini akan mencapai setiap tempat tinggal sementara atau permanen di muka bumi ini.' Jika tak ada bukti lain dari Misi Ilahi Baginda Nabi (ﷺ), kisah ini akan menjadi bukti yang cukup dalam dirinya sendiri. Siapakah selain Utusan Allah (ﷺ) yang punya keberanian, ketabahan, dan ketekunan untuk melanjutkan misi ketika tak ada bukti material yang menunjukkan bahwa misinya akan berhasil? Siapakah selain seseorang dengan kepastian total, dalam nilai misi dan keyakinannya, bahwa pada akhirnya misinya akan berhasil, ia dapat menemukan energi untuk terus maju dalam menghadapi kekecewaan demi kekecewaan? Siapakah selain seorang Nabi yang berbesar-hati menerima penolakan demi penolakan, namun tak goyah dalam menyampaikan pesannya kepada orang banyak, yang tak menunjukkan tanda-tanda menghargai atau menginginkannya? Mungkin mengejutkan bagi sebagian orang merefleksikan sifat dari tujuan ini, sebagaimana diungkapkan oleh pernyataan Baginda Nabi (ﷺ) kepada putrinya ketika beliau berkata, ‘Jangan sedih putriku. Kelak, pesan ini akan mencapai setiap penghuni sementara atau permanen di muka bumi.' Di sini, ada seorang lelaki, yang berbicara tentang pesannya, yang menjangkau setiap tempat tinggal sementara dan permanen di muka bumi, saat ia bahkan tak bisa mendapatkannya sendiri. Di sini, ada seorang lelaki, yang berbicara tentang membebaskan dunia, ketika ia bahkan tak dapat menjamin kebebasannya sendiri. Di sini, ada seorang lelaki, yang memperhatikan kesejahteraan umat manusia, dari orang asing yang tak peduli. Tapi kemudian, itulah sifat dari tujuan luar biasa yang menginspirasi upaya luar biasa. Orang takkan naik ke tingkat harapan yang lebih rendah. Mereka naik ke tingkat harapan yang lebih tinggi. Pendaki yang berdiri di base-camp Mount Everest, tak perlu kuliah motivasi. Gununglah yang memotivasinya. Pikiran tentang kegembiraan yang akan ia rasakan ketika ia akhirnya menyentuh punggung terakhir dan berdiri di puncak, memotivasinya saat ia masih berdiri di pangkalan dan terus memotivasi dirinya saat ia melewati detik demi detik upaya yang melelahkan. Kesulitan pendakian itulah yang menjadi motivasinya. Lagi pula, tanyakan pada dirimu, seberapa motivasimu berjalan sejauh 11 km dari rumahmu? Mendaki Everest, tak diragukan lagi, berjalan di bumi tetapi dengan kemiringan yang menambah nilai. Kepuasan pada pencapaian suatu tujuan berbanding lurus dengan kesulitannya.

Apa yang lebih sulit dibandingkan berbicara tentang perubahan revolusioner, bukan hanya perubahan setapak demi setapak, tetapi jauh lebih bermakna dan mendalam - perubahan sebuah keyakinan. Sangat penting memahami tantangan besar yang ditimbulkannya, karena semua tindakan inilah hasil dari keyakinan. Orang bertindak sesuai keyakinan mereka, sadar atau tak sadar. Sebagai contoh, orang dapat bertindak sesuai dengan keyakinan agamanya, secara sadar dan mempraktikkan hal-hal tertentu dan mereka bertindak sesuai dengan keyakinan mereka bahwa tindakan tertentu menguntungkan dan berinvestasi di dalamnya. Di sisi lain, seseorang bangun dan pergi bekerja karena keyakinannya yang tak sadar bahwa ia akan hidup hari itu dan hari berikutnya, dan bahwa dunia takkan berakhir. Jadi, keyakinan membentuk dasar dari semua pemikiran dan tindakan kita. Menentang sebuah sistem dan menyampaikan bahwa sistem itu salah, dan bahwa sistem itu akan mengarah pada adzab yang kekal, tidaklah mudah. Namun keyakinan Baginda Nabi sendiri (ﷺ) terhadap kebenaran pesannya, qadarullah, sehingga tak ada yang menghalanginya untuk menyampaikannya kepada masyarakat. Diriwayatkan, bahwa beliau pergi ke rumah Abu Jahal, salah seorang musuh terjahatnya, lebih dari 100 kali, dengan harapan bahwa ia akan menerima pesan Islam. Siapakah selain seorang Nabi yang akan bekerja untuk menyelamatkan seseorang yang sekuat tenaganya mengerjakan hal yang membahayakan?
Hal lain tentang berupaya mencapai tujuan luar biasa adalah, bahwa pekerjaan itu sendiri, pelatihan. Seperti yang dikatakan orang-orang Arab, "Jika tak mematahkan punggungmu, ia akan menguatkanmu." Begitu juga dalam upaya mencapai tujuan yang luar biasa, seseorang akan menjadi kuat. Ini termasuk Baginda Nabi (ﷺ) dan para Salaf. Segala rintangan, siksaan dan hukuman, hanya membuat mereka, dan hubungan mereka dengan Allah, lebih kuat, dan menjadikan mereka lebih tangguh. Tujuan luar biasa membuat upaya terasa berharga. Jika itu layak dilakukan, maka itu sepadan dengan usaha. Dan apa yang bisa lebih layak dari segala upaya dan pengorbanan dibandingkan upaya untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari Jahannam dan memasukkan mereka ke Jannah? Baginda Nabi (ﷺ) dan para Sahabat, radhiyallahu 'anhum, melihat apa yang kita sebut pengorbanan sebagai investasi mereka untuk mendapatkan keridhaan Allah, dan karenanya, memungkinkan bagi mereka, mengerjakannya tanpa ragu-ragu."

