Jumat, 22 Januari 2021

Nasehat Sang Singa (2)

Sang singa melanjutkan, "Wahai saudara-saudariku, dengarkan kisah ini, yang dituturkan para salaf,
'Tersebutlah seseorang yang rutin mengunjungi seorang raja. Ia duduk di samping sang raja dan berkata, 'Perlakukan orang yang berbuat baik dengan kebaikan dan jangan perlakukan pelaku kejahatan dengan kejahatan, karena telah cukuplah baginya, kejahatannya itu.'
Ada hasid, yang merasa iri dengan kedudukan dan ucapan baik sahabat sang raja. Sang hasid pun mengunjungi sang raja dan melaporkan, 'Orang yang duduk di sebelah baginda itu, menyebar cerita bahwa mulut baginda, beraroma tak sedap.' Sang raja bertanya, 'Bagaimana aku bisa meyakininya?' Sang hasid menjawab, 'Panggillah sahabat baginda itu. Pastilah ia akan meletakkan tangannya di hidung saat mendekat dengan baginda.' Sang raja berkata, 'Pergilah, akan kuperhatikan!'
Sang hasid berlalu meninggalkan sang raja, dan kemudian mengundang sahabat sang raja untuk makan, namun sebelumnya, ia telah menaruh banyak bawang putih di dalam makanannya. Sahabat sang raja memakannya, lalu, seperti biasa, pergi menemui sang raja dan berkata, 'Perlakukan orang yang berbuat baik dengan kebaikan, dan jangan perlakukan pelaku kejahatan dengan kejahatan, karena telah cukuplah baginya, kejahatannya itu.' Sang raja berkata, 'Mendekatlah!' Sahabat sang raja mendekat sambil menutup mulut dan hidungnya dengan tangan agar sang raja tak mencium aroma bawang putih dari nafasnya. Dalam benak sang raja terlintas, 'Orang yang melapor itu, benar!.'
Sang raja kemudian menulis surat dengan tulisan-tangan dan memberikannya kepada sahabat sang raja. Biasanya, sang raja tak pernah menulis surat, kecuali jika ia hendak memberikan hadiah. Surat yang ditujukan kepada mangkubumi kerajaan itu, berisi pesan berikut, 'Saat pembawa surat ini datang kepadamu, bunuh dan kulitilah ia. Lalu selimutilah kulitnya itu, dengan jerami dan sampaikan kepadaku.'
Setelah itu, di tengah jalan, sang hasid berjumpa dengan sahabat sang raja dan bertanya, 'Surat apa itu?' Sang sahabat menjawab, 'Sri baginda memberiku hadiah.' Sang hasid meminta, 'Maukah engkau menyerahkannya padaku.' Sang sahabat berkata, 'Ambillah!'
Sang hasid mengambil surat itu dan bergegas menemui mangkubumi raja. Sang mangkubumi berkata, 'Surat ini berisi titah baginda untuk membunuh dan mengulitimu.' Sang hasid berdalih, 'Surat ini bukan milikku. Kumohon, demi Allah, tanyakanlah dahulu kepada sri baginda sebelum engkau melakukannya.' Sang mangkubumi berkata bahwa takkan ada perubahan pada apa yang telah tertulis dalam surat itu. Tak lama kemudian, sang mangkubumi pun membunuh sang hasid, mengulitinya, dan menyelimuti kulitnya dengan jerami, dan mengirimkannya kembali kepada sang raja.
Sementara itu, sahabat sang raja kembali menghadap, seperti biasa. Sang raja terkejut dan bertanya, 'Apa yang terjadi dengan surat itu?' Sang sahabat berkata, 'Fulan bertemu denganku dan meminta surat itu, akhirnya kuserahkan kepadanya.' Sang raja penasaran, 'Bukankah engkau telah mengatakan bahwa nafasku berbau tak sedap?' Sang sahabat membantah, 'Tidak baginda!' Sang raja bertanya, 'Lalu mengapa engkau menutup mulutmu saat mendekat kepadaku?' Sang sahabat menjawab, 'Fulan memberiku makanan yang mengandung banyak bawang putih dan aku tak ingin baginda mencium aromanya.' Sang raja pun bertitah, 'Engkau benar. Kejahatan sang pelaku, telah cukuplah baginya."'
Tiada kejahatan yang lebih berbahaya dibanding hasad. Hasid akan menerima lima adzab, bahkan sebelum orang yang didengkinya itu tersakiti. Yang pertama, penderitaan yang tiada henti. Yang kedua, cobaan yang tak berpahala. Yang ketiga, kecaman. Yang keempat, murka dari Sang Rabb. Dan yang kelima, gerbang pertolongan dan bantuan akan tertutup untuknya."

Murai bertanya kepada sang singa, "Apa latarbelakang terjadinya hasad?" Sang singa berkata," Ada banyak penyebab yang mengarah pada Hasad. Saat seseorang merasa tersiksa oleh orang lain karena alasan apapun atau yang bertentangan dengan kepentingannya, maka ia merasa benci padanya dan timbullah dengki di dalam hatinya. Kebencian memunculkan dorongan dendam-kesumat. Sebaliknya, bila ia melihat orang lain menderita kesusahan, ia menikmatinya, dan selanjutnya mengira bahwa Allah telah menurunkan adzab. Kapanpun orang lain memperoleh karunia Allah, ia merasa kecewa. Jadi, Hasad melahirkan permusuhan dan kebencian. Saat kita membenci seseorang, tak mungkin kita akan peduli, walau ia bahagia ataupun tidak.

Keangkuhan dan kesombongan juga menjadi penyebab Hasad. Contohnya, dikala seseorang memperoleh kekayaan atau kedudukan yang baik, orang lain pun akan membencinya, dan takut bahwa orang tersebut akan mengungguli atau akan memiliki gelar yang melebihi mereka. Maka, mereka iri padanya dan terlalu angkuh melihat orang lain setara atau lebih tinggi darinya.

Cinta akan jabatan dan kemenangan juga dapat mendatangkan Hasad. Ini bagaikan seseorang yang ingin berada di puncak dalam bidang tertentu karena ia diliputi rasa-cinta akan pujian. Karena pujian yang diterimanya, ia mengira bahwa dirinyalah yang terbaik dalam hal apa yang telah ia lakukan. Ketika ia mengetahui tentang seseorang yang mirip dengannya, walau berada di belahan dunia lain, ia merasa terganggu dan berharap orang itu mati atau kehilangan karunia yang setara dengannya, baik itu ilmu, keberanian, kekayaan, profesi atau bahkan amal-ibadah.

Keegoisan dan penderitaan, juga merupakan pendukung Hasad. Ada orang-orang yang mungkin tak bersikap angkuh dan juga tak mencari kekuasaan, namun saat mereka mendengar tentang hal-hal baik yang terjadi pada orang lain, mereka kecewa dan sedih. Dan ketika mereka tahu orang lain menderita, mereka bersuka-ria. Mereka selalu senang melihat orang lain dalam keadaan terpuruk seolah-olah orang mengambil pusaka atau karunia dari harta atau kekayaannya."

Parkit bertanya, "Bagaimana sikap seorang Muslim menghadapi Hasid?" Sang singa menjawab, "Al-Qur'an telah menggambarkan secara rinci, sikap umat Islam terhadap Hasid. Allah berfirman,
وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
" ... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan" [QS. 'Ali 'Imran (3):134]
Para ulama mengatakan bahwa ada tiga tingkatan mereka yang berbuat kebajikan. Kelompok pertama, termasuk orang yang, ketika teraniaya, ia memendam amarahnya dan tak menyerukan balas-dendam. Ini peringkat terendah. Kelompok kedua, terdiri dari orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan orang lain. Yang ini, lebih baik karena qalbu yang bersih dan niat yang baik, apalagi jika dilakukan dengan mengharap ridha Allah. Kelompok ketiga, mereka yang menekan amarah, memaafkan orang-lain dan beramal-shalih. Orang dari kelompok ini, juga akan berbuat kebajikan terhadap orang lain, seperti berkunjung dan memberi bingkisan.

Sikap seorang Muslim bila menghadapi Hasad dan Hasid, mengharuskannya, pertama, bertaubat kepada Allah dengan menyesali segala dosanya, dari apa yang mungkin telah menyentuhnya melalui musuh-musuhnya dan karena dosa-dosanya yang lain. Sikap kedua terhadap Hasad dan Hasid, berasal dari ketergantungan dan kepasrahan-diri kepada Allah. Cukuplah Allah baginya dan ia bertawakkal kepada-Nya. Inilah salah satu cara terkuat menyingkirkan bahaya dan ketidakadilan orang lain yang tak mampu ia singkirkan sendiri. Sikap ketiga, memohon perlindungan Allah, isti'adzah, dan membaca Al-Qur'an serta ibadah lain yang wajib maupun sunnah. Allah telah memerintahkan Rasul-Nya (ﷺ) agar berlindung dari para hasid dikala mereka hasad. Keempat, berdoa, bermohon kepada Allah agar menolong dan melindunginya dari kejahatan hasid dan hasad. Yang kelima, berlaku adil terhadap sang hasid dan tak membalas kejahatan dengan kejahatan serupa. Keenam, bersikap baik terhadap sang hasid. Jika sang hasid menambah kerusakan dan pelanggarannya, umat Islam diperintahkan agar bersikap lebih baik lagi, memberi nasihat dan menunjukkan kasih-sayang. Ketujuh, santun terhadap hasid dan memperlakukannya dengan ramah, sehingga Allah memberi petunjuk kepada sang hasid dan melindungi dari kejahatannya.

Baraubarau bertanya, "Apa sarana bertobat dari Hasad?" Sang singa berkata, "Qalbu yang sehat itu, qalbu yang bebas dari kesyirikan, kedengkian, kebencian, hasad, kekikiran, keangkuhan, cinta dunia, dan cinta jabatan. Qalbu inilah, yang bersih dari keburukan apapun, yang akan menghindarkan seseorang menjauh dari Allah, terbebas dari kecurigaan tentang Kitab Suci-Nya, dan terbebas dari syahwat apapun yang akan menghalanginya menaati perintah Allah. Kesucian qalbu dan hidup-rukun, merupakan syarat terciptanya kebajikan.

Syarat pertama untuk bertaubat dari hasad, adalah keihklasan. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
ثَلاَثٌ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُؤْمِنٍ إِخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَالنَّصِيحَةُ لِوُلاَةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
"Ada tiga hal dimana qalbu orang beriman tak khianat, amal yang ikhlas karena Allah, nasehat yang tulus kepada para pemimpin umat Islam, dan berpegang pada Jama'ah. Doa mereka terjawab (yaitu mencakup setiap kebaikan, dan semua orang). " [Sunan Ibny Majah; Hasan]
Syarat kedua, hendaknya seorang hamba merasa cukup dengan Rabb-nya dan beriman penuh kepada-Nya. Ibnu Al-Qayyim berkata, "Itu (Merasa cukup) membuka pintu perdamaian dan keamanan bagi seorang hamba." Inilah yang membuat qalbunya bersih dari kebencian, kejahatan dan kedengkian. Tiada yang akan selamat dari adzab Allah kecuali mereka yang datang kepada-Nya dengan qalbu yang bersih. Tidaklah mungkin memiliki qalbu yang bersih, bila dipenuhi dengan ketidakcukupan dan kekecewaan. Semakin puas orang tersebut, semakin bersih qalbunya. Kebersihan, keshalihan dan ketulusan qalbu itu, pendamping kecukupan. Hasad itu, hasil dari kekecewaan, sedangkan kebersihan qalbu itu, hasil dari kecukupan.

Syarat ketiga, membaca Al-Qur'an dan memahaminya. Al-Qur'an itu, obat bagi setiap penyakit. Orang yang tercabut rahmatnya itu, yang tak mau menyembuhkan dirinya dengan Kitabullah. Al-Qur'an itu, obat dan penyembuh yang lengkap dari segala jenis penyakit fisik dan qalbu, di dunia dan akhirat.

Syarat keempat, selalu mengingat Hari Perhitungan dan adzab yang akan diterima bagi mereka yang merugikan umat Islam karena kejahatan diri dan sifat-buruk mereka. Ini termasuk dengki, hasad, ghibah, namimah dan cemoohan dll.

Syarat kelima, doa. Seorang hamba hendaknya berdoa kepada Rabbnya, setiap saat, agar membersihkan qalbunya dari apapun terhadap saudara-saudarinya. Ia hendaknya mendoakan saudara-saudarinya agar mereka melakukan kebajikan dan kebenaran.

Syarat keenam, sedekah. Sedekah itu, membersihkan qalbu dan mensucikan diri. Karena alasan inilah, Allah berfirman kepada Rasul-Nya (ﷺ),
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
"Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." [QS. At-Tawbah (9):103]
Syarat ketujuh, agar kita selalu ingat bahwa yang kita “semburkan racun dan sambit dengan panah” itu, saudara Muslim kita sendiri. Bagaimana bisa kita menyakiti sesama Muslim?

Syarat kedelapan, menyebarkan salam. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
"Demi Dia yang jiwaku dalam Genggaman-Nya! Engkau takkan masuk surga hingga engkau beriman, dan engkau takkan (benar-benar) beriman hingga engkau saling-menyayangi. Maukah kusampaikan sesuatu yang, jika engkau melakukannya, engkau akan saling-menyayangi? Sebarkanlah salam di antara kalian. " [Sunan Ibnu Majah; Sahih]
Inilah yang membuktikan bahwa salam itu, dapat menghilangkan kebencian dan melahirkan cinta."

Sang singa diam sejenak, lalu berkata, "Sebelum berpamitan, aku berdoa, semoga nasehat ini bermanfaat bagi kalian semua. Bertakwalah kepada Allah dan rujuklah kalian, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) jika kalian sungguh-sungguh beriman. Wahai saudara-saudariku! Ketika Rasulullah (ﷺ) ditanya, siapa manusia terbaik dari seluruh manusia, beliau (ﷺ) bersabda,
لُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ ‏"‏ ‏.‏ قَالُوا صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ قَالَ ‏"‏ هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لاَ إِثْمَ فِيهِ وَلاَ بَغْىَ وَلاَ غِلَّ وَلاَ حَسَدَ
"Orang yang qalbunya bersih dan tulus dalam ucapan." Mereka berkata, 'Tulus dalam ucapan, kami tahu apa itu, namun, seperti apakah qalbu yang bersih itu?' Beliau (ﷺ) bersabda, "Qalbu yang sehat dan suci, tanpa adanya dosa, kezhaliman, kesumat atau hasad di dalamnya.'" [Sunan Ibnu Majah; Sahih]
Wallahu a'lam!"

Setelah mengucapkan salam, dengan tenang, sang singa perlahan turun dari podium sambil berucap,
Ia yang bawa pandemi
Sangat dikenal dengan dengki
Bertombak benci membasmi
Selalu diasah dengan radang-hati

Jalani hidup ber-aga
Berjalan congkak bagai dewa
Lupa martabatnya
Siapa yang lebih baik, jadi musuhnya

Pandang-remeh, ia berkacak
Berucap bangga, ia berlagak
Siapa membantah, dijebak dengan tamak
Tanpa peringatan, ia bongkak

Ia bersahabat dengan iri
Yang otaknya lalai
Memiliki panah berapi-api
Mengangkat busurnya dengan tinggi-hati

Ia yang berperisai ketenangan
Hadapi mereka dengan kesabaran
Musnahkan dengan pedang keikhlasan
Bawa keselamatan dengan aman
Rujukan :
- Abdul Malik Al-Qasim, Lying and Enving, Darussalam
- Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Hasad : A Condemnation of Envy and Envious People, translated by Abu Alim Rasheed Salahuddin, Tasdeeq

Selasa, 19 Januari 2021

Nasehat Sang Singa (1)

Baraubarau tampil ke depan, berdehem, melihat sekeliling, lalu membacakan ayat-ayat,
أعوذُ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
قُلۡ اَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِۙ
مِنۡ شَرِّ مَا خَلَقَۙ
وَمِنۡ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَۙ
وَمِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الۡعُقَدِۙ
وَمِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ
"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Ucapkanlah, 'Aku berlindung kepada Rabb Yang menguasai subuh
Dari kejahatan apapun yang telah Dia ciptakan
Dan dari kejahatan malam dikala telah kelam
Dan dari kejahatan wanita-wanita peniup pada buhul-buhul
Dan dari kejahatan hasid dikala ia hasad.'"
[QS. Al-Falaq (113):1-5]
Setelah itu, Murai angkat bicara, "Wahai saudara-saudariku, kita kedatangan bintang tamu, seorang sahabat yang telah lama kunanti, dan akhirnya, ia datang juga. Tanpa basa-basi, mari kita undang beliau tampil ke depan!" Tepuk-tangan meriah para unggas pun terdengar. Kemudian, sesosok makhluk muncul. Para unggas terpana. Mereka melihat sosok yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Badan yang kekar, tegap, kaki depan, gigi, dan rahang yang kuat, dengan mantel kuning keemasan. Tingginya 1,2 meter tegak hingga ke bahu, panjang sekitar 3 meter dan memiliki ekor sepanjang 90 sentimeter, beratnya sekira 250 kilogram, sangatlah besar. Beberapa saat kemudian, seekor burung kecil, kutilang, berseru, "Singaaa!" Burung lain, juga berkomentar, "Awas, ia 'kan memakan kita!" Parkit, berteriak, "Hei, seharusnya ia tak berada di sini!" Riuh-rendah suara para unggas, hingga terdengar suara gemuruh, "Roooaarrr!" Sang singa mengaum.
Setelah ngauman itu, tak terdengar lagi suara kecuali keheningan. Itulah kekuasaan, ia bergantung pada apa yang engkau berkehendak lakukan. Sang singa menyapa, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!" Suka tak suka, bagi seorang hamba Allah, sebuah salam, hendaknya disambut, maka para unggas pun menyambut dengan, "Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!"

Setelah saat-saat hening terjadi, dengan santai dan tersenyum, sang singa melanjutkan, "Sesungguhnya, segala puja dan puji hanyalah milik Allah. Kita memohon pertolongan-Nya dan kita memohon ampunan-Nya. Kita berlindung pada-Nya dari kejahatan diri kita dan dari kejahatan perbuatan kita. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, tiada yang dapat menyesatkannya. Dan, siapapun yang Allah biarkan tersesat, tiada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi, bahwa tiada Ilah yang patut dibadahi dengan benar selain Allah, dan aku bersaksi, bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) itu, hamba dan utusan Allah.
Sungguh, atas kehendak Allah, aku terlahir sebagai singa. Manusia telah menjadikanku simbol kekuasaan. Namun, meski aku dilahirkan dengan tubuh yang kuat dan kekar, aku hanya melaksanakan apa yang Allah titahkan. Sesungguhnya, kalian, para unggas, amanahku, untuk dilindungi, bukan untuk dizhalimi. Aku ditakdirkan Allah hanya memakan banteng yang mengamuk, babi, ular, buaya, dan segala yang menyulih amarah dan serakah. Dan bagi kalian yang mengatakan aku tak boleh berada di sini, engkau keliru, aku seharusnya telah berada di sini, berdiri di garis terdepan, melindungi kalian, duhai makhluk kecil yang menakjubkan, dengan bulu yang indah, berwarna-warni, menggemaskan!
Kuakui, terkadang, ada diantara kalian yang perilakunya menyebalkan, bahkan, diantara kalian juga tak menyukai perilaku seperti itu, namun bukan berarti kalian semua harus dihukum, atau diperlakukan bagai narapidana, dicurigai radikal atau teroris. Sebaliknya, seyogyanya, kalian dilindungi dan didengarkan. Kicauanmu itu, suara yang terindah.

Ketahuilah wahai saudara-saudariku! Aku tak selalu disimbolkan sebagai sesuatu yang baik, namun juga dijadikan simbol keburukan, keangkuhan. Kekuatanmu, 'kan menjadi kelemahanmu. Dan tahukah engkau, keangkuhan itu, merendahkan cinta. Ia akan merusak qalbumu, dan akan melahirkan hasad. Keangkuhan itu, salah satu kualitas amarah. Amarah menghasilkan Hasad. Saat amarah dipendam karena seseorang tak dapat melampiaskannya dengan segera, ia merasuk jauh ke dalam diri, menggumpal menjadi Hasad. Hati akan selalu iri dan dengki, yang disebut kebencian. Kebencian inilah, yang menghasilkan Hasad.
Umat manusia pertama kali terjangkit oleh hamburan amarah dan benci ini, saat menjadi sasaran permusuhan makhluk jahat. Penciptaan Allah atas Nabi Adam, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, membangkitkan amarah musuhnya, dan juga musuh kita, yang paling licik dan tangguh. Mampu merasuk dan merengsek ke dalam qalbu dan sukma musuh-musuhnya, mampu menjebak dari hampir segala arah, Iblis, berusaha menghancurkan bapak kita, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, dengan menjebaknya, dan juga istrinya, agar mematuhi setiap bisikan yang mengarah pada kehancuran dan kehinaan. Namun, Allah menggagalkan makar Iblis; alih-alih menghukum dan mempermalukan mereka seperti yang diharapkan Iblis. Allah memberi petunjuk dan mengampuni Nabi Adam dan isterinya.
Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menganugerahkannya ilmu nama-nama segala sesuatu dan memuliakannya di atas semua ciptaan. Dia kemudian memerintahkan para malaikat agar membungkuk di hadapan Nabi Adam, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, sebagai ungkapan pengakuan dan pemghormatan. Patuh, para malaikat bergegas memenuhi panggilan Rabb-nya dan membungkuk di hadapan Nabi Adam, kecuali Iblis! Karena kesombongan dan penalaran yang keliru, Iblis, yang berada di antara para malaikat, menolak menaati Allah. Yakin bahwa dirinyalah yang tertinggi dari apa yang telah Allah ciptakan dengan tangan-Nya sendiri, Iblis tak mau membungkuk dihadapan Nabi Adam.
Musuh Allah, Iblis, dengan permusuhan yang mendalam terhadap Nabi Adam dan istrinya, telah terbukti. Terlebih lagi, jelas bahwa hasad telah menjadi percikan yang memicu kebencian Iblis terhadap Nabi Adam, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ. Alhasil, Allah memperingatkan Nabi Adam dan istrinya tentang rencana musuh mereka.

Bukti dari Al-Qur'an dan Sunnah mengungkapkan bahwa jiwa manusia yang iri-hati, sesungguhnya dapat melukai sasaran kebenciannya. Anak-panah mematikan dari orang-orang ini, mencapai korbannya melalui jiwa dan mata-jahat ('ain), tanpa perlu orang yang iri-hati itu mengangkat tangan atau bahkan mengucapkan sepatah kata pun. Hasad itu, mengharapkan terhentinya atau rusakya karunia dari orang yang dirahmati dengannya, baik itu karunia duniawi maupun agama. Hasid adalah orang yang melakukan Hasad. Hasad itu, perilaku yang buruk dan tercela, yang merusak tubuh dan Iman. Ada kezhaliman dan bahaya dalam Hasad. Karenanya, Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) melarang hasad. Allah berfirman,
وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡذُوۡنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ بِغَیۡرِ مَا اکۡتَسَبُوۡا فَقَدِ احۡتَمَلُوۡا بُہۡتَانًا وَّ اِثۡمًا مُّبِیۡنًا
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." [QS. Al-Ahzab (33):58]
Agar umat Islam dapat menjaga kesakralan dan perdamaian, Nabi kita tercinta (ﷺ) melarang apa yang dapat mengganggu kesakralan dan perdamaian itu. Beliau (ﷺ) bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَنَافَسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
"Jauhilah oleh kalian purbasangka, karena sesungguhnya purbasangka itu, sedusta-dusta ucapan, dan janganlah kalian saling mencari berita keburukan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." [Sahih Muslim]
Hasad itu, wujud rasa kecewa yang mendalam karena melihat karunia yang dimiliki orang lain. Ketika Allah menganugerahi saudaramu sebuah karunia, maka kecemburuan bisa menjadi salah satu dari dua hal, pertama, tak menyukai karunia itu dan lebih senang saat melihat saudaramu kehilangan anugerah itu. Dalam hal ini, rasa iri ini, disebut Hasad. Hasad itu, rasa yang menginginkan agar karunia dan rasa-cinta itu, hilang dari orang yang dianugerahi. Kedua, tak ada rasa cemburu atas karunia orang lain dan membiarkannya tetap bersama orang tersebut, namun engkau juga menginginkan anugerah yang sama bagi dirimu sendiri. Rasa-cemburu seperti ini, disebut Ghibtah dan mirip dengan persaingan, dalam cara yang baik.
Kasus yang pertama, dalam segala hal, hukumnya haram, kecuali sesuatu yang diperoleh orang yang keji, dan menggunakannya untuk menyakiti orang lain, merusak tali-persaudaraan atau menyebarkan keburukan dan kerusakan. Dalam hal ini, sebenarnya tak ada permusuhan yang disebabkan anugerah itu sendiri, melainkan permusuhan karena digunakan untuk kejahatan. Jika tidak, tak seorangpun yang menginginkan anugerah itu dihilangkan atau tak suka melihat orang itu diberkahi dengannya.

Hasad, secara umum, hukumnya haram. Permusuhan seperti ini, sebenarnya perwujudan dari, tak mau menerima takdir Allah yang memberikan lebih banyak kepada orang lain dibanding dirinya. Tiada yang berhak menolak atau menggugat Allah bagaimana membagi rahmat-Nya di antara umat manusia. Dosa apakah yang lebih besar daripada membenci seorang Muslim yang diberkahi dengan sebuah anugerah ketika engkau tak dirugikan oleh karunia tersebut?

Hasad itu, sebuah pilar dari kekufuran. Ada empat pilar kekufuran, yakni keangkuhan, hasad, amarah dan hasrat yang tercela. Keangkuhan menghalangi seseorang mengikuti kebenaran. Hasad menghalangi seseorang menerima nasehat. Amarah menghalangi seseorang menegakkan keadilan. Dan hasrat yang tercela, menghalanginya dari ketulusan beribadah.
Jika pilar keangkuhan dihancurkan, maka akan mudah bagi orang tersebut mengikuti kebenaran. Jika pilar hasad diruntuhkan, maka akan mudah menerima nasehat dan mengalah. Jika pilar amarah dipatahkan, maka akan mudah bersikap adil dan rendah-hati. Dan jika pilar hasrat yang tercela dihancurkan, maka akan mudah bersabar dan bertakwa. Sumber dari keempat pilar ini, terutama karena kelalaian seseorang akan Rabb-Nya dan dirinya sendiri. Jika ia mengenal Rabb-nya dengan sifat kesempurnaan dan keagungan, dan mengenal dirinya sendiri, serta kekurangan dan keburukannya, ia takkan sombong dan takkan marah dalam memenuhi kebutuhannya. Alhasil, ia takkan iri dengan apa yang telah Allah berikan kepada orang lain.

Hasad pada kenyataannya mirip dengan bermusuhan dengan Allah. Seseorang tak menyukai apa yang Allah berikan kepada orang lain, sedangkan Allah hendak melakukannya. Hasid, juga menginginkan agar anugerah itu diambil dari seseorang yang dikehendaki Allah memilikinya. Orang seperti ini, menentang Allah dalam ketetapan-Nya dan apa yang Dia ridhai dan apa yang Dia tak kehendaki. Jadi, Iblis, sesungguhnya, musuh Allah. Ia berbuat dosa karena keangkuhan dan hasad. Agar dapat menghilangkan kedua sifat buruk ini, seseorang hendaknya mencari ilmu sejati Allah dengan menerima Tauhid dan takdir Allah, serta dengan bertobat kepada-Nya. Orang bijak berkata, "Hasid bersaing dengan Allah dalam lima hal. Yang pertama, tak suka pada anugerah yang diterima orang lain. Yang kedua, tak puas dengan apa yang telah diberikan Allah dalam hal rezeki. Ini sama seperti mengatakan kepada Allah, 'Mengapa Engkau memberi kepada orang lain dengan cara seperti ini?' Yang ketiga, kikir akan kasih-sayang Allah, karena anugerah diberikan kepada manusia atas rahmat Allah, sesuai dengan kehendak-Nya. Keempat, hasid meninggalkan sahabat dan hamba Allah yang setia, karena ia ingin karunia itu dilepaskan dari orang lain. Dan yang kelima, bahwa hasid telah berpihak pada musuh Allah, Iblis."
Juga disebutkan, "Hasid takkan memperoleh apapun dari orang lain berupa nasehat dan kerendahan-hati, dan tak memperoleh apapun dari malaikat melainkan kutukan dan kebencian. Dalam kesendiriannya, hasid hanya akan merasakan duka dan nestapa. Di saat kematiannya, ia menjalani kesulitan dan ketakutan. Pada Hari Penghakiman, ia kemudian akan dipermalukan dan dihukum berat. Akhirnya, didalam Jahannam, ia hanya akan merasakan panas dan terbakar tiada henti."

Setiap nilai atau moral itu, punya batas, yang bila dilampaui, menjadi kezhaliman; dan ketika tak dapat dipenuhi, menjadi cacat dan takkan dihiraukan lagi. Hasad ada batasnya, yaitu persaingan mencari kesempurnaan dan menjadikan orang lain merasakan kesedihan. Akan menjadi sebuah kezhaliman jika orang tersebut menginginkan agar karunia Allah tersebut hilang dari orang lain dan berusaha menyakiti orang lain. Jika tak mencapai batas ini, maka akan menjadi kerendahan-hati dan kurangnya antusias. Persaingan, dengan cara-cara yang baik, diperbolehkan dalam Islam, karena Allah berfirman,
لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ لَجَعَلَکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً وَّ لٰکِنۡ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰىکُمۡ فَاسۡتَبِقُوا الۡخَیۡرٰتِ ؕ اِلَی اللّٰہِ مَرۡجِعُکُمۡ جَمِیۡعًا فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ فِیۡہِ تَخۡتَلِفُوۡنَ
" ... Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak mengujimu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah, kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan." [QS. Al-Maa'idah (5):48]
Nabi tercinta kita (ﷺ) bersabda,
اَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهْوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
"Tak diperbolehkan hasad kecuali terhadap dua orang, seseorang yang dianugerahi harta oleh Allah, lalu ia menginfakannya dengan cara yang benar, dan seseorang yang dikaruniai Allah hikmah (ilmu agama), lalu ia memberikan keputusan sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain." [Sahih Al-Bukhari]
Jenis Hasad ini, sebenarnya disebut Ghibtah, dan merupakan keinginan agar menjadi seperti atau mendapatkan karunia yang serupa tanpa mengharapkan hilangnya anugerah itu dari orang lain. Penyebutan hasad dalam hadits tadi, hanya sebagai metafora. Rasulullah (ﷺ) menjelaskan,
مَثَلُ هَذِهِ الأُمَّةِ كَمَثَلِ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ ‏:‏ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالاً فَهُوَ يَقُولُ ‏:‏ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ‏:‏ ‏"‏ فَهُمَا فِي الأَجْرِ سَوَاءٌ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي غَيْرِ حَقِّهِ وَرَجُلٌ لَمْ يُؤْتِهِ اللَّهُ عِلْمًا وَلاَ مَالاً فَهُوَ يَقُولُ ‏:‏ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ‏:‏ ‏"‏ فَهُمَا فِي الْوِزْرِ سَوَاءٌ
'Keserupaan umat ini, laksana empat orang, orang yang Allah karuniakan harta dan ilmu, maka ia beramal sesuai ilmunya dengan mempertimbangkan hartanya, membelanjakannya sebagaimana mestinya; kemudian seseorang yang Allah anugerahkan ilmu, akan tetapi Allah tak memberinya kekayaan, maka ia berkata, 'Jika aku diberi (kekayaan) seperti ini, kukan perbuat apa yang (orang pertama) perbuat. " Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Mereka akan sama dalam pahala.' Kemudian, orang yang Allah beri kekayaan namun tak memberinya ilmu, maka ia menyia-nyiakan kekayaannya dan membelanjakannya dengan cara yang tak tepat; Kemudian, seseorang yang tak Allah berikan ilmu atau kekayaan, dan ia berkata, "Jika aku memiliki (kekayaan) seperti ini, kukan lakukan apa yang (orang ketiga) lakukan." Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Mereka akan sama dalam hal beban (dosa) mereka.' ”[Sunan Ibnu Majah; Sahih]
Rasulullah (ﷺ) mencela orang-orang seperti yang ketiga dan keempat, karena keinginannya berbuat dosa, bukan karena menginginkan punya harta yang setara. Karena itu, tak ada salahnya bagi seseorang yang ber-Ghibtah, dan ingin mendapatkan anugerah yang sama bagi dirinya sendiri, selama ia tak menginginkan karunia itu dihilangkan dari orang lain atau tak bertahan lama bagi mereka. Jika anugerah itu terkait dengan agama dan merupakan ibadah wajib seperti keimanan, shalat atau zakat, maka persaingan seperti ini, diperintahkan, dan bila ingin menjadi seperti orang lain dalam hal melaksanakan amal keagamaan, menjadi wajib. Jika karunia itu berupa amal shalih semisal sedekah, maka persaingan di dalamnya patut dipuji. Jika itu hanyalah pemberian yang dapat digunakan dengan cara yang diperkenankan, maka persaingan itu menjadi diperbolehkan.
[Bagian 2]

Jumat, 15 Januari 2021

Dusta (2)

Sang landak tersenyum, lalu melanjutkan, “Ada beberapa perilaku dan bentuk pernyataan, yang dilontarkan oleh seseorang dan kita tak menganggapnya sebagai Kadzib. Antara lain, memanggil seorang anak agar pulang, dan bila ia pulang akan dijanjikan sesuatu, namun yang memanggil tak punya apa yang dijanjikannya.
'Abdullah bin' Amr bin Al-'As رضي الله عنه berkata, "Rasulullah (ﷺ) datang ke rumah kami saat aku masih kecil. Aku pergi bermain. Ibuku memanggil, 'Wahai Abdullah! Pulanglah, kuingin memberikan sesuatu untukmu.' Rasulullah (ﷺ) bertanya, 'Apa yang ingin engkau berikan padanya?' Ibuku menjawab, 'Kurma.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Jika engkau tak memberikannya, akan dicatat sebagai sebuah kebohongan.' [Abu Dawud dan Ahmad]
Semoga para ayah dan ibu waspada terhadap perilaku keliru ini. Mereka mungkin mengira bahwa kebohongan seperti itu, dapat membebaskan mereka dari tangisan atau gangguan sang anak, namun sebenarnya tidak demikian. Kita hendaknya membesarkan anak-anak kita berdasarkan akhlak Islami. Kita hendaknya menanamkan dalam diri mereka bahwa kejujuran itu, di atas segalanya. Kita tak seyogyanya berbohong kepada mereka, karena dusta itu, contoh yang buruk dan mendorong mereka menjadi pendusta. Anak-anak menyimpan pengalaman itu, mengingatnya, dan menirunya, entah seberapa kecil atau tak pentingnya pengalaman itu bagi kita. Hal ini terbukti oleh Abdulah bin 'Amr رضي الله عنه, yang masih ingat dan meriwayatkan Hadis tentang ibunya sewaktu ia masih kecil.

Contoh bentuk pernyataan, yang mungkin diterima orang dan tak dianggap sebagai Kadzib, yakni menceritakan segala apa yang didengar. Abu Hurairah رضي الله عنه meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
"Cukuplah seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan semua apa yang ia dengar." [HR Muslim dan Abu Dawud]
Terkadang, ada orang yang menerima begitu saja perkataan orang lain tanpa menelusuri kebenarannya, dan berkata, "Inilah yang kudengar dan kutakkan sampaikan selain yang kudengar." Namun, bagaimana bila yang di dengarnya itu, pergunjungan atau menuduh orang berzina? Akankah orang itu terus melontarkan tuduhan seperti itu? Adakah diantara kita yang ingin melihat orang menggunjingkan sesama dengan tuduhan seperti itu?

Contoh lainnya, berbohong agar membuat orang tertawa. Mu'awiyah bin Abu Sufyan رضي الله عنه berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
"Celakalah orang yang berbicara kemudian ia berdusta tentang sesuatu yang membuat orang-orang tertawa. Celakalah ia! Celakalah ia!" [Jami 'At-Tirmidzi; Hasan]
Sayangnya, banyak yang mempraktikkan perilaku seperti ini, menjadi populer dan kaya. Seperti para buzzer dan influencer, terutama yang membalikkan kebenaran dan berdalih bahwa merekalah para pembawa kemajuan dan suka-cita dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat pun memperhatikan mereka dan menerima apa yang mereka lihat, bardalih bahwa itulah sarana hiburan, untuk bersantai dan melepaskan-diri dari tekanan hidup. Pembenaran ini muncul karena sesuai dengan hasrat dan ketidaksesuaian yang sia-sia.

Wahai saudara-saudariku, Kadzib juga merupakan wujud kufur besar. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, "Kufur besar terdiri dari lima jenis, ingkar atau tak percaya; sombong dan angkuh dalam menolak ketaatan; berpaling dari kebenaran; meragukan risalah; dan kemunafikan."

Kufur jenis pertama, mengingkari atau tak mempercayai para Nabi. Kufur semacam ini, ada pada sebagian kecil mereka yang tak mempercayai bahwa Allah telah memberikan bukti dan tanda yang cukup melalui para Nabi-Nya untuk menegakkan kebenaran, tak meninggalkan alasan bagi siapapun agar tak mempercayainya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Firaun dan kaumnya,
وَ جَحَدُوۡا بِہَا وَ اسۡتَیۡقَنَتۡہَاۤ اَنۡفُسُہُمۡ ظُلۡمًا وَّ عُلُوًّا
"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya...." [QS. An-Naml (27:14)]
Dan Allah berfirman kepada Nabi kita tercinta (ﷺ),
فَاِنَّہُمۡ لَا یُکَذِّبُوۡنَکَ وَ لٰکِنَّ الظّٰلِمِیۡنَ بِاٰیٰتِ اللّٰہِ یَجۡحَدُوۡنَ
" ... (janganlah bersedih hati) karena sebenarnya mereka bukan mendustakan engkau, tetapi orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." [QS. Al-An'am (6:33)]
Ini juga disebut kekufuran lidah.

Kufur jenis kedua, kufur kesombongan dalam arti penolakan dan sombong untuk berserah diri kepada Allah, seperti kufurnya lblis. lblis tak hanya mengingkari atau menolak Perintah Allah, tetapi juga sombong dan angkuh. Hal ini juga seperti orang-orang yang tahu tentang kebenaran Rasulullah (ﷺ) dan bahwa risalah beliau itu, kebenaran dari Allah, namun mereka dengan angkuhnya, menolak mengikuti kebenaran. Mereka kafir dengan kekufuran semacam ini. Inilah sebagian besar kekufuran dari musuh para nabi. Allah berfirman tentang Firaun dan kaumnya,
فَقَالُوۡۤا اَنُؤۡمِنُ لِبَشَرَیۡنِ مِثۡلِنَا وَ قَوۡمُہُمَا لَنَا عٰبِدُوۡنَ
"Maka mereka berkata, 'Pantaskah kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita, padahal kaum mereka itu, orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?”' [QS. Al-Mu'minun (23:47)]
Kufur jenis ketiga, berpaling dari kebenaran. Orang-orang dengan kekufuran seperti ini, berpaling dari para Nabi dengan hati dan pendengaran mereka. Mereka tak percaya atau menyangkali Rasulullah (ﷺ). Mereka tak mau mengikutinya, bahkan melawannya. Mereka sama sekali tak mau mendengarkannya (ﷺ).

Kufur jenis keempat, kufur karena ragu dan curiga. Seseorang dengan kekufuran seperti ini meragukan bahwa haruskah ia percaya atau tak percaya pada kebenaran risalah itu. Orang seperti ini, takkan ragu jika ia akan merenungkan dan merefleksikan ayat-ayat Allah dan kehidupan Rasulullah (ﷺ). Ayat-ayat ini dan kebenaran Rasulullah (ﷺ) itu, cukuplah sebagai tanda-tanda kebenaran, seperti matahari terbit yang menandai datangnya pagi.

Kufur jenis kelima, kufur munafik. Seseorang dengan Kufur ini, mengaku beriman, namun jauh di lubuk qalbunya, ia mengingkari kebenaran, inilah kemunafikan.

Sekelompok ulama, berkata bahwa Kadzib melawan Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), kekufuran yang akan mengeluarkan orang tersebut dari Islam. Tak ada keraguan bahwa Kadzib, yang melawan Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), dalam hal menjadikan sesuatu yang halal ke haram atau menjadikan yang haram ke halal, itulah kekufuran yang sesugguhnya. Bila berperilaku kurang dari itu, bisa mungkin atau bisa saja tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.

Wahai saudara-saudariku, Kadzib itu, sumber kejahatan dan perbuatan-buruk. Jalan besar Kadzib itu, dari diri sendiri menuju lidah. Ia merusak lidah dan kemudian menjalar ke seluruh tubuh, merusak jiwa dan amalnya. Kadzib merusak ucapan dan perbuatan, dan menghancurkan orang tersebut, kecuali Allah menolongnya melalui penyembuhan kebenaran, mencabut Kadzib dari jiwanya.
Landasan dari segala perbuatan qalbu itu, kejujuran, dan yang bertentangan dengan kejujuran, semisal kesombongan, kepura-puraan, keangkuhan, kepengecutan, kemalasan, kelemahan dan ketidakpuasan, dll. berasal dari Kadzib. Setiap amal-shalih yang nampak maupun tersembunyi, berasal dari kejujuran. Dan setiap perbuatan buruk, baik yang nampak maupun tersembunyi, berasal dari Kadzib. Allah mengadzab pendusta dengan menghalanginya memperoleh manfaat dan kepentingan yang baik. Allah akan menghargai orang yang jujur dengan menolong dan membantunya dalam mencapai keperluan dan kebutuhannya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Tiada lagi selain kejujuran sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat, serta tiada lagi selain kadzib dalam mencapai kejahatan dan bahaya di dunia dan akhirat.

Wahai saudara-saudariku, jika engkau ingin melihat betapa tengiknya Kadhib itu, maka lihatlah orang
yang berdusta, dan rasakanllah, betapa benci dan muaknya engkau terhadap mereka. Seorang Muslim hendaknya selalu memohon ampunan Allah setiap kali mereka berbuat dosa. Karenanya, umat Islam seyogyanya berjuang, menggunakan segala cara untuk meninggalkan Kadzib, di antaranya sebagai berikut,
- Kenali dan tegaskan-diri setiap saat akan larangan Kadzib dan hukuman berat yang dipersiapkan bagi para pendusta;
- Biasakan memikul tanggung jawab dan mengutarakan kebenaran, meski dalam keadaan sulit dan terusik, karena kebaikan itu, ada dalam kebenaran;
- Lindungi lidah kita dan ingatkan terus;
- Hindari pertemuan dan perkumpulan dimana dusta, pembicaraan sia-sia dan konyol diberi tempat dan gantilah dengan pertemuan dan perkumpulan ilmu agama dan Dzikir (mengingat Allah);
- Ketahui bahwa pembohong memiliki sifat orang-orang munafik;
- Pelajari dan sadarilah fakta bahwa Kadzib itu, jalan menuju kejahatan dan perbuatan-buruk, dan kejujuran menuntun ke Surga;
- Besarkan anak-anak kita sesuai dengan nilai-nilai Islami yang sehat dan latih mereka menjunjung tinggi kejujuran, terutama dengan memberi keteladan;
- Pelajari bahwa orang takkan mau mempercayai para pendusta dan itulah tanda kerugian di dunia ini dan di akhirat kelak;
- Pelajari dan rasakan bahaya besar yang mungkin ditimbulkan oleh para pendusta terhadap umat Islam dan masyarakat akibat dusta mereka.
Wahai saudara-saudariku, Allah telah menjadikan Umat Islam sebagai umat yang suci dalam iman, perbuatan dan ucapan. Kejujuran itu, tanda kebahagiaan umat dan hati-nuraninya yang suci. Kunci kebahagiaan itu, kejujuran dan iman, sedangkan kesengsaraan itu, sangat terkait dengan dusta dan kekufuran.

Allah telah memfirmankan bahwa pada Hari Kiamat, tiada yang 'kan menolong kita kecuali kejujuran. Allah akan menjadikan Kadzib dalam ucapan dan tindakan sebagai bendera yang akan digunakan sebagai pembeda orang munafik. Segala sesuatu yang Allah salahkan pada mereka, berasal dari kebohongan ucapan dan perbuatan mereka. Maka, kebenaran atau kejujuran itu, zirahnya Iman, penuntunnya, penunggangnya, pendorongnya, pemimpinnya, perhiasan dan pakaiannya. Kejujuran itu, qalbu dan jiwa Iman.

Di sisi lain, dusta itu, zirahnya kekufuran dan kemunafikan. Dusta itu, pemandu, penunggang, pendorong, penuntun, perhiasan, pakaian dan qalbu kekufuran dan kemunafikan. Hubungan Kadzib dengan Iman, ibarat Syirik dengan Tauhid. Kadzib dan Iman, tak pernah bisa bersama di tempat yang sama. Jika mereka bertemu, salah satu dari mereka akan menendang yang lain keluar dan menggantikannya.

Allah tak merahmati siapapun dengan berkah yang lebih besar setelah Islam kecuali kejujuran. Kejujuran itu, sesungguhnya kehidupan dan kelangsungan hidup Islam. Dan Allah tak pernah menguji seseorang dengan sesuatu yang lebih buruk dari Kadzib. Kadhib itu, sesugguhnya penyakit yang dapat membusukkan Iman.

Wahai saudara-saudariku, waspadalah terhadap Kadzib. Ia membasikan semua keterangan yang engkau terima dan kemudian mengcaukan penyajianmu. Para pendusta menjadikan yang salah tampak benar dan yang benar tampak salah, yang khayali tampak nyata dan yang nyata menjadi ilusi, dan yang buruk tampak baik dan yang baik tampak buruk. Pendusta itu, membingungkan dirinya sendiri. Dusta, pada kenyataannya, merupakan bentuk hukuman bagi para pembohong. Ia juga membingungkan orang yang dibohonginya. Pendusta berniat jahat di atas lereng kepalsuan. Ia tak mendapat manfaat dari lidahnya. Perbuatannya juga dipengaruhi oleh kebohongannya dan akibatnya, ia juga tak mendapatkan manfaatnya.

Allah telah menjadikan cinta yang tulus di antara umat Islam, berakar kuat melalui ikatan cinta kita kepada Allah. Dia berjanji, akan menaungi di bawah Naungan Arasy-Nya, mereka yang saling mencintai di Jalan Allah. Islam menegaskan makna ini dengan mengamanatkan pelestarian dan perlindungan hak-milik, kehormatan dan darah umat Islam. Tak seorang Muslimpun yang boleh disakiti atau disentuh dengan kejahatan. Namun, ada orang bersikeras berenang didalam kolam air kotor dan memuaskan dahaga mereka dengan balas-dendam, yakni dengki dan iri-hati terhadap orang yang telah Allah anugerahkan karunia-Nya. Sikap seperti itu akan menghasilkan buah yang pahit, di antaranya 'Ghibah (purba-sangka), Namimah (mengadu-domba), berolok-olok, dll. Tak satu masyarakatpun yang 'kan bebas dari orang-orang rendahan seperti ini. Wallahu a'lam. "
Rujukan:
- Abdul Malik Al-Qasim, Lying & Envying, Darussalam.

Selasa, 12 Januari 2021

Dusta (1)

Sang landak tersenyum, lalu membaca syair,
Sang putri bertanya
kepada cermin di dinding
Wahai cermin di dinding
katakan siapa yang paling jelita
katakan yang kusuka walau itu sebuah dusta
Lalu, sang cerminpun berdusta
Ia memulai dengan, "Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Selawat dan salam menyertai orang yang terbaik di antara para Nabi dan Rasul (ﷺ).

Wahai saudara-saudariku, dusta atau kadzib itu, menodai cinta. Kadzib itu, salah satu perbuatan dosa yang sangat buruk dan memalukan. Para ulama berkata, "Kejujuran membawa pada amal-shalih. Kadzib mengarah pada keburukan, yang merupakan kesesatan." Kadzib itu, dasar dari perbuatan buruk dan dosa, seperti yang disabdakan Rasulullah (ﷺ),
وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
"...sesungguhnya Kadzib itu membawa orang kepada Al-Fajur (kejahatan), and Al-Fajur mengantarkan orang kepada neraka..." [Sahih Al-Bukhari]
Para ulama telah menyatakan bahwa hukum Kadzib, pada dasarnya, Haram. Kadzib, Haram, akibat kerugian yang ditimbulkannya terhadap orang yang dibohongi dan orang lain. Namun, Kadzib diperbolehkan dalam keadaan tertentu dan bahkan dalam keadaan lain, wajib. Batasannya di sini, bila tujuan yang baik dan halal dapat tercapai tanpa berdusta, maka Kadzib menjadi Haram. Namun, jika bila tak dapat dicapai kecuali dengan Kadzib, maka Kadzib menjadi boleh. Selanjutnya, jika berdusta bisa menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang baik, maka Kadzib diperbolehkan.

Jika memang diwajibkan, maka Kadzib menjadi wajib. Misalnya, jika seorang Muslim bersembunyi karena takut dari penindas yang berniat membunuhnya, atau jika ia menyembunyikan uangnya dari sang penindas, maka jika seseorang bertanya tentang orang ini, Kadzib menjadi wajib untuk melindungi orang yang tertindas itu, dan/atau hak miliknya. Hal yang bijak, yang hendaknya dilakukan dalam keadaan seperti ini, dengan menggunakan Tauriyah (mengatakan sebagian dari kebenaran). Singkatnya, bahwa hukum Kadzib dapat berasal dari salah satu dari lima hukum Syari'ah berikut, namun pada dasarnya, Haram.
Aturan Pertama: Haram atau Dilarang: Ketika tak ada manfaat Syari'ah dengan menggunakannya.
Aturan Kedua: Makruh atau Dibenci, jika digunakan, misalnya untuk menghibur orangtua atau pasangan.
Aturan Ketiga: Mandub atau Dianjurkan, jika digunakan untuk menakuti musuh-musuh Islam dalam Jihad, seperti membesar-besarkan jumlah pasukan dan persenjataan umat Islam.
Aturan Keempat: Wajib atau Diperintahkan, ketika digunakan untuk melindungi seorang Muslim atau hartanya dari kehancuran.
Aturan Kelima: Mubah atau Dibolehkan, digunakan untuk kerukunan antar sesama.
Namun, para ulama, mengatakan bahwa Kadzib itu, secara umum, sesuatu yang amatlah keji, hal ini didasarkan pada Kitabullah, yang menyentil dan mengutuk para pendusta. Karena kita mengacu pada aturan Syariah yang telah disebutkan, maka, tak ada sesuatu yang disebut "Kebohongan Putih."

Para Salaf menyebutkan bahwa kita diperbolehkan melakukan Ta'ridh. Ta'ridh itu, mengungkapkan makna sesuatu tanpa menyebutkannya, namun dapat mengarahkan pendengar untuk memahami secara berbeda. Artinya jika seseorang terpaksa berbohong, maka ia bisa menggunakannya. Namun bila tak ada keharusan melakukannya, maka penggunaan Ta'ridh dan Kadzib tak diperkenankan, kecuali Ta'ridh itu, kesalahan kecil.
Sebuah contoh Ta 'ridh, ketika Mu'adz bin Jabal bekerja untuk 'Umar bin Khattab. Saat ia pulang ke rumah, isterinya bertanya, "Mengapa engkau tak membawa buah-tangan untuk kami seperti pekerja lain bawakan bagi keluarganya?" Ia berkata, "Aku sedang di awasi (ada yang mengawasiku)." Sang isteri berkata, "Engkau ini, orang jujur, yang dipercaya Rasulullah (ﷺ) dan setelah itu, oleh Abu Bakar, dan sekarang, Umar mengutus orang untuk mengawasimu?." Sang isteri lalu mengeluhkan hal ini kepada kawannya sesama ibu-ibu, tentang pengawasan 'Umar. Saat berita itu sampai ke 'Umar, ia memanggil Mu'adz dan bertanya, "Adakah aku menyuruh mengawasimu?" Muadz berkata, "Aku tak punya lagi dalih lain kecuali itu kepada istriku." 'Umarpun tertawa, sambil memberinya sesuatu, ia berkata, "Bahagiakanlah isterimu dengan ini." Mu'adz sebenarnya memaknakan dalihnya itu bahwa Allah-lah Yang mengawasinya.
Inilah contoh penggunaan Ta'ridh saat dibutuhkan. Namun bila tak diperlukan, maka sebaiknya jangan digunakan. Ta'ridh sebenarnya membuat pendengar memahami makna diluar kebenaran, walaupun kata-katanya bukanlah dianggap Kadzib. Secara umum, Ta'ridh itu, makruh.

Ada banyak latar-belakang yang mendorong mereka yang qalbunya sakit, berdusta, di antaranya, pertama, tidak adanya rasa takut dan cinta kepada Allah, serta tak menyadarkan-diri bahwa Dia selalu mengawasi kita.
Kedua, berusaha mengubah fakta dan menggantinya dengan kebohongan. Alasannya, menambah atau mengurangi fakta, agar dapat pamer, mengambil keuntungan duniawi, dll. Contohnya, ketika seseorang berbohong tentang biaya yang dikeluarkan untuk membeli tanah atau kendaraan, atau seseorang berbohong kepada keluarga pasangannya untuk menunjukkan perhatian dan kasih-sayangnya.
Ketiga, bergabung dengan sekelompok teman dalam upaya menarik perhatian orang lain, akibatnya, seseorang bisa saja berbohong dan menyampaikan cerita dusta.
Keempat, kurangnya rasa tanggung-jawab atau berusaha menghindari konflik dengan fakta selama masa sulit dan keadaan kritis.
Kelima, tertular kebiasaan dusta sejak kecil. Inilah akibat dari pola asuh yang buruk. Ketika seorang anak melihat orang-tuanya berbohong, ia dapat tumbuh besar dengan berbohong.
Keenam, membanggakan suatu kebohongan dan menganggapnya sebagai bentuk kecerdasan tingkat-tinggi serta cara cerdas dalam menangani berbagai masalah.

Ada Kadzib, yang mungkin tak dianggap Fusuq (berbuat dosa besar), seperti melebih-lebihkan. Seserang mungkin berkata, "Aku memanggil si fulan berkali-kali" atau "Sudah kukatakan padamu ratusan kali." Angka yang disebutkan di sini, tak akurat, akan tetapi, dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu yang telah berkali-kali dilakukan. Jika orang tersebut sebenarnya hanya memanggil orang yang ia maksud, sekali saja, maka itu dianggap Kadzib. Namun, jika ia memanggilnya beberapa kali lebih sering dari biasanya, maka itu tak dianggap dosa meskipun sebenarnya bukan ratusan kali ia melakukannya. Antara yang pertama dan yang terakhir, ada tingkatan yang berbeda-beda dan seseorang yang cenderung melebih-lebihkan, dapat menjadikan lidahnya tercebur ke dalam Kadzib.

Ada orang yang juga mungkin bersikap toleran dengan perilaku berikut. Seseorang disuruh makan dan ia menjawab dengan berkata, "Aku tak suka makanan ini" atau "Aku tak lapar" padahal ia sesungguhnya suka atau benar-benar lapar. Hal seperti ini Haram dan tak boleh, meskipun niatnya mungkin baik. Rasulullah (ﷺ) bersabda, "" Kadzib ditulis sebagai Kadzib dan Kadzib kecil ditulis sebagai Kadzib kecil (maksudnya, semua Kadzib itu, tertulis, baik yang kecil maupun besar). "[Ibnu Abud-Dunya dan Ahmad]
Para salaf selalu menghindari Kadzib seperti itu dan tak mentolerirnya. Betapa waspadanya para Salaf akan Kadzib. Jika seseorang membolehkan Kadzib kecil, maka ia terkadang tanpa sadar, berdusta.

'Isa putra Maryam (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) berkata, "Di antara dosa terbesar dengan Allah itu, bahwa seorang hamba berkata, 'Allah tahu' untuk sesuatu yang ia sendiri tak tahu." Orang biasanya berkata, "Allah tahu sesuatu itu terjadi" selagi orang yang menyampaikannya, tak tahu kebenarannya.

Ada juga orang yang berdusta tentang mimpinya. Hal ini termasuk dosa besar. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
مِنْ أَفْرَى الْفِرَى أَنْ يُرِيَ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَ
"Dusta yang paling keji itu, bahwa seseorang mengaku telah bermimpi yang belum pernah dimimpikannya." [Sahih Al-Bukhari]
Rasulullah (ﷺ) juga bersabda,
مَنْ تَحَلَّمَ كَاذِبًا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَعْقِدَ بَيْنَهُمَا
“Sesiapa yang berdusta memimpikan sesuatu yang tak pernah dimimpikannya, niscaya pada Hari Kiamat, ia akan dibebani untuk mengikat di antara dua buah biji gandum, sedang ia takkan mampu melakukannya." [Jami' At-Tirmidzi; Sahih]
[Bagian 2] 

Jumat, 08 Januari 2021

Rasa Cinta

Murai bersenandung,

Mengapakah harus kurasa?
Sepenting itukah egomu?
Kita berawal karena cinta
Biarlah cinta yang mengakhiri

Kamu dihadapkan pilihan
Antara aku dan dia
Begitu rumitnya dunia
Hanya karena sebuah rasa cinta *)
Kemudian, kucica berkata, 'Cinta itu, melibatkan rasa. Rasa itu, salah satu sistem yang turut-serta dalam sensasi. Sensasi itu, proses fisik dimana sistem sensorik merespons rangsangan dan menyediakan data bagi persepsi. Kita dapat mengalami cinta dengan penggunaan indra-perasa kita.'
Namun, kita takkan membahas secara detail tentang apa itu rasa atau sensasinya, akan tetapi, kita akan membicarakan tentang kisah-manusia yang menggunakan akal-sehat dan perasaan mereka untuk menunjukkan cinta.

Jadi, kisah pertama, cerita tentang seorang pemuda tangguh, Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ), dan seorang wanita cantik, bangsawan. Wanita cantik ini berusaha merayunya. Pintu telah tertutup-rapat dan akan mudah bagi Yusuf (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) takluk padanya. Apa tanggapan Yusuf (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) terhadap rayuan itu? Melemahkah tekadnya? Maukah ia mengkhianati kepercayaan yang menjadi tanggung jawabnya? Sama-sekali tidak!
قَالَ مَعَاذَ اللّٰهِ اِنَّهٗ رَبِّيْٓ اَحْسَنَ مَثْوَايَۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ
"Yusuf berkata, 'Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zhalim itu, takkan beruntung." [QS. Yusuf (12):23]
Kesetiaan kepada Allah, itulah alasan terkuat memperoleh berkah dan menjauhkan-diri dari segala kejahatan. Allah berfirman,
وَ لَقَدۡ ہَمَّتۡ بِہٖ ۚ وَ ہَمَّ بِہَا لَوۡ لَاۤ اَنۡ رَّاٰ بُرۡہَانَ رَبِّہٖ ؕ کَذٰلِکَ لِنَصۡرِفَ عَنۡہُ السُّوۡٓءَ وَ الۡفَحۡشَآءَ ؕ اِنَّہٗ مِنۡ عِبَادِنَا الۡمُخۡلَصِیۡنَ
"Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya ia tiada melihat tanda (dari) Rabb-nya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, ia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih." [QS. Yusuf(12):24]
Banyak penafsir Al-Qur'an menyebutkan, tentang sifat dari tanda yang dilihat oleh Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) pada saat ia menahan diri agar tak berbuat asusila. Ada diantara mereka berkata bahwa Jibril (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) menampakkan diri kepadanya di langit; atau bahwa Ya'qub (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) menampakkan diri kepadanya sambil menggigit ibu jarinya, atau kejadian serupa, yang jika terjadi akan menghalangi seseorang yang tersesat berbuat keburukan.

Istri Al-Aziz, menuduh Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) berusaha merayunya, dan ia berkata, 'Yusuf merayuku!'
وَ اسۡتَبَقَا الۡبَابَ وَ قَدَّتۡ قَمِیۡصَہٗ مِنۡ دُبُرٍ وَّ اَلۡفَیَا سَیِّدَہَا لَدَا الۡبَابِ ؕ قَالَتۡ مَا جَزَآءُ مَنۡ اَرَادَ بِاَہۡلِکَ سُوۡٓءًا اِلَّاۤ اَنۡ یُّسۡجَنَ اَوۡ عَذَابٌ اَلِیۡمٌ
"Dan keduanya berlomba menuju pintu, dan perempuan itu menarik baju gamisnya (Yusuf) dari belakang hingga koyak, dan keduanya mendapati suami perempuan itu di depan pintu. Ia (perempuan itu) berkata, “Balasan apakah terhadap orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan siksa yang pedih?” [QS. Yusuf(12):25]
Seorang saksi dari keluarga pihak perempuan itu - yaitu, seorang penengah dari keluarganya, memberi kesaksian, menarik kesimpulan yang jelas, yang sebenarnya, perempuan itulah yang mengoyak kemeja Yusuf saat merayunya.
اِنۡ کَانَ قَمِیۡصُہٗ قُدَّ مِنۡ قُبُلٍ فَصَدَقَتۡ وَ ہُوَ مِنَ الۡکٰذِبِیۡنَ
“Jika baju gamisnya koyak di bagian depan, maka perempuan itu benar, dan ia (Yusuf) termasuk orang yang dusta." [QS. Yusuf (12):26]
Jika ini terjadi, maka itu membuktikan Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) mendekatinya dan bahwa Yusuf-lah yang memulai rayuannya,
وَ اِنۡ کَانَ قَمِیۡصُہٗ قُدَّ مِنۡ دُبُرٍ فَکَذَبَتۡ وَ ہُوَ مِنَ الصّٰدِقِیۡنَ
"Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka perempuan itulah yang dusta, dan ia (Yusuf) termasuk orang yang benar." [QS. Yusuf (12):27]
Perbuatan itu, berdasarkan bukti yang kuat. Inilah yang sebenarnya terjadi, karena sang wanita sangat menginginkan Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) dan Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) melepaskan-diri darinya, maka iapun mengoyak baju Yusuf dari belakang. Dengan demikian, jelaslah bagi mereka bahwa istri Al-Aziz-lah yang menggoda. Kelak, isteri Al-Aziz membuat pengakuan.
قَالَتِ امۡرَاَتُ الۡعَزِیۡزِ الۡـٰٔنَ حَصۡحَصَ الۡحَقُّ ۫ اَنَا رَاوَدۡتُّہٗ عَنۡ نَّفۡسِہٖ وَ اِنَّہٗ لَمِنَ الصّٰدِقِیۡنَ
"Istri Al-Aziz berkata, 'Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggoda dan merayunya, dan sesungguhnya ia termasuk orang yang benar.'” [QS. Yusuf (12):51]
Ibnu Qayyim berkata, "Bekerja dengan pembuktian, diperlukan oleh hukum, logika dan kaidah."

Istri Al-Aziz, wanita kelas atas, berusaha sekuat tenaga; menggunakan segala cara yang ada dalam benaknya, termasuk rayuan dan ancaman, untuk melemahkan ketabahan dan tekad Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ). Tanpa malu-malu, dalam amarah dan kegeramannya, ia mendeklarasikan,
قَالَتۡ فَذٰلِکُنَّ الَّذِیۡ لُمۡتُنَّنِیۡ فِیۡہِ ؕ وَ لَقَدۡ رَاوَدۡتُّہٗ عَنۡ نَّفۡسِہٖ فَاسۡتَعۡصَمَ ؕ وَ لَئِنۡ لَّمۡ یَفۡعَلۡ مَاۤ اٰمُرُہٗ لَیُسۡجَنَنَّ وَ لَیَکُوۡنًا مِّنَ الصّٰغِرِیۡنَ
"Ia (istri Al-Aziz) berkata, 'Itulah orangnya yang menyebabkan kamu mencelaku karena (aku tertarik) kepadanya, dan sungguh, aku telah menggoda untuk menundukkan dirinya tetapi ia menolak. Jika ia tak melakukan apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya ia akan dipenjarakan, dan ia akan menjadi orang yang hina.”" [QS. Yusuf(12):32]
Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ), yang tulus dan suci, berdoa kepada Allah, memohon pertolongan dan perlindungan-Nya. Inilah cinta, cinta peringkat tertinggi. Yusuf memilih penjara untuk menyelamatkan dirinya dari kejatuhan moralitas. Pilihan ini dengan jelas menunjukkan kemuliaan orang beriman dan martabatnya, yang meninggikannya diatas hasrat-duniawi.
قَالَ رَبِّ السِّجۡنُ اَحَبُّ اِلَیَّ مِمَّا یَدۡعُوۡنَنِیۡۤ اِلَیۡہِ ۚ وَ اِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّیۡ کَیۡدَہُنَّ اَصۡبُ اِلَیۡہِنَّ وَ اَکُنۡ مِّنَ الۡجٰہِلِیۡنَ
"Yusuf berkata, 'Wahai Rabb-ku! Penjara lebih kusukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.”[QS. Yusuf(12):33]
Yusuf muda (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ), salah-satu dari orang-orang pilihan Allah, teristimewa untuk mengingat kampung Akhirat, dan dari keduanya, yakni menjadi orang yang shalih dan menjadi orang pilihan, tak terpisahkan. Oleh karenanya, Yusuf (عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ) memilih keduanya, karena bakti yang tulus hanya kepada-Nya; maka siapapun yang sepenuhnya setia hanya kepada Allah, Allah akan memilihnya dan menjauhkannya dari setiap kejahatan, dan melindunginya dari perilaku dosa dan amoral. Para penafsir Al-Qur'an, menyebutkan bahwa “orang-orang yang terpilih untuk mengingat kampung Akhirat” bermakna bahwa ia dipilih untuk melakukan itu saja, dalam artian, hanya Kampung Akhirat saja yang menjadi perhatian mereka, dan juga, menyebarkan pesan tentang hal itu kepada sesama.

Demikianlah, kisah ini menyoroti hasil konflik antara hati-nurani orang beriman, yang takut kepada Allah, dan godaan dosa yang sangat memikat. Dari kisah ini, kita belajar bahwa cobaan dapat dilalui dan kesetiaan kepada Allah-lah yang akan selalu menang!

Kisah selanjutnya, terjadi di masa pemerintahan Amirul Mu'minin, 'Umar bin Khattab (رضي الله عنه). Ada seorang wanita, suaminya pergi melaksanakan jihad di jalan Allah dan belum pulang ke rumah dalam waktu yang sangat lama. Ia merindukan suaminya, dan merasa sangat kesepian; panasnya birahi dan kobaran-gairah mulai membara di dalam dirinya. Tiada yang dapat menghentikannya untuk memuaskan keinginannya kecuali iman dan rasa takutnya kepada Allah.

Suatu malam yang gelap, saat sang khalifah, 'Umar (رضي الله عنه), melewati rumahnya, tanpa sengaja, ia mendengar wanita itu membacakan syair, 

Malam semakin panjang, dan kali ini, kelam
Sungguh menyakitkan, karena kutak punya kekasih 'tuk bermain
Ku bersumpah demi Allah, jika bukan karena rasa-takutku akan adzab
Kukan bermukah di peraduan ini
Keesokan harinya, 'Umar (رضي الله عنه) bertanya kepada putrinya, Hafsah, "Berapa lama seorang wanita bisa bersabar jika suaminya tak di rumah?" Hafsah menjawab, "Empat bulan." Lalu, 'Umar pun segera mengirim pesan kepada para panglimanya, di tengah gejolakya pertempuran, yang berisi, "Jangan jauhkan para pasukan dari keluarganya selama lebih dari empat bulan!"

Meski ada godaan yang dihadapi wanita-suci dan shalihah ini, ia tetap menolak dorongan berzina, dan karena kesetiaannya kepada Allah, mampu mengalahkan hasratnya. Maka, ini jualah peringkat cinta yang tertinggi.

Kesimpulannya, jika seorang pemuda mengingat Allah, baik secara terbuka maupun secara sendiri-sendiri, ia akan dapat mengalahkan seluruh bisikan dan hasutan Setan, dan akan mampu mengatasi segala dorongan-syahwat. Ia juga akan menjadi teladan yang baik layaknya para Nabi, suci bagai malaikat, dan shalih seperti para sahabat. Jika ia istiqamah mengikuti aturan ini, Allah pasti akan memfasilitasi segala sarana yang diperlukan baginya, untuk menikah. Wallahu a'lam."

English

Rujukan:
- 'Abdullah Nasih 'Ulwan, Islam and Love, Translated by Khalifa Ezzat Abu Zeid, Dar Al-Salam.
- Shaykh ‘Abdur-Rahman ibn Nasir as-Sa’di, Lessons Learnt from the Story of Yusuf عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, DuSunnah Publication
*) Kutipan dari sebuah lagu berjudul "Sebuah Rasa" ciptaan Pay dan Dewiq.

Selasa, 05 Januari 2021

Tentang Cinta (2)

Merpatih putih, diam sejenak, lalu bersenandung,
Cinta, apakah itu cinta?
Bertanya tanpa sengaja
Cinta, berkorban jiwa
Indah, harum, bermakna
Oh, itukah cinta?
Cinta, oh cinta suci
Janganlah kau nodai!
Ia melanjutkan, “Adapun peringkat cinta yang terendah itu, lebih mengutamakan cinta keluarga dan sanak-saudara dibanding cinta kepada Allah, Rasul-Nya (ﷺ), dan berjuang di jalan Allah. Jenis ini diklasifikasikan menjadi beberapa macam.

Mencintai berhala. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ يَّتَّخِذُ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ اَنۡدَادًا يُّحِبُّوۡنَهُمۡ كَحُبِّ اللّٰهِؕ وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ؕ وَلَوۡ يَرَى الَّذِيۡنَ ظَلَمُوۡٓا اِذۡ يَرَوۡنَ الۡعَذَابَۙ اَنَّ الۡقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيۡعًا ۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيۡدُ الۡعَذَابِ
"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)." [QS. Al-Baqarah(2):165]
Mencintai musuh-musuh Allah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَتَّخِذُوۡا عَدُوِّیۡ وَ عَدُوَّکُمۡ اَوۡلِیَآءَ تُلۡقُوۡنَ اِلَیۡہِمۡ بِالۡمَوَدَّۃِ وَ قَدۡ کَفَرُوۡا بِمَا جَآءَکُمۡ مِّنَ الۡحَقِّ ۚ یُخۡرِجُوۡنَ الرَّسُوۡلَ وَ اِیَّاکُمۡ اَنۡ تُؤۡمِنُوۡا بِاللّٰہِ رَبِّکُمۡ ؕ اِنۡ کُنۡتُمۡ خَرَجۡتُمۡ جِہَادًا فِیۡ سَبِیۡلِیۡ وَ ابۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِیۡ ٭ۖ تُسِرُّوۡنَ اِلَیۡہِمۡ بِالۡمَوَدَّۃِ ٭ۖ وَ اَنَا اَعۡلَمُ بِمَاۤ اَخۡفَیۡتُمۡ وَ مَاۤ اَعۡلَنۡتُمۡ ؕ وَ مَنۡ یَّفۡعَلۡہُ مِنۡکُمۡ فَقَدۡ ضَلَّ سَوَآءَ السَّبِیۡلِ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus. [QS. Al-Mumtahanah(60):1]
Cinta yang intens terhadap syahwat. Al-Qur'an memaklumkan,
زُیِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّہَوٰتِ مِنَ النِّسَآءِ وَ الۡبَنِیۡنَ وَ الۡقَنَاطِیۡرِ الۡمُقَنۡطَرَۃِ مِنَ الذَّہَبِ وَ الۡفِضَّۃِ وَ الۡخَیۡلِ الۡمُسَوَّمَۃِ وَ الۡاَنۡعَامِ وَ الۡحَرۡثِ ؕ ذٰلِکَ مَتَاعُ الۡحَیٰوۃِ الدُّنۡیَا ۚ وَ اللّٰہُ عِنۡدَہٗ حُسۡنُ الۡمَاٰبِ
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga"[QS.Ali-Imran(3):14]
Lebih mengutamakan cinta keluarga, kerabat, dan tanah-air dibanding cinta kepada Allah, Rasul-Nya (ﷺ), dan berjuang di jalan Allah. Al-Qur'an mendeklarasikan,
قُلۡ اِنۡ کَانَ اٰبَآؤُکُمۡ وَ اَبۡنَآؤُکُمۡ وَ اِخۡوَانُکُمۡ وَ اَزۡوَاجُکُمۡ وَ عَشِیۡرَتُکُمۡ وَ اَمۡوَالُۨ اقۡتَرَفۡتُمُوۡہَا وَ تِجَارَۃٌ تَخۡشَوۡنَ کَسَادَہَا وَ مَسٰکِنُ تَرۡضَوۡنَہَاۤ اَحَبَّ اِلَیۡکُمۡ مِّنَ اللّٰہِ وَ رَسُوۡلِہٖ وَ جِہَادٍ فِیۡ سَبِیۡلِہٖ فَتَرَبَّصُوۡا حَتّٰی یَاۡتِیَ اللّٰہُ بِاَمۡرِہٖ ؕ وَ اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الۡفٰسِقِیۡنَ
"Katakanlah, 'Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.'"[QS. At-Tawbah(9):24]
Cinta purbasangka dan tunduk pada kejahatan diri-sendiri. Al-Qur'an memaklumkan,
اَفَرَءَیۡتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰـہَہٗ ہَوٰىہُ وَ اَضَلَّہُ اللّٰہُ عَلٰی عِلۡمٍ وَّ خَتَمَ عَلٰی سَمۡعِہٖ وَ قَلۡبِہٖ وَ جَعَلَ عَلٰی بَصَرِہٖ غِشٰوَۃً ؕ فَمَنۡ یَّہۡدِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ اللّٰہِ ؕ اَفَلَا تَذَکَّرُوۡنَ
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa-nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya?
Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tak mengambil pelajaran?" [QS. Al-Jāthiyah(45):23]
Cinta kepada Setan dan tunduk pada hasutannya. Al-Qur'an menyatakan,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam supaya kamu tak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu, musuh yang nyata bagi kamu"
وَأَنْ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
"dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus"
وَلَقَدْ أَضَلَّ مِنكُمْ جِبِلًّا كَثِيرًا أَفَلَمْ تَكُونُوا تَعْقِلُونَ
"Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar diantaramu, Maka apakah kamu tak memikirkan?"
[QS. Ya-Sin(36):60-62]
Sesungguhnya, mukmin sejati takkan mau tunduk pada cinta berhala, cinta kekufuran, cinta setan, cinta syahwat, cinta prasangka, namun ia seyogyanya tunduk kepada Sang Pencipta dan Pemelihara, Allah Ta'ala, Rasul-Nya (ﷺ), dan sesama orang-orang mukmin. Allah Ta'ala berfirman,
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ یَّرۡتَدَّ مِنۡکُمۡ عَنۡ دِیۡنِہٖ فَسَوۡفَ یَاۡتِی اللّٰہُ بِقَوۡمٍ یُّحِبُّہُمۡ وَ یُحِبُّوۡنَہٗۤ ۙ اَذِلَّۃٍ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ اَعِزَّۃٍ عَلَی الۡکٰفِرِیۡنَ ۫ یُجَاہِدُوۡنَ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ وَ لَا یَخَافُوۡنَ لَوۡمَۃَ لَآئِمٍ ؕ ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ وَاسِعٌ عَلِیۡمٌ
"Wahai orang-orang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui."
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)."
وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
"Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang."
[QS. Al-Ma'idah(5):54-56]
Wahai saudara-saudariku, Islam mengakui cinta, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan, yang diciptakan untuk tujuan, yang hanya Allah Yang tahu. Fenomena cinta yang ditanamkan pada manusia, mengandung tujuan penting. Tak ada yang bisa memahaminya kecuali mereka yang berpikiran-sehat dan berilmu yang mendalam. Maksud atau tujuannya, sebagai berikut.

Cinta itu, ujian yang sulit dan pahit bagi perilaku manusia. Ujian ini terwakili dalam jenis cinta yang dipilihnya. Akankah cintanya suci atau ternoda? Berimbang, atau berlebihankah ia? Disiplin, atau menyimpangkah ia? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab setelah ia melewati ujian itu!

Cinta itu, salah satu pendorong terpenting di balik penuhnya dunia, pendoromg untuk mengembangkan peradaban, dan suatu disiplin untuk urusan kehidupan. Cinta juga mendorong umat manusia agar mewujudkan tujuan mereka, yakni membangun peradaban dan memuliakan Allah. Jadi, dapat dikatakan bahwa tanpa cinta, takkan ada aktivitas, kreativitas, modernisasi, atau perpindahan penduduk.

Cintalah faktor utama dalam reproduksi umat manusia, berkenalan dengan orang lain, memanfaatkan budaya lain, dan mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kosmos, kehidupan dan manusia. Cinta memperkuat ikatan keluarga, menyatukan masyarakat, membangun pertalian di antara masyarakat, keamanan, stabilitas, perdamaian di antara bangsa-bangsa, serta kasih-sayang dan belas-kasihan di seluruh dunia. Cinta manusia yang didasarkan pada cinta Ilahi, membuat keajaiban, memunculkan bangunan kemuliaan dan martabat, dan mendirikan negara besar, seperti yang diwujudkan oleh para pendahulu kita yang shalih, yang mengembangkan masyarakat terbaik yang dikenal dalam sejarah dunia.

Orang mukmin sejati itu, orang yang lebih menyukai cinta kepada Allah di atas segala kepentingan duniawi, agar dapat membangun masyarakat Islam dan menebarkan Islam, yang merupakan satu-satunya tujuan. Ali bin Abi Thalib (رضي الله عنه) menganjurkan dan menasihati rekan dan sahabat-sahabatnya dengan mengatakan,
Beramal-shalihlah dan maafkanlah orang lain, karena engkau akan menuai hasil dari perbuatanmu.
Berimbanglah saat mencintai, karena engkau takkan tahu kapan masanya berdamai dan bertikai.
Berimbanglah saat membenci, karena engkau takkan tahu kapan masanya mencintai.
Rujukan:
- 'Abdullah Nasih 'Ulwan, Islam and Love, Translated by Khalifa Ezzat Abu Zeid, Dar Al-Salam.

Jumat, 01 Januari 2021

Tentang Cinta (1)

Merpati putih, bersenandung

Kuingin tahu, apa itu cinta
Kuingin engkau tunjukkan padaku
Kuingin rasakan, apa itu cinta
Kutahu engkau bisa tunjukkan padaku

Kemudian ia berkata, "Puja dan puji hanya kepada Allah, yang oleh rahmat dan berkah-Nya, segala amal-shalih telah tergapai. Selawat dan salam tercurahkan atas Baginda Nabi (ﷺ), yang diutus sebagai rahmat ke seluruh dunia, juga tercurah atas keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau, hingga terputusnya sang waktu.

Wahai saudara-saudariku, saat kata "cinta" disebutkan, jiwa manusia terasa bugar dan bergetar, menikmati afeksi yang muktabar, dan aroma harum air-atar. Kata 'Kekasih' juga menyingsingkan jiwa manusia ke awang-awang, membersihkannya dengan air yang suci, berjabat dengan sang kekasih dalam gelungan aroma wewangian ini, dan mengerawang seolah di atas gegana yang lembut.
Ada pepatah lama menyebutkan, "Siapapun yang merasakan cinta, tahu nilainya." Mereka yang telah merasakan cinta dan melangkah di sepanjang alurnya, akan menyerunya. Ada orang-orang di zaman profan ini, menafsirkan cinta hanya menyangkut seputar bermesraan dan berdekapan di atas ranjang. Mereka telah lupa, bahwa ada jenis cinta yang lain, misalnya, cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya (ﷺ), cinta kepada orangtua, cinta kepada putra dan putri, cinta kepada saudara lelaki dan perempuan, dan akhirnya cinta karena Allah, yang lebih disukai di atas segala bentuk harta-pusaka. Mereka telah melupakan jenis-jenis yang luhur ini, dan sebaliknya mereka mengejar cinta terlarang yang mengarah pada permukahan, baik di rumah bordil atau di ruang terbuka seperti generasi campur-aduk yang ada sekarang ini, yang tak mengenal kepatutan maupun budi-pekerti.

Cinta mencakup serangkaian keadaan emosional dan mental yang kuat dan positif, dari kebajikan yang paling mulia atau kebiasaan baik, kasih sayang antarpribadi yang paling dalam, hingga kenikmatan yang paling bersahaja. Ada banyak pendapat tentang cinta. Salah satunya menyatakan bahwa cinta itu, intuisi, gerak-hati; bisikan qalbu yang melaluinya hati dari dua pecinta ada saling ketertarikan dan saling berhubungan secara emosional. Cinta juga merupakan bagian dari kodrat manusia yang berakar sangat dalam dan sangat dibutuhkan. Terkadang, cinta dikendalikan oleh idaman seseorang jika sang pecinta memilih cinta yang tulus dan suci, dan mau menjalani kehidupan orang-orang yang shalih.

Islam, dengan aktualitasnya, yang terwakili dalam fitrah, moralitas, dan kanunnya, mengakui pentingnya cinta yang berakar pada entitas manusia. Allah berfirman,
قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ ِۨاقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ
"Katakanlah, 'Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.'" [QS. At-Tawbah (9):24]
Menurut ayat ini, cinta diklasifikasikan menjadi tiga jenis: cinta peringkat tertinggi, cinta peringkat menengah, cinta peringkat terendah. Jenis-jenis ini telah ada dan diterapkan di seluruh dunia. Sesungguhnya, klassifikasi ini akan ada hingga berakhirnya masa.

Cinta tingkat tinggi itu, cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya (ﷺ), dan jihad atau berjuang di jalan-Nya. Tiada keraguan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), dan berjuang di jalan-Nya, lebih disukai, di mata orang-orang shalih, di atas segala jenis cinta lainnya, karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) adalah syarat iman dan janji menjadi seorang Muslim sejati. Hal ini juga satu-satunya cara untuk membantu agama Allah, menebarkan pesan Islam dan membangun bangunan Islam di seluruh semesta.

Tentulah, orang beriman, yang merasakan nikmatnya iman, semakin cenderung cinta kepada Allah, karena ia tahu bahwa Allah itu, Yang Mahatinggi, Mahabesar dan Mahasempurna, tiada yang mampu melipatgandakan atau menggambarkan kesempurnaan dan kemuliaan ini. Ia juga percaya bahwa hukum-hukum Allah hendaknya diikuti, karena lebih komprehensif dan terlepas dari bias dan ketaksempurnaan. Oleh karena itu, ia berusaha dengan jujur dan tegas, menegakkan hukum ini, karena ia sadar bahwa Allah-lah Pemilik dunia ini dan juga Pengatur segala ciptaan. Sang Pemilik, mengatur urusan makhluk-Nya dengan cara yang Dia putuskan dan pilih. Manusia sebagai salah satu makhluk ini, tunduk pada Sang Pemilik dan Sang Pemelihara.

Ia juga mengakui bahwa Allah Maha Mengetahui, dan karenanya, Allah mengatur hukum yang sesuai dengan keadaan dan kepentingan makhluk-Nya. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah Yang Maha Esa, Maha Bijaksana dalam penilaian-Nya. Hikmah-Nya berarti bahwa Dia menempatkan segala hal pada tempat yang tepat untuk mencapai keuntungan dan mencegah kerugian. Orang beriman juga tahu bahwa Allah-lah Satu-satunya Pemberi hukum dan bahwa manusia sama sekali tak mampu membuat hukum untuk dirinya sendiri, karena ia dipengaruhi oleh lingkungan, emosi, sentimen, keyakinan, purbasangka, dan pihak-pihak yang diikutinya.

Karena hanya Allah-lah, Satu-satunya Pemilik, Pengendali umat manusia, Yang Mahatahu, Yang Maha Bijaksana, dan Yang Mahakuasa, orang beriman dengan hati dan jiwanya, lebih condong cinta kepada Allah, dan berusaha dengan tulus dan sepenuh hati melaksanakan perintah-Nya. Ia yakin bahwa kepribadiannya takkan lengkap kecuali dengan ia mengikuti petunjuk Allah.

Tiada keraguan, bahwa orang beriman yang merasakan manisnya iman, akan menyayangi Rasulullah (ﷺ). Orang beriman menemukan teladan terbaik dalam kepribadian beliau, karena Allah melukiskan beliau (ﷺ) dengan kualitas ini, yang terwakili dalam perbuatan, ucapan, dan kebiasaan. Ia menganggap beliau (ﷺ) sebagai manusia yang ideal, karena Allah menjaga beliau (ﷺ) dari kesalahan dan dosa. Ia juga menganggap beliau (ﷺ) punya karakter yang luar biasa karena Allah memberi beliau (ﷺ) sifat ini. Wajar bagi seorang mukmin tertarik mencintai Rasulullah (ﷺ) setelah ia mengakui kedudukan beliau (ﷺ) di sisi Allah. Ia juga mencintai beliau (ﷺ), karena ia menemukan beliau (ﷺ) sebagai manusia ideal dan teladan terbaik. Oleh karena itu, ia berusaha mengikuti tata-cara beliau (ﷺ) dalam segala urusan, duniawi dan agama, seperti yang dilakukan oleh para sahabat (رضى الله عنه) selama hidupnya. Mereka sangat mencintai beliau (ﷺ) sehingga mereka merasa sedih jika tak melihat beliau (ﷺ).

Tiada keraguan, bahwa orang-orang beriman, yang telah merasakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), tertarik pada cinta berjuang di jalan Allah, dan melindungi Islam meskipun ada kesulitan dan hambatan yang mungkin mereka temui. Orang beriman tertarik pada Jihad, yang bermakna cinta berjuang di jalan-Nya, karena Allah menciptakannya bersama dengan orang-orang beriman lainnya untuk menyeru manusia keluar dari penyembahan berhala menuju penyembahan kepada Allah, dari dunia fana' menuju akhirat yang baqa', dan dari ketidakadilan menuju keadilan Islam.

Kata "Jihad" tampaknya telah menjadi kata yang paling menyeramkan dunia saat ini. "Jihad" itu, bukan bermakna "mengobarkan perang suci", atau "membunuh orang kafir", atau "melakukan terorisme." Kata "jihad" berarti "berjuang". Baginda Nabi (ﷺ) bersabda bahwa jihad terbaik itu, mengucapkan kata-kata kebenaran "di hadapan pemimpin yang zhalim." Bukan kekerasan. Bukan terorisme. Al-Qur'an menggambarkan tiga jenis jihad atau perjuangan, jihad melawan diri-kita-sendiri, jihad melawan setan - yang disebut jihad besar - dan jihad melawan musuh terbuka - yang dikenal sebagai jihad kecil. Seluruh kriteria ini, tak pernah memaknakan atau membolehkan terorisme.
Al-Qur'an dengan jelas mendefinisikan siapa yang merupakan "musuh terbuka". "Musuh terbuka" bukanlah pemerintah kita, pemeluk agama lain atau sesama warga negara kita. Sebaliknya, Al-Qur'an membolehkan umat Islam mengangkat-senjata dalam suatu jihad kecil, hanya jika lima syarat berikut terpenuhi: mempertahankan diri; dianiaya karena mempertahankan imannya; meninggalkan rumah dan bertugas ke negara lain untuk menjaga perdamaian; menjadi target pembunuhan karena keyakinan; dan untuk melindungi kebebasan beragama secara universal. Jadi apapun jihad kita, jadikanlah itu jihad sejati bagi perdamaian, pendidikan, dan perlindungan manusia dari semua agama.

Adapun cinta peringkat menengah, merupakan sentimen hati dan jangkauan perasaan psikologis yang bertandan dari seorang manusia yang hatinya berhubungan dengan, antara lain, agama, keluarga, kekerabatan, dan teman. Kasih-sayang, belas-kasihan, kesetiaan, dan simpati, memperkuat hubungan ini. Melalui peringkat ini, orang beriman akan saling mencintai, orangtua mencintai anak-anaknya dan sebaliknya, seorang suami mencintai istrinya dan sebaliknya, seseorang mencintai kerabatnya dan sebaliknya, sesama teman saling mencintai ... dll.
Islam menganggap cinta jenis ini, sebagai perasaan yang mulia dan agung. Namun, ia menempati peringkat kedua setelah cinta Allah dan Rasul-Nya (ﷺ), karena tiada cinta lain yang setara dengannya. Allah, Rasul-Nya (ﷺ) dan jihad. Selain itu, cinta kepada Allah, Rasul-Nya (ﷺ), dan jihad, punya derajat dan kehormatan yang tinggi di sisi Allah. Pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dari jenis cinta peringkat menengah ini, sebagai berikut: tanpa cinta timbal balik di antara pasangan, takkan ada keluarga, takkan ada keturunan, takkan ada kepedulian, takkan ada pendidikan, dan takkan ada pengasuhan; tanpa cinta yang ditanamkan dalam hati anak-anak, takkan ada hubungan orang tua-anak, takkan ada koherensi keluarga, dan takkan ada hubungan kerja sama dengan kerabat; tanpa cinta, takkan ada hubungan sosial, takkan ada kenalan, dan takkan ada kebahagiaan di antara umat manusia.
Jadi, cinta peringkat menengah ini, diperlukan untuk mencapai kepentingan individu dan masyarakat. Tak heran jika ajaran Islam memperkuat kecintaan orangtua kepada anak-anaknya dan sebaliknya, cinta suami kepada istri dan sebaliknya, dan cinta seorang manusia terhadap sesama teman, kerabat, dan umat manusia pada umumnya.

Sekarang, pertanyaan yang muncul, "Sampai sejauh manakah cinta tingkat menengah ini, hendaknya tetap ada?" Dalam konteks ini, kita telah sebutkan bahwa cinta peringkat menengah ini, merupakan kaidah hukum Islam, karena memperkuat hubungan antar individu dan kelompok. Karenanya, cinta ini hendaknya tetap ada, selamanya. Adakah alasan atau latar-belakang religius yang mendesak kita agar mengatasi atau membatasi jenis cinta ini? Selama seorang Muslim itu baik dan shalih, seyogyanya ia tak dimusuhi. Hasilnya, seperti yang kita ketahui, seharusnya tiada perselisihan, pertengkaran, maupun permusuhan di antara dua orang Muslim selama lebih dari tiga hari. Islam menyebutkan periode ini agar mereka dapat kembali menyadarkan diri, saling memaafkan dengan tulus, dan berjabatan-tangan. Jika permusuhan melampaui tiga hari, maka berdosalah mereka.
Islam mengajarkan kita agar saling menasihati dan membimbing rekan dan teman kita secara pribadi, mengajak mereka ke jalan keyakinan yang benar, dan menunjukkan kepada mereka akibat dari berbuat dosa di tengah perbuatan jahat. Jika ia tak mau menerima nasihat dan petunjuk itu, sang penasehat hendaknya menarik-diri darinya karena Allah, sama seperti ia menyayanginya karena Allah, bahkanpun jika ia itu, kerabat ataupun kawan. Baginda (ﷺ) bersabda,
“Sesungguhnya, sekuat-kuat tali iman itu, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” [Musnad Ahmad, Hasan oleh Syekh Al-Albani]
[Bagian 2]