Selasa, 19 Januari 2021

Nasehat Sang Singa (1)

Baraubarau tampil ke depan, berdehem, melihat sekeliling, lalu membacakan ayat-ayat,
أعوذُ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
قُلۡ اَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِۙ
مِنۡ شَرِّ مَا خَلَقَۙ
وَمِنۡ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَۙ
وَمِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الۡعُقَدِۙ
وَمِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ
"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Ucapkanlah, 'Aku berlindung kepada Rabb Yang menguasai subuh
Dari kejahatan apapun yang telah Dia ciptakan
Dan dari kejahatan malam dikala telah kelam
Dan dari kejahatan wanita-wanita peniup pada buhul-buhul
Dan dari kejahatan hasid dikala ia hasad.'"
[QS. Al-Falaq (113):1-5]
Setelah itu, Murai angkat bicara, "Wahai saudara-saudariku, kita kedatangan bintang tamu, seorang sahabat yang telah lama kunanti, dan akhirnya, ia datang juga. Tanpa basa-basi, mari kita undang beliau tampil ke depan!" Tepuk-tangan meriah para unggas pun terdengar. Kemudian, sesosok makhluk muncul. Para unggas terpana. Mereka melihat sosok yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Badan yang kekar, tegap, kaki depan, gigi, dan rahang yang kuat, dengan mantel kuning keemasan. Tingginya 1,2 meter tegak hingga ke bahu, panjang sekitar 3 meter dan memiliki ekor sepanjang 90 sentimeter, beratnya sekira 250 kilogram, sangatlah besar. Beberapa saat kemudian, seekor burung kecil, kutilang, berseru, "Singaaa!" Burung lain, juga berkomentar, "Awas, ia 'kan memakan kita!" Parkit, berteriak, "Hei, seharusnya ia tak berada di sini!" Riuh-rendah suara para unggas, hingga terdengar suara gemuruh, "Roooaarrr!" Sang singa mengaum.
Setelah ngauman itu, tak terdengar lagi suara kecuali keheningan. Itulah kekuasaan, ia bergantung pada apa yang engkau berkehendak lakukan. Sang singa menyapa, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!" Suka tak suka, bagi seorang hamba Allah, sebuah salam, hendaknya disambut, maka para unggas pun menyambut dengan, "Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!"

Setelah saat-saat hening terjadi, dengan santai dan tersenyum, sang singa melanjutkan, "Sesungguhnya, segala puja dan puji hanyalah milik Allah. Kita memohon pertolongan-Nya dan kita memohon ampunan-Nya. Kita berlindung pada-Nya dari kejahatan diri kita dan dari kejahatan perbuatan kita. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, tiada yang dapat menyesatkannya. Dan, siapapun yang Allah biarkan tersesat, tiada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi, bahwa tiada Ilah yang patut dibadahi dengan benar selain Allah, dan aku bersaksi, bahwa Nabi Muhammad (ﷺ) itu, hamba dan utusan Allah.
Sungguh, atas kehendak Allah, aku terlahir sebagai singa. Manusia telah menjadikanku simbol kekuasaan. Namun, meski aku dilahirkan dengan tubuh yang kuat dan kekar, aku hanya melaksanakan apa yang Allah titahkan. Sesungguhnya, kalian, para unggas, amanahku, untuk dilindungi, bukan untuk dizhalimi. Aku ditakdirkan Allah hanya memakan banteng yang mengamuk, babi, ular, buaya, dan segala yang menyulih amarah dan serakah. Dan bagi kalian yang mengatakan aku tak boleh berada di sini, engkau keliru, aku seharusnya telah berada di sini, berdiri di garis terdepan, melindungi kalian, duhai makhluk kecil yang menakjubkan, dengan bulu yang indah, berwarna-warni, menggemaskan!
Kuakui, terkadang, ada diantara kalian yang perilakunya menyebalkan, bahkan, diantara kalian juga tak menyukai perilaku seperti itu, namun bukan berarti kalian semua harus dihukum, atau diperlakukan bagai narapidana, dicurigai radikal atau teroris. Sebaliknya, seyogyanya, kalian dilindungi dan didengarkan. Kicauanmu itu, suara yang terindah.

Ketahuilah wahai saudara-saudariku! Aku tak selalu disimbolkan sebagai sesuatu yang baik, namun juga dijadikan simbol keburukan, keangkuhan. Kekuatanmu, 'kan menjadi kelemahanmu. Dan tahukah engkau, keangkuhan itu, merendahkan cinta. Ia akan merusak qalbumu, dan akan melahirkan hasad. Keangkuhan itu, salah satu kualitas amarah. Amarah menghasilkan Hasad. Saat amarah dipendam karena seseorang tak dapat melampiaskannya dengan segera, ia merasuk jauh ke dalam diri, menggumpal menjadi Hasad. Hati akan selalu iri dan dengki, yang disebut kebencian. Kebencian inilah, yang menghasilkan Hasad.
Umat manusia pertama kali terjangkit oleh hamburan amarah dan benci ini, saat menjadi sasaran permusuhan makhluk jahat. Penciptaan Allah atas Nabi Adam, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, membangkitkan amarah musuhnya, dan juga musuh kita, yang paling licik dan tangguh. Mampu merasuk dan merengsek ke dalam qalbu dan sukma musuh-musuhnya, mampu menjebak dari hampir segala arah, Iblis, berusaha menghancurkan bapak kita, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, dengan menjebaknya, dan juga istrinya, agar mematuhi setiap bisikan yang mengarah pada kehancuran dan kehinaan. Namun, Allah menggagalkan makar Iblis; alih-alih menghukum dan mempermalukan mereka seperti yang diharapkan Iblis. Allah memberi petunjuk dan mengampuni Nabi Adam dan isterinya.
Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, menganugerahkannya ilmu nama-nama segala sesuatu dan memuliakannya di atas semua ciptaan. Dia kemudian memerintahkan para malaikat agar membungkuk di hadapan Nabi Adam, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, sebagai ungkapan pengakuan dan pemghormatan. Patuh, para malaikat bergegas memenuhi panggilan Rabb-nya dan membungkuk di hadapan Nabi Adam, kecuali Iblis! Karena kesombongan dan penalaran yang keliru, Iblis, yang berada di antara para malaikat, menolak menaati Allah. Yakin bahwa dirinyalah yang tertinggi dari apa yang telah Allah ciptakan dengan tangan-Nya sendiri, Iblis tak mau membungkuk dihadapan Nabi Adam.
Musuh Allah, Iblis, dengan permusuhan yang mendalam terhadap Nabi Adam dan istrinya, telah terbukti. Terlebih lagi, jelas bahwa hasad telah menjadi percikan yang memicu kebencian Iblis terhadap Nabi Adam, عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ. Alhasil, Allah memperingatkan Nabi Adam dan istrinya tentang rencana musuh mereka.

Bukti dari Al-Qur'an dan Sunnah mengungkapkan bahwa jiwa manusia yang iri-hati, sesungguhnya dapat melukai sasaran kebenciannya. Anak-panah mematikan dari orang-orang ini, mencapai korbannya melalui jiwa dan mata-jahat ('ain), tanpa perlu orang yang iri-hati itu mengangkat tangan atau bahkan mengucapkan sepatah kata pun. Hasad itu, mengharapkan terhentinya atau rusakya karunia dari orang yang dirahmati dengannya, baik itu karunia duniawi maupun agama. Hasid adalah orang yang melakukan Hasad. Hasad itu, perilaku yang buruk dan tercela, yang merusak tubuh dan Iman. Ada kezhaliman dan bahaya dalam Hasad. Karenanya, Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) melarang hasad. Allah berfirman,
وَ الَّذِیۡنَ یُؤۡذُوۡنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ وَ الۡمُؤۡمِنٰتِ بِغَیۡرِ مَا اکۡتَسَبُوۡا فَقَدِ احۡتَمَلُوۡا بُہۡتَانًا وَّ اِثۡمًا مُّبِیۡنًا
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." [QS. Al-Ahzab (33):58]
Agar umat Islam dapat menjaga kesakralan dan perdamaian, Nabi kita tercinta (ﷺ) melarang apa yang dapat mengganggu kesakralan dan perdamaian itu. Beliau (ﷺ) bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَنَافَسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
"Jauhilah oleh kalian purbasangka, karena sesungguhnya purbasangka itu, sedusta-dusta ucapan, dan janganlah kalian saling mencari berita keburukan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." [Sahih Muslim]
Hasad itu, wujud rasa kecewa yang mendalam karena melihat karunia yang dimiliki orang lain. Ketika Allah menganugerahi saudaramu sebuah karunia, maka kecemburuan bisa menjadi salah satu dari dua hal, pertama, tak menyukai karunia itu dan lebih senang saat melihat saudaramu kehilangan anugerah itu. Dalam hal ini, rasa iri ini, disebut Hasad. Hasad itu, rasa yang menginginkan agar karunia dan rasa-cinta itu, hilang dari orang yang dianugerahi. Kedua, tak ada rasa cemburu atas karunia orang lain dan membiarkannya tetap bersama orang tersebut, namun engkau juga menginginkan anugerah yang sama bagi dirimu sendiri. Rasa-cemburu seperti ini, disebut Ghibtah dan mirip dengan persaingan, dalam cara yang baik.
Kasus yang pertama, dalam segala hal, hukumnya haram, kecuali sesuatu yang diperoleh orang yang keji, dan menggunakannya untuk menyakiti orang lain, merusak tali-persaudaraan atau menyebarkan keburukan dan kerusakan. Dalam hal ini, sebenarnya tak ada permusuhan yang disebabkan anugerah itu sendiri, melainkan permusuhan karena digunakan untuk kejahatan. Jika tidak, tak seorangpun yang menginginkan anugerah itu dihilangkan atau tak suka melihat orang itu diberkahi dengannya.

Hasad, secara umum, hukumnya haram. Permusuhan seperti ini, sebenarnya perwujudan dari, tak mau menerima takdir Allah yang memberikan lebih banyak kepada orang lain dibanding dirinya. Tiada yang berhak menolak atau menggugat Allah bagaimana membagi rahmat-Nya di antara umat manusia. Dosa apakah yang lebih besar daripada membenci seorang Muslim yang diberkahi dengan sebuah anugerah ketika engkau tak dirugikan oleh karunia tersebut?

Hasad itu, sebuah pilar dari kekufuran. Ada empat pilar kekufuran, yakni keangkuhan, hasad, amarah dan hasrat yang tercela. Keangkuhan menghalangi seseorang mengikuti kebenaran. Hasad menghalangi seseorang menerima nasehat. Amarah menghalangi seseorang menegakkan keadilan. Dan hasrat yang tercela, menghalanginya dari ketulusan beribadah.
Jika pilar keangkuhan dihancurkan, maka akan mudah bagi orang tersebut mengikuti kebenaran. Jika pilar hasad diruntuhkan, maka akan mudah menerima nasehat dan mengalah. Jika pilar amarah dipatahkan, maka akan mudah bersikap adil dan rendah-hati. Dan jika pilar hasrat yang tercela dihancurkan, maka akan mudah bersabar dan bertakwa. Sumber dari keempat pilar ini, terutama karena kelalaian seseorang akan Rabb-Nya dan dirinya sendiri. Jika ia mengenal Rabb-nya dengan sifat kesempurnaan dan keagungan, dan mengenal dirinya sendiri, serta kekurangan dan keburukannya, ia takkan sombong dan takkan marah dalam memenuhi kebutuhannya. Alhasil, ia takkan iri dengan apa yang telah Allah berikan kepada orang lain.

Hasad pada kenyataannya mirip dengan bermusuhan dengan Allah. Seseorang tak menyukai apa yang Allah berikan kepada orang lain, sedangkan Allah hendak melakukannya. Hasid, juga menginginkan agar anugerah itu diambil dari seseorang yang dikehendaki Allah memilikinya. Orang seperti ini, menentang Allah dalam ketetapan-Nya dan apa yang Dia ridhai dan apa yang Dia tak kehendaki. Jadi, Iblis, sesungguhnya, musuh Allah. Ia berbuat dosa karena keangkuhan dan hasad. Agar dapat menghilangkan kedua sifat buruk ini, seseorang hendaknya mencari ilmu sejati Allah dengan menerima Tauhid dan takdir Allah, serta dengan bertobat kepada-Nya. Orang bijak berkata, "Hasid bersaing dengan Allah dalam lima hal. Yang pertama, tak suka pada anugerah yang diterima orang lain. Yang kedua, tak puas dengan apa yang telah diberikan Allah dalam hal rezeki. Ini sama seperti mengatakan kepada Allah, 'Mengapa Engkau memberi kepada orang lain dengan cara seperti ini?' Yang ketiga, kikir akan kasih-sayang Allah, karena anugerah diberikan kepada manusia atas rahmat Allah, sesuai dengan kehendak-Nya. Keempat, hasid meninggalkan sahabat dan hamba Allah yang setia, karena ia ingin karunia itu dilepaskan dari orang lain. Dan yang kelima, bahwa hasid telah berpihak pada musuh Allah, Iblis."
Juga disebutkan, "Hasid takkan memperoleh apapun dari orang lain berupa nasehat dan kerendahan-hati, dan tak memperoleh apapun dari malaikat melainkan kutukan dan kebencian. Dalam kesendiriannya, hasid hanya akan merasakan duka dan nestapa. Di saat kematiannya, ia menjalani kesulitan dan ketakutan. Pada Hari Penghakiman, ia kemudian akan dipermalukan dan dihukum berat. Akhirnya, didalam Jahannam, ia hanya akan merasakan panas dan terbakar tiada henti."

Setiap nilai atau moral itu, punya batas, yang bila dilampaui, menjadi kezhaliman; dan ketika tak dapat dipenuhi, menjadi cacat dan takkan dihiraukan lagi. Hasad ada batasnya, yaitu persaingan mencari kesempurnaan dan menjadikan orang lain merasakan kesedihan. Akan menjadi sebuah kezhaliman jika orang tersebut menginginkan agar karunia Allah tersebut hilang dari orang lain dan berusaha menyakiti orang lain. Jika tak mencapai batas ini, maka akan menjadi kerendahan-hati dan kurangnya antusias. Persaingan, dengan cara-cara yang baik, diperbolehkan dalam Islam, karena Allah berfirman,
لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ لَجَعَلَکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً وَّ لٰکِنۡ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰىکُمۡ فَاسۡتَبِقُوا الۡخَیۡرٰتِ ؕ اِلَی اللّٰہِ مَرۡجِعُکُمۡ جَمِیۡعًا فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ فِیۡہِ تَخۡتَلِفُوۡنَ
" ... Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak mengujimu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah, kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan." [QS. Al-Maa'idah (5):48]
Nabi tercinta kita (ﷺ) bersabda,
اَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهْوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
"Tak diperbolehkan hasad kecuali terhadap dua orang, seseorang yang dianugerahi harta oleh Allah, lalu ia menginfakannya dengan cara yang benar, dan seseorang yang dikaruniai Allah hikmah (ilmu agama), lalu ia memberikan keputusan sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain." [Sahih Al-Bukhari]
Jenis Hasad ini, sebenarnya disebut Ghibtah, dan merupakan keinginan agar menjadi seperti atau mendapatkan karunia yang serupa tanpa mengharapkan hilangnya anugerah itu dari orang lain. Penyebutan hasad dalam hadits tadi, hanya sebagai metafora. Rasulullah (ﷺ) menjelaskan,
مَثَلُ هَذِهِ الأُمَّةِ كَمَثَلِ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ ‏:‏ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالاً فَهُوَ يَقُولُ ‏:‏ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ‏:‏ ‏"‏ فَهُمَا فِي الأَجْرِ سَوَاءٌ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ يُنْفِقُهُ فِي غَيْرِ حَقِّهِ وَرَجُلٌ لَمْ يُؤْتِهِ اللَّهُ عِلْمًا وَلاَ مَالاً فَهُوَ يَقُولُ ‏:‏ لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ‏:‏ ‏"‏ فَهُمَا فِي الْوِزْرِ سَوَاءٌ
'Keserupaan umat ini, laksana empat orang, orang yang Allah karuniakan harta dan ilmu, maka ia beramal sesuai ilmunya dengan mempertimbangkan hartanya, membelanjakannya sebagaimana mestinya; kemudian seseorang yang Allah anugerahkan ilmu, akan tetapi Allah tak memberinya kekayaan, maka ia berkata, 'Jika aku diberi (kekayaan) seperti ini, kukan perbuat apa yang (orang pertama) perbuat. " Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Mereka akan sama dalam pahala.' Kemudian, orang yang Allah beri kekayaan namun tak memberinya ilmu, maka ia menyia-nyiakan kekayaannya dan membelanjakannya dengan cara yang tak tepat; Kemudian, seseorang yang tak Allah berikan ilmu atau kekayaan, dan ia berkata, "Jika aku memiliki (kekayaan) seperti ini, kukan lakukan apa yang (orang ketiga) lakukan." Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Mereka akan sama dalam hal beban (dosa) mereka.' ”[Sunan Ibnu Majah; Sahih]
Rasulullah (ﷺ) mencela orang-orang seperti yang ketiga dan keempat, karena keinginannya berbuat dosa, bukan karena menginginkan punya harta yang setara. Karena itu, tak ada salahnya bagi seseorang yang ber-Ghibtah, dan ingin mendapatkan anugerah yang sama bagi dirinya sendiri, selama ia tak menginginkan karunia itu dihilangkan dari orang lain atau tak bertahan lama bagi mereka. Jika anugerah itu terkait dengan agama dan merupakan ibadah wajib seperti keimanan, shalat atau zakat, maka persaingan seperti ini, diperintahkan, dan bila ingin menjadi seperti orang lain dalam hal melaksanakan amal keagamaan, menjadi wajib. Jika karunia itu berupa amal shalih semisal sedekah, maka persaingan di dalamnya patut dipuji. Jika itu hanyalah pemberian yang dapat digunakan dengan cara yang diperkenankan, maka persaingan itu menjadi diperbolehkan.
[Bagian 2]