Sang politisi terdiam, lalu berkata, "Kita telah menyebutkan dua karakteristik seorang Pemimpin. Pertama, Iman yang luar biasa, dan kedua, Tujuan yang luar biasa. Jadi, selanjutnya adalah Komitmen yang luar biasa. Hanya ketika seseorang menyadari, hasil yang mereka dapatkan, bersumber dari sesuatu yang telah mereka berkomitmen untuknya. Bagi Rasulullah (ﷺ), hal ini takkan pernah diragukan sedikit pun. Namun pencapaian utamanya, membangun generasi yang berbagi komitmen dan membuktikannya sampai batas akhir, bila perlu mengorbankan nyawa mereka untuk tujuan itu. Beliau mampu melakukan ini dengan memberikan teladan pribadi yang tak diragukan lagi dalam benak siapapun, tentang sejauh mana komitmennya sendiri terhadap pesan Islam; menjalaninya dan menyebarkannya. Tak hanya Baginda Nabi ( ﷺ) yang menunjukkan komitmen ini, tetapi begitu juga para Sahabat yang mempelajari pelajaran ini dengan sangat baik dari beliau. Ada banyak contoh didalam Sirah yang menunjukkan tingkat komitmen ini.
Selama Perang Badar, saat mereka mendekat ke sumur Badar dimana pertempuran akan terjadi, para Sahabat tak bersenjata lengkap. Mereka tak siap menghadapi perang total dan hanya akan mengambil alih kafilah Abu Sufyan, yang kembali dari Syam dengan barang-barang yang dibeli dari harta-benda para Muhajirin, yang disita. Hanya ada 2 kuda dan 70 unta dalam kelompok itu. Tiga orang secara bergantian naik satu unta. Baginda Nabi (ﷺ) meminta Ali bin Abi Thalib dan Ulubaba, radhiyallahu 'anhum, menemani beliau. Mereka menawarkan unta kepada beliau, dan beliau berkata, “Kalian tak lebih kuat dariku, lagipula aku butuh pahala sebanyak yang kalian inginkan.” Kepemimpinan beliau, tampil terdepan, dan beliau selalu menunjukkan tingkat komitmen yang sama, atau paling tidak, lebih tinggi dari yang beliau tuntut dari umatnya.

Selama Ghazwatul Khandaq, Baginda Nabi (ﷺ) bermusyawarah untuk bertukar pikiran tentang strategi pertempuran. Salman Al Farisi, radhiyallahu 'anhu, yang berasal dari Persia berkata, ‘Di negeriku, jika kami takut pada pasukan berkuda, kami menggali parit. Mengapa kita tak melakukannya di sini? " Baginda Nabi (ﷺ) setuju dan mereka memutuskan menggali parit ke arah Utara Madinah yang rentan. Di Timur dan Barat Madinah, dilindungi oleh Al Harra (jalur vulkanik) dan di Selatan, perkebunan kurma yang sulit ditembus. Setiap 10 orang bertugas menggali parit 40 kaki. Kaum Muslimin miskin, lapar, dan lemah. Anas bin Malik, radhiyallahu 'anhu, mengisahkan, bahwa pada suatu malam yang dingin, Baginda Rasul (ﷺ) menjumpai mereka dan ketika beliau melihat keadaan mereka, beliau berdoa dan berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya semua ini untuk Hari Akhirat. Ya Allah, ampunilah para Muhajirin dan Ansar.' Tidaklah hilang dalam ingatan para Sahabat, ketika mereka tidur di tempat terbuka dan sangat dingin, pemimpin mereka, tidaklah tidur dengan kehangatan di dalam tendanya atau di rumahnya, tetapi berjalan di antara mereka, mengamati keadaan mereka dan berdoa untuk mereka. Seseorang akan setia kepada yang lain, bukan karena gelar atau pangkatnya.
Al Bara'a, radhiyallahu 'anhu, berkata,' Pada hari Khandaq, aku melihat Rasulullah (ﷺ) mengangkut tanah sampai begitu banyak lumpur di tubuh beliau, hingga aku tak tahan melihat kulitnya lagi.' Inilah teladan dari komitmen Baginda Nabi (ﷺ). Tiada pekerjaan yang beliau anggap pantas untuk dilakukan. Tiada yang beliau perintahkan kepada orang lain untuk dikerjakan, melainkan beliau juga melakukannya sendiri. Bagaimanapun, kepemimpinan selalu tampil terdepan. Orang mengikuti pemimpin, karena pemimpin berjalan di depan mereka. Terkadang kita melupakan ini.
Pada saat itu, Baginda Nabi (ﷺ) sendiri sangat lapar, sehingga beliau mengikat dua batu di perutnya. Jabir bin Abdullah, radhiyallahu 'anhu, melihat keadaan Baginda Nabi (ﷺ) saat mereka menggali parit; setiap orang mengikat satu batu di perut mereka, sedangkan Baginda Nabi (ﷺ), mengikat dua batu. Jabir begegas menemui istrinya dan berkata, ‘Aku tak tahan melihat keadaan Rasuullah (ﷺ). Adakah engkau punya makanan untuk beliau?" Isterinya berkata, "Yang kumiliki hanyalah jelai dan kambing kecil." Maka Jabir bin Abdullah menyembelih kambing itu, dan meminta istrinya membuatkan roti. Sementara daging sedang dimasak, dan istrinya sedang memanggang roti, ia menemui Baginda Nabi (ﷺ) dan berkata, 'Wahai Rasulullah (ﷺ), aku punya sedikit makanan untukmu, silahkan datang membawa satu atau dua sahabat yang lain.' Baginda Nabi (ﷺ) bertanya kepadanya, berapa banyak makanan yang ia punyai, dan Jabir menjelaskannya kepada beliau. Baginda Nabi (ﷺ) berkata, ‘Oh, itu cukup. Katakan pada istrimu, jangan memindahkan sup dari tempatnya sebelum aku datang."
