Sang lelaki tua melanjutkan, "Imam Abu Bakar al-Ajuri, yang merupakan salah seorang ulama dan guru yang bijak pada awal abad keempat, menulis sebuah risalah tentang tata krama dan kepekaan-rasa para 'Ulama, dan inilah salah satu karya terbaik dalam topik ini. Orang yang mempelajarinya, akan tahu darinya, jalan para ulama salaf, dan akan tahu jalan-jalan bid'ah, yang bertentangan dengan jalan mereka. Jadi, ia menggambarkan para 'Ulama Suu' dengan panjang lebar, dari petikan uraiannya, bahwa,
"Orang itu tergila-gila dengan dunia ini, dan dengan pujian, kehormatan dan kedudukan bersama orang-orang yang menyukai dunia ini. Ia menggunakan ilmu sebagai perhiasan, laksana seorang wanita cantik yang menghiasi dirinya dengan perhiasan dunia, namun ia tak menghiasi ilmunya dengan amal."Imam Abu Bakar al-Ajuri kemudian menyebutkan uraian yang panjang, dan kemudian berkata,
“Jadi, karakteristik ini dan sejenisnya, menguasai qalbu orang yang tak mendapatkan manfaat dari ilmu, sementara ia membawa atribut-atribut ini, dirinya mencintai status dan jabatan - sehingga ia suka duduk bersama raja dan putra-putra dunia ini. Kemudian, ia suka mengikuti gaya hidup mewah mereka, menyukai pakaian mewah mereka, kendaraan nyaman, para pelayan, pakaian bagus, tempat tidur yang lembut dan makanan lezat. Ia menyukai orang-orang yang berduyun-duyun ke depan pintunya, bahwa perkataannya didengarkan, dan bahwa ia dipatuhi - dan ia hanya dapat mencapai yang terakhir dengan menjadi seorang Qadhi - maka ia mendambakannya. Kemudian ia tak dapat mencapainya kecuali dengan mengorbankan agamanya, maka iapun merendahkan dirinya dihadapan para penguasa dan para pembantu mereka, melayani dan memberi mereka kekayaannya sebagai upeti. Ia tetap diam saat melihat perilaku buruk mereka setelah memasuki istana dan rumah mereka. Kemudian di atas semua ini, ia memuji-muji perbuatan buruk mereka dan menyatakan bahwa mereka orang baik, dengan menggunakan tafsir yang keliru, agar dapat mendongkrak statusnya. Maka, ketika ia membiasakan diri berbuat hal seperti ini dalam jangka waktu yang lama dan kebathilan telah mengakar dalam dirinya - maka merekapun menunjuknya menduduki jabatan Qadhi, dan dengan demikian, mereka menikamnya tanpa belati."
Kemudian, setelah mereka membantunya, hingga ia berkewajiban, dan harus, menunjukkan rasa terima kasihnya kepada mereka - maka ia bersusah payah memastikan bahwa ia tak boleh menunjukkan sikap amarah terhadap mereka, karena akan menyebabkan mereka, memindahkannya dari jabatannya. Sebaliknya, ia tak peduli bahwa perbuatannya itu mengundang murka Rabb-nya, sehingga ia menyalahgunakan harta anak yatim, para janda, orang miskin dan yang membutuhkan, dan harta yang dipersembahkan sebagai anugerah Dien, bagi mereka yang berjihad dan para Ahlul Bait, dan harta yang seharusnya bermanfaat bagi umat Islam - namun sebaliknya, ia menggunakannya untuk memuaskan para pegawai, pengurus rumah tangga dan pelayannya. Maka, iapun memakan apa yang diharamkan dan memberi makan dengan apa yang diharamkan, serta menambah bukti-bukti yang kelak akan melawannya. Celakalah bagi orang yang berilmu dimana Rasulullah (ﷺ) memohon perlindungan dan memerintahkan kita agar meminta perlindungan. Itulah ilmu, yang disebutkan oleh Rasulullah (ﷺ), beliau bersabda, “Diantara orang-orang yang menerima hukuman terberat pada Hari Kiamat adalah para 'Ulama yang tak diberi manfaat melalui ilmunya oleh Allah.” [At-Tabarani; Da'if. Namun diriwayatkan sebagai perkataan Abu Darda].
[Bagian 1]Beliau (ﷺ) pernah bermohon,(Allahumma inni a’udzubika minal arba’i, min `ilmin laa yanfa`u, wa min qalbin laa yakhsya`u, wa min nafsin laa tasyba`u, wa min du`aa di laa yusma`u)
"Ya Allah! Aku berlindung pada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat; dan dari qalbu yang tak merasakan takut; dan dari jiwa yang tak pernah merasa puas; dan dari permohonan yang tak didengar." - [Ahmad dan Abu Dawud; Sahih oleh al-Hakim]Dan beliau (ﷺ) pernah mengucapkan,(Allahumma inni as`aluka `ilman naafi`an, wa a`udzubika min` ilman laa yanfa`u)Inilah yang dituturkan oleh Imam Abu Bakar al-Ajuri, rahimahullah, yang hidup di akhir abad keempat, ketika kejahatan merajalela pada zamannya - la haula wa la quwwata illa billah.
