Senin, 20 Mei 2019

As-Samiri

Lalu enggang berkata, "Setelah Nabi Musa, alaihissalam, meninggalkan kaumnya menuju Bukit Thur, as-Samiri membentuk dari perhiasan-perhiasan emas itu, patung anak-sapi. Kemudian, ia memasukkan segenggam debu yang berada di bawah kuku kuda Jibril, dan mulailah patung itu tampak hidup. Kaumnya lalu menyembah patung tersebut. Al-Qur'an telah meriwayatkan peristiwa ini, secara singkat di suatu surah dan secara rinci di surah yang lain. Ada sebuah hadits yang menjelaskan sisi lain dari peristiwa ini. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak meriwayatkan dari Sayyidina Ali, radhiyallahu 'anhu. Ia berkata,
Setelah Musa telah pergi menemui Rabb-nya, as-Samiri (seorang dukun) memutuskan (membentuk seekor patung anak-sapi). Ia mengumpulkan seluruh perhiasan yang bisa ia kumpulkan dari Bani Israil. Ia membentuk perhiasan itu dalam bentuk anak-sapi. Ia lalu meletakkan ke dalam lubangnya, segenggam debu sehingga mulailah patung itu mengeluarkan suara (seperti lenguhan anak sapi); ia berkata kepada Bani Israil, "Inilah ilahmu dan ilah Musa."
Harun berkata kepada mereka, "Wahai kaumku, bukankah Rabb-mu menjanjikanmu yang lebih baik?"
Saat Musa kembali dan menemukan bahwa as-Samiri telah menyesatkan mereka, (dengan marah) ia memegangi rambut saudaranya (Harun). Harun menyampaikan apa yang perlu dikatakannya. Lalu Musa berkata kepada as-Samiri, "Bagaimana denganmu?" (mengapa engkau melakukannya?) Ia berkata, "Aku telah mengambil segenggam debu dari jejak kaki rasul (Jibril, alaihissalam) dan aku memasukkannya ke dalam anak-sapi ini. Aku berpikir, itu baik-baik saja."
Musa menangkap anak-sapi itu dan mengikirnya. Ia berada di tepi sungai saat melakukannya (sehingga ampas hasil kikiran anak-sapi itu berjatuhan ke sungai). Maka, siapapun penyembah anak-sapi itu, meminum air sungai, wajahnya berubah menjadi warna emas. Kemudian mereka bertanya kepada Musa, bagaimana caranya bertaubat?
Musa berkata, "Saling-membunuh." Maka, merekapun mengambil pisau dan mulai saling menikam. Seseorang menikam ayahnya, orang lain menikam saudaranya, tanpa peduli siapa yang mereka bunuh. Dengan cara ini, mereka membunuh tujuh puluh ribu orang diantara mereka sendiri.
Allah kemudian memerintahkan Musa, melalui wahyu, bahwa pembunuhan tersebut dihentikan. Allah berfirman, "Aku telah mengampuni orang-orang yang telah terbunuh dan menerima taubat yang lain."
[HR. Al-Hakim dalam Mustadrak, 2/412, no. 3434; pada Kitabut Tafsir (tafsir Surah Ta Ha). Ia berkata, "Hadits ini sahih sesuai ketentuan Syaikhain dan keduanya tak meriwayatkannya." Hal ini disetujui oleh Adz-Dzahabi].
Ada yang mengatakan bahwa as-Samiri adalah orang Kipti yang bertetangga dengan Nabi Musa dan telah memeluk Islam. Saat Nabi Musa membawa Bani Israil keluar dari Mesir, ia juga ikut bergabung. Yang lain mengatakan bahwa ia adalah kepala suku salah satu suku Bani Israil bernama Samira, yang masih sangat dikenal di Suriah.
Menurut Sa'id Ibnu Jubair, radhiyallahu 'anhu, ia adalah seorang Persia dari provinsi Kirman. Dari Qurtubi, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia berasal dari bangsa penyembah sapi, yang entah bagaimana mencapai Mesir dan berpura-pura memeluk agama Bani Israil, padahal sebenarnya ia munafik. Versi lain, bahwa ia adalah seorang Hindu dari India yang menyembah sapi, sungguh-sungguh menganut agama Nabi Musa, namun kemudian kembali lagi kepada kayakinan lamanya, atau telah menerima Islam dalam kemunafikan.
Nama As-Samiri yang sebenarnya, seperti yang diyakini secara umum, adalah Musa Ibnu Zafar. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa as-Samiri lahir pada masa di bawah pemerintahan Firaun, saat semua anak laki-laki Bani Israil harus dibunuh. Ibunya, khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk, menempatkannya di dalam sebuah gua dan menutup mulut gua itu. Ia mengunjunginya setiap waktu dan memberinya makan semampu yang bisa ia lakukan.
Di sisi lain, Allah menunjuk malaikat Jibril, alaihissalam, untuk merawat anak itu dan memberinya makan. Jibril membawa madu di satu jari, mentega di jari kedua dan susu di jari ketiga yang ia berikan kepada anak itu. Anak itu tinggal di gua sampai dewasa dan, seperti yang telah telah disampaikan, menjadi kufur, membawa Bani Israil ke dalam bencana yang besar, dan ia sendiri mengalami nasib buruk sebagai adzab dari Allah.
Seorang penyair menggambarkan tentang hal ini dalam dua bait berikut:
"Jika seseorang yang lahir tak beruntung, akan membuat kisruh orang-orang yang membesarkannya dan mereka yang menaruh harapan tinggi padanya akan kecewa.
Aduhai! Musa yang dibesarkan Jibril, kufur, dan Musa yang dibesarkan Firaun, Nabiyullah."

Namun demikian, ia mengumpulkan perhiasan dari kaumnya setelah kepergian Nabi Musa dan menaruh segenggam debu (ke dalam patung yang dibentuk dari perhiasan itu). Debu tersebut diambilnya dari jejak kaki Jibril. As-Samiri melihat bahwa saat malaikat Jibril datang menjemput Nabi Musa dengan menunggang kuda, dimanapun Jibri menjejakkan kakinya, tempat itu hidup kembali dan menghijau. Pahamlah ia bahwa di bawah jejak kaki Jibril, ada jejak kehidupan.
Menurut satu riwayat, saat Bani Israil melintasi Laut Merah, dimana mereka pergi ke sisi lain, di sana as-Samiri melihat Jibril. Ia mengenalinya karena telah merawat dan memeliharanya.
Menurut versi lain, iblislah yang memperlihatkannya bahwa di bawah jejak kaki Jibril, ada tanda-tanda kehidupan. Maka, as-Simiri mengambil segenggam debu darinya. Ia memasukkannya ke dalam leburan perhiasan-emas dan anak-sapi itu hidup dengan lenguhan seperti anak-sapi sejati. As-Samiri kemudian memberitahu kaumnya bahwa Nabi Musa telah pergi dan tak diketahui, akankah ia kembali atau tidak. "Anak-sapi inilah ilahmu dan ilah Musa." (Nauzubillah min zalik!)

Banyak orang merasa yakin atas apa yang diucapkannya dan tak mempedulikan Nabi Harun ketika ia berusaha menghentikan mereka.
Semantara itu, Nabi Musa kembali dari Bukit Thur, dengan lauh-lauh Taurat di tangannya. Ia menemukan bahwa orang-orang yang ia tinggalkan sebagai penyembah Satu Ilah, telah beralih memnjadi penyembah sapi. Keadaan ini membuatnya sangat marah. Kaum ini, yang Allah telah berikan banyak nikmat dan menyelamatkan mereka dari Firaun, telah menjadi musyrik. Dalam amarahnya, ia memegangi saudara laki-lakinya, Nabi Harun, menarik rambutnya seraya berkata, "Mengapa engkau tak menghentikan mereka? Apa yang menghalangimu menyusulku ke Bukit Thur ketika orang-orang ini menjadi penyembah berhala? Mengapa engkau tetap tinggal bersama orang musyrik ini? "
Nabi Harun berkata, "Wahai anak ibuku! Dengarkan aku, aku tak ingin menimbulkan perselisihan di antara Bani Israil. Jika aku membawa serta orang-orang beriman, yang berjumlah dua belas ribu kepadamu, maka akan menimbulkan masalah dan ketidaksepakatan di antara Bani Israil, sementara aku yakin bahwa saat engkau pulang, orang-orang ini akan kembali ke jalan yang benar." Ia menambahkan, "Juga sebagian besar dari orang-orang ini, telah sesat dan sangat sedikit yang berada di pihakku. Jika aku bertahan, niscaya mereka akan membunuhku. Aku telah berusaha mengingatkan mereka namun mereka tak mendengarkanku dan akan membunuhku."
Nabi Musa memahami apa yang disampaikan Nabi Harun dan membebaskannya dari kesalahan, kemudian beralih kepada pelaku yang sebenarnya, as-Samiri. Ia meminta penjelasan as-Samiri dan mengapa ia melakukan kejahatan itu. As-Samiri menceritakan bagaimana ia mengamati kehidupan yang berasal dari jejak-jejak kaki malaikat Jibril saat menyentuh tanah dan menyimpulkan bahwa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Karena itu, ia mengambil debu dari jejak-jejak itu dan menaruhnyake dalam hasil leburan perhisan emas Bani Israil. Dengan bualannya As-Samiri berkata, "Itulah yang sangat kubanggakan."
Lalu Musa berkata kepadanya, "Hukumanmu adalah bahwa semua orang akan mengucilkanmu di dunia ini." Terlepas dari pengucilan ini, Nabi Musa juga memerintahkannya agar tak menyentuh siapapun dan hidup menjauh dari semua manusia, laksana binatang liar.
Ada yang mengatakan bahwa pada awalnya, Nabi Musa bermaksud menghukum mati as-Samiri, namun Allah mencegahnya, karena as-Samiri, orang yang sangat murah hati dan membantu orang-orang yang berada dalam kesulitan. Hukuman yang dijatuhkan oleh Nabi Musa untuk as-Samiri di dunia ini adalah bahwa setiap orang berlepas diri darinya dan tak mendekatinya, dan ia juga diperintahkan agar tak menyentuh siapapun. Karena itu, ia terlaknat, menghabiskan sisa hidupnya jauh dari segala kehidupan sosial - layaknya binatang liar. Inikah hukuman yang diberikan kepadanya oleh Nabi Musa, melalui syariat yang mengikat as-Samiri dan juga Bani Israil, ataukah as-Samiri tertimpa oleh penyakit aneh yang menghalangi orang lain menyentuhnya, Allahu a'lam.
Ada riwayat bahwa Nabi Musa telah mengutuk as-Samiri sehingga jika ada yang menyentuhnya maka kedua-belah pihak akan menderita demam (Ma'aalim). Maka as-Samiri menghabiskan seluruh hidupnya bersembunyi dan setiap kali ia melihat seseorang mendekatinya, ia akan berteriak, "لَا مِسَاسَ" ("Jangan sentuh aku!")."

Enggang diam sejenak, lalu melanjutkan, "Wahai saudara-saudariku, pada Hari Kiamat, semua orang akan membawa ikatan dosa di pundaknya sama seperti orang membawa beban; oleh karena itu dosa ini juga disebut sebagai 'wizr' (beban) ), jamaknya, awzaar. Bani Israil telah meminjam perhiasan dan permata dari orang Kipti dengan dalih memakainya pada hari perayaan mereka, nemun mereka tak mengembalikannya kepada pemiliknya dan membawanya bersama mereka saat eksodus mereka dari Mesir. Digambarkan sebagai 'awzaar', yang bermakna "dosa", karena barang-barang ini, barang pinjaman, dan dengan tak mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah, Bani Israil telah berbuat dosa.
Camar bertanya, "Kapan barang milik orang kafir menjadi halal bagi umat Islam?" Enggang berkata, "Orang-orang non-Muslim yang tinggal di negara Muslim dan mematuhi hukumnya, mereka dikenal sebagai Dzimmi [ذمي]. Orang-orang seperti ini, termasuk orang-orang kafir, bila telah menandatangani perjanjian dengan umat Islam, tetap berhak atas barang-barang milik mereka, dan tak halal bagi umat Islam bila merampasnya dari mereka. Namun, barang milik orang-orang kafir, yang bukan dzimmi, yang juga tak memiliki perjanjian dengan umat Islam, dan yang digambarkan oleh para ahli hukum sebagai "kafir harbi ", [كافر حربى], orang kafir yang menjadi musuh negara, adalah halal bagi umat Islam.

Karena itulah, mengapa Nabi Harun menggambarkan perhiasan-perhiasan yang dipinjam oleh Bani Israil dari bangsa Mesir, sebagai beban, yang berarti dosa, dan memerintahkan mereka agar membuangnya ke dalam lubang yang telah dubuatkan. Ada sebuah penjelasan, yang diberikan mayoritas mufassir adalah, bahwa barang-barang kepemilikan orang-orang kafir memiliki status yang sama dengan rampasan perang. Hukum yang mengatur rampasan perang sebelum diundangkannya syariah Islam adalah bahwa orang-orang beriman pada masa itu, dapat secara paksa mengambil barang-barang milik orang-orang kafir, namun mereka tak boleh menggunakannya untuk keuntungan pribadi mereka. Semua rampasan perang [مال غنيمت] yang diperoleh dikumpulkan dan ditempatkan di atas gundukan sebagai persembahan dimana api dari langit - seperti petir - mengambilnya dan ini merupakan tanda bahwa Allah menerima perjuangan mereka melawan orang-orang kafir.
Ada yang mengatakan bahwa Nabi Harun mengingatkan mereka tentang kesalahan mereka dan mengarahkan mereka agar membuang semua perhiasan itu ke dalam sebuah lubang. Menurut beberapa riwayat, as-Samiri-lah yang mengatakan kepada mereka bahwa, dengan menahan sesuatu yang bukan milik mereka, mereka telah berbuat dosa dan menyarankan mereka agar membuang semua perhiasan itu ke dalam sebuah lubang, dan merekapun melakukannya."
Menurut hukum yang berlaku saat itu, jika perhiasan yang dipinjam oleh Bani Israil dari orang Kipti dianggap sebagai rampasan perang, tak boleh dipakai untuk keuntungan pribadi Bani Israil. Itulah sebabnya semuanya dilemparkan ke dalam lubang di bawah perintah Nabi Harun.
Menurut syari'at Islam, Bani Israil tak boleh menggunakan perhiasan itu secara sah untuk keuntungan pribadi mereka. Telah diketahui umum bahwa saat Rasulullah (ﷺ) akan berhijrah ke Madinah, ada banyak barang berharga yang dititipkan oleh orang-orang kafir Arab kepada beliau, karena mereka telah yakin dan mengakui kejujuran yang ada pada Nabi (ﷺ), oleh karenanya, mereka menyebut Rasulullah (ﷺ) sebagai al-Amin (orang yang jujur). Beliau sangat peduli dengan titipan orang-rang ini sehingga beliau menyerahkannya kepada Ali, radhiyallahu 'anhu, dan secara khusus mengarahkannya agar mengembalikannya ke pemilik yang sah sebelum berangkat hijrah ke Madinah. Ini jelas menunjukkan bahwa tidaklah patut bagi seorang Muslim, demi kepentingan pribadi mereka, mengambil hak atas barang berharga milik non-Muslim."

Camar bertanya, "Adakah pelajaran dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim ini?" Enggang berkata, "Pelajaran dasar yang kita pelajari dari kisah dalam Hadis ini adalah, bahwa manusia hendaknya selalu memohon kepada Allah, agar tetap istiqamah menjalankan kewajiban agamanya. Tak ada yang bisa menyatakan diri bahwa ia akan selalu berada di jalan yang benar. Seseorang mendapat petunjuk pada awalnya, namun kemudian, bisa saja Allah mencabutnya. Nikmat dan karunia telah dicabut darinya untuk selamanya.
Inilah yang terjadi pada as-Samiri. Pada awalnya, ia telah mendapat hidayah dan ia bergabung dengan Nabi Musa, namun kemudian, hidayah ini dicabut darinya dan ia terbenam ke dalam kerugian yang terus-menerus. Karena itu, kita hendaknya selalu memohon kepada Allah untuk keselamatan, istiqamah dan tuntunan menuju keshalihan. Kita tak boleh menyerah pada keadaan atau merasa sudah benar-benar sempurna dalam Dien kita.
Kita juga belajar dari Hadis ini, bahwa syarat-syarat diterimanya taubat dari orang-orang terdahulu, ternyata sangat berat. Terkadang, mereka diampuni hanya setelah mereka mematikan kaum mereka sendiri. Inilah yang terjadi dalam babak ini. Nabi Musa memerintahkan mereka agar saling membunuh dan sekitar tujuh puluh ribu orang terbunuh sebelum pertobatan mereka diterima.

Bila kita bandingkan dengan umat Nabi kita tercinta (ﷺ), jauh lebih baik. Allah telah merahmati mereka dengan nikmat yang luar biasa. Tak ada persyaratan yang berat agar pertobatan mereka diterima. Kenyataannya, taubat itu sedemikian mudahnya sehingga siapapun dapat bertobat ketika ia mau, kapan saja, dimanapun ia brada dan memperoleh ampunan atas dosa-dosanya. Setiap hamba dapat memohon langsung ampunan dari Allah atas dosa-dosanya dengan tulus dan dengan hati yang ikhlas, dan menetapkan dalam qalbunya bahwa ia takkan mau berbuat dosa lagi. Pada saat yang sama, ia hendaknya menghentikan perbuatan dosanya tanpa ditunda-tunda. Hal inilah yang memsucikannya dan melindunginya dari dosa. Dan Insya Allah. taubatnya akan diterima.
Kisah ini juga memberitahu kita bahwa Allah membedakan hamba-Nya yang shalih dari orang yang mengejakan dosa dan para pendosa dari hamba-hamba-Nya, yang kadangkala melalui tanda yang jelas. Inilah yang terjadi dalam kisah yang kita diskusikan. Mereka yang telah menyembah anak-sapi, wajahnya berubah warna saat meminum air sungai. Wajah mereka menjadi semburat emas. Anak-sapi itu dikikir dan ampasnya masuk ke sungai.
Dan akhirnya, mengakui ke-Esa-an Allah, adalah nikmat yang banyak dari-Nya. Inilah standar iman. Kita hendaknya sangat berhati-hati dalam melindungi iman ini. Jika ada keraguan dalam hal ini, maka manusia merusak peluangnya, baik di dunia ini maupun di dunia selanjutnya. Allah telah menjelaskan bahwa Dia tak pernah mengampuni penyembahan berhala atau kemusyrikan. Oleh karena itu, kita hendaknya menjaga diri agar tak menyekutukaNya dalam bentuk atau cara apapun.
Bahkan orang yang tampaknya baik pun, bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kemusyrikan. Dan juga, kita hendaknya menjauhkan diri dari segala hal yang meragukan. Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Mohammad Zakariya Iqbal, Stories from the Hadith, Darul Isha'at.
- Maulana Mufti Muhammad Shafi, Ma'ariful Quran Volume 6, Maktaba-e-Darul-'Uloom.