Kemudian Baginda Nabi (ﷺ) berdiri dan berseru, ‘Wahai Muhajirin, wahai Ansar; Jabir mengundang kita ke rumahnya untuk makan.' Jabir terkejut, karena ia mengira Baginda Nabi (ﷺ) datang dengan satu atau dua sahabat, sedangkan sekarang, Baginda Nabi (ﷺ) mengundang semuanya ke tenda. Ia berlari pulang, sangat malu dan memberitahu istrinya apa yang terjadi. Isterinya bertanya, “Bertanyakah beliau, berapa banyak makanan yang kita miliki?” Ia berkata, “Ya.” Isterinya bertanya, “Sudahkah engkau sampaikan kepada beliau?” Ia menjawab, “Ya.” Maka isterinya berkata, “Kalau begitu jangan khawatir, Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) tahu yang terbaik.' Ia berkata, "Kata-kata itulah, yang menenteramkanku."
Baginda Nabi (ﷺ) memasuki rumah Jabir dan mengambil alih pembagian makanan. Beliau memotong-motong roti dan mengeluarkan daging dan sup, serta meminta para Sahabat datang dalam satu kelompok berisi 10 orang. Baginda Nabi (ﷺ) menyiapkan makanan, mengeluarkannya, dan menyajikannya, kemudian mereka memakannya, lalu 10 orang berikutnya, masuk dan makan. Seluruh 800 Sahabat, makan. Ketika Baginda Nabi (ﷺ) kembali lagi ke panci panci itu, semuanya sudah penuh dan roti masih terpanggang. Maka beliau meminta istri Jabir membagi makanan itu untuk tetangganya. Tak mengherankan jika moral umat beliau begitu tinggi. Apa lagi yang engkau harapkan pada seorang pemimpin yang berbagi dengan semua kesulitanmu?

Sebongkah batu besar berdiri di jalur penggalian parit dan tak bisa pecah meski mereka berupaya sekuat tenaga. Maka mereka menemui Baginda Nabi (ﷺ). Beliau pergi bersama mereka dan mengambil beliung dan memukul batu itu, sekali. Terlihat percikan sinar dan beliau bersabda, 'Allahu Akbar.' Kemudian, beliau memukulnya lagi, untuk kedua kalinya, dan percikan sinar muncul lagi, dan beliau bersabda, 'Allahu Akbar.' Kemudian beliau memukulnya untuk yang ketiga kalinya, dan batu itupun hancur-lebur. Salman Al Farisi bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, kilatan apakah itu, dan mengapa engkau mengucapkan Allahu Akbar?' Beliau menjawab, 'Saat pertama kali aku memukulnya, aku diberi berita gembira tentang penaklukan Kekaisaran Romawi, dan aku dapat melihat istana merah Asy-Syam dari sini. Kedua kalinya, aku diberi berita gembira tentang penaklukan Persia dan aku dapat melihat istana putih Al-Kisra. Ketiga kalinya, aku diberi berita gembira tentang penaklukan Yaman dan aku dapat melihat gerbang Sana'a. Itulah sebabnya kuucapkan, 'Allahu Akbar.'

Berbicara tentang komitmen para Sahabat, sebuah kisah yang dapat menggambarkannya dengan sangat baik adalah, ketika Baginda Nabi (ﷺ) menunjuk Ammar bin Yasir dan Abbad bin Bisyr, radhiyallahu 'anhum, sebagai penjaga selama satu ekspedisi. Di antara mereka sendiri, mereka memutuskan bahwa salah seorang akan tidur setengah malam, sementara yang lain tetap terjaga dan kemudian ketika setengah malam selesai, ia akan membangunkan saudaranya. Sekarang giliran Abbad bin Bishr untuk terjaga, dan ia memutuskan untuk mengerjakan Shalat sambil menjaga perkemahan. Seorang pengintai musuh menyelinap di belakang Abbad dan menembakkan panah yang menabraknya dari samping. Abbad terus berdiri dan shalat. Tentara musuh menembakkan panah lain yang juga mengenai Abbad. Namun ia tetap berdiri dan melanjutkan shalatnya seakan tanpa ada gangguan. Musuh menembakkan panah ketiga dimana Abbad membangunkan Ammar. Ketika tentara musuh melihat bahwa Abbad memiliki seorang teman, ia melarikan diri. Ketika Ammar bin Yasir melihatnya dalam keadaan sekarat karena banyak kehilangan darah, ia berkata, "Subhanallah, mengapa engkau tak membangunkanku?" Abbad berkata, "Kalaulah bukan karena orang itu terus menembakkan anak panahnya satu persatu dan aku khawatir bahwa aku bisa mati, dan dengan demikian menggagalkan tanggung jawabku kepada Rasulullah (ﷺ), aku takkan membangunkanmu sampai aku menyelesaikan seluruh bacaanku."