"Ya Allah! Aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan aku berlindung pada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat. ”- [Ibnu Hibban; Hasan]
Bagi mereka yang mencintai Allah, maka mereka membatasi keinginan mereka terhadap sesama ciptaan. Mereka juga hendaknya mencintai Allah, taat kepada-Nya dan mengesakan-Nya dalam segala ibadah dan mengakui Keilahian-Nya. Tipe orang ini, tak menginginkan imbalan atau ucapan terima kasih apapun dari ciptaan, melainkan mengharap imbalan atas amalnya itu dari Allah. Allah berfirman,
"Tidaklah mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian ia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (ia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” Dan tak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Patutkah ia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi Muslim?" - [QS.3:79-80]Rasulullah (ﷺ) bersabda,
“Janganlah berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nasrani memuji al-Masih, putra Maryam. Sesugguhnya, aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah, hamba Allah dan Rasul-Nya.”[Sahih al-Bukhari]Rasulullah (ﷺ) juga pernah mengkritik siapapun yang tak berpegang teguh pada tata-krama dalam menyebut beliau, seperti sabda beliau,
"Jangan katakan, 'Apapun yang Allah dan Fulan kehendaki,' melainkan katakan, ‘Apapun yang dikehendaki Allah dan kemudian apa yang Fulan kehendaki.' - [Imam Ahmad dan Abu Dawud; Sahih]Rasulullah (ﷺ) pernah menjawab seseorang yang berkata, "Apapun yang Allah dan dirimu kehendaki," dengan mengatakan,
“Sudahkah engkau menjadikanku sekutu bagi Allah! Lebih baik mengatakan, "Apapun yang Allah kehendaki saja." - [Imam Ahmad; Hasan]Ada hakim-hakim yang shalih pernah mencegah orang-orang memanggil mereka 'Hakim dari para hakim' (Qaadiyyul-Qudaat) karena nama ini menyerupai nama 'Raja para raja' yang dicela oleh Rasulullah (ﷺ).
Khalafaur Rasyidin, sebagai penerus Rasulullah (ﷺ), para pengikut dan hakim mereka, tak pernah memberi panggilan yang mulia bagi diri mereka sendiri, melainkan hanya untuk kemuliaan Allah saja dan mengesakan-Nya dalam ibadah dan keilahian. Dari mereka, ada orang-orang yang tak menginginkan jabatan sama sekali, kecuali untuk membantu menegakkan seruan kembali kepada Allah saja. Ada orang shalih yang menerima posisi hakim berkata,
"Sesungguhnya, aku menerima ini untuk membantuku dalam amar ma'ruf nahi mungkar."Jenis kedua, yang mencari status dan kedudukan, adalah melalui hal-hal yang menyangkut Dien seperti ilmu, amal dan zuhud (menghindari dunia dan kesenangannya). Ini lebih jahat dari tipe pertama, lebih memalukan, lebih merusak dan lebih berbahaya. Karena ilmu, amal dan zuhud adalah jalan untuk mencari pangkat tertinggi dan kebahagiaan tanpa akhir yang ada bersama Allah, dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sufyan ibnu Sa'id ats-Tsauri, imam dari para penerus tabi'in berkata,
"Keunggulan ilmu itu, hanya disebabkan oleh fakta bahwa ia menyebabkan seseorang takut dan taat kepada Allah, jika tidak, sama saja seperti yang lainnya."Jadi, jika ada orang yang mencari melalui dunia ini, maka hal ini juga terbagi dalam dua jenis. Tipe pertama, orang yang mencari kekayaan melaluinya - maka inilah bagian dari keinginan mengejar kekayaan dan mencarinya melalui jalan yang diharamkan. Mengenai hal ini, ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah (ﷺ),
"Siapapun yang menuntut ilmu yang darinya Wajah Allah dicari, namun tak mempelajarinya kecuali untuk tujuan duniawi, maka ia takkan mencium aroma surga pada Hari Kiamat." - [Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban; Sahih]Alasan untuk ini, wallahu a'lam, bahwa, di dunia ini, ada firasat surgawi, dan itulah ilmu tentang Allah, cinta kepada-Nya, bahagia dengan-Nya, ingin bertemu dengan-Nya, takut pada-Nya dan menaati-Nya. Jalannya, ditunjukkan oleh ilmu yang bermanfaat, dan ia yang ilmunya membawa kepada pengalaman mencicipi surga di dunia ini, akan memasuki surga di akhirat, dan ia yang tak mencium aroma wanginya, takkan mencium aroma surga di Akhirat. Karenanya, orang yang menerima hukuman terberat di akhirat, adalah Ulama yang Allah tak berikan manfaat dari ilmunya. Ia akan menjadi bagian dari orang-orang yang akan menderita penyesalan paling mendalam pada Hari Kiamat, karena ia memiliki apa yang diminta untuk membawanya ke tingkat tertinggi dan maqam tertinggi di Firdaus, namun ia menggunakannya hanya untuk mencapai yang tingkat paling rendah, yang terburuk dan terhina. Maka, ia bagaikan orang yang memiliki mutiara berharga dan mahal, lalu menjualnya dengan sepotong kotoran hewan, atau sesuatu yang kotor dan tak berguna. Inilah keadaan seseorang yang mengidamkan dunia ini dengan ilmunya, lebih tepatnya, ia lebih buruk. Lebih buruk lagi adalah orang yang mencari dunia dengan ilmunya, namun secara lahiriah memperlihatkan bahwa ia adalah orang yang menjauhkan diri dari dunia ini - inilah tipuan yang sangat tercela.
