Jumat, 31 Mei 2019

Jangan Jadikan Daku Seperti Dirinya!

Gelatik berkata, "Wahai Nasar, saudaraku, sampaikan kepada kami tentang bayi yang dapat berbicara." Burung Nasar menjawab, "Baiklah, saudariku! Akan kusampaikan pada kalian. Duduk dan dengarkanlah!" Nasar melanjutkan, "Jika seorang anak yang baru lahir berbicara, itulah penampakan kekuasaan Allah yang sangat mencengangkan. Peristiwa yang membingungkan otak ini, terjadi tiga kali dalam sejarah umat manusia, bahwa seorang anak yang baru lahir, berbicara dari buaian, bukan perkataan semata, melainkan kalimat yang cerdas. Rasulullah (ﷺ) menyampaikan kepada kita bahwa bayi-bayi yang dapat berbicara, yakni Isa bin Maryam, alaihissalam, bayi yang berbicara mendukung Juraij al-Abid, dan anak yang akan kukisahkan kepada kalian dalam Hadis berikut.

Diriwayatkan Al-Bukhari bahwa Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda,

بَيْنَمَا امْرَأَةٌ تُرْضِعُ ابْنَهَا إِذْ مَرَّ بِهَا رَاكِبٌ وَهْىَ تُرْضِعُهُ، فَقَالَتِ اللَّهُمَّ لاَ تُمِتِ ابْنِي حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ هَذَا‏.‏ فَقَالَ اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ‏.‏ ثُمَّ رَجَعَ فِي الثَّدْىِ، وَمُرَّ بِامْرَأَةٍ تُجَرَّرُ وَيُلْعَبُ بِهَا فَقَالَتِ اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلِ ابْنِي مِثْلَهَا‏.‏ فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا‏.‏ فَقَالَ أَمَّا الرَّاكِبُ فَإِنَّهُ كَافِرٌ، وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ لَهَا تَزْنِي‏.‏ وَتَقُولُ حَسْبِي اللَّهُ‏.‏ وَيَقُولُونَ تَسْرِقُ‏.‏ وَتَقُولُ حَسْبِي اللَّهُ
"Di kalangan Bani Israil, ada seorang Ibu yang menyusui putranya. Lalu seorang lelaki yang berkendara dan berpenampilan menawan melewatinya. Sang ibu berkata, 'Ya Allah, jadikanlah anakku seperti orang ini!' Anak yang disusuinya itu, meninggalkan susuannya dan menatap sang lelaki dan berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan daku seperti dirinya!' Kemudian iapun meneruskan mengisap susuannya."
(Abu Hurairah berkata, "Seolah-olah aku melihat Nabi mengisap jarinya.")
Selanjutnya seorang budak-wanita melewatinya. Sang Ibu berkata, "Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dirinya." Anak itu meninggalkan susuannya dan berkata, "Ya Allah, jadikanlah daku seperti dirinya." Sang Ibu bertanya, "Mengapa begitu?" Ia menjawab, "Sang pengendara, orang yang angkuh, sedangkan budak wanita itu, dituduh berzina dan mencuri, (padahal ia tak melakukannya) dan ia hanya berucap, "Hasbiyallah!" [Al-Bukhari 3466]
Dalam Sahih Muslim, berbunyi sebagai berikut,
وَبَيْنَا صَبِيٌّ يَرْضَعُ مِنْ أُمِّهِ فَمَرَّ رَجُلٌ رَاكِبٌ عَلَى دَابَّةٍ فَارِهَةٍ وَشَارَةٍ حَسَنَةٍ فَقَالَتْ أُمُّهُ اللَّهُمَّ اجْعَلِ ابْنِي مِثْلَ هَذَا ‏.‏ فَتَرَكَ الثَّدْىَ وَأَقْبَلَ إِلَيْهِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ‏.‏ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدْيِهِ فَجَعَلَ يَرْتَضِعُ ‏.‏ قَالَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَحْكِي ارْتِضَاعَهُ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ فِي فَمِهِ فَجَعَلَ يَمُصُّهَا ‏.‏ قَالَ وَمَرُّوا بِجَارِيَةٍ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ زَنَيْتِ سَرَقْتِ ‏.‏ وَهِيَ تَقُولُ حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ ‏.‏ فَقَالَتْ أُمُّهُ اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلِ ابْنِي مِثْلَهَا ‏.‏ فَتَرَكَ الرَّضَاعَ وَنَظَرَ إِلَيْهَا فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا ‏.‏ فَهُنَاكَ تَرَاجَعَا الْحَدِيثَ فَقَالَتْ حَلْقَى مَرَّ رَجُلٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ اجْعَلِ ابْنِي مِثْلَهُ ‏.‏ فَقُلْتَ اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ‏.‏ وَمَرُّوا بِهَذِهِ الأَمَةِ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ زَنَيْتِ سَرَقْتِ ‏.‏ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلِ ابْنِي مِثْلَهَا ‏.‏ فَقُلْتَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا قَالَ إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ كَانَ جَبَّارًا فَقُلْتُ اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ‏.‏ وَإِنَّ هَذِهِ يَقُولُونَ لَهَا زَنَيْتِ ‏.‏ وَلَمْ تَزْنِ وَسَرَقْتِ وَلَمْ تَسْرِقْ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا
"Tatkala seorang bayi sedang menyusu dari ibunya, seorang pengendara dengan penampilan menarik lewat dengan kendaraannya yang mewah. Sang Ibu berkata, 'Ya Allah, jadikanlah anakku seperti orang ini.' Lalu sang bayi meninggalkan puting susu ibunya, menatap lelaki pengendara itu, dan berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan diriku seperti dirinya.'
Kemudian iapun kembali ke buaian ibunya dan meneruskan menyusu." Abu Hurairah berkata, "Seolah-olah aku melihat Rasulullah (ﷺ) sementara beliau (ﷺ) menceritakan bagaimana anak itu menyusu dengan jari telunjuknya di mulutnya, maka beliau (ﷺ) mengisapnya." Nabi (ﷺ) bersabda, "Lalu mereka melewati seorang budak yang dipukuli oleh khalayak-ramai. Mereka berkata kepadanya, 'Kamu telah berzina dan mencuri.' Sementara sang budak menjawab, 'Cukuplah Allah sebagai Penolongku dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung.' Sang Ibu berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dirinya.' Lalu sang bayi meninggalkan susuannya dan menoleh kepada budak itu, dan berkata, 'Ya Allah, jadikan daku seperti dirinya."
Pada saat itulah terjadi perbincangan antara sang Ibu dengan sang bayi yang disusuinya. Sang Ibu berkata, "Semoga lehermu sakit. Telah lewat seorang lelaki dengan penampilan menarik dan aku berkata, 'Ya Allah, jadikanlah anakku sepertinya,' tapi kamu berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan diriku seperti dirinya.' Lalu lewatlah seorang budak wanita yang dipukuli dan mereka berkata kepadanya, 'Kamu telah berzina dan mencuri.' Lalu aku berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan anakku seperti dirinya.' Dan kamu berkata, 'Ya Allah, jadikan daku seperti dirinya." Sang bayi menjawab, "Lelaki itu, orang yang angkuh, maka aku berkata, 'Ya Allah, jangan jadikan daku seperti dirinya'. Dan sesungguhnya wanita yang mereka tuduh berzinah dan mencuri, sebenarnya, tak berzina dan mencuri. Maka aku berkata, 'Ya Allah, jadikanlah daku seperti dirinya." [Muslim 2550]
Sesungguhnya, bukanlah hal biasa bagi anak yang baru lahir mengucapkan kata-kata cerdas dan juga sangat mengejutkan. Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dengan cara yang berbeda. Jelas dari kisah ini, bahwa sang ibu telah melihat seorang yang bahagia, dan ia berdoa kepada Allah agar putranya menjadi sepertinya, namun sang bayi langsung menolak permohonan itu. Ia anak yang baru lahir. Hal pertama, bahwa anak-anak seusia itu, tak berbicara lancar, apalagi mengucapkan kalimat-kalimat yang cerdas. Kemudian, apa yang ia ucapkan sangat bertentangan dengan apa yang tampak, namun persis sesuai dengan fakta yang tak diketahui ibunya.
Kejadian ini, membuat sangat jelas bahwa Allah tak memilih hanya orang dewasa, atau orang pandai, untuk menggambarkan kekuasaan sempurna-Nya, melainkan terkadang, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menunjukkannya melalui bayi yang baru lahir.
Allah menunjukkan dua fakta penting melalui kejadian ini. Pertama, bahwa sang lelaki, yang secara lahiriah, tampak sangat bahagia, berkepribadian menarik dan hidup mewah, pada hakikatnya, seorang tiran, yang menindas orang lain. Jelas, ia bukanlah orang yang patut diteladani.
Fakta kedua, bahwa budak perempuan yang tertindas, yang tampak sangat miskin, dan menjadi subyek kritikan, ternyata, seorang wanita yang shalihah dan berakhlaq mulia. Allah memberikan bukti Kemahakuasaan-Nya dengan mengungkapkan dua fakta ini, melalui anak yang baru lahir."

Nasar terdiam sesaat, lalu berkata, "Wahai saudara-saudariku, ada ibrah yang kita dapatkan dari kisah ini, pertama, pesan utama dari kisah ini, bahwa kekuasaan Allah, Rabbul Alamin, tak tunduk pada suatu hak pilihan. Dia juga tak bergantung pada metode atau kebiasaan umum pada masa itu. Dia bisa, jika Dia berkehendak, mengambil kekuatan bicara dari orang dewasa yang cerdas. dan atau memberikannya kepada yang baru lahir kemudian membuatnya berbicara dengan cerdas. Dia menunjukkan kekuasaan-Nya dengan cara yang berbeda.
Kita juga belajar dari Hadis ini bahwa, ada dua aspek dari segalanya, yang tampak dan yang tak-nampak. Manusia hendaknya terlebih dahulu mempedulikan dirinya dengan hal-hal yang tak terlihat, baru kemudian dengan yang terlihat. Ia seyogyanya tak memilih segalanya hanya karena penampilan luarnya, melainkan, sebaiknya mengamati kualitas internal dan memilihnya karena kepatutan yang tak terlihat.
Ibu sang bayi, terpesona oleh penampilan luar dan sifat lelaki yang mengaduk-aduk sedemikian rupa hingga sang Ibu berharap agar anaknya tumbuh seperti sang lelaki. Faktanya tak seperti itu. Ciri-khas lelaki yang mengagumkan ini, ternyata, merupakan hasil dari kekejamannya, dan jika semua ini berkembang dari kezhaliman, bukanlah kualitas yang terpuji. Kualitas seperti itu, malah akan mengundang murka Allah atas sang pemilik kualitas. Allah tak hanya meletakkan hal-hal ini ke dalam qalbu sang bayi, tetapi Dia juga membuatnya berbicara tentang fakta-fakta ini. Ia menolak doa ibunya dan berkata bahwa ia tak ingin seperti sang lelaki.
Demikian pula, sang ibu melihat secara lahiriah tuduhan terhadap sang gadis budak belian melakukan perbuatan yang zhalim dan ia berdoa agar anaknya tak menjadi seperti gadis budak itu. Allah kembali menempatkan ke dalam qalbu sang bayi, posisi yang sebenarnya tentang gadis budak yang tak berdosa-walau para penuduhnya berteriak-teriak-bahwa sebenarnya ia tetap tak bersalah dan shalihah. Sang bayi berdoa bahwa ia ingin menjadi seperti gadis itu.

Hanya Allah Yang paling tahu bahwa tujuan permohonan sang bayi, bukanlah agar Allah menjadikannya persis seperti sang budak perempuan. Ia tahu bahwa gadis itu jujur namun tertindas, dan ia berharap bahwa ia seyogyanya menjalani kehidupan yang jujur, bahkanpun jika ia harus menderita. Juga, ia memikirkan sang lelaki yang zhalim, yang tampak mempesona dan dikaruniai dengan kenikmatan dan kemewahan, dan ia memohon agar tak seharusnya orang seperti itu diberi karunia jika disertai dengan sifat yang zhalim. Jika berkah dan nikmat diperoleh dengan sah, maka ia menginginkannya. Sebaliknya, ia hendaknya memohon perlindungan Allah dari menindas dan berbuat kekejaman, jika tidak, ia lebih suka kemiskinan dan kesucian.
Permohonan sang bayi itu, bukan berarti bahwa ia menolak kenikmatan duniawi. Ia menolak kenikmatan dunia yang diperoleh melalui tirani dan penindasan. Permohonan kedua, yang ia minta, bukan berarti ia berharap agar khalayak-ramai menuduh dan menghukumnya seperti yang mereka lakukan terhadap gadis budak belian itu. Ia bermohon agar budak perempuan itu akan selalau berada di jalan yang benar dan secara moral, berakhlak baik dan mulia, dan bila tidak, biarlah ia terzhalimi. Jadi, ia ingin menjalani kehidupan yang bersih dan baik, meskipun harus dilalui dulu dengan pengorbanan.