Para Sahabat menjalankan teladan hidup Islami. Kejadian ini menunjukkan kepada kita. tingkat Iman para Sahabat, dimana Abbad bin Bishy benar-benar dapat terus shalat dan mempertahankan Khusyu'nya meskipun 3 anak panah tertancap di tubuhnya. Ini juga menunjukkan pentingnya tanggung jawab kita terhadap Islam. Abbad menggunakan frasa yang berarti, 'Menjaga gerbangku' yaitu mencegah musuh masuk dari gerbang yang kujaga. Inilah tanggung jawab setiap Muslim. Musuh adalah para setan atau siapapun yang ingin menyakiti Islam atau umat Islam. Adalah kewajiban setiap Muslim menggunakan cara apapun yang telah Allah wahyukan, untuk mencegah kerusakan yang terjadi pada Islam atau kaum Muslimin, sertan untuk membantu Islam dan kaum Muslimin dengan cara apapun. Kami takkan ditanya, "Apa yang terjadi?" Kita akan ditanya, "Apa yang telah engkau lakukan?"

Sang politisi berhenti sejenak, mengambil secangkir teh di meja, meminumnya, meletakkannya kembali, lalu berkata, "Karakteristik lain seorang Pemimpin, adalah Tim yang luar biasa. Allah menciptakan generasi-genersi di sekeliling Nabi-Nya, yang menjadi tolok ukur dalam diri mereka sendiri. Telah kusebutkan sebelumnya, adalah kehendak Allah bahwa Baginda Nabi (ﷺ) akan menjadi penutup para Nabi dan karenanya, perlu membuat penerus yang akan membawa pesan ke depan. Merekalah para Sahabat, yang beliau sebut Generasi Terbaik.
Baginda Nabi (ﷺ) memiliki tugas yang sangat berbeda dari Nabi manapun, serta jauh lebih kompleks. Tugas para nabi sebelum beliau adalah menjemput orang-orang yang menerima pesan mereka. Sehingga, mereka punya pengikut. Tugas Nabi kita tercinta (ﷺ), yang akan menjadi Utusan Allah yang terakhir dan penutup para nabi, tak hanya untuk menyampaikan pesannya, melainkan untuk menciptakan generasi manusia yang akan membawa pesannya ke seluruh penjuru negeri. dan selama berabad-abad hingga akhir zaman. Inilah rahmat dari Penutup Kenabian, dimana tugas Dakwah, dilanjutkan oleh umatnya.

Singkatnya, para nabi lainnya, melahirkan pengikut, sedangkan Nabi kita tercinta (ﷺ), melahirkan para pemimpin. Yang pertama di antara para Khalifahnya - Khalafaur Rasyidin - Abu Bakar Siddiq, radhiyallahu 'anhu. Seberapa baik ia mempelajari pelajaran kepemimpinan dari gurunya, Nabi kita (ﷺ), dapat dilihat dalam tindakan pertamanya ketika Baginda Nabi (ﷺ) berpulang. Kita perlu berulangkali mengingatkan diri kita sendiri tentang hal ini, karena tampak sekali bahwa Baginda Nabi (ﷺ) dengan jelas menunjukkan kepada para Sahabat, siapa yang akan menjadi pengganti beliau. Beliau melakukannya dengan pengertian bahwa mereka memahaminya dengan jelas tanpa keraguan dan karenanya, mereka memilihnya. Mereka yang suka mengutarakan keraguan dan menjelek-jelekkan tentang masalah ini, menunjukkan ketidaktahuan mereka sendiri akan kehidupan dan masa Baginda Nabi (ﷺ), atau ada motif tersembunyi mereka yang perlu dipertanyakan.
Bagi Rasulullah (ﷺ) dan para Sahabat, Shalat adalah meteran untuk mengukur segalanya. Shalat-lah penentu kehidupan mereka. Shalat-lah apa yang mereka cari bagi segala kebutuhan mereka. Shalat-lah waktu tenang mereka, waktu mereka dengan Rabb mereka, pengisian-ulang energi mereka. Shalat-lah cara relaksasi mereka, sarana penghilang kesedihan dan sumber kekuatan bagi mereka. Baginda Nabi (ﷺ) biasa memanggil Bilal bin Rabah, radhiyallahu 'anhu, dan memintanya mengumandangkan Adzan untuk Shalat, dengan berkata, ‘Bahagiakan kami dengannya, wahai Bilal!"
Melalui Shalat-lah, Baginda Nabi (ﷺ) memberikan pesan terakhir beliau tentang penggantinya, dan Shalat para Sahabatlah, yang membuatnya begitu bahagia, yang merupakan pemandangan terakhir yang beliau lihat dari dunia luar sebelum beliau bertemu Rabb-nya. Jadi, wajarlah bila Baginda Nabi (ﷺ) mengukur kualitas seseorang itu, juga dalam hal Shalat. Dalam Hadits Jibril yang sangat kita kenal, diriwayatkan, Baginda Nabi (ﷺ) menjawab pertanyaan malaikat Jibril, alaihissalam, sehubungan dengan Al-Ihsan.
Diriwayatkan atas otoritas Yahya bin Ya'muru bahwa ia bertemu Abdullah bin Umar bin al-Khattab, radiallahu anhum, ketika ia memasuki masjid... Ia (Abdullah ibn Umar) berkata, Ayahku, Umar bin al-Khattab, menyampaikan padaku, "Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah (ﷺ). Tiba-tiba, muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tiada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi (ﷺ), lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi (ﷺ) dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi (ﷺ), kemudian ia berkata, “Wahai, Muhammad! Sampaikan padaku tentang Islam.”