Tipe kedua adalah, orang yang melalui ilmu, amal dan zuhudnya, mencari kedudukan dan kehormatan di atas orang lain, dan bahwa ciptaan harus mematuhi dan tunduk padanya, dan memalingkan wajah mereka kepadanya. Ia berusaha agar tampak nyata bagi masyarakat bahwa ia memiliki ilmu yang lebih banyak dibanding para ulama lainnya, sehingga ia dapat mencapai jabatan yang lebih tinngi daripada mereka, dan seterusnya. Tempat yang ditunjuk bagi orang seperti ini adalah Api Neraka. Karena ia berniat, dengan angkuh mengangkat diri di atas ciptaan, sesuatu yang terlarang, maka jika seseorang mencari dunia melalui jalan untuk mencapai akhirat, maka inilah yang lebih buruk dan lebih hina daripada berusaha menggunakan cara-cara duniawi, seperti kekayaan dan kekuasaan.
Ibnu Mas`ud, radiyallahu `anhu, berkata,
"Janganlah menuntut ilmu demi tiga orang, berdebat dengan orang-orang bodoh, atau bersaing dengan para Ulama, atau agar orang lain lebih memandangmu. Lebih baik, carilah dengan perkataan dan perbuatanmu, apa yang ada pada Allah - karena hal-hal itu akan tetap ada, dan yang lainnya akan musnah."Inilah perkataan yang baik, karena cinta akan kekayaan dan status, disebabkan oleh hasrat akan dunia ini, dan hasrat akan dunia ini dihasilkan dari mengikuti keinginan seseorang. Hasrat seseorang akan mengajak pada mendambakan dunia ini dan cinta akan kekayaan serta status di dalamnya. Namun, taqwalah yang mencegah seseorang dari mengikuti hasratnya dan mencegahnya mendambakan dunia ini. Allah berfirman,
"Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya)." - [QS.79:37-41]Kemudian, sang lelaki tua berkata, "Wahai anak muda, ketahuilah bahwa jiwa manusia itu, suka mengejar kedudukan dan jabatan di atas yang sepertinya, dan inilah yang menghasilkan keangkuhan dan kedengkian. Namun, orang yang cerdas, berjuang untuk mendapatkan jabatan yang kekal dan abadi, yang berada dalam ridha Allah, dan dalam kedekatan dengan-Nya, dan ia berpaling dari pangkat yang singkat dan berumur pendek, yang diikuti oleh Kemurkaan Allah, dan berarti kejatuhan, kehinaan-diri dan membuat jarak dengan Allah.
Engkau terus-menerus dikelilingi oleh gelombang-gelombang materialisme yang menakutkan, mengamuk melawanmu dari segala arah, dan engkau hendaknya berusaha membangkitkan semangatmu, serta menggerakkan tubuhmu yang tak berdaya agar selamat dari gelombang-gelombang ganas dan membawanya dengan aman ke pantai iman yang kokoh. Tiada keraguan bahwa perjuangan ini akan dihadapi oleh setiap orang. Mudah diucapkan, namun tidaklah mudah menerapkannya dalam hidup seseorang. Ia harus berjuang melawan dunia ini, Iblis, hasrat rendahnya dan hawa-nafsunya. Anak-panah ditembakkan ke arahnya bertubi-tubi tanpa akhir. Begitu ia dapat menyelamatkan dirinya dari sebuah anak-panah, maka anak-panah yang lain mengikutinya: kegelapan di atas kegelapan. Kita memohon perlindungan kepada Allah! Wallahu a'lam."
"Sungguh, bukti-bukti yang nyata telah datang dari Rabb-mu. Barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tak melihat kebenaran itu), maka ia merugi. Dan aku (Muhammad) bukanlah penjaga-(mu)." - [QS.6:104]
Rujukan :
- Al-Haafidh ibn Rajab al-Hanbaalee, The Evil of Craving for Wealth and Status, Al-Hidaayah.
- Sheikh 'Abd al-Hamid Kishk, Dealing with Lust and Greed According to Islam, Dar Al-Taqwa