Senin, 31 Mei 2021

Macan Kasmaran

Profesor Nightingale mewartakan, "Duhai saudara-saudariku! Ada untaian sajak, dari Negeri Tiongkok, 两只老虎—Liang Zhi Lao Hu (Dua Macan)—yang berbunyi,
两只老虎。
[Dua Macan]
两只老虎。
[Dua Macan]
跑得快。
[Berlari kencang]
跑得快。
[Berlari kencang]
一只没有耳朵。
[Yang satu tak bermata]
一只没有尾巴。
[Yang lain tak berbuntut]
真奇怪。
[Sungguh aneh]
真奇怪。
[Sungguh aneh]
Liang Zhi Lao Hu, diabdikan kepada Sir John F. Davis—seorang diplomat dan sinolog Inggris, yang menjabat sebagai Gubernur Hong Kong kedua, dari tahun 1844 hingga 1848. Ia, Presiden pertama Royal Asiatic Society Hong Kong—dengan menjadi orang Barat pertama yang menerjemahkan Zhi Lao Hu ke dalam bahasa Inggris dalam bukunya tahun 1836, The Chinese: A General Description of the Empire of China and Its Inhabitants.
Ungkapan tersebut, dipopulerkan di dunia Barat, dengan terjemahan The Little Red Book pada tahun 1964, sebuah buku kutipan dari Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Cina. Istilah ini digunakan dalam pernyataan The Little Red Book, Imperialisme dan Semua Pembangkang, Macan Kertas. Zedong menggunakan frasa ini, dalam sebuah wawancara pada tahun 1946, mengilustrasikan "Paman Sam," "Ia tampak sangat kuat, namun nyatanya, tak perlu ditakuti; ia macan kertas belaka. Kelihatan seperti macan, tapi terbuat dari kertas, tak mampu menahan angin dan hujan. Aku percaya bahwa ia tak lain hanyalah, macan kertas."

Aku tak hendak membicarakan The Chinese atau The Little Red Book, aku hendak bercerita. Namun sebelum lanjut ke cerita, aku ingin membangunkan dirimu dan diriku, bahwa Islam, tak meniadakan perasaan-qalbu, melainkan meniadakan perasaan yang membawa seseorang ke dalam pembangkangan dan yang menyebabkan masalah besar. Tiada larangan bersenang-senang sepanjang sesuai dengan batasan yang ditetapkan oleh Syariah. Tiadalah mengapa bagi seseorang bermain sepak bola bersama kawan-kawan atau ke gimnastik. Namun, akan menjadi masalah, bila shalat terlewatkan demi pertandingan sepak bola. Demikian juga, mencintai seseorang dari lubuk hati yang terdalam, tetap ditekankan, selama kedua sang-kekasih, diperbolehkan saling-mencintai sesuai wadahnya, yaitu melalui pernikahan.

Mari kita dengarkan kisahnya. Cerita ini, menyampaikan tentang konsekuensi buruk yang mungkin menyertai syahwat-cinta buta. Maka, dengarkan apolog berikut.
Para bandit-elit, sedang rapat, mereka membicarakan sesuatu. Seseorang berkata, “Sang Macan, harus dimusnahkan. Ia telah mendakwa banyak kolega kita. Mulai dari mereka yang melarikan diri ke luar negeri, dan jaksa, hingga yang menggelapkan dana hibah sosial. Ia jualah yang telah meruamkan hiruk-pikuk dengan istilah "cecak lawan buaya." Ia telah mengganggu kita, dan menghalangi tujuan kita. Ia harus dilemahkan." Yang lain bertanya, "Lalu, bagaimana kita bisa menyingkirkannya?" Seseorang mengusulkan, "Matikan saja!" Tapi yang lain keberatan, "Jangan, ia punya berlimpah pengagum!" Yang terakhir berkata, "Utus seorang agen saja." Yang lain bertanya, "Maksudmu, mengirim agen rahasia? Baiklah, tapi siapa?" Yang lain mengajukan, "Utus saja Mata Hari!" Yang lain menolak, "Jangan, ia sudah ketahuan! Kita kirim yang lain dan aku tahu seseorang, namanya Saroja." Yang lain berkomentar, "Tembung Saroja?" Yang lain tertawa, "Yaa... mirip-miriplah, dua kata yang bermakna hampir sama... ia agen ganda, pemilik toko manisan, putri sang-penjaga rimba."
Semua sepakat, dan seseorang bertanya, "Bagaimana skenarionya?" Yang lain menjawab, "Begini...!" Mereka merampungkan rangrangannya dengan bisik-bisik, nyaris tak terdengar.