Rasulullah (ﷺ) menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tiada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Sampaikan padaku tentang Iman”. Nabi (ﷺ) menjawab, ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Ia bertanya lagi, “Sampaikan padaku tentang ihsan”. Nabi (ﷺ) menjawab, ”Hendaklah, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi, “Sampaikan padaku kapan terjadinya Kiamat?” Nabi (ﷺ) menjawab, ”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Ia pun bertanya lagi, “Sampaikan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi (ﷺ) menjawab, ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi (ﷺ) bertanya kepadaku, “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda, ”Ia adalah Jibril, yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim]
Yang perlu digaris-bawahi tentang Al-Ihsan, adalah ilustrasi terbaik tentang konsep kesempurnaan dalam kehidupan Baginda Nabi (ﷺ) yang beliau praktikkan dan yang beliau wariskan sebagai patokan bagi kita untuk menilai diri kita sendiri. Seperti yang telah kusebutkan, dalam Islam dan dalam ajaran Baginda Nabi (ﷺ), semua hal penting disebutkan dalam istilah agama, namun implikasinya, tak terbatas pada shalat, melainkan diperluas ke dalam setiap aspek kehidupan. Itulah sebabnya, Allah mewahyukan bahwa tak cuma ibadah, melainkan seluruh kehidupan Rasul-Nya (ﷺ), untuk diikuti dan menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Dalam Ayat Al-Qur'an, Allah berfirman,
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." - [QS.33:21]
Islam adalah cara hidup yang lengkap, yang membentang dari Pengakuan Iman (Aqidah) sampai ke Ibadah, sampai ke Perilaku (Akhlaq), bertranskasi (Muamalah) dan bermasyarakat (Mu'asyirah). Jadi, meskipun prinsip dan standar dapat disebutkan dalam hal ibadah, juga mencakup segala aspek kehidupan.
Al-Ihsan, kita terjemahkan sebagai Kesempurnaan, sebagaimana diungkapkan oleh Baginda Nabi (ﷺ) dalam Hadis tersebut, cukup dengan menjalankan seluruh hidup kita, dengan ilmu tertentu. tentang kehadiran Allah dalam hidup kita. Bahwa Dia memperhatikan, akan membantu, akan mengampuni pelanggaran kita, akan mendukung upaya kita dan akan ridha dengan kita. Menjalaninya dengan kesadaran secara terus-menerus dalam setiap aspek kehidupan kita; dalam segala hal yang kita ucapkan atau perbuat. Dalam setiap transaksi yang kita lakukan, dalam setiap percakapan yang kita bincangkan, dalam setiap hubungan yang kita wujudkan. Bayangkanlah, masyarakat macam apa yang akan tercipta, dimana semua orang yang sadar dan peduli tentang fakta bahwa ia bertanggung jawab kepada Dia, Yang tiada yang bisa disembunyikan, dan bahwa suatu hari ia akan dimintai pertanggungjawaban, dan akan dihargai atau dihukum berdasarkan pada seberapa jauh ia menjalani hidupnya? Hal inilah yang akan menjadikan masyarakat dimana, orang akan saling bersaing, bukan dalam hal materi, melainkan untuk saling berbuat baik, saling memenuhi hak dan lebih banyak lagi. Baginda Nabi (ﷺ) menciptakan masyarakat seperti ini, di masa kehidupan beliau.

Kehidupan Baginda Nabi (ﷺ), yang membedakan beliau dari guru-guru yang lain, dimana kehidupan beliau itulah sebagai teladan hidup dari apa yang beliau dakwahkan. Dalam hidup beliau, tiada jarak antara bicara dan berjalan. Beliau melakukan apa yang beliau perintahkan kepada orang lain untuk dijalankan dan merupakan pembawa standar Islam yang hidup, berjalan, dan berbicara. Dalam kehidupan beliau, Islam bukanlah teori atau ideologi atau falsafah, melainkan metodologi tindakan praktis yang hidup nyata. Beliau mengikutinya dalam setiap aspek kehidupan; pribadi, agama, duniawi dan kolektif. Beliau hidup dengan sadar siapa dirinya, dan apa yang beliau wakili, dan para Sahabat mengikutinya.

Sekedar mengutip sebuah contoh dari kehidupan muridnya, Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu. Ketika Khalifatur Rasulillah, Abu Bakar Siddiq, wafat, ia memiliki dua potong kain dan satu bagal. Ia memberintahkan agar ia harus dikafankan dengan salah satu potongan kain itu, dan kain dan bagal lainnya, harus diserahkan kepada Sayyidina Umar, yang akan menjadi Khalifah penggantinya. Ketika ini dilakukan, Sayyidina Umar menangis dan berkata, "Abu Bakar telah menetapkan standar yang sangat tinggi dan membuat sangat sulit bagi Khalifah penerusnya."
Ilustrasi lain: Setiap pagi sebelum Subuh, Abu Bakar Siddiq, radhiyallahu 'anhu, sering pergi ke pinggiran Madinah, ke sebuah perkemahan kecil. Ia memasuki tenda dan menghabiskan waktu di sana, dan kemudian kembali. Setelah ia meninggal, Sayyidina Umar, radhiyallahu 'anhu, memutuskan mencari tahu siapa yang tinggal di sana. Ia pergi ke perkemahan itu, dan menemukan seorang wanita tua yang hampir buta karena usia. Sayyidina Umar bertanya tentang dirinya dan ia menjawab, ‘Aku seorang wanita tua yang tak punya siapapun di dunia ini, dan aku hidup sendirian di sini dengan domba-dombaku. Setiap pagi ada seorang lelaki dari Madinah, yang datang ke sini, menyapu tendaku, memasak makanan, memerah susu domba-dombaku, dan merawat mereka, lalu pergi. Tanpanya dan tanpa bantuan perawatannya, aku takkan dapat bertahan hidup." Sayyidina Umar bertanya, "Tahukah engkau, siapa orang itu?" Sang wanita tua berkata bahwa ia tak tahu siapa orang itu. Ia belum pernah mengungkapkan jati dirinya. Sayyidina Umar berkata, "Ia, Amirul Mukminin, Abu Bakar Siddiq, radhiyallahu 'anhu."
Tak terbayangkan, hidup dalam masyarakat dimana sang penguasa itu sendiri, yang melayani yang lemah dan melarat. Sebuah masyarakat dimana para penguasa tak takut kepada manusia, tetapi takut menjawab kepada Allah tentang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Tentang Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khattab, diriwayatkan bahwa, suatu hari ketika ia menjadi Khalifah. ia datang ke suatu tempat dengan beberapa Sahabat dan berkata, 'Segala puji bagi Allah, Yang Maha Agung dan Dia memberikan kepada siapapun yang Dia kehendaki, apapun yang ia minta. Ada suatu masa, ketika aku menggembalikan unta-unta ayahku. Aku akan datang ke sana dengan unta-unta itu. Ayahku menyibukkanku dengan pekerjaan dan jika aku tak bekerja, ia akan memukuliku. Dan aku terbiasa mengenakan pakaian yang sangat kasar dan kesat. Tetapi, lihatlah aku hari ini, dimana Allah telah mengangkatku sehingga tiada seorangpun, di antara aku dan Allah.'

Abdurrahman bin Auf, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa suatu hari, Umar memanggil para umat ke masjid dan ketika mereka berkumpul, ia berdiri di Mimbar dan berkata, 'Dulu, aku menggembalakan ternak untuk beberapa bibiku, dan ketika aku kembali ke rumah di malam hari, mereka akan memberiku kurma atau kismis, dan aku mengalami hari yang menyedihkan." Ia kemudian turun dari Mimbar. Abdur Rahman ibn Auf berkata kepadanya, ‘Apa gunanya Khutbah ini? Yang engkau lakukan hanyalah meremehkan diri sendiri di depan semua orang. Jadi apa manfaatnya?" Umar berkata, "Celakalah engkau, Ibnu Auf, ego-ku mengatakan kepadaku, "Engkau adalah Amirul Mukminin. Siapa yang lebih baik darimu?" Aku ingin mengajari ego-ku tentang siapa ia sebenarnya." Umar ibnu Al Khattab, tak dapat dibodohi oleh siapapun, termasuk dirinya sendiri.
Abdullah bin Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, menjelaskan tentang para Sahabat dan berkata, "Demi Allah, merekalah yang terbaik dari umat ini. Dan mereka memiliki qalbu yang paling shalih (sebagian besar taqwa). Dan mereka memiliki ilmu yang paling dalam. Dan merekalah yang paling tak dangkal (bukan formalitas).' Ia tak mengatakan 'banyak ilmu' tetapi 'ilmu yang paling dalam'. Ini karena mereka belajar langsung dari Baginda Nabi (ﷺ). Jadi, meskipun para Sahabat, secara individu tak mengetahui hadits sebanyak Imam Bukhari atau Muslim, mereka menjalani hadits tersebut dan menjadi saksi terhadap keadaan hadis tertentu. Merekalah satu-satunya generasi yang benar-benar mendengar ucapan Baginda Nabi (ﷺ) dan tahu mengapa beliau mengatakannya. Mereka ada di sana ketika Al-Qur'an diturunkan dan melihat wahyu diterima. Mereka melihat malaikat Jibril, alaihissalam, dan mendengar suaranya ketika ia datang dalam bentuk seorang lelaki. Para Sahabat bersih, dan hidup mereka sederhana dan suci. Merekalah bangsa yang tak terpengaruh oleh filsafat Yunani atau peradaban orang-orang Persia dan Romawi. Jadi, ketika Islam datang, mereka menerimanya dan mempraktikkannya dalam bentuknya yang suci dan murni, serta tak menambahkan apapun ke dalamnya.
Bahkan sebelum Islam, pada periode Jahiliyyah, merekalah orang-orang sederhana di padang pasir. Bahasa mereka bebas dari kepura-puraan dan ucapan-ucapan berbunga-bunga. Puisi mereka sederhana dan deskriptif, tak alegoris dan simbolis. Mereka tak punya mitologi seperti Hindu atau Yunani dengan banyak filsafat, simbolisme dan argumen yang berbelit-belit. Bahkan ketika mereka menyembah berhala, mereka hanya membungkuk kepada berhala dan memberi qurban untuknya, hanya itu. Tak ada cerita rumit dan pembenaran filosofis. Tak ada mitologi yang terkait dengan mereka.

Ketika mereka menerima Islam, mereka membawa keterusterangan dan kesederhanaan ini ke dalam Dien Islam. Mereka tak terlibat dalam filsafat dan debat. Mereka mengambil Al-Quran dan Sunnah pada nilai-nilainya dan mempraktikkannya dengan tulus dan dengan dedikasi dalam hidup mereka. Mereka tak mencari arti tersembunyi di balik setiap ayat. Mereka mendengar dan mereka patuh. Allah berfirman tentang mereka,
"Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” - [QS.2:285]
Dan Allah berfirman tentang mereka yang mencari makna tersembunyi dan membuat filsafat yang berbelit-belit,
"Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal." - [QS.3:7]
Para Sahabat mempelajari Al-Quran langsung dari yang diturunkan kepada Baginda Nabi (ﷺ). Merekalah satu-satunya generasi yang menyaksikan keadaan setiap wahyu, ayat demi ayat. Mereka tak hanya memahami arti harfiah kata-katanya, namun juga latar-belakang mengapa kata-kata itu diwahyukan. Itulah alasan mengapa pemahaman para Sahabat selalu dianggap sebagai Standar Emas oleh para ulama Islam dalam segala hal yang menyangkut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (ﷺ). Bahkan dalam masalah linguistik, pemahaman para Sahabat tentang kata-kata tertentu, diambil sebagai argumen akhir yang mendukung arti kata itu, sehubungan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.
Itulah sebabnya, mereka dianggap sebagai generasi terbaik sebagaimana disebutkan oleh Baginda Nabi (ﷺ) dalam Haditsnya, dimana beliau bersabda, 'Generasi terbaik adalah generasiku, dan kemudian mereka yang datang setelahnya, dan mereka yang datang setelahnya.' Para ulama Hadits menyatakan bahwa hal ini merujuk kepada mereka secara kronologis dan juga ideologis - yang berarti bahwa Muslim terbaik adalah mereka yang paling dekat dengan Rasulullah (ﷺ) dan para Sahabat, dalam hal keyakinan dan tindakan mereka.

Terjadinya Bid'ah dalam Islam, tidaklah dimulai dari Mekah dan Madinah. Semua filsafat dan teori-teori kompleks yang ada saat ini, dan dimana banyak buku telah dirilis, muncul jauh setelah periode para Sahabat ketika Islam menyebar dan bersentuhan dengan Kristen Koptik dan Hindu. Saat itulah filsafat masuk Islam. Para Sahabat berorientasi pada tindakan, terhubung dengan Allah dan sangat merindukan pertemuan dengan-Nya. Mereka tak punya waktu atau kecenderungan memanjakan diri dengan rekaan-rekaan dan dugaan-dugaan, yang tak memiliki nilai, dan hanya dapat menyebabkan kebingungan dan melemahnya iman.
Dengan kesederhanaan dan kejelasan para Sahabat, itulah tanda-tanda pembelajaran. Bukan kompleksitas, argumen dan filosofi yang berbelit-belit. Mereka tak suka berkelit. Mereka langsung. Mereka lebih takut akan amarah Allah lebih dibanding pendapat orang. Mereka lebih takut menjadi tak populer dengan Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) dibanding menjadi tak populer dengan manusia. Jadi, mereka mengucapkan apa yang memang patut diucapkan, tak peduli apa yang dipikirkan orang. Sangat penting dalam Islam untuk mengembangkan karakter para Sahabat dan tak hanya mendengarkan kisah mereka, karena inilah standar, yang dengannya kita akan dimintai pertanggungjawaban.

Inilah yang dipahami oleh para Sahabat dengan kesempurnaan; Al-Ihsan; dan mereka mempraktikkannya dalam hidup mereka. Ada terlalu banyak kisah dari kehidupan para Sahabat yang akan sangat menarik dan bermanfaat bagi siap pun di zaman sekarang bila dipelajari dan mencoba memvisualisasikan bagaimana rasanya hidup selama masa Baginda Nabi (ﷺ) dan generasinya.
Sangat penting bagi siapa pun yang tertarik dengan kesejahteraan sesamanya untuk membaca tentang kehidupan dan masa Rasulullah (ﷺ) dan melakukan yang terbaik untuk menciptakan kembali masa-masa itu di dunia saat ini. Kita kemudian akan memiliki dunia yang ditandai oleh keadilan, kasih sayang, kebenaran dan saling-peduli. Inilah kekurangan utama dalam masyarakat modern, sebagai akibatnya, kita memiliki dunia yang ditandai oleh kekejaman, ketidakpedulian dan ketidakadilan. Inilah pilihan yang ingin kita jalani."
Sang musafir muda bertanya, "Jadi, apa isi seruannya?" Sang politisi berkata, "Ketika Allah mengutus Baginda Nabi (ﷺ) untuk menuntun umat manusia, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, memastikan bahwa pesan itu berisi prinsip-prinsip yang akan membuka pintu bagi orang-orang cerdas agar memahami apa seruan itu dan apa yang akan terjadi. Al-Qur'an yang Dia wahyukan ke dalam qalbu Baginda Nabi (ﷺ), adalah Kitab dari Rabb alam semesta bagi seluruh manusia yang hidup, yang menuntun mereka menuju kebaikan dan mengilhami mereka dengan kebenaran. Baginda Nabi (ﷺ) bukanlah pemimpin suku tertentu, bukan pula orang yang baik dan karena ia baik lalu saat ia tiada, segalanya memudar. Sesungguhnya, beliaulah kekuatan kebaikan yang memainkan peran dalam dunia moral yang mirip dengan peran yang dimainkan di dunia materi oleh penemuan mesin uap dan listrik. Pengangkatan beliau sebagai Nabi Allah (ﷺ) mewakili sebuah tahap dalam evolusi umat manusia. Sebelum itu, setiap manusia berada di bawah perwalian penjaga mereka laksana anak-anak yang terkurung. Lalu, mereka tumbuh dan kemudian mampu memikul tanggungjawab sendiri. Jadi, pesan Allah datang kepada mereka, melalui perantaraan Rasululllah (ﷺ), dan menjelaskan bagaimana seyogyanya mereka dapat hidup di bumi ini, dan kembali ke surga. Baik bila Baginda Nabi (ﷺ) masih tetap ada maupun telah tiada, pesan itu takkan hilang, karena sesungguhnya, pesan itulah yang membuka mata dan telinga, serta mempertajam persepsi dan pikiran, dan itu semua, terkandung dalam warisan besar beliau, Al-Qur'an dan Sunnah. Baginda Nabi (ﷺ) tak diutus untuk mengumpulkan sekelompok orang di sekitar beliau, melainkan untuk menjalin hubungan antara sesama makhluk dan kebenaran, yang dengannya, keberadaan mereka akan bermakna; antara mereka dan cahaya, yang dengannya mereka akan melihat tujuan mereka.
Surah-surah Al-Qur'an yang diwahyukan di Mekah, menjelaskan keyakinan dan tindakan yang dituntut Allah kepada hamba-Nya, dan Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menugaskan Baginda Nabi (ﷺ) untuk membangun dan memeliharanya. Pesan yang paling penting adalah, pertama, Kesatuan Absolut. Manusia bukanlah hamba bagi makhluk lain apapun yang ada di bumi atau di langit, karena semua yang ada di langit dan di bumi adalah hamba Allah, mereka tunduk kepada Yang Maha Mulia dan mematuhi perintah-Nya. Tiada sekutu atau perantara
bagi-Nya. Setiap orang berhak mendekat kepada Allah secara langsung tanpa melalui perantara ciptaan lain, baik besar maupun kecil. Adalah tugas setiap orang, mencela mereka yang menjadikan diri mereka sendiri atau orang lain sebagai perantara dan membawa mereka ke posisi yang seharusnya, baik itu manusia maupun batu, atau apapun. Seluruh hubungan individu dan kolektif harus dibangun atas dasar bahwa Allah Yang Maha Tinggi dalam Kerajaan-Nya, dengan Keesaan Sempurna-Nya.
Konsekuensi dari keyakinan ini, bahwa bebatuan yang dipuja orang-orang Arab saat itu, menjadi tak lebih baik daripada bebatuan yang mereka pergunakan untuk membangun rumah atau membuka jalan-jalan, dan bahwa manusia yang dipertuhankan dalam agama-agama lain, diberi status yang benar. Tampak jelas bahwa mereka hanyalah hamba ciptaan-Nya, dan Dia-lah Yang memelihara dan memberi mereka makanan, bahwa mereka akan maju atau mundur hanya jika mereka menaati atau tak menaati-Nya, dan bahwa mereka tak memiliki hak dalam hal dalam penciptaan atau pemberian rezeki.
Kedua, Hari Akhir. Hari Kiamat pasti akan datang, dimana manusia harus menghadap Rabb-nya dan ditanya tentang setiap detail, setiap menit kehidupan mereka sebelumnya. Setelah itu, akan ada kebahagiaan abadi yang akan dinikmati oleh orang-orang shalih, atau hukuman yang mengerikan dimana para pelaku kejahatan akan tetap sengsara. Allah berfirman,
"Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya." - [QS.99:7-8]
Mempertimbangkan Akhirat dalam setiap tindakan, yang seseorang akan lakukan atau hindari, adalah prinsip perilaku yang mapan dalam Islam. Sama seperti penumpang di kereta, bahwa mereka tahu, akan turun di halte berikutnya, seperti halnya umat Islam tahu, bahwa waktu pasti akan membawa mereka kembali ke Sang Pencipta, dimana mereka akan memanen buah dari apa yang telah mereka tanam dalam kehidupan ini.
Ketiga, penyucian diri, ini dilakukan dengan mengikuti perbuatan ibadah yang ditentukan dan menjauhkan diri dari perbuatan lain, untuk menghindari akibat dari kejahatan mereka. Apa yang dibawa Baginda Nabi (ﷺ), bukan hanya ajaran agama yang lengkap, tetapi juga ajaran moral yang baik bagi umat manusia. Allah berfirman,
"Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Rabb kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun ia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.” - [QS.6:151-152]
Keempat, umat Islam hendaknya dianggap sebagai unit yang solid berdasarkan persaudaraan dan kerja-sama. Inilah tuntutan, bahwa yang dirugikan harus diperjuangkan, yang dirampas harus dibantu dan yang lemah harus diperkuat. Dalam Surah Al-Mudatsir [74], yang merupakan Surah pertama dimana Baginda Nabi (ﷺ) diperintahkan  berdakwah secara terbuka, kita membaca ayat-ayat ini,
"Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling menanyakan, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, ”Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat, dan kami (juga) tak memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil), bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, sampai datang kepada kami kematian.” Maka tak berguna lagi bagi mereka syafaat (pertolongan) dari orang-orang yang memberikan syafaat." - [QS.74:38-48]"
Kemudian sang politisi menutup ulasannya dengan berkata, "Wahai anak muda, Islam tak melahirkan pengikut, tetapi Islam melahirkan para pemimpin. Tugas yang paling sulit bagi pemimpin itu, bukanlah untuk menjadikan orang mengikuti perintahnya, melainkan menjadikan mereka memimpikan impiannya. Agar mereka termotivasi untuk berkomitmen penuh pada visi yang hanya dapat benar-benar dilihatnya. Hanya ketika orang berkomitmen penuh pada visi-lah, yang akan melakukan apa yang diperlukan untuk mewujudkannya. Untuk setiap pemimpin di bidang apapun, inilah tugas yang paling sulit. Wallahu a'lam. "
"Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah." - [QS.21:73]
[Bagian 1]
Rujukan :
- Muhammad Al-Ghazali, Fiqh-us-Seerah, IIFSO
- Mirza Yawar Baig, Leadership Lesson from the Life of Rasoolullah (ﷺ), Standard Bearer Academy.