Kita juga belajar bahwa tidaklah patut menjadi penindas, walaupun dengan cara itu kita memperoleh banyak manfaat. Juga benar dan disukai, menjadi orang yang tertindas (bahkan pun jika seseorang harus menghadapi banyak cobaan). Mungkin kedengarannya baik bagi orang-orang di dunia agar bertindak dengan kejam dan menindas orang lain untuk memperoleh harta dan kedudukan duniawi, namun hal tersebut sangat tercela di sisi Allah, dan mengkin saja akan ada adzab dari-Nya.

Pelajaran selanjutnya adalah, kisah ini bermanfaat dalam menjelaskan ayat Al-Qur'an. Allah berfirman,

وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"...Tetapi boleh jadi kamu tak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tak mengetahui." - (QS. 2:216)
Manusia, hanya melihat tampilan lahiriah dari segalanya. Ia tergila-gila saat melihat kilau apapun, bahkanpun bila bagian dalamnya buruk dan berbahaya. Ia tak menyukai dan membenci segala sesuatu yang tak menarik dalam penampilan luarnya dan ia mengabaikan keuntungan dan kebaikan intrinsiknya.
Pendekatan ini keliru. Kita hendaknya mengamati seluruhnya, baik dari aspek eksternal maupun internal. Orang yang cerdas memutuskan hanya setelah melakukan pengamatan seperti ini.

Akhirnya, Hadis ini juga mengajarkan kepada para guru, pembaharu dan pendakwah, bahwa ia hendaknya menggunakan segala cara yang halal untuk menyampaikan pesan-pesan moralnya. Dengan demikian, para pendengar diyakinkan secara efektif. Rasulullah (ﷺ) mendemonstrasikan secara praktis cara bayi yang menghisap susu ibunya dengan meletakkan jarinya di mulut dan menghisapnya. Ini dilakukan agar pendengarnya dapat memahami dengan baik apa yang ia katakan. Kita menemukan contoh yang tak terhitung jumlahnya dari hal seperti ini dalam hadits yang disampaikan oleh Rasulullah (ﷺ). Beliau (ﷺ) sering menunjukkan dengan cara praktis apa yang beliau (ﷺ) jelaskan secara lisan kepada para pendengarnya. Wallahu a'lam."

Gelatik berkata, "Lalu, sampaikanlah tentang kisah Juraij!"
Rujukan :
- Maulana Muhammad Zakaria Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Isha'at. 

Selasa, 28 Mei 2019

Ketika Kesewenangan Meminta Korban (2)

Burung Nasar melanjutkan, "Halaman-halaman sejarah dipenuhi dengan kisah beratnya kesukaran yang dihadapi oleh orang-orang mukmin. Tak hanya kaum lelaki, namun juga kaum wanita, yang mengalami kesengsaraan yang tak terkira, dapat memperlihatkan kesabaran yang luar biasa, yang membuat manusia terpana. Istri Firaun, Aasiyah binti Muzaahim, salah seorang wanita yang berkemauan keras. Ia menunjukkan pengendalian-diri yang istimewa karena Allah dan menanggung penganiayaan suaminya, demi mempertahankan imannya. Ia gigih dan bersyukur kepada Allah. Aku akan menyampaikan kisah bagaimana Allah membantunya.
Abu Ya'la meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, berkata, "Sesungguhnya Fir'aun menancapkan patok sebanyak empat buah pada kedua tangan dan kedua kaki istrinya. Jika para penjaga Fir'aun berpencar darinya, maka para Malaikat menaunginya. Ia berkata, 'Wahai Rabb-ku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim,”. Maka Allah menampakkan untuknya rumahnya di Surga."
[As-Suyuthi menyebutkannya dalam Ad-Darrul Mantsur (6/245) secara mauquf. Ia berkata, 'Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan Baihaqi dari Abu Hurairah dengan sanad yang shahih'.
Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Matholibul Aliyah (3/390) berkata, 'Hadis shahih mauquf.'
Diriwayatkan oleh Thabari dalam Tafsir-nya (28/110). Al-Hakim (2/496) berkata, 'Hadis shahih di atas syarat Syaikhain.' Dan disetujui oleh Dzahabi dan hadis ini seperti apa yang mereka berdua katakan.']
Orang-orang yang tak mematuhi perintah-perintah Allah, memberontak terhadap-Nya dan tak takut akan adzab yang ditimpakan-Nya, akan dipermalukan di dunia ini, dalam lingkungan mereka sendiri. Sebagai contoh, saat Firaun tetap dalam ketidakpatuhan dan ketidaktaatan serta menyatakan keilahian dirinya seraya berkata "Akulah rabb-mu, yang tertinggi!", Allah menyebabkan dirinya terhinakan sebelum dijerembabkan ke dalam adzab yang terus-menerus. Allah menjadikannya pelajaran bagi setiap manusia hingga akhir zaman. Terlepas dari kekuasaan, kemampuan dan kemegahan serta pasukan yang besar, ia telah melihat kekalahan dan aib dalam setiap langkahnya.
Ia telah melihat sendiri lahirnya seorang anak Bani Isra'il yang ditakdirkan untuk menghancurkannya, padahal ia telah membunuh ribuan bayi laki-laki yang baru lahir. Namun, anak itu dibesarkan di rumahnya sendiri, sementara ia tak menyadari semua itulah rencana Allah. Dengan demikian, ia menjadi pengasuh 'musuh besarnya' sendiri.
Orang-orang di lingkungannya sendiri, menolak pernyataan keilahiannya. Karena itu, Allah merahmati perias dan penyisir putrinya dengan iman dan keyakinan. Istrinya sendiri menolak mengakuinya sebagai ilah dan menjadi orang yang beriman kepada Allah, Yang Maha Esa, Yang tiada sekutu bagi-Nya. Hadits yang telah kusebutkan tadi, menggambarkan keimanan wanita ini dan derajat yang diberikan kepadanya atas keistiqamahannya yang teguh melawan penganiayaan.

Allah telah memberikan turutan dari empat wanita. Dia berfirman,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
"Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), 'Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).'" - (QS. 66:10)
Cerminan pertama, terdiri dari dua wanita, istri dari dua nabi, alaihimassalam. Mereka, dalam masalah agama, menentang suami mereka dan diam-diam memihak orang-orang kafir dan penyembah berhala. Akibatnya, mereka berakhir dalam jurang Neraka, dan hubungan pernikahan mereka dengan para nabi tersebut, tak dapat menyelamatkan mereka dari adzab. Nama istri Nuh, alaihissalam, disebut sebagai Waaghilah, sedangkan nama istri Luth, alaihissalam, disebut sebagai Waalihah. Nama-nama ini menurut Imam Al-Qurtubi, namun beberapa ulama menyebutkan nama lain.
Al-'Aufi meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, "Mereka mengkhianati mereka (para nabi) dengan tak mengikuti agama mereka. Istri Nabi Nuh, sering membocorkan rahasia, menyampaikan kepada orang-orang yang zhalim itu setiap kali ada orang yang memeluk agama Nabi Nuh. Adapun istri Nabi Lut, ia sering menyampaikan berita kepada penduduk kota (Sodom), yang melakukan perbuatan yang menjijikkan (sodomi), saat ada tamu yang dijamu oleh suaminya. "Ad-Dahhak meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan , “Tak ada istri seorang nabi pun yang pernah berzinah dan berselingkuh. Sebaliknya, mereka mengkhianati para nabi dengan menolak mengikuti agama mereka."

Wanita ketiga, istri Firaun, dapat dikatakan bahwa ia orang kafir yang tak bisa jadi kafir dan penuntut ketuhanan, namun ia beriman pada Musa, alaihissalam. Ia diberi peringkat tinggi oleh Allah sehingga ditunjukkan padanya, rumahnya di Jannah, saat ia masih berada di dunia ini, dan kemusyrikan suaminya tak terbukti menjadi penghalang dalam mencapai peringkat tinggi ini.
Wanita keempat, Maryam. Ia bukanlah istri sesiapapun, melainkan iman dan amal-shalihnya menghasilkan gelar yang begitu tinggi sehingga ia disetarakan dengan kesempurnaan para nabi, meskipun ia bukanlah seorang nabi, menurut mayoritas ulama.

Dari beberapa wanita shalihah yang berperingkat tinggi, Allah telah sebutkan dalam Al-Qur'an, Aasiyah binti Muzaahim, istri Firaun. Allah tak hanya merahmatinya dengan derajat yang tinggi, namun Dia juga menjadikannya suri-teladan bagi orang-orang mukmin. Dia berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
"Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir‘aun, ketika ia berkata, 'Wahai Rabb-ku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.'” - (QS. 66:11)
Qatadah berkata, “Firaun adalah orang yang paling kejam di antara penduduk bumi dan yang paling kafir. Demi Allah! Istrinya tak terpengaruh oleh kekufuran suaminya, karena ia mematuhi Rabb-nya. Karena itu, ketahuilah bahwa Allah adalah Hakim Yang Seadil-adilnya, Yang takkan menghukum siapapun kecuali dosa mereka sendiri." Menurut beberapa riwayat, tangan dan kakinya ditancapkan dengan paku ke tanah dan sebuah batu besar diletakkan di atas dadanya, sehingga ia tak dapat bergerak sama-sekali. Dalam keadaan ini, ia bermohon kepada Allah, 'Wahai Rabb-ku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.'
Ibnu Jarir mencatat bahwa Sulaiman berkata, “Istri Firaun disiksa di bawah terik-matahari dan ketika Firaun akan menyelesaikan penyiksaannya, para malaikat menaunginya dengan sayap mereka. Ia diperlihatkan rumahnya di Jannah. ”
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Al-Qasim bin Abi Bazzah berkata, "Istri Firaun dulu bertanya, 'siapa yang menang?' Saat diberi tahu, 'Musa dan Harun menang', ia berkata, 'aku beriman pada Ilah Musa dan Harun.' Firaun mengutus para pengawal untuk menangkapnya dan berkata kepada mereka, 'Ambillah batu yang paling besar. Jika ia bersikukuh mempertahankan imannya, lemparkan batu itu padanya, jangan pedulikan bahwa ia adalah istriku.' Saat para pengawal menangkapnya, ia menatap ke langit dan bisa melihat rumahnya di Jannah. Ia tetap mempertahankan imannya, dan kemudian ruhnya pun dicabut. Ia sudah tak bernyawa saat batu itu dihempaskan ke tubuhnya.”

Rasulullah (ﷺ) mengatakan bahwa ia sempurna. Diriwayatkan bahwa Abu Musa al-Ash'ari berkata, "Rasulullah (ﷺ) bersabda,

كَمَلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ غَيْرُ مَرْيَمَ بِنْتِ عِمْرَانَ وَآسِيَةَ امْرَأَةِ فِرْعَوْنَ وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
"Lelaki yang sempurna jumlahnya banyak. Dan tiada wanita yang sempurna melainkan ‎Maryam binti Imran dan Asiyah istri Firaun. Dan keutamaan A’isyah dibandingkan ‎wanita lainnya, sebagaimana keutamaan ats-Tsarid dibandingkan makanan lainnya.” ‎‎(HR. Al-Bukhari, 5418, dan Muslim, 2431).
Tampaknya, 'kesempurnaan' dalam konteks ini, merujuk pada 'karakteristik kenabian'. Meskipun mereka wanita, mereka telah mencapainya. Allahu a'lam!
Aasiyah binti Muzaahim, ia sangat jujur, wanita suci, taat kepada Allah. Suaminya, di sisi lain, pemberontak terbesar melawan Allah dan paling tidak taat. Ia merawat Nabi Musa, alaihissalam, dan menolongnya dalam istana kerajaan. Firaun kemudian mengetahui bahwa ia telah menjadi seorang wanita yang beriman dan telah mengakui Keesaan Allah. Ia memperlakukannya dengan keras dan membelenggunya dengan empat belenggu besi. Seorang penjaga ditempatkan di atasnya. Dalam kesedihannya, ia berdoa kepada Allah, 'Wahai Rabb-ku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.'
Pemilik istana kerajaan, Ratu Mesir, istri seorang penguasa besar pada zamannya, menjadi sasaran siksaan yang kejam dan ia menanggungnya hanya demi satu pengakuan, Keesaan Allah. Bagian yang sangat disayangkan adalah, ia menerima perlakuan buruk di tangan suaminya sndiri. Karena merasa sedih, ia berdoa kepada Allah dan pertolongan-Nya pun datang untuknya. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, memperlihatkan istananya di Jannah, tempat dimana ia akan tinggal, sehingga beban siksaan itupun ia rasakan sangat ringan.
Pada akhirnya, Firaun membunuhnya dan iapun syahid. Syuhada di jalan Allah, dimuliakan dengan disebutkan dalam Kitab Allah yang terakhir dan akan diingat sampai Hari Kiamat. Pengorbanannya akan terus disimak oleh orang-orang mukmin sebagai suri-teladan.

Diriwayatkan bahwa Ibnu 'Abbas, radhiyallahu' anhu, berkata, "Rasulullah (ﷺ) menggambar empat garis di tanah, kemudian beliau bersabda, "Tahukah kamu apa ini?" Kami berkata," Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Yang terbaik dari para wanita Surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Aasiyah binti Muzaahim, istri Firaun, dan Maryam binti Imran.” [HR Ahmad, 2663. Dinilai sahih oleh al-Albaani dalam Sahih al-Jaami', 1135].  
Al-Haafiz ibnu Hajar berkata, "Di antara kebajikan Aasiyah, istri Firaun, bahwa ia memilih kematian daripada hak istimewa kerajaan dan siksaan di dunia ini daripada kemewahan dimana ia tinggal. Dan wawasannya tentang Musa, alaihissalam, benar saat ia berkata "...(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku..." [QS 28: 9]."
"Wahai saudara-saudariku, ada beberapa pelajaran dan pesan dari hadits ini. Pertama, hidayah bukanlah milik siapapun yang dapat diwariskan, melainkan rahmat dari Allah. Dia memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki. Bila Dia berkehendak, Dia dapat mengubah isteri seorang Nabi menjadi orang yang tak beriman seperti istri-istri Nabi Nuh dan Nabi Lut, alaihimassalam. Dan bila Dia berkehendak, Dia dapat mengubah istri orang-orang kafir menjadi Muslim seperti halnya Aasiyah, istri Firaun. Kita hendaknya selalu bersyukur kepada Allah atas berkah yang telah Dia berikan semata-mata atas kehendak-Nya melalui rahmat-Nya
Kedua, ketika seseorang ikhlas dalam imannya, maka berkah iman itu, meringankan bebannya bila menghadapi penganiayaan. Kemudian, bahkan ketika ia dipaksa berjalan di atas api sekalipun, ia akan berseru "Ahad, Ahad". Atau, saat akan dibantai, ia berkata, "Aku belum menjalankan kewajibanku." Keikhlasan inilah yang membuat sang ratu, Aasiyah, menahan penderitaan dengan sabar dan tabah atas penindasan dan kekejaman; dan akhirnya ia mengorbankan hidupnya.
Ketiga, orang-orang kafir takkan pernah mau bertoleransi terhadap iman seseorang. Bahkan mereka takkan mau berlapang-dada atas iman orang yang punya hubungan darah yang suci dengan mereka. Mereka takkan pernah berhenti menganiaya yang lemah dan berlaku zhalim bagi yang tertindas. Namun, dengan melalui cobaan dan kesengsaraanlah, iman dan hidayah disegarkan, dan Islam dianut dengan semangat yang dihidupkan kembali. Kisah inilah faktanya.
Keempat, orang-orang yang berjalan di jalan kebenaran dan menanggung penganiayaan demi kebenaran, takkan pernah sendirian. Dia, Yang menjadikan mereka melaluinya, tak pernah membiarkan mereka sendirian. Di setiap langkah, Dia memberi mereka kekuatan dan kemauan untuk bertahan, sabar dan istiqamah, dan iman yang kuat. Dia mengirimkan bala-bantuan yang tak terlihat. Aasiyah juga memperoleh pertolongan seperti ini saat para malaikat menaunginya dan memperlihatkannya istana di Jannah.
Akhirnya, iman adalah kekuatan besar. Qalbu yang dirahmati dengan iman, memperoleh kekuatan dan kemampuan, tak peduli seberapa lemahnya jiwa itu. Kita mungkin beranggapan, betapa lemahnya seorang wanita dan, seyogyanya, betapa jauh lebih lemah seorang Ratu - secara alami lemah dan dilemahkan oleh kebiasaan! Namun, saat ia merasakan nikmatnya iman, ia tegak berdiri berhadapan dengan segala jenis ketidakadilan dan kekejaman, dengan kekuatan lelaki. Inilah keistimewaan iman. Inilah sejarah iman! Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Maulana Muhammad Zakaria Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Isha'at.
- Syaikh Safiurrahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume X, Darussalam
- Maulana Mufti Muhammad Shafi, Ma'ariful Quran Volume 8, Maktaba-e-Darul-Uloom


[Bagian 1]

Jumat, 24 Mei 2019

Ketika Kesewenangan Meminta Korban (1)

Murai berkata, "Adakah diantara kalian yang mau berbagi?" Para unggas diam. Sejenak kemudian, burung Nasar berbicara, "Wahai saudara-saudariku, ada dua kisah yang akan kusampaikan kepada kalian. Kisah pertama adalah tentang penyisir rambut putri Firaun. Kisah kedua adalah istri Firaun sendiri, Asiyah, sang Ratu Mesir. Keduanya adalah korban kekejaman Firaun. Izinkan aku menyampaikan kisah pertama kepada kalian.
Abdullah bin Abbas, radhiyallahu 'anhu, berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Pada malam aku ber-Isra', aku mencium aroma yang harum. Aku bertanya, 'Wahai Jibril, aroma harum apa ini?'
Jibril menjawab, 'Inilah aroma wanita penyisir putri Fir'aun dan anak-anak wanita itu.'
Aku bertanya, 'Bagaimana kisahnya?'
Jibril menjawab, 'Suatu hari, ketika ia sedang menyisir putri Fir'aun, tiba-tiba sisir itu terjatuh dari tangannya. Ia berkata, 'Bismillah.' Putri
Fir'aun berkata kepadanya, 'Ayahku?' Ia menjawab, 'Bukan, akan tetapi Rabb-ku dan Rabb ayahmu adalah Allah.' Putri Fir'aun berkata, 'Aku akan sampaikan itu kepada ayahku.' Ia menjawab, 'Lakukanlah.' Maka putri Fir'aun menyampaikan hal itu kepada ayahnya.
Fir'aun memanggilnya dan bertanya, 'Hai fulanah, punyakah kamu Rabb selain aku?' Ia menjawab, 'Ya, Rabb-ku dan Rabb-mu adalah Allah.'
Lalu Fir'aun memerintahkan agar dihadirkan seekor sapi dari tembaga. Setelah dipanaskan, ia memerintahkan agar wanita ini berikut anak-anaknya dilempar ke dalamnya. Wanita itu berkata, 'Aku ada perlu denganmu.' Fir'aun bertanya, 'Apa keperluanmu?' Sang wanita menjawab, 'Aku inginkan tulang-belulangku dan tulang-belulang anak-anakku dikumpulkan dalam sebungkus kain lalu mengubur kami.' Fir'aun menjawab, 'Itu menjadi hakmu atas kami.'
Jibril berkata, 'Lalu anak-anaknya dihadirkan. Satu per satu dilemparkan ke dalamnya, di depan matanya, sampai akhirnya tiba giliran bayinya yang masih menyusu. Wanita ini maju mundur, maka bayinya berkata, 'Wahai Ibuku, masuklah, karena adzab dunia lebih ringan daripada adzab Akhirat.' Maka iapun masuk'."
Ibnu Abbas berkata, "Ada empat bayi yang berbicara: Isa bin Maryam, bayi Juraij, saksi Yusuf, dan putra wanita penyisir putri Fir'aun."
[HR. Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/309), at-Tabaraani (12280), Ibnu Hibbaan (2903) dan al-Hakim (2/496).
Adz-Dzahabi berkata dalam al-'Aluw (84): Hadits ini hasan. Ibnu Katsir berkata dalam at-Tafseer (15/3): Tak ada yang salah dengan sanadnya. Sanadnya digolongkan shahih oleh ulama Ahmad Syakir dalam komentarnya tentang al-Musnad (4/295). Al-Arna'ut berkata dalam Takhrij al-Musnad (5 / 30-31, no. 2821): Sanadnya hasan.
Berkenaan dengan kalimat "Fir'aun memerintahkan agar seekor sapi" yang terbuat dari tembaga dipanaskan", Ibnu al-Atzir mengatakan dalam al-Nihaayah (1/145): Al-Hafiz Abu Musa berkata: Menurutku, ini tak merujuk pada sesuatu yang dibuat dalam bentuk seekor sapi, tapi mungkin itu sebuah ketel yang sangat besar, yang mereka sebut baqarah, diambil dari kata tabaqqur yang berarti luas, atau mungkin saja sesuatu yang bisa menampung banyak sapi karena ukurannya yang besar, sehingga disebut demikian.]
Inilah kisah yang diketahui Rasulullah (ﷺ) manakala beliau ber-Mi’raj ke langit yang tinggi di malam Isra'. Pada waktu ber-Mi’raj, Rasulullah (ﷺ) mencium aroma harum semerbak. Beliau (ﷺ) bertanya kepada Jibril tentang sumbernya, maka Jibril menceritakan bahwa bau harum ini berasal dari wanita penyisir putri Fir'aun dan anak-anak wanita tersebut.
Wanita ini hidup di istana Fir'aun. Tugasnya adalah melayani putrinya. Dia menyisir rambutnya, dan mengurusi urusannya. Orang yang seperti ini pastilah orang yang mulia, dihormati, dan hidup enak. Akan tetapi, iman menyusup di hatinya dan menguasai urusannya, sebagaimana iman juga menguasai hati ibu ratu, istri Fir'aun. Iman selalu menemukan jalan ke dalam hati orang-orang kaya, seperti ia menemukan jalan ke dalam hati orang-orang miskin manakala Allah menginginkan kebaikan untuk hambanya.

Wanita ini menyembunyikan imannya seperti halnya istri Fir'aun dan seorang mukmin dari keluarga Fir'aun. Walaupun seseorang berusaha untuk menutupi apa yang ada di dalam hatinya, tetap saja akan terbaca melalui tindak-tanduk, gerakan, perilaku, dan ucapan-ucapannya. Kadang-kadang seseorang lupa akan dirinya sendiri dan ia bertingkah-polah berdasar pada tabiatnya.
Hal ini terjadi pada wanita ini. Sisirnya jatuh dari tangannya ketika ia menyisir rambut putri Fir'aun, dan ia berkata 'bismillah', sebuah ucapan yang mengalir di lidah kaum muslimin tanpa sengaja. Mereka mengucapkannya tatkala kaki mereka terpeleset, atau salah seorang anak mereka terjatuh, atau ketika pisau atau pena terjatuh dari tangan mereka.
Putri Fir'aun terkejut dengan ucapannya. Ia putri yang tak mengerti. Ia sangat membanggakan ayahnya. Ia menganggapnya sebagai ilah, seperti anggapan ayahnya terhadap dirinya. Maka ia bertanya, "Ayahku?" (Yakni, orang yang kamu sebut namanya itu, ayahkukah?). Wanita itu menolak mengakui Fir'aun sebagai ilah palsu yang iklaimnya. Ia telah bertekad untuk bersikap tegas sebagai konsekuensi dari iman, tanpa khawatir terhadap akibat buruk yang mungkin menimpanya dan anak-anaknya. Oleh karena itu, ia menjawab secara terbuka. Keterbukaan yang menyimpan tantangan. Ia tak cukup mengatakan, "Allah adalah Rabbku." Akan tetapi, ia mengatakan, "Allah adalah Rabb-ku dan Rabb ayahmu."

Pada saat itu, putri Fir'aun berkata, "Aku sampaikan ini kepada ayahku." Ia bertanya jika wanita itu setuju jika hal ini disampaikan kepada raja, tentang imannya kepada Allah dan pengingkarannya terhadap keilahian Fir'aun. Maka wanita itu menjawab, "Ya."
Mungkin putri Fir'aun, di balik pertanyaannya ini, ingin wanita itu bertekuk lutut memohon kepadanya agar tak mengatakan rahasianya kepada raja demi keselamatannya dan anak-anaknya. Sebagian orang ada yang menikmati jika orang lain bertekuk lutut dan memohon-mohon kepadanya.
Atau mungkin ia ingin menjadi pemegang kunci rahasia wanita tersebut, agar ia bersedia membantunya mewujudkan tujuan dan ambisinya. Di istana thaghut seperti Fir'aun, banyak sekali pos-pos kekuatan yang masing-masing berusaha mewujudkan ambisi dan keinginannya. Mereka memerlukan para pendukung, baik laki-laki maupun perempuan, yang dijadikan sebagai kepanjangan mereka demi kemaslahatan mereka dan menjadi pelaksana lapangan bagi rencana-rencana mereka. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa putri Fir'aun tak segera menyampaikan berita itu kepada bapaknya, akan tetapi ia bertanya kepadanya tentang hal itu. Pertanyaannya tersebut menunjukkan adanya udang di balik batu.

Akan tetapi, wanita shalihah ini telah mengambil keputusan yang pasti. Ia tak memohon dan tak meminta kepada putri raja agar merahasiakan perkaranya. Ia mengizinkannya untuk menyampaikan sepertinya ibu mulia ini telah lelah menyimpan imannya. Orang yang menyembunyikan imannya pastilah menemui kesulitan yang berat. Allah Ta'ala berfirman,

الم
Alif, Lam, Meem – (QS.29:1)
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ
"Mengirakah manusia bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah beriman,' dan mereka tak diuji?" – (QS.29:2)
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
"Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." – (QS.29:3)

Ia harus menyembunyikan shalatnya, puasanya, dan doanya. Jika perkaranya hampir terbongkar, ia akan menemukan kesulitan dalam mencari alasan dari perilakunya, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Wanita ini lalu meminta kepada Fir'aun satu permintaan. Sebuah permintaan yang bukan merupakan ketertundukan, kepasrahan, harapan dan ataupun kehinaan. Sang thaghut Fir'aun mengira kalau adzab seperti ini bisa membuatnya murtad dari agamanya, atau mungkin Fir'aun mengira bahwa wanita yang lemah ini bertekuk lutut di hadapannya demi memohon ampunannya atau ampunan untuk anak-anaknya; bisa saja ia berkata kepadanya, "Apa urusan anak-anakku, akulah yang berdosa, bukan mereka." Akan tetapi wanita ini tak melakukan semua itu. Yang dipintanya hanyalah agar sisa-sisa tubuhnya dan anak-anaknya yang terbakar dikumpulkan di dalam sepotong kain lalu dikubur jadi satu. Fir'aun pun menyanggupinya.
Sebagian orang mungkin mengira bahwa wanita ini telah berbuat bodoh terhadap anak-anaknya kala ia menyeret mereka ke dalam musibah besar yang menimpa mereka. Akan tetapi, orang seperti wanita ini, mempunyai cara pandang yang berbeda. Ia melihat bahwa apa yang dilakukannya terhadap anak-anaknya mengandung kebaikan besar bagi mereka di sisi Allah kelak saat mereka menghadap kepada-Nya. Dan memang demikianlah faktanya.

Sebelum Fir'aun, sang thaghut, melemparkan wanita ini ke dalam tungku besar tersebut, ia terlebih dahulu melemparkan anak-anaknya satu demi satu, dengan harapan agar wanita ini bersedia meninggalkan agamanya lantaran melihat bagaimana api membakar anak-anaknya sebelum membakar dirinya. Mungkin sang thaghut ingin menambah kepedihan hatinya dengan melihat anak-anaknya terbakar di depan matanya. Wanita ini bertabiat lembut, sehingga bisa terjadi bahwa ia akan merasa pilu ketika melihat pemandangan yang buruk, seperti pembakaran dan pembunuhan. Kepedihannya pasti bertambah manakala yang disiksa dan dibunuh adalah anak-anaknya. Dalam kondisi seperti ini, seorang ibu pasti teriris-iris hatinya dengan kepedihan yang mendalam. Akan tetapi, sikap yang diambilnya, kesabaran dan keteguhan yang dimilikinya menunjukkan tingkat iman yang diraih oleh ibu ini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika aroma dan bau harum mereka tercium di langit Rasulullah (ﷺ) dan menarik perhatian beliau (ﷺ) sewaktu melakukan perjalanan di langit yang tinggi. Beliau (ﷺ) ingin mengetahui kisahnya. Wanita inilah wanita agung di sisi Allah. Kerendahannya di depan Fir'aun dan bala-tentaranya adalah kebesarannya di hadapan Allah dan Malaikat-malaikat-Nya.

Rasulullah (ﷺ) menyampaikan kepada kita bahwa hati wanita ini teriris dan ia merasakan kepedihan yang mendalam tatkala anaknya yang masih bayi hendak dilemparkannya ke dalam api. Dan biasanya seorang wanita akan lebih sedih dan terenyuh hatinya manakala putranya yang masih bayi terkena sesuatu yang menyakitkannya. Wanita ini sepertinya maju mundur dan berpikir untuk menyurutkan langkahnya, akan tetapi, anaknya meneguhkannya. Allah membuatnya mampu berbicara sebagai pemompa semangatnya supaya imannya bertambah dan membuktikan kebenaran imannya. Bayinya berkata (dan tak biasanya bayi berbicara) kepadanya, "Wahai Ibu, masuklah karena adzab dunia lebih ringan daripada adzab Akhirat."

Sang jabang bayi tak meminta kepada ibunya agar jangan bersedih atasnya atau memikirkannya, ia berbicara kepada ibunya dalam urusan ibu. Sang bayi meminta kepada ibunya agar bersabar atas apa yang akan menimpanya, karena adzab dunia lebih ringan daripada adzab Akhirat. Inilah takziyah (hiburan) besar yang diperuntukkan kepada orang-orang yang menghadapi kematian atau pembunuhan di jalan Allah. Oleh sebab itu, begitu ia mendengar ucapan bayinya, ibu ini tak menunggu mereka melemparkannya. Ia pun masuk ke dalam tungku yang panas menyala-nyala.
Secara pasti, aroma tubuhnya dan anak-anaknya yang terbakar, memenuhi ruangan, laksana daging yang diletakkan diatas bejana panas dan menjadi matang. Oleh karena itu, Allah memuliakannya dengan membalikkan aromanya menjadi aroma harum mewangi yang tercium di seantero langit. Sungguh beruntung wanita ini dan merugilah Fir'aun. Wanita ini mati, Fir'aun juga mati. Keduanya kembali kepada Rabb-nya. Fir'aun dan bala-tentaranya di alam Barzakh dimana api Jahannam ditampakkan kepadanya pagi dan sore, dan pada hari Kiamatm ia memimpin kaumnya lalu menjerumuskan mereka ke dalam Neraka. Sementara ibu ini dan anak-anaknya, beroleh kenikmatan derajat tingkat tinggi, dan pada kelak pada hari Kiamat, Allah akan memasukkan mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."

"Wahai saudara-saudariku, pelajaran pertama dari kisah ini, adalah keterangan tentang bagaimana iman bekerja di dalam jiwa. Di jalan Allah, orang-orang mukmin merasakan penyiksaan sebagai sesuatu yang ringan dan mereka menghadapi para thaghut. Kezhaliman paling berat dan penyiksaan paling biadab, takkan berguna menyurutkan iman seorang mukmin. Orang-orang kafir takkan mau berbelas kasih tatkala mereka menghadapi orang-orang mukmin. Mereka bisa membunuh dan membakar tanpa membedakan antara orang dewasa dan anak-anak yang masih menyusu.
Cara-cara penyiksaan yang dipakai di masa lalu, di antaranya adalah alat yang dibuat dengan bentuk seperti sapi. Siapapun yang disiksa dengan cara dilempar ke dalamnya, maka itu terjadi setelah di bawahnya dinyalakan api.
Wanita ini tak bunuh diri saat ia terjun ke dalam api. Ia ingin membuat Fir'aun dan bala-tentaranya bersedih, daripada ia tunduk pada kesombongan mereka dengan menolak, berteriak dan tak mau terjun ke dalam api. Ia memilih terjun sendiri tanpa ada rasa takut dan khawatir. Hal ini menambah kekalahan dan kemarahan para thaghut itu. Wanita ini mempecundangi mereka, dengan menyatakan secara terbuka bahwa mereka sangat hina. Di dunia ini masih ada orang yang menolak kehinaan, menolak menganggukkan kepalanya kepada kezhaliman dan orang-orang zhalim. Sebagian orang yang mengaku berilmu mengira bahwa perbuatan wanita ini adalah bunuh diri. Mereka itu perlu mengetahui perbedaan antara bunuh diri dengan apa yang dilakukan oleh wanita ini.

Pelajaran selanjutnya, seorang muslim boleh meminta kepada seorang thaghut atas sesuatu yang mengandung kebaikan baginya, sebagaimana ibu ini meminta kepada Fir'aun agar menguburkan abu dirinya dan anak-anaknya. Inu juga menunjukkan usaha seorang muslim untuk menjaga sisa-sisa tubuhnya setelah ia wafat.
Balasan berasal dari jenis perbuatan. Saat aroma tubuh wanita ini dan anak-anaknya yang terbakar, menyebar, Allah merubahnya menjadi aroma harum lagi wangi yang bersumber darinya dan anak-anaknya di langit yang tinggi.
Allah telah meninggikan derajat ibu ini dan memuliakannya beserta anak-anaknya secara agung. Karomah Allah kepada para wali-Nya yang mengorbankan jiwa mereka secara sukarela, fi sabilillah. Rasulullah (ﷺ), pada waktu Mi’raj ke langit di malam Isra', mencium bau wangi wanita ini dan Jibril menyampaikan kisahnya. Allah meneguhkan hamba-hamba-Nya yang ingin dimuliakannya dalam kondisi-kondisi yang sulit. Allah membuat bayi menyusu bisa berbicara, ia meminta ibunya agar tetap teguh. Dengan itu, ia menyingkirkan godaan setan yang muncul dalam benaknya dan hampir mencelakakannya.
Akhirnya, hadits ini merupakan keterangan tentang bayi yang berbicara sewaktu di dalam gendongan. Tiga orang dari bayi-bayi itu disebutkan dalam hadis Juraij, yaitu Isa bin Maryam, bayi Juraij, dan bayi yang menolak doa ibunya. Dan hadis ini menyebutkan putra wanita tukang-sisir Fir'aun. Sesungguhnya, inilah perwujudan kekuasaan Allah. Wallahu a'lam."
[Bagian 2]

Senin, 20 Mei 2019

As-Samiri

Lalu enggang berkata, "Setelah Nabi Musa, alaihissalam, meninggalkan kaumnya menuju Bukit Thur, as-Samiri membentuk dari perhiasan-perhiasan emas itu, patung anak-sapi. Kemudian, ia memasukkan segenggam debu yang berada di bawah kuku kuda Jibril, dan mulailah patung itu tampak hidup. Kaumnya lalu menyembah patung tersebut. Al-Qur'an telah meriwayatkan peristiwa ini, secara singkat di suatu surah dan secara rinci di surah yang lain. Ada sebuah hadits yang menjelaskan sisi lain dari peristiwa ini. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak meriwayatkan dari Sayyidina Ali, radhiyallahu 'anhu. Ia berkata,
Setelah Musa telah pergi menemui Rabb-nya, as-Samiri (seorang dukun) memutuskan (membentuk seekor patung anak-sapi). Ia mengumpulkan seluruh perhiasan yang bisa ia kumpulkan dari Bani Israil. Ia membentuk perhiasan itu dalam bentuk anak-sapi. Ia lalu meletakkan ke dalam lubangnya, segenggam debu sehingga mulailah patung itu mengeluarkan suara (seperti lenguhan anak sapi); ia berkata kepada Bani Israil, "Inilah ilahmu dan ilah Musa."
Harun berkata kepada mereka, "Wahai kaumku, bukankah Rabb-mu menjanjikanmu yang lebih baik?"
Saat Musa kembali dan menemukan bahwa as-Samiri telah menyesatkan mereka, (dengan marah) ia memegangi rambut saudaranya (Harun). Harun menyampaikan apa yang perlu dikatakannya. Lalu Musa berkata kepada as-Samiri, "Bagaimana denganmu?" (mengapa engkau melakukannya?) Ia berkata, "Aku telah mengambil segenggam debu dari jejak kaki rasul (Jibril, alaihissalam) dan aku memasukkannya ke dalam anak-sapi ini. Aku berpikir, itu baik-baik saja."
Musa menangkap anak-sapi itu dan mengikirnya. Ia berada di tepi sungai saat melakukannya (sehingga ampas hasil kikiran anak-sapi itu berjatuhan ke sungai). Maka, siapapun penyembah anak-sapi itu, meminum air sungai, wajahnya berubah menjadi warna emas. Kemudian mereka bertanya kepada Musa, bagaimana caranya bertaubat?
Musa berkata, "Saling-membunuh." Maka, merekapun mengambil pisau dan mulai saling menikam. Seseorang menikam ayahnya, orang lain menikam saudaranya, tanpa peduli siapa yang mereka bunuh. Dengan cara ini, mereka membunuh tujuh puluh ribu orang diantara mereka sendiri.
Allah kemudian memerintahkan Musa, melalui wahyu, bahwa pembunuhan tersebut dihentikan. Allah berfirman, "Aku telah mengampuni orang-orang yang telah terbunuh dan menerima taubat yang lain."
[HR. Al-Hakim dalam Mustadrak, 2/412, no. 3434; pada Kitabut Tafsir (tafsir Surah Ta Ha). Ia berkata, "Hadits ini sahih sesuai ketentuan Syaikhain dan keduanya tak meriwayatkannya." Hal ini disetujui oleh Adz-Dzahabi].
Ada yang mengatakan bahwa as-Samiri adalah orang Kipti yang bertetangga dengan Nabi Musa dan telah memeluk Islam. Saat Nabi Musa membawa Bani Israil keluar dari Mesir, ia juga ikut bergabung. Yang lain mengatakan bahwa ia adalah kepala suku salah satu suku Bani Israil bernama Samira, yang masih sangat dikenal di Suriah.
Menurut Sa'id Ibnu Jubair, radhiyallahu 'anhu, ia adalah seorang Persia dari provinsi Kirman. Dari Qurtubi, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia berasal dari bangsa penyembah sapi, yang entah bagaimana mencapai Mesir dan berpura-pura memeluk agama Bani Israil, padahal sebenarnya ia munafik. Versi lain, bahwa ia adalah seorang Hindu dari India yang menyembah sapi, sungguh-sungguh menganut agama Nabi Musa, namun kemudian kembali lagi kepada kayakinan lamanya, atau telah menerima Islam dalam kemunafikan.
Nama As-Samiri yang sebenarnya, seperti yang diyakini secara umum, adalah Musa Ibnu Zafar. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa as-Samiri lahir pada masa di bawah pemerintahan Firaun, saat semua anak laki-laki Bani Israil harus dibunuh. Ibunya, khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk, menempatkannya di dalam sebuah gua dan menutup mulut gua itu. Ia mengunjunginya setiap waktu dan memberinya makan semampu yang bisa ia lakukan.
Di sisi lain, Allah menunjuk malaikat Jibril, alaihissalam, untuk merawat anak itu dan memberinya makan. Jibril membawa madu di satu jari, mentega di jari kedua dan susu di jari ketiga yang ia berikan kepada anak itu. Anak itu tinggal di gua sampai dewasa dan, seperti yang telah telah disampaikan, menjadi kufur, membawa Bani Israil ke dalam bencana yang besar, dan ia sendiri mengalami nasib buruk sebagai adzab dari Allah.
Seorang penyair menggambarkan tentang hal ini dalam dua bait berikut:
"Jika seseorang yang lahir tak beruntung, akan membuat kisruh orang-orang yang membesarkannya dan mereka yang menaruh harapan tinggi padanya akan kecewa.
Aduhai! Musa yang dibesarkan Jibril, kufur, dan Musa yang dibesarkan Firaun, Nabiyullah."

Namun demikian, ia mengumpulkan perhiasan dari kaumnya setelah kepergian Nabi Musa dan menaruh segenggam debu (ke dalam patung yang dibentuk dari perhiasan itu). Debu tersebut diambilnya dari jejak kaki Jibril. As-Samiri melihat bahwa saat malaikat Jibril datang menjemput Nabi Musa dengan menunggang kuda, dimanapun Jibri menjejakkan kakinya, tempat itu hidup kembali dan menghijau. Pahamlah ia bahwa di bawah jejak kaki Jibril, ada jejak kehidupan.
Menurut satu riwayat, saat Bani Israil melintasi Laut Merah, dimana mereka pergi ke sisi lain, di sana as-Samiri melihat Jibril. Ia mengenalinya karena telah merawat dan memeliharanya.
Menurut versi lain, iblislah yang memperlihatkannya bahwa di bawah jejak kaki Jibril, ada tanda-tanda kehidupan. Maka, as-Simiri mengambil segenggam debu darinya. Ia memasukkannya ke dalam leburan perhiasan-emas dan anak-sapi itu hidup dengan lenguhan seperti anak-sapi sejati. As-Samiri kemudian memberitahu kaumnya bahwa Nabi Musa telah pergi dan tak diketahui, akankah ia kembali atau tidak. "Anak-sapi inilah ilahmu dan ilah Musa." (Nauzubillah min zalik!)

Banyak orang merasa yakin atas apa yang diucapkannya dan tak mempedulikan Nabi Harun ketika ia berusaha menghentikan mereka.
Semantara itu, Nabi Musa kembali dari Bukit Thur, dengan lauh-lauh Taurat di tangannya. Ia menemukan bahwa orang-orang yang ia tinggalkan sebagai penyembah Satu Ilah, telah beralih memnjadi penyembah sapi. Keadaan ini membuatnya sangat marah. Kaum ini, yang Allah telah berikan banyak nikmat dan menyelamatkan mereka dari Firaun, telah menjadi musyrik. Dalam amarahnya, ia memegangi saudara laki-lakinya, Nabi Harun, menarik rambutnya seraya berkata, "Mengapa engkau tak menghentikan mereka? Apa yang menghalangimu menyusulku ke Bukit Thur ketika orang-orang ini menjadi penyembah berhala? Mengapa engkau tetap tinggal bersama orang musyrik ini? "
Nabi Harun berkata, "Wahai anak ibuku! Dengarkan aku, aku tak ingin menimbulkan perselisihan di antara Bani Israil. Jika aku membawa serta orang-orang beriman, yang berjumlah dua belas ribu kepadamu, maka akan menimbulkan masalah dan ketidaksepakatan di antara Bani Israil, sementara aku yakin bahwa saat engkau pulang, orang-orang ini akan kembali ke jalan yang benar." Ia menambahkan, "Juga sebagian besar dari orang-orang ini, telah sesat dan sangat sedikit yang berada di pihakku. Jika aku bertahan, niscaya mereka akan membunuhku. Aku telah berusaha mengingatkan mereka namun mereka tak mendengarkanku dan akan membunuhku."
Nabi Musa memahami apa yang disampaikan Nabi Harun dan membebaskannya dari kesalahan, kemudian beralih kepada pelaku yang sebenarnya, as-Samiri. Ia meminta penjelasan as-Samiri dan mengapa ia melakukan kejahatan itu. As-Samiri menceritakan bagaimana ia mengamati kehidupan yang berasal dari jejak-jejak kaki malaikat Jibril saat menyentuh tanah dan menyimpulkan bahwa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Karena itu, ia mengambil debu dari jejak-jejak itu dan menaruhnyake dalam hasil leburan perhisan emas Bani Israil. Dengan bualannya As-Samiri berkata, "Itulah yang sangat kubanggakan."
Lalu Musa berkata kepadanya, "Hukumanmu adalah bahwa semua orang akan mengucilkanmu di dunia ini." Terlepas dari pengucilan ini, Nabi Musa juga memerintahkannya agar tak menyentuh siapapun dan hidup menjauh dari semua manusia, laksana binatang liar.
Ada yang mengatakan bahwa pada awalnya, Nabi Musa bermaksud menghukum mati as-Samiri, namun Allah mencegahnya, karena as-Samiri, orang yang sangat murah hati dan membantu orang-orang yang berada dalam kesulitan. Hukuman yang dijatuhkan oleh Nabi Musa untuk as-Samiri di dunia ini adalah bahwa setiap orang berlepas diri darinya dan tak mendekatinya, dan ia juga diperintahkan agar tak menyentuh siapapun. Karena itu, ia terlaknat, menghabiskan sisa hidupnya jauh dari segala kehidupan sosial - layaknya binatang liar. Inikah hukuman yang diberikan kepadanya oleh Nabi Musa, melalui syariat yang mengikat as-Samiri dan juga Bani Israil, ataukah as-Samiri tertimpa oleh penyakit aneh yang menghalangi orang lain menyentuhnya, Allahu a'lam.
Ada riwayat bahwa Nabi Musa telah mengutuk as-Samiri sehingga jika ada yang menyentuhnya maka kedua-belah pihak akan menderita demam (Ma'aalim). Maka as-Samiri menghabiskan seluruh hidupnya bersembunyi dan setiap kali ia melihat seseorang mendekatinya, ia akan berteriak, "لَا مِسَاسَ" ("Jangan sentuh aku!")."

Enggang diam sejenak, lalu melanjutkan, "Wahai saudara-saudariku, pada Hari Kiamat, semua orang akan membawa ikatan dosa di pundaknya sama seperti orang membawa beban; oleh karena itu dosa ini juga disebut sebagai 'wizr' (beban) ), jamaknya, awzaar. Bani Israil telah meminjam perhiasan dan permata dari orang Kipti dengan dalih memakainya pada hari perayaan mereka, nemun mereka tak mengembalikannya kepada pemiliknya dan membawanya bersama mereka saat eksodus mereka dari Mesir. Digambarkan sebagai 'awzaar', yang bermakna "dosa", karena barang-barang ini, barang pinjaman, dan dengan tak mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah, Bani Israil telah berbuat dosa.
Camar bertanya, "Kapan barang milik orang kafir menjadi halal bagi umat Islam?" Enggang berkata, "Orang-orang non-Muslim yang tinggal di negara Muslim dan mematuhi hukumnya, mereka dikenal sebagai Dzimmi [ذمي]. Orang-orang seperti ini, termasuk orang-orang kafir, bila telah menandatangani perjanjian dengan umat Islam, tetap berhak atas barang-barang milik mereka, dan tak halal bagi umat Islam bila merampasnya dari mereka. Namun, barang milik orang-orang kafir, yang bukan dzimmi, yang juga tak memiliki perjanjian dengan umat Islam, dan yang digambarkan oleh para ahli hukum sebagai "kafir harbi ", [كافر حربى], orang kafir yang menjadi musuh negara, adalah halal bagi umat Islam.

Karena itulah, mengapa Nabi Harun menggambarkan perhiasan-perhiasan yang dipinjam oleh Bani Israil dari bangsa Mesir, sebagai beban, yang berarti dosa, dan memerintahkan mereka agar membuangnya ke dalam lubang yang telah dubuatkan. Ada sebuah penjelasan, yang diberikan mayoritas mufassir adalah, bahwa barang-barang kepemilikan orang-orang kafir memiliki status yang sama dengan rampasan perang. Hukum yang mengatur rampasan perang sebelum diundangkannya syariah Islam adalah bahwa orang-orang beriman pada masa itu, dapat secara paksa mengambil barang-barang milik orang-orang kafir, namun mereka tak boleh menggunakannya untuk keuntungan pribadi mereka. Semua rampasan perang [مال غنيمت] yang diperoleh dikumpulkan dan ditempatkan di atas gundukan sebagai persembahan dimana api dari langit - seperti petir - mengambilnya dan ini merupakan tanda bahwa Allah menerima perjuangan mereka melawan orang-orang kafir.
Ada yang mengatakan bahwa Nabi Harun mengingatkan mereka tentang kesalahan mereka dan mengarahkan mereka agar membuang semua perhiasan itu ke dalam sebuah lubang. Menurut beberapa riwayat, as-Samiri-lah yang mengatakan kepada mereka bahwa, dengan menahan sesuatu yang bukan milik mereka, mereka telah berbuat dosa dan menyarankan mereka agar membuang semua perhiasan itu ke dalam sebuah lubang, dan merekapun melakukannya."
Menurut hukum yang berlaku saat itu, jika perhiasan yang dipinjam oleh Bani Israil dari orang Kipti dianggap sebagai rampasan perang, tak boleh dipakai untuk keuntungan pribadi Bani Israil. Itulah sebabnya semuanya dilemparkan ke dalam lubang di bawah perintah Nabi Harun.
Menurut syari'at Islam, Bani Israil tak boleh menggunakan perhiasan itu secara sah untuk keuntungan pribadi mereka. Telah diketahui umum bahwa saat Rasulullah (ﷺ) akan berhijrah ke Madinah, ada banyak barang berharga yang dititipkan oleh orang-orang kafir Arab kepada beliau, karena mereka telah yakin dan mengakui kejujuran yang ada pada Nabi (ﷺ), oleh karenanya, mereka menyebut Rasulullah (ﷺ) sebagai al-Amin (orang yang jujur). Beliau sangat peduli dengan titipan orang-rang ini sehingga beliau menyerahkannya kepada Ali, radhiyallahu 'anhu, dan secara khusus mengarahkannya agar mengembalikannya ke pemilik yang sah sebelum berangkat hijrah ke Madinah. Ini jelas menunjukkan bahwa tidaklah patut bagi seorang Muslim, demi kepentingan pribadi mereka, mengambil hak atas barang berharga milik non-Muslim."

Camar bertanya, "Adakah pelajaran dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim ini?" Enggang berkata, "Pelajaran dasar yang kita pelajari dari kisah dalam Hadis ini adalah, bahwa manusia hendaknya selalu memohon kepada Allah, agar tetap istiqamah menjalankan kewajiban agamanya. Tak ada yang bisa menyatakan diri bahwa ia akan selalu berada di jalan yang benar. Seseorang mendapat petunjuk pada awalnya, namun kemudian, bisa saja Allah mencabutnya. Nikmat dan karunia telah dicabut darinya untuk selamanya.
Inilah yang terjadi pada as-Samiri. Pada awalnya, ia telah mendapat hidayah dan ia bergabung dengan Nabi Musa, namun kemudian, hidayah ini dicabut darinya dan ia terbenam ke dalam kerugian yang terus-menerus. Karena itu, kita hendaknya selalu memohon kepada Allah untuk keselamatan, istiqamah dan tuntunan menuju keshalihan. Kita tak boleh menyerah pada keadaan atau merasa sudah benar-benar sempurna dalam Dien kita.
Kita juga belajar dari Hadis ini, bahwa syarat-syarat diterimanya taubat dari orang-orang terdahulu, ternyata sangat berat. Terkadang, mereka diampuni hanya setelah mereka mematikan kaum mereka sendiri. Inilah yang terjadi dalam babak ini. Nabi Musa memerintahkan mereka agar saling membunuh dan sekitar tujuh puluh ribu orang terbunuh sebelum pertobatan mereka diterima.

Bila kita bandingkan dengan umat Nabi kita tercinta (ﷺ), jauh lebih baik. Allah telah merahmati mereka dengan nikmat yang luar biasa. Tak ada persyaratan yang berat agar pertobatan mereka diterima. Kenyataannya, taubat itu sedemikian mudahnya sehingga siapapun dapat bertobat ketika ia mau, kapan saja, dimanapun ia brada dan memperoleh ampunan atas dosa-dosanya. Setiap hamba dapat memohon langsung ampunan dari Allah atas dosa-dosanya dengan tulus dan dengan hati yang ikhlas, dan menetapkan dalam qalbunya bahwa ia takkan mau berbuat dosa lagi. Pada saat yang sama, ia hendaknya menghentikan perbuatan dosanya tanpa ditunda-tunda. Hal inilah yang memsucikannya dan melindunginya dari dosa. Dan Insya Allah. taubatnya akan diterima.
Kisah ini juga memberitahu kita bahwa Allah membedakan hamba-Nya yang shalih dari orang yang mengejakan dosa dan para pendosa dari hamba-hamba-Nya, yang kadangkala melalui tanda yang jelas. Inilah yang terjadi dalam kisah yang kita diskusikan. Mereka yang telah menyembah anak-sapi, wajahnya berubah warna saat meminum air sungai. Wajah mereka menjadi semburat emas. Anak-sapi itu dikikir dan ampasnya masuk ke sungai.
Dan akhirnya, mengakui ke-Esa-an Allah, adalah nikmat yang banyak dari-Nya. Inilah standar iman. Kita hendaknya sangat berhati-hati dalam melindungi iman ini. Jika ada keraguan dalam hal ini, maka manusia merusak peluangnya, baik di dunia ini maupun di dunia selanjutnya. Allah telah menjelaskan bahwa Dia tak pernah mengampuni penyembahan berhala atau kemusyrikan. Oleh karena itu, kita hendaknya menjaga diri agar tak menyekutukaNya dalam bentuk atau cara apapun.
Bahkan orang yang tampaknya baik pun, bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kemusyrikan. Dan juga, kita hendaknya menjauhkan diri dari segala hal yang meragukan. Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Mohammad Zakariya Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Isha'at.
- Maulana Mufti Muhammad Shafi, Ma'ariful Quran Volume 6, Maktaba-e-Darul-'Uloom.

Selasa, 14 Mei 2019

Kisah Penyembahan Anak Sapi (3)

Enggang melanjutkan, "Disebutkan bahwa As-Samiri berkata kepada Bani Israil, 'Jika kalian menyerahkan padaku perhiasan yang kalian bawa dari orang-orang Koptik itu dan karena takkan bisa lagi mengembalikannya kepada mereka saat meninggalkan Mesir, maka akan kutunjukkan kepada kalian sesuatu yang lebih bermanfaat.'
Maka Bani Israil pun menyerahkan seluruh perhiasan itu kepadanya. Ia meleburkan barang-barang itu dan dari hasil leburan itu, ia menjadikannya berbentuk anak sapi. Kemudian ia juga menambahkan segenggam debu yang diambilnya dari jejak-jejak kuda Jibril, ke dalamnya dan mulailah tampak tanda kehidupan muncul dari dalamnya dan mulai mengeluarkan suara. Lalu ia berkata kepada Bani Israil, "Musa telah melakukan kesalahan. Inilah ilah kalian." Dengan penunjukkan ini, Bani Israilpun mulai menyembah anak sapi.

Kemudian Allah menyampaikan kepada Nabi Musa bahwa orang-orang yang dengan sekuat tenaga telah ia tuntun, dan begitu banyak tenaga dan pikiran telah dikerahkan atas mereka, telah tersesat. Mendengar ini, Nabi Musa sangat sedih dan kembali kepada kaumnya dengan kemarahan dan kesedihan. Menghadapi mereka, ia berkata, "Apa yang telah kalian lakukan? Begitu lamakah aku meninggalkan kalian sehingga kalian harus berbuat hal yang akan membawa bencana ini?"
Pada saat itu, ia sangat marah, dan karena marahnya, lauh-lauh itu jatuh dari tangannya. Bani Israil menjawab, "Ini bukan kesalahan kami. Inilah perhiasan-perhiasan orang Mesir yang kami bawa. As-Samiri memintanya dari kami, yang darinya ia membentuk seperti itu dan menyesatkan kami."

Syirik, menyekutukan sesuatu dengan Allah, kejahatan seperti ini, tak dapat ditolerir. Nabi Musa sangat marah. Ia meraih leher saudaranya, Nabi Harun dan menarik janggutnya. Nabi Harun berseru, "Wahai saudaraku, itu bukan salahku. Aku sudah lelah berusaha keras melarang mereka, namun mereka tak mengindahkan. Mereka berkata bahwa selama Musa tak kembali, kami takkan mendengarkanmu.
Mereka memandang lemah padaku, bahkan mereka berencana membunuhku. Melihat kenyataan ini, aku berpikir bahwa jika aku harus berperang melawan mereka, dan pertempuran harus terjadi antara orang beriman dan mereka, maka segala tuduhan akan dibebankan padaku, bahwa aku telah menyebabkan perpecahan di antara Bani Israil. Karenanya, aku lebih memilih diam sambil menunggumu pulang. Saudaraku yang terkasih, janganlah memegang kepala atau janggutku agar orang lain tak menemukan kesempatan menertawakan kita."

Mendengar penjelasan Nabi Harun ini, kemarahan Nabi Musa mereda, dan ia menoleh ke arah As-Samiri, "Samiri, omong-kosong apa yang telah kamu perbuat ini?" Ia menjawab, "Aku telah melihat sesuatu yang tak dilihat oleh orang-orang Israil ini. Aku melihat Jibril di atas kuda di antara pasukan Firaun dan Bani Israil. Aku memperhatikan bahwa di dalam debu di bawah kuku kuda utusan itu, ada tanda-tanda kehidupan dan muncul api dari tanah hijau yang kering itu. Jadi aku mengambil sedikit debu dari bawah kuku kuda itu. Lalu kulemparkan ke dalam patung anak sapi itu, tanda-tanda kehidupan tercipta di dalamnya dan ada suara keluar dari dalamnya."
Nabi Musa, alaihissalam, berkata, "Sekarang untukmu di dunia, inilah yang akan menjadi hukumanmu, "engkau akan berkelana di dunia laksana orang gila. Saat seseorang mendekatimu, engkau akan menghindar darinya dan berkata," Jangan sentuh aku! "Inilah yang akan menjadi hukumanmu di dunia ini, dan pada Hari Kiamat kelak, akan ada hukuman teristimewa, yang pasti akan terpenuhi karena perbuatanmu.
Wahai Samiri, anak-sapi yang telah menjadi berhala itu, akan kami campakkan ke dalam api untuk dibakar menjadi debu, agar orang-orang bodoh itu tahu bahwa berhala itu tak memiliki kekuatan atau kekuasaan, bahkan tak dapat membawa manfaat ataupun bahaya sekalipun kepada siapapun, dan ia juga tak bisa menyelamatkan dirinya-sendiri dari kehancuran."

Setelah kemarahan Musa mereda, ia mengambil lauh-lauh Taurat itu, dan kembali bermunajat kepada Rabb-nya, bertanya amalan apa yang akan dapat membawa ampunan bagi Bani Israil, yang telah bersalah atas perbuatan yang sebenarnya merupakan kemurtadan. Jawabannya datang, mereka yang bersalah karena kezhaliman mereka, harus bunuh diri.
Menurut Ibnu Jarir, dari Al-Suddi, "Setelah itu, Nabi Musa menangkap anak sapi itu dan membunuhnya, kemudian leburannya dikumpulkan lalu ditebarkan ke laut. Semuanya masuk ke dalam aliran laut. Lalu Nabi Musa berkata kepada mereka, “Minumlah air itu.” Merekapun meminumnya, dan bagi siapapun yang meminumnya, warna emas di dalam air itu akan menampakkan diri kepada mereka yang mencintai anak sapi itu. Allah Ta'ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
"Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janjimu dan Kami angkat gunung (Sinai) di atasmu (seraya berfirman), 'Pegang teguhlah apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!' Mereka menjawab, 'Kami dengar, tapi kami tak taat.' Dan diresapkanlah ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah patung) anak sapi karena kekafiran mereka. Katakanlah, 'Sangat buruk apa yang diperintahkan oleh kepercayaanmu kepadamu jika kamu orang-orang beriman!'" - (QS. 2:93)
Allah menolak taubat Bani Israil, kecuali untuk keadaan yang mereka tak suka memerangi di antara mereka sendiri ketika mereka menyembah anak sapi. Allah berfirman,
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Kamu benar-benar telah menzhalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan), karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu. Itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. Dia akan menerima tobatmu. Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." - (QS. 2:54)
Nabi Musa berkata kepada mereka, "Wahai kaumku! Kalian telah berbuat zhalim karena kalian telah menjadikan anak-sapi itu sesembahan, maka bertobatlah kepada Penciptamu, dan bunuhlah dirimu yang bersalah itu."
Imam An-Nasa'i, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim mencatat Ibnu ‘Abbas berkata,“ Allah menyampaikan kepada Bani Israil bahwa mereka bertaubat dengan cara membunuh dengan pedang setiap orang yang mereka temui, ayah ataupun anak. Mereka tak perlu peduli siapa yang mereka bunuh. Mereka yang bersalah, yang Nabi Musa dan Harun, alaihimussalam, tak tahu mana yang salah, harus mengakui dosa-dosa mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan. Jadi, Allah mengampuni yang membunuh dan yang dibunuh. "
Allah memerintahkan Nabi Musa agar memerintahkan kaumnya melaksanakan apa yang harus mereka lakukan. Dia memerintahkan mereka, yang menyembah anak sapi, duduk, dan mereka yang tak menyembah anak sapi, berdiri memegang pedang di tangan mereka. Saat yang berdiri mulai membunuh, kemuraman yang hebat tiba-tiba menyelubungi mereka. Setelah kemuraman itu berlalu, mereka telah membunuh tujuh puluh ribu orang dari mereka. Mereka yang terbunuh, diampuni, dan mereka yang hidup, juga diampuni."

Kemudian enggang berkata, "Wahai saudara-saudariku, Allah Ta'ala mengisahkan kepada Nabi kita tercinta (ﷺ), penjelasan tentang masa lalu, sesuai dengan apa yang terjadi, tanpa ditambahkan atau dikurangi. Allah juga mengingatkan beliau (ﷺ). Al-Qur'an yang perkasa, tak ada kebohongan yang datang sebelum atau dibaliknya. Inilah wahyu dari Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Terpuji. Tak ada Nabi yang diberi kitab sepertinya atau lebih lengkap darinya, sejak zaman Nabi-nabi sebelumnya yang diutus, sampai ditutup oleh kedatangan Nabi tercinta kita (ﷺ). Tak ada Nabi yang diberi kitab yang berisi keterangan sebanyak Al-Qur'an, tentang apa yang telah lalu dan apa yang akan terjadi. Hukum-hukum di antara umat manusia diambil darinya. Bagi siapapun yang telah terjangkau oleh Al Qur'an, baik orang-orang Arab, orang-orang bukan-Arab, Ahli Kitab dan yang lainnya, menyangkalnya dan berpaling dari mengikuti perintah dan aturannya, seraya mencari petunjuk selainnya, maka Allah akan menghukumnya tersesat dan mengirimnya ke jalan menuju Neraka.
Al-Qur'an adalah peringatan terakhir bagi semua orang yang telah dijangkaunya. Siapapun yang mengikutinya, maka ia akan terbimbing dengan baik, dan siapapun yang menentangnya dan berpaling darinya, maka ia akan salah arah. Ia akan celaka dalam kehidupan ini, dan ia dijanjikan bahwa pada Hari Kiamat, tempat tinggalnya adalah Jahannam. Allahu a'lam."

كَذَلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْرًا
"Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah (umat) yang telah lalu, dan sungguh, telah Kami berikan kepadamu suatu peringatan (Al-Qur'an) dari sisi Kami." - (QS. 20:99)
مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا
"Barangsiapa berpaling darinya (Al-Qur'an), maka sesungguhnya ia akan memikul beban yang berat (dosa) pada hari Kiamat," - (QS. 20:100)
خَالِدِينَ فِيهِ وَسَاءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلا
"mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan sungguh buruk beban dosa itu bagi mereka pada hari Kiamat" - (QS. 20:101)
Rujukan :
- Shaikh Shafiurrahman Al-Mubarakpury, Tafsir Ibn Katheer, Abridged Volume 2, 4 and 6, Darussalam
- William M. Brinner, The History of At-Tabari Volume III : The Children of Israel, SUNY
- Maulana Hifzur Rahman Soeharwy, Qasasul Ambiyaa, Translated by Maulana Yusuf Karaan, Idara Impex 


[Bagian 2]
[Bagian 1] 

Jumat, 10 Mei 2019

Kisah Penyembahan Anak Sapi (2)

Camar berkata, "As-Samiri? Siapa pula orang ini?" Enggang berkata, "Menurut At-Tabari, Ibnu Abbas berkata, 'As-Samiri adalah seorang lelaki dari Bajarma, sebuah desa di Jazirah (Mesopotamia Utara) dekat al-Raqqah, orang-orang yang menyembah sapi. Kesenangan menyembah sapi. masih tetap ada di dalam jiwanya, namun ia telah memeluk Islam di antara Bani Israil. Nama sebenarnya adalah Musa ibnu Zafar. Ia kebetulan berada di tanah Mesir dan masuk di antara Bani Israil. " Qatadah berkata, "Ia berasal dari desa Samarra."

Allah Ta'ala berfirman,

وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَى مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ أَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ لا يُكَلِّمُهُمْ وَلا يَهْدِيهِمْ سَبِيلا اتَّخَذُوهُ وَكَانُوا ظَالِمِينَ
"Dan kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke Gunung Sinai) mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara) dari perhiasan (emas). Tidakkah mereka mengetahui bahwa (patung) anak sapi itu tak dapat berbicara dengan mereka dan tak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sesembahan). Merekalah orang-orang yang zhalim." - (QS. 7:148)
Allah menggambarkan betapa sesatnya orang-orang yang menyembah anak sapi buatan As-Samiri dari perhiasan yang mereka pinjam dari orang-orang Koptik. Ia membuat bentuk anak sapi dengan perhiasan dan permata itu, dan melemparkannya bersama segenggam debu dari jejak kuda yang ditunggangi Malaikat Jibril, alaihissalam, dan anak sapi itu terdengar dapat melenguh. Ini terjadi setelah Nabi Musa pergi untuk jangka waktu yang telah ditentukan oleh Rabb-nya, dimana Allah menyampaikan padanya tentang apa yang terjadi ketika ia berada di Bukit Thur.

Allah Ta'ala berfirman,

فَرَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ يَا قَوْمِ أَلَمْ يَعِدْكُمْ رَبُّكُمْ وَعْدًا حَسَنًا أَفَطَالَ عَلَيْكُمُ الْعَهْدُ أَمْ أَرَدْتُمْ أَنْ يَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَخْلَفْتُمْ مَوْعِدِي
"Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih-hati. Ia (Musa) berkata, 'Hai kaumku! Bukankah Rabb-mu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Terlalu lamakah masa perjanjian itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan Rabb menimpamu, mengapa kamu melanggar perjanjianmu denganku?''" - (QS. 20:86)
قَالُوا مَا أَخْلَفْنَا مَوْعِدَكَ بِمَلْكِنَا وَلَكِنَّا حُمِّلْنَا أَوْزَارًا مِنْ زِينَةِ الْقَوْمِ فَقَذَفْنَاهَا فَكَذَلِكَ أَلْقَى السَّامِرِيُّ
"Mereka berkata, “Kami tak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami harus membawa beban berat dari perhiasan kaum (Fir‘aun) itu, kemudian kami melemparkannya (ke dalam api), dan demikian pula as-Samiri melemparkannya," - (QS. 20:87)
فَأَخْرَجَ لَهُمْ عِجْلا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ فَقَالُوا هَذَا إِلَهُكُمْ وَإِلَهُ مُوسَى فَنَسِيَ
"kemudian (dari lubang api itu) ia (as-Samiri) mengeluarkan (patung) anak sapi yang bertubuh dan bersuara untuk mereka, maka mereka berkata, “Inilah ilahmu dan ilahnya Musa, namun ia (Musa) telah lupa.” - (QS. 20:88)
Ketika Nabi Harun menjadi pemuka di antara orang Israil dan Nabi Musa meninggalkan mereka untuk menemui Rabb-nya, Nabi Harun berkata kepada mereka, "Kalian membawa perhisan begitu banyak dan barang-barang, permata, milik keluarga Firaun, maka sucikanlah diri kalian semua, karena apa yang ada itu mengotori diri kalian." Ia menyalakan api dan berkata, "Buanglah ke dalamnya apapun yang kalian punya dengan barang-barang itu." Mereka berkata, "Baiklah," dan merekapun mulai membawa perhiasan, permata dan barang apapun yang mereka peroleh, melemparkannya ke dalam api sampai barang-barang perhiasan dan permata itu lebur ke dalam api.
As-Samiri melihat jejak kuda Malaikat Jibril dan mengambil debu dari jejak kuda itu. Kemudian ia mendekat ke lubang dimana api menyala dan berkata kepada Nabi Harun, “Wahai nabiyullah! Haruskah kulemparkan apa yang ada di tanganku?” Nabi Harun setuju, mengira bahwa itu barang permata dan perhiasan yang telah dibawa oleh yang lain, dan as-Samiri melemparkanmnya, seraya berkata, "Jadilah anak sapi berwarna merah-kunyit, yang melenguh." Dan berhala itupun menjadi cobaan dan godaan bagi mereka, dan ia berkata, "Inilah ilahmu dan ilahnya Musa!"
Mereka mengabdikan diri untuknya dan menyayanginya dengan cinta yang belum pernah mereka berikan kepada apapun atau siapapun. Allah berfirman, "Tapi ia sudah lupa"- ditujukan kepada as-Samiri, ia telah menanggalkan keislamannya.


Para ulama Tafsir berpandangan berbeda tentang anak sapi itu, benar-benarkah ia hidup dan melenguh, atau jika anak sapi itu terbuat dari emas, udara yang masuk membuatnya tampak melenguh. Ibnu Abbas berkata, "Tidak, demi Allah, suara lenguhan anak sapi itu tak lain adalah angin yang masuk dari belakang dan keluar dari mulutnya, sehingga menyebabkannya mengeluarkan suara."
Diriwayatkan bahwa ketika patung itu melenguh, orang-orang Yahudi itu mulai menari-nari mengelilinginya dan tenggelam ke dalam kesesatan, mereka sangat menyukainya. Mereka mengatakan bahwa, anak sapi ini, adalah ilahmu dan ilah Musa, namun Musa melupakannya! Maka merekapun melakukan penyembahan yang dikhususkan bagi patung anak sapi merah itu, dan mereka menyukainya dengan rasa-cinta yang belum pernah ada sesuatupun yang pernah mereka cintai sebelumnya.

Allah menjawab mereka dengan firman-Nya,

أَفَلا يَرَوْنَ أَلا يَرْجِعُ إِلَيْهِمْ قَوْلا وَلا يَمْلِكُ لَهُمْ ضَرًّا وَلا نَفْعًا
"Maka tidakkah mereka memperhatikan bahwa (patung anak sapi itu) tak dapat memberi jawaban kepada mereka, dan tak kuasa menolak mudarat maupun mendatangkan manfaat kepada mereka?" -(QS. 20:89)
Allah mengutuk orang-orang Yahudi itu karena tenggelam dalam kesesatan, menyembah anak sapi merah dan mengabaikan Sang Pencipta langit dan bumi, Rabb dan Raja segala sesuatu. Mereka menyembah selain Dia, patung yang dibuat dalam bentuk anak sapi, yang tampak bisa melenguh, namun tak berbicara kepada mereka atau tak membawa manfaat bagi mereka. Sebaliknya, akal-sehat mereka dibutakan karena kebodohan dan kesesatan.
Dalam Hadits al-Fitan yang direkam dari Al-Hasan Al-Basri, disebutkan bahwa anak sapi ini bernama Bahmut (An-Nasa'i dalam Al-Kubra 6:396; hadits ini dinilai lemah). Orang-orang bodoh ini, mereka menyatakan bahwa mereka hanya menyucikan diri dari perhiasan orang Koptik. Dalam proses melakukannya, mereka membuang perhiasan (ke dalam lubang api) dan akhirnya menyembah anak sapi. Dengan demikian, mereka berusaha membersihkan diri dari sesuatu yang menjijikkan, namun berakhir dengan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi.
Nabi Harun berusaha melarang mereka menyembah anak sapi itu, dan ia mengatakan kepada mereka bahwa itu hanya ujian bagi mereka. Ia menyampaikan kepada mereka bahwa Rabb merekalah Ar-Rahman, Yang menciptakan segalanya dan Yang memutuskan dengan segala takaran dengan adil. Dialah Pemilik Arsy yang agung, Dia Yang melakukan apapun yang Dia kehendaki. Allah berfirman,

وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِنْ قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي
"Dan sungguh, sebelumnya Harun telah berkata kepada mereka, 'Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu hanya sekedar diberi cobaan (dengan patung anak sapi) itu dan sungguh, Rabb-mu ialah (Allah) Yang Maha Pengasih, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.'” - (QS. 20:90)
قَالُوا لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى
"Mereka menjawab, 'Kami takkan meninggalkannya (dan) tetap menyembahnya (patung anak sapi) sampai Musa kembali kepada kami.'” - (QS. 20:91)
Mereka berkata, "Kami takkan berhenti menyembah anak sapi ini sampai kami mendengar apa yang dikatakan Musa tentangnya." Maka mereka menantang Nabi Harun dan mereka melawannya, hampir membunuhnya.

Ketika Nabi Musa kembali kepada kaumnya dan melihat perubahan besar yang terjadi di antara mereka, ia menjadi marah dan melemparkan lauh-lauh Ilahi yang ia pegang di tangannya. Kemudian, ia meraih kepala dan janggut saudaranya, Nabi Harun, dan menariknya hingga berhadap-hadapan dengannya.

قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا
"Ia (Musa) berkata, 'Wahai Harun! Apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat,'" - (QS. 20:92)
أَلا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي
"(sehingga) engkau tak mengikutiku? (Sengajakah) engkau melanggar perintahku?'" - (QS. 20:93)
قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِ
"Ia (Harun) menjawab, “Wahai putra ibuku! Janganlah engkau pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku. Aku sungguh khawatir engkau akan berkata (kepadaku), ‘Engkau telah memecah-belah antara Bani Israil dan engkau tak memelihara amanatku.’” - (QS. 20:94)
Nabi Harun berusaha melunakkan amarah Nabi Musa, karena ia adalah saudara kandung Nabi Musa dan orangtua yang sama. Penyebutan ibu di sini lebih halus dan mendalam dalam menghasilkan kehalusan dan kelembutan. Ibnu Abbas berkata, "Harun menghormati dan taat kepada Musa."

Lalu Musa berkata kepada As-Samiri,

قَالَ فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ
"Ia (Musa) berkata, 'Apa yang mendorongmu (berbuat demikian), wahai Samiri?'" - (QS. 20:95)
قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي
"Ia (Samiri) menjawab, 'Aku mengetahui sesuatu yang tak mereka ketahui, maka kuambil segenggam (tanah dari) jejak rasul lalu aku melemparkannya (ke dalam api itu), demikianlah nafsuku membujukku.” - (QS. 20:96)
Musa berkata kepada As-Samiri, “Apa yang menyebabkanmu melakukan yang kamu lakukan? Apa yang memberikan gagasan seperti itu kepadamu, yang menyebabkan kamu melakukannya? "As-Samiri berkata, "Aku melihat Jibril ketika ia datang menghancurkan Fir'aun, maka aku mengambil segenggam (Qabdah) dari kuku kaki kudanya. Lalu kulemparkan bersama dengan mereka yang melempar perhiasan.'"
Mujahid berkata, "As-Samiri melemparkan apa yang ada di tangannya ke dalam perhiasan Bani Israil dan berbentuk menjadi tubuh anak sapi, yang tampak bisa melenguh. Angin yang bertiup ke dalamnya menjadi penyebab suara itu."

قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لا مِسَاسَ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا
"Ia (Musa) berkata, “Pergilah kau! Maka sesungguhnya di dalam kehidupan (di dunia) engkau (hanya dapat) mengatakan, ‘Janganlah menyentuh (aku),’. Dan engkau pasti mendapat (hukuman) yang telah dijanjikan (di akhirat) yang takkan dapat engkau hindari, dan lihatlah ilahmu itu yang kamu tetap sembah. Kami pasti akan membakarnya, kemudian sungguh kami akan menghamburkannya (abunya) ke dalam laut (berserakan)." - (QS. 20:97)
إِنَّمَا إِلَهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا
"Sungguh, Ilahmu hanyalah Allah, tiada ilah selain Dia. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.” - (QS. 20:98)
Didalam ayat lain, Allah berfirman,
وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Dan setelah mereka menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa telah sesat, merekapun berkata, “Sungguh, jika Rabb kami tak memberi rahmat kepada kami dan tak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang rugi.”- (QS. 7:149)
وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِنْ بَعْدِي أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الألْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلا تُشْمِتْ بِيَ الأعْدَاءَ وَلا تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
"Dan ketika Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih-hati ia berkata, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Brkehendakkah kamu mendahului janji Rabb-mu?” Musa pun melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan memegang kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya. (Harun) berkata, “Wahai anak ibuku! Kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zhalim.” - (QS. 7:150)
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلأخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
"Ia (Musa) berdoa, “Duhai Rabb-ku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkaulah Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” - (QS. 7:151)
إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ
"Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahannya), kelak akan menerima kemurkaan dari Rabb mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebohongan." - (QS. 7:152)
وَالَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِهَا وَآمَنُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan, kemudian bertobat dan beriman, niscaya setelah itu Rabb-mu Maha Pengampun, Maha Penyayang." - (QS. 7:153)
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الألْوَاحَ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ
"Dan setelah amarah Musa mereda, diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu; di dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Rabb-nya." - (QS. 7:154)
Saat Nabi Musa kembali kepada kaumnya, setelah bermunajat kepada Rabb-nya, ia sangat marah dan menyesal. Nabi Musa melemparkan lauh-lauh itu karena ia marah kepada kaumnya. Beberapa ulama Tafsir mengatakan bahwa ketika Musa mencampakkan lauh-lauh itu ke tanah, lauh-lauh itu berantakan dan ia mengumpulkan potongan-potongannya setelah amarahnya reda. Nabi Musa menemukan di dalamnya semacam prasasti petunjuk dan rahmat, namun rincian spesifik dari syariat itu, hilang, demikian kata mereka. Mereka juga menyatakan bahwa potongan-potongan lauh-lauh yang hancur itu, masih tersisa didalam lemari besi perbendaharaan beberapa raja Israil hingga menculnya Kekhalifahan Islam. Benar atau tidak pernyataan itu, Allahu a'lam.
[Bagian 3]
[Bagian 1]

Selasa, 07 Mei 2019

Kisah Penyembahan Anak Sapi (1)

Enggang melanjutkan, "Wahai saudara-saudariku, itulah sifat-sifat Bani Israil yang menunjukkan bahwa mereka tak ingin meninggalkan hal-hal apa yang diharamkan kepada mereka. Sebaliknya, umat Rasulullah (ﷺ) memperoleh kesempurnaan karena kemuliaan Nabi mereka (ﷺ). Tak ada keraguan bahwa Rasulullah (ﷺ) adalah manusia yang paling mulia. Rasulullah (ﷺ) memperoleh segala kemuliaan manusia. Beliaulah (ﷺ) makhluk termulia di langit dan di bumi.Selain pemimpin agama, beliau (ﷺ) juga seorang kepala "negara". Namun, beliau (ﷺ) tak angkuh seperti kaum feodal abad pertengahan di Eropa. Dari Abu Sa 'id bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلاَ فَخْرَ وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ الأَرْضُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ وَأَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ وَلاَ فَخْرَ وَلِوَاءُ الْحَمْدِ بِيَدِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ
“Akulah penghulu Bani Adam, tanpa meyombongkan-diri. Akulah yang pertama keluar saat bumi terbuka di Hari Kiamat, tanpa menyombongkan-diri. Akulah yang pertama-kali memberi syafaat dan yang pertama syafaatnya diterima, tanpa menyombongkan-diri. Panji-panji pujian akan berada di tanganku pada Hari Kiamat, tanpa menyombongkan-diri.” [HR Sunan Ibnu Majah 37/4450: Sahih]
Ada sebuah kisah tentang kerendahan-hati Rasulullah (ﷺ).
Dari Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, ada seorang Yahudi menjual barang, ia diberi sesuatu yang tak ia terima atau ia tak setuju (menerimanya), 'Abdul 'Azlz (salah seorang perawinya) ragu-ragu tentang hal itu. Ia (orang Yahudi) berkata, "Demi Dzat Yang telah Memilih Musa untuk seluruh manusia". Ucapannya ini didengar oleh seorang dari Kaum Anshar lalu ia bangkit dan menampar wajah orang Yahudi itu seraya berkata; "Kamu mengatakan demi Dzat Yang telah memilih Musa untuk seluruh manusia padahal ada Rasulullah (ﷺ) hidup di tengah-tengah kita". Maka orang Yahudi itu perrgi menemui Rasulullah (ﷺ) dan berkata, "Wahai Abul-Qasim, sesungguhnya aku memiliki kehormatan dan perjanjian, lalu bagaimana dengan seseorang yang telah menampar mukaku?". Beliau (ﷺ) bertanya (kepada orang Anshar itu), "Mengapa engkau menampar mukanya?. Orang itu menceritakan kejadiannya. Maka Rasulullah (ﷺ) marah yang nampak pada wajah beliau (ﷺ) kemudian bersabda, "Janganlah kalian menbanding-bandingkan diantara sesama Nabi-nabi Allah. Sungguh nanti akan ditiup sangkakala lalu semua makhluq yang ada di langit dan di bumi mati, kecuali yang Allah kehendaki. Lalu sangkakala ditiup lagi, maka akulah orang yang pertama sadar (dibangkitkan hidup lagi) namun saat itu aku melihat Musa sedang berpegangan pada salah satu tiang 'Arsy. Aku tak tahu, apakah karena ia diperhitungkan dengan pingsannya pada peristiwa di Bukit Thur atau ia dibangkitkan sebelum aku, dan aku tak mengatakan ada seseorang yang lebih utama dari Yunus bin Matta." [HR Al-Bukhari 3162 dan Muslim 2373]
Inilah bentuk kerendahan hati Rasulullah (ﷺ) atau sebagai bentuk larangan membangga-banggakan Rasulullah (ﷺ) dibanding para Nabi lain karena didorong oleh kemarahan atau fanatisme. Allah-lah yang berhak mengangkat kemuliaan suatu kaum terhadap yang lain. Rasulullah (ﷺ) memperoleh posisi kemuliaan (Maqaman Mahmudah) yang sangat diharapkan oleh generasi awal hingga generasi akhir. Para Nabi dan Rasul lain tak mendapatkannya, meskipun mereka adalah para Nabi ulul azmi: Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa bin Maryam, alaihimussalam.
Camar bertanya, "Wahai saudaraku, sampaikan pada kami, apa yang terjadi pada Nabi Musa, alaihissalam, pada hari di Bukit Thur?" Enggang berkata, "Ketika Allah menenggelamkan Firaun dan kaumnya, menyelamatkan Nabi Musa, alaihissalam, dan umat-Nya, Allah membuat perjanjian dengan Nabi Musa, tiga puluh malam, setelah itu Dia menambahkan sepuluh malam lagi. Dengan demikian, seluruhnya berjumlah empat puluh malam. Allah berfirman,
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى لأخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
"Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabb-nya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” - (QS. 7:142)
Allah mengingatkan Bani Israil tentang petunjuk yang Dia turunkan kepada mereka dengan berbicara langsung kepada Nabi Musa dan menurunkan Taurat kepadanya. Di dalamnya, ada hukum dan perinciannya. Allah menyatakan bahwa Dia menetapkan tiga puluh malam untuk Nabi Musa. Para ulama Tafsir mengatakan bahwa Nabi Musa berpuasa pada periode ini, dan ketika berakhir, Nabi Musa membersihkan giginya dengan ranting-pohon. Allah memerintahkan agar ia menggenapkannya dengan menambahkan sepuluh hari lagi, sehingga totalnya menjadi empat puluh hari. Saat masa yang ditentukan berakhir, Nabi Musa kembali ke Bukit Thur, sebagaimana Allah berfirman,
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ قَدْ أَنْجَيْنَاكُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ وَوَاعَدْنَاكُمْ جَانِبَ الطُّورِ الأيْمَنَ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى
"Wahai Bani Israil! Sungguh, Kami telah menyelamatkanmu dari musuhmu, dan Kami telah mengadakan perjanjian denganmu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (gunung Sinai) dan Kami telah menurunkan kepadamu manna dan salwa." - (QS.20:80)
Nabi Musa meninggalkan saudaranya, Nabi Harun, bersama Bani Israil dan memberi amanah agar ia bersikap bijaksana dan menahan diri dari kezhaliman. Ini hanyalah sekedar mengingatkan, karena Nabi Harun adalah nabi yang terhormat dan mulia, yang memiliki rahmat dan standar yang ditinggikan di sisi Allah, semoga damai dan berkah Allah besertanya dan para nabi lainnya.
Menurut Ibnu Jarir, dari jalur as-Suddi, malaikat Jibril, alaihissalam, datang menjemput Nabi Musa. Ia bersama seekor kuda, dan seorang lelaki, As-Samiri, melihatnya namun tak mengenalnya. Dikatakan bahwa itulah kuda kehidupan. As-Samiri berkata ketika ia melihatnya, “Sesungguhnya, inilah saat-saat yang sangat penting!” Maka ia mengambil sebagian debu dari kuku kuda itu.

Lalu Allah Ta'ala berfirman,

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا
أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Wahai Rabb-ku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman, “Engkau takkan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika Rabb-nya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, ia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”- (QS. 7:143)
Allah berfirman bahwa ketika Nabi Musa, alaihissalam, datang untuk bermunajat kepada-Nya dan berbicara langsung kepada-Nya, ia meminta agar dapat melihat-Nya, namun Allah berfirman, "Engkau takkan sanggup melihat-Ku." "Takkan sanggup" bukan berarti takkan dapat melihat-Nya sama sekali, seperti pernyataan paham Al-Mu'tazilah yang sesat itu. Hadis Mutawatir yang dikisahkan dari Rasulullah (ﷺ), menegaskan bahwa orang-orang mukmin kelak akan melihat Allah di Akhirat. Allah berfirman,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
"Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri" - (QS.75:22)
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
"Memandang Rabb-nya." - (QS.75:23)
Menurut Ibnu Jarir, Ibnu Abbas, radhiyallahu, berkata, "Allah menampakkan diri-Nya tak lebih dari padanan ujung jari kelingking, dan gunung itupun luluh-lantak sedangkan Nabi Musa jatuh pingsan. Ia tetap pingsan selama Allah menghendaki, dan kemudian siuman kembali seraya berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan akulah orang yang pertama-tama beriman.” - di antara Bani Israil.

Lalu Allah berfirman,

قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاتِي وَبِكَلامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
"(Allah) berfirman, 'Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia yang lain (pada masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku, sebab itu, berpegang-teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.” - (QS. 7:144)
Allah menyatakan bahwa Dia berbicara kepada Musa secara langsung dan menyampaikan bahwa Dia telah memilihnya di atas manusia pada masanya, melalui risalah-Nya dan dengan berbicara kepadanya. Di sini kita hendaknya menyebutkan bahwa tiada keraguan bahwa Rasulullah (ﷺ) adalah penghulu seluruh Bani Adam, yang sebelumnya dan kemudian di antara mereka. Inilah sebabnya mengapa Allah telah memilihnya untuk menjadi Nabi dan Utusan Terakhir dan Penutup, yang syariatnya akan tetap berlaku hingga akhir zaman. Pengikut Rasulullah (ﷺ) lebih banyak daripada pengikut semua nabi dan rasul. Setelah Rasulullah (ﷺ), yang berikutnya, dalam peringkat kehormatan dan kebajikan, adalah Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Musa, putra ‘Imran, alaihimussalam, yang berbicara langsung kepada Ar-Rahman.

Selanjutnya, Allah berfirman,

وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الألْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا سَأُرِيكُمْ دَارَ الْفَاسِقِينَ
"Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan untuk segala hal; maka (Kami berfirman), “Berpegangteguhlah kepadanya dan suruhlah kaummu berpegang kepadanya dengan sebaik-baiknya, Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang fasik.'” - (QS.7:145)
Allah menyatakan bahwa Dia telah menuliskan pelajaran dan penjelasan segala hal dalam lauh-lauh tersebut. Dikatakan bahwa dalam lauh-lauh itu, Allah menulis nasihat dan rincian perintah untuk hal-hal yang halal dan haram. Lauh-lauh itu berisi Taurat, yang Allah gambarkan,
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الأولَى بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
"Dan sungguh, telah Kami berikan kepada Musa, Kitab (Taurat) setelah Kami binasakan umat-umat terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk serta rahmat, agar mereka mendapat pelajaran." - (QS.28:43)
Sejumlah ulama salaf, diantaranya Ibnu Abbas, Masruq dan Mujahid berkata, “Tiga puluh hari tersebut adalah bulan Dzul-Qa’idah penuh dan disempumakan empat puluh hari dengan sepuluh hari bulan Dzul-Hijjah.” Berdasarkan hal ini, maka kalamullah tersebut disampaikan pada hari Idhul-Adha. Hal senada juga terjadi ketika Allah menyempumakan agama-Nya bagi Rasulullah (ﷺ), menegakkan hujjah-hujah-Nya serta bukti-bukti-Nya.
Nabi Musa telah menyempumakan munajat dengan Allah pada waktu yang telah Allah tentukan. Saat itu, Nabi Musa tengah melaksanakan puasa. Ada yang mengatakan, saat itu ia belum makan sama sekali. Setelah sempurna satu bulan, maka Nabi Musa mengambil kulit pohon dan mengunyahnya untuk menghilangkan bau mulutnya. Oleh karenanya, tertera dalam sebuah hadits bahwasanya, ”Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dl sisi Allah dibandlngkan dengan aroma minyak kesturi." Allah Ta’ala memerintahkan kepadanya agar berpuasa sepuluh hari lagi. Sehingga bilangannya genap empat puluh hari.

Saat Nabi Musa bergegas pergi ke Bukit Thur dan ia meninggalkan saudaranya, Nabi Harun, yang bertanggung jawab atas Bani Israil, Allah berfirman,

وَمَا أَعْجَلَكَ عَنْ قَوْمِكَ يَا مُوسَى
"Dan mengapa engkau datang lebih cepat daripada kaummu, wahai Musa?" - (QS.20:83)
قَالَ هُمْ أُولاءِ عَلَى أَثَرِي وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى
"Ia (Musa) berkata, 'Itu mereka sedang menyusulku dan aku bersegera kepada-Mu, wahai Rabb-ku, agar Engkau ridha (kepadaku).” - (QS.20:84)
قَالَ فَإِنَّا قَدْ فَتَنَّا قَوْمَكَ مِنْ بَعْدِكَ وَأَضَلَّهُمُ السَّامِرِيُّ
"Dia (Allah) berfirman, 'Sungguh, Kami telah menguji kaummu setelah engkau tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh as-Samiri.'" - (QS.20:85)
Allah menyampaikan kepada Nabi-Nya, Musa, tentang apa yang terjadi pada Bani Israil setelah ia meninggalkan mereka, dan penyembahan mereka kepada anak sapi yang dibuatkan As-Samiri bagi mereka.
[Bagian 2]