Sementara itu, Sang-macan sedang duduk, berpikir, ia dibingungkan oleh pertanyaan-pertanyaan aneh tentang wawasan kebangsaan. Namun, semuanya ambyar, kala ia melihat Saroja, melangkah, gontai, muncul dari balik cakrawala, sebuah mestika, yang jarang ditemui. Mengutip gaya Nizami, dalam karyanya, "Laila dan Majnun," ia ramping laksana pokok-arun. Matanya, bak mata-kijang, mampu menembus ribuan qalbu walau hanya dengan satu kerlipan tak terduga, ya, dengan satu kedipan bulu-matanya, ia sanggup meluluhkan sang-mayapada.
Bila dilirik, ia bagai bulan Arab, namun bila menjadi sang-pencuri-hati, ia ibarat lembaran Persia. Di balik bayang-bayang gelap rambutnya, parasnya laksana pelita, atau lebih tepatnya, obor, dengan burung gagak yang mengepakkan sayap di sekelilingnya. Dan siapa sangka, bahwa rasa-manis yang mencengangkan, dapat mengalir dari bibir-mungilnya. Mungkinkah, kemudian, menghancurkan seluruh pasukan dengan sebulir gula-renik? Ia sungguh tak butuh perona-pipi; bahkan susu yang diminumnya, berganti biram-mawar, di bibir dan pipinya; dan ia diparipurna dengan mata-berkilau dan landang-pipi, sejak lahir di negeri fana ini.
Sang-macan kasmaran. Bahkan, sebegitu ganasnya sang-syahwat, sampai-sampai tak sanggup bernyawa melainkan ia jadi miliknya. Hati siapa yang takkan dipenuhi gulana saat melihat wanita ini? Namun sang-macan, ala Qais sang-Majnun dalam karya Nizami, merasa lebih. Ia karam dalam samudera-cinta, sebelum sadar bahwa ada sesuatu dibaliknya. Ia telah memasrahkan nuraninya kepada Saroja, sebelum memahami apa yang akan ia serahkan."
Profesor Nightingale menyela, "Kaum wanita itu—tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat dan penghargaan, secara umum—sasaran birahi dan titik-api tatapan tercela, dan di dalamnya, sang-ego menemukan kedamaiannya. Kaum lelaki, seyogyanya, membelanjakan sebagian besar nafkah-hidupnya atas kaum-perempuan, dan menjadi pembimbing mereka, karena kekuatan dan kemampuannya untuk melindungi. Jika syahwat dikekang dalam wilayah yang ditentukan Syariah, 'kan menjadi hal yang baik dan berkah bagi masyarakat, karena menyangkut pembentukan keluarga Muslim di atas dasar sakinah, mawaddah, wa rohmah yang kokoh. Tak mengherankan, bahwa salah satu perintah pertama yang dikeluarkan Yang Mahakuasa kepada Nabi Adam, alaihissalam, sebagai berikut,
وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ
"Dan Kami berfirman, 'Duhai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah dekati pohon ini, kelak engkau termasuk orang-orang yang zhalim!'" [QS. Al-Baqarah (2):35]
Allah tak berfirman, "Tinggallah sendirian di surga," atau "Tinggalah, engkau dan kekasihmu, di surga." Dia, Subhanahu wa Ta'la, berfirman, "Tinggallah engkau dan istrimu ..." Maka, Islam, agama Kebenaran, menyerukan dan menganjurkan pernikahan, dan mewajibkannya, sehingga manusia takkan terbebani sesuatu yang tak sanggup mereka tanggung. Syahwat itu, naluri alami yang bermanfaat jika terjaga dalam batasannya, namun, akan menyebabkan keruntuhan dan kehancuran jika dibiarkan langgas.
Karena alasan inilah, Islam, dengan Syariahnya yang benar, menolak perzinahan. Zinah itu, dapat menggulirkan kejahatan, yang menenggelamkan di rawa yang kotor. Allah telah menghubungkan dosa zina dengan penyembahan berhala dan pembunuhan, dan Dia telah menjadikan adzabnya, kekal selamanya dalam api-Neraka, siksaan yang mengerikan dan menghinakan, kecuali bila dikremasi dengan tobat yang ikhlas, iman dan amal-shalih. Insya Allah.
Kecintaan yang berlebihan pada gundukan emas dan perak, pada kuda-tunggangan dengan ciri khas istimewa, pada ternak, dan pada ladang-pertanian, terbukti terkait dengan wanita dan anak-anak, dan juga terkait dengan harta, baik dalam bentuk tunai maupun barang. Hal ini disebabkna lebih pentingnya harta dalam urusan manusia, dan peranannya yang menonjol dalam membangun dan memajukan kehidupan, dan dalam memberikan kemudahan dan kemewahan yang begitu disayangi manusia. Harta itu, sarana dasar yang bertujuan mewujudkan seluruh syahwat manusia lainnya. Islam menuntun manusia ke dalam pembersihan dan pensucian. Ia membangun moral-kudrati yang didasarkan pada kesetiaan dan kebajikan. Mengalir laksana samudera yang suci guna membersihkan bumi dari kotoran, sampah dan setiap kenajisan.
Allah menempatkan cinta-wanita di atas cinta pada anak. Cinta pada anak, tak mengandung kelebihan dan pemborosan yang sama seperti cinta-wanita. Ada banyak lelaki, yang meninggikan cinta wanita di atas cinta anak-anak mereka dan mengabaikan pendidikan dan merampas rezeki mereka. Ada banyak lelaki kaya dan berkuasa, yang menghinakan para generasi-penerus, sehingga hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan karena tergoda wanita lain selain dari ibu anak-anaknya. Mereka terobsesi dengan wanita sedemikian rupa, dan syahwat mengalihkannya dari setiap kewajiban. Inilah bahaya besar bagi segenap masyarakat."
Sang-macan mendekat, bertanya, "Siapakah ciptaan ajaib ini? Rembulan-malamkah? Lailakah? Bukankah 'Laila' bermakna 'malam' dalam bahasa Arab? Dan gelap bagai malam, corak rambutnya." Saroja tersenyum simpul, namun berkilah, melirik, "Aku Saroja!" desahnya. Sang-macan tak berdaya, lunglai, ia langsung melamar, “Menikahlah denganku, duhai Saroja!” Saroja menunduk, "Aku masih bimbang." Laksana Qais yang mendamba Laila, sang-macan merayu, "Kukan berikan segala yang engkau pinta, apapun itu!" Saroja berbalik, berkata, "Benarkah? Temuilah ayahku, dan tunaikanlah apa yang ia minta!"
Tanpa menunda lagi, sang-macan membobol benaknya, menemui sang-ayah, dan melamar Saroja jadi istrinya. Sang ayah, yang sama garibnya dengan sang-pelamar, menyampaikan, harus dengan syarat: pertama, mengingat Saroja lemah dan lembut, sang-macan harus bersedia dicopot taringnya, dan dipotong cakarnya, jangan sampai melukai Saroja, atau setidaknya, menakut-nakutinya. Kedua, mantan narapidana yang pernah didakwanya, harus dijadikan instruktur.
Sang-macan, terlalu kasmaran untuk ragu; seketika, gigi dan cakarnya lenyap. Dan pada hari yang ditentukan, alih-alih menjadi pengantin-pria, perangkap telah disiapkan. Sang-macan terjebak dan dibuang ke tepi danau. Sang-qais meraung dan terisak, menyesali cakarnya yang hilang, dan meratapi bayangan wajahnya yang terpantul di air-danau. Pada akhirnya, sesuai naskah para bandit, yang sama anehnya dengan teka-teki wawasan kebangsaan, ia telah menjadi 'Macan Ompong.'"
Akhirnya, Profesor Nightingale menyampaikan kata penutup, "Duhai saudara-saudariku! Merujuk untaian sajak Negeri Tiongkok tersebut, jika engkau mensketsakan seseorang, negara, atau lembaga, sebagai 'Macan Kertas', maknanya, meskipun mereka tampak berkuasa, namun sesungguhnya, tak punya kuasa. Wallahu a'lam."
Rujukan:
- Abdus Subhan Dalfi, When Desire Takes Over, Darul Uloom Bury U.K.
- Sheikh 'Abd aI-Hamid Kishk, Dealing With Lust and Greed, Daral Taqwa, Ltd.
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Sheik Nizami, The Story of Layla and Majnun, Bruno Cassirer

Jumat, 28 Mei 2021

Cuka Berumur Empat-puluh Tahun

"Duhai saudara-saudariku! Berkata orang Maori, 'Jika engkau ingin menangkap ikan, pertama-tama, belajarlah berpikir seperti ikan,'" imbuh Profesor Nightingale. "Jika engkau bermaksud 'mencuri' ikan, agar orang-lain tak mencium aromanya, tirulah cara kerja para-kucing. Dan jika engkau hendak mengabadikan potret Yulius Kaisar, perhatikan, jangan tunjukkan ia sedang memakai 'jam-tangan,' karyamu akan sia-sia, ketahuan 'ecek-ecek' dan semu, kecuali, jika engkau meniatkannya jadi sketsa-fiksi atau lelucon.

Namun biarlah, ketimbang kepala kita pening memikirkannya, mending, perhatikan cerita ini,
Pada malam bulan purnama, Nasruddin Hodja melihat di halaman belakang rumahnya, sosok bayangan-putih. Mengira itu penjarah, ia meminta istrinya membawakan busur dan anak-panah. Sang-Hodja membidik, anak-panahpun melesat, sasarannya tepat.

Setelah itu, Hodja berangkat tidur dan bermimpi. Dalam impiannya, ada orang memberi Hodja sembilan koin emas, akan tetapi, Hodja menginginkan sepuluh. Maka, ia menolaknya. Mendadak, ia terbangun dan melihat tangannya, nihil. Bergegas ia menutup matanya lagi, dan berkata, "Tak mengapa, yang sembilan koin, aku terima."

Fajar pun menyingsing, sang-Hodja tergopoh-gopoh ke halaman belakang rumahnya. Ia terkejut melihat apa yang ia sangka penjarah, ternyata, jubahnya sendiri, yang telah dibilas sang-bini dan tergantung di tali-jemuran. Ia berlutut dan berulang-ulang mengucap, “Terima-kasih Tuhan! Terima-kasih Tuhan!" Istrinya bertanya, “Mengapa engkau bersyukur?” dan sang-Hodja menjawab, “Tentulah, aku harus bersyukur. Aku berhasil membidik tepat di tengah jubah itu. Bayangkan, apa yang akan terjadi, jika aku berada di dalamnya!”

Keesokan harinya, sang-Hodja meminjam belanga tetangganya. Beberapa hari kemudian, sewaktu ia telah menggunakannya, ia mengembalikannya beserta sebuah periuk di dalamnya. "Apa ini?" tanya sang-jiran seraya menunjuk periuknya. "Belangamu beranak," jawab sang-Hodja. Tanpa berkomentar apapun, sang-jiran mengambil periuknya.

Beberapa hari kemudian, Hodja membutuhkan belanga lagi, dan meminjam milik tetangganya, sekali lagi. Sang-jiran, dengan girang, menyerahkannya kepada Hodja.
Beberapa waktu berlalu dan sang-belanga belum jua dipulangkan. Sang-jiran menemui Hodja, yang sedang bersama keledainya, dan bertanya, “Hodja, apa yang terjadi dengan belangaku?” "Belangamu mati," kata Hodja. Sang-jiran keberatan, berkata, “Bagaimana bisa belanga mati, Tuan?” Hodja menjawab, "Engkau percaya belanga bisa beranak, tapi mengapa engkau tak yakin belanga bisa mati?"

Sang-jiran tak bisa berkata-kata, kecuali bertanya, "Apa yang sedang engkau lakukan?" Sang-Hodja mulai merapik tentang keledainya. “Ia sangat cerdas, bahkan aku bisa mengajarinya membaca,” ujarnya. "Betulkah?" sang-jiran terkejut. “Ya tentu, butuh waktu tiga bulan,” jawab Hodja sembari merunduk. "Baiklah, kita lihat tiga bulan ke depan," kata sang-jiran, ragu-ragu.

Hodja pulang dan mulai melatih keledainya. Ia meletakkan makanan di antara halaman-halaman sebuah buku besar dan mengajarinya membalik halaman dengan lidahnya, agar dapat menemukan makanannya. Tiga hari sebelum masa tiga bulan berakhir, ia berhenti memberinya makan.

Sang-jiran pun bertandang, Hodja meminta sebuah buku besar dan meletakkannya di depan sang-keledai. Sang-satwa yang lapar, membalik-balik halaman buku tersebut, lembar demi lembar, dengan lidahnya, dan selagi tak menemukan makanannya, ia mulai meringkik. Sang-jiran memperhatikan sang-keledai dengan cermat, lalu berkata, "Sungguh cara membaca yang aneh!" Hodja berkomentar, "Tapi, beginilah cara keledai membaca."

"Menarik," kata sang-jiran. "Bolehkah aku meminjamnya?" "Tentu! Datanglah besok!" balas Hodja. Keesokan harinya, sang-jiran datang lagi, dan melihat Hodja tampak sibuk mencari sesuatu. "Apa yang sedang engkau cari?," sang-jiran ingin tahu. "Aku kehilangan ayamku!" Kemudian, Hodja mengambil sehelai kain hitam kecil, dan mengalungkannya di leher ayam lain. Sang-jiran menyoal, "Hodja, mengapa ini?"
“Ayam ini sedang berduka, kehilangan induknya,” jawab Hodja dengan tenang.

Sang-jiran kemudian bertanya tentang sang-keledai. “Keledainya tak di rumah,” jawab Hodja. Saat itu, sang-keledai, di atas atap, mulai meringkik. “Oh,” sela sang-jiran, “Tadi engkau bilang, keledaimu tak ada di rumah, tapi, siapa yang meringkik?”
"Engkau ini, aneh!" seru Hodja. "Manakah yang engkau percayai, kata-kata keledai, atau kata-kataku?"
"Baiklah, kalau begitu! Tapi, bolehkah aku meminta bantuanmu?" tukas sang-jiran. "Tentang apa?" tanya Hodja. "Maukah engkau menulis surat untukku?"
"Kemana suratnya ditujukan?" tanya Hodja. "Ke Bagdad," jawab sang-jiran. "Aku tak bisa ke sana," Hodja menimpali. "Engkau tak mesti ke sana. Suratnya yang dikirim," kata sang-jiran dan Hodja menjelaskan, "Tak ada yang mampu membaca tulisanku. Jadi, aku harus ke sana, membacakannya!"

Keesokan paginya, Hodja mendapati keledainya, dicuri. Sang Hodja mulai mencari. Dalam pencariannya, ia mengedau. Sang-hakim, yang menyaksikan, mengusut, "Siapa yang mencuri keledaimu, dan bagaimana caranya?" Hodja kesal dan berkata, "Andai kutahu jawabannya, keledaiku takkan dicuri!"
"Oke, tenang!" Sang-hakim bertenggang-rasa, dan berkata, "Punyakah engkau, cuka yang berumur empat-puluh tahun?"
“Punya,” jawab Hodja. "Boleh kuminta sedikit? Aku membutuhkannya sebagai obat," kata sang-hakim. "Tidak, tak boleh," jawab Hodja. "Bila kuberikan, walau sedikit, kepada setiap orang yang memintanya, akankah kumiliki selama empat-puluh tahun?"
Sang-hakim maklum, lalu pamit. Hodja berdiri memperhatikan sang-hakim melangkah pergi, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Siapa pula yang mau menyimpan cuka selama empat-puluh tahun?" Hodja geleng-geleng kepala dan berjalan gontai masuk ke rumahnya."
Profesor Nightingale menyimpulkan, dengan berkata, "Wahai saudara-saudariku! Kurasa, akan ada banyak berdatangan kisah-cerita yang menarik, dan kita sedang menantikannya. Ketahuilah, bahwa cerita yang bagus itu, menjalin hubungan, dan membuat para manusia, hirau. Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Minyatur Yayinlari, 202 Jokes of Nasreddin Hodja, Amazon

Selasa, 25 Mei 2021

Tuan Leo dan Sang-Marmot Alit

Profesor Nightingale beranjak ke panggung. Usai mengucapkan salam dan mengantarkan kalimat pembuka, ia menyampaikan, “Duhai saudara-saudariku! Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengagungkan Dzat-Nya Yang Mahamulia dan memberitakan bahwa pemerintahan itu, ada dalam Genggaman-Nya. Maknanya, Dia memperlakukan seluruh makhluk-Nya, sesuai kehendak-Nya, dan tiada yang dapat membalikkan ketetapan-Nya. Takkan ada yang mampu mempertanyakan apa yang Dia lakukan, sebab Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana dan Mahaadil. Oleh karenanya, Allah berfirman,
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Mahasuci Allah, Yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." [QS. Al-Mulk (67):1]
Kemudian Allah berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
"Dialah, Yang menciptakan maut dan hayat, untuk mengujimu, siapa di antara kamu, yang terbaik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun." [QS. Al-Mulk (67):2]
Allah menciptakan makhluk, dari ketiadaan, guna mengujinya. Allah menamakan tahap pertama, yaitu ketiadaan, “maut.” Lalu, Dia menamai muasal atau awal-keberadaan itu, “hayat.” Dia menguji makhluk, guna menampakkan, siapa di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Perlu dicamkan bahwa, Allah tak berfirman 'siapa di antara kamu yang paling banyak amalnya', melainkan 'yang terbaik amalnya.'
Allah kemudian berfirman, Dialah Yang Mahakuasa, Mahaagung, Mahaperkasa dan Mahamulia. Namun, menyertai sifat-sifat mulia ini, Dia Maha Pengampun kepada siapapun yang kembali kepada-Nya dalam taubat dan memohon ampunan-Nya, setelah mendurhakai-Nya dan menentang perintah-Nya. Walau Allah Mahakuasa, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, juga memaafkan, mengasihani, mengampuni dan melapangkan.

Dari waktu ke waktu, dalam segala zaman, manusia yang diilhami, atau dianugerahi, derajat kekuatan intelektual yang tinggi, tampil di atas panggung kehidupan, agar—dengan mencerahkan orang lain—memenuhi rancangan Yang Mahakuasa, dalam menyatukan Dunia, dalam sebuah Masyarakat manusia, yang Adil dan Beradab. 
Para patriark, atau kepala-keluarga, awalnya, mengarahkan atau mengatur masyarakat yang langsung bergantung pada mereka: seiring waktu, meningkat, menjadi suku; dan lagi, pertikaian di antara mereka, berlakulah perang, kemudian, bersepakat memilih kepala-suku atau raja atas sejumlah masyarakat bersatu, yang darimana, terbentuk beragam Bangsa dan Kerajaan di muka-bumi ini. Pada tahap pertama dunia ini, selagi manusia masih jahil dan biadab, perburuan dan perang, hampir seluruhnya menyita waktu dan perhatian mereka. Para raja, memerintah dengan kekuasaan despotik, dan kehendak sang-pangeranlah, hukum semata: dan dengan demikian, barbarisme dan tirani penguasa, sejalan-seiring.

Kemudian, di zaman kekinian ini, merebak berbagai gejala aib pemerintahan, seperti Otoritarianisme, prinsip ketertundukan buta terhadap otoritas, yang menantang kebebasan berpikir dan bertindak bagi individu. Dalam pemerintahan, otoritarianisme menunjukkan sistem politik yang memusatkan kekuasaan di tangan seorang pemimpin atau elit-kecil, yang tak bertanggung jawab secara konstitusi terhadap batang-tubuh rakyat.
Fasisme, sebuah filosofi politik, gerakan, atau rezim yang meninggikan sebuah bangsa, dan dogma berbangga-diri atas bangsa lain, dan yang berdiri bagi pemerintahan otokratis terpusat, yang dipimpin oleh seorang diktator, pengaturan ekonomi dan sosial yang akut, dan penindasan paksa terhadap oposisi.
Totalitarianisme, suatu bentuk pemerintahan, yang berusaha menegaskan kontrol-total atas kehidupan warganya. Hal ini, ditandai dengan kuatnya aturan sentral, yang berusaha mengendalikan dan mengarahkan segala aspek kehidupan individu, melalui pemaksaan dan pengekangan. Rezim totaliter, tak membolehkan kebebasan individu. Rezim ini, sering menggunakan represi kekerasan dan propaganda. Terdapat ciri-ciri Totalitarianisme: Panduan ideologi yang rumit; Partai massa tunggal, biasanya dipimpin seorang diktator; Sistem teror, menggunakan instrumen seperti kekerasan dan polisi-rahasia; Memonopoli senjata; Memonopoli alat-komunikasi; Memusatkan dan mengendalikan ekonomi melalui perencanaan haluan-negara.
Semua keangkuhan yang keterlaluan itu, yang merupakan iringan-alami dari kekuasaan-lalim, membutakan pandangan para-pemangkunya, dan menjadikannya terlepas sepenuhnya dari amanah yang disajikan rakyat untuknya. Kejahatanpun terbangun dari pemerintahan nan gabas, kurang-lebih dirasakan oleh seluruh rakyat yang mereka pimpin; maka kepongahan dan kecongkakan, menghalangi pendekatan yang tulus dan shalih. Para-penjilat dan para-penghamba jualah, yang mendapat izin-masuk, dan yang lain, disepak-keluar.

Duhai saudara-saudariku! Mereka yang bermurah-hati, mencurahkan maslahat kepada sesama makhluk—takkan pernah kandas dalam hal mengilhami sebagian besar orang yang telah mereka bantu, yang dengan sukarela akan memberikan perhatian dan pertolongan kepada para penolongnya, dan—seringkali menerima balasan kebajikan yang tak pernah mereka sangka. Kasih-sayang itu, berasal dari segala kebajikan yang paling mungkin menyalakan rasa-syukur kepada mereka yang telah memberikannya, dan sulit menemukan keteladanan seorang penakluk, yang menyesali sisi kemanusiaan dan kasih-sayangnya.
Semua orang di dunia ini, baik kaum-alit, maupun kaum-penggede, pada suatu masa, akan membutuhkan pertolongan; dan alhasil, jika terdapat ruang, tunjukkanlah kebajikan, kepada mereka yang terperangkap dalam kekuasaan kita. Mereka yang disangka orang-orang paling cekak dalam hidup ini, terkadang, dapat menolong, atau sebaliknya, bahkan mampu melukai kita. Kepentingan kita, sama besarnya dengan kewajiban kita, berperilakulah dalam keshalihan dan kelembutan, terhadap semua orang yang berinteraksi dengan kita. Bathin yang hebat itu, takkan pernah tenteram bila melewatkan sebuah kesempatan menawarkan atau membalas-jasa yang diterima; dan orang berakal-sehat, betapapun semampai jabatannya, takkan pernah menganggap dirinya bebas dari keharusan menerima layanan, pada mereka yang paling fakir.

Simaklah apolog ini,
Tuan Leo, sang-singa, setelah berbaring melepas penat, terlelap di bawah pokok yang rindang. Seekor Marmot alit, berlari, lewat di atas punggungnya, dan membangunkannya. Sesaat kemudian, mulailah ia menepukkan cengkeramnya pada sang-makhluk-mungil, dan sekira akan membunuhnya, pemohon alit ini, meminta belas-kasihan, mengajukan padanya agar tak menodai kemuliaannya dengan darah makhluk-kecil dan tak-penting.
"Ampun, daulat Tuanku Raja," pekik sang-alit, "Kali ini, maafkanlah aku, kutakkan pernah melupakannya: dan kelak, insya Allah, aku kuasa menolongmu." Sang-singa sangat terkesan dengan ide bahwa seekor Marmot, dapat membantunya. Sang-alit yang malang, melolong. "Tolong, lepaskanlah aku, dan di suatu hari nanti, aku akan membalasmu!" Sang-singa, tersentuh, dengan kasih-sayangnya, segera melepaskan tawanan kecilnya, yang gemetaran.

Tak lama kemudian, sembari mencari mangsa melintasi hutan, tak sengaja, Tuan Leo terperangkap ke dalam jerat para pemburu, dan karena tak dapat melepaskan diri, ia mengaum.
Sang-marmot, yang mendengar auman itu, dan mengenali suara Tuan Leo, bergegas ke tempat kejadian, dan memintanya agar tetap tenang, ia kawannya, ada untuknya. Seketika, sang-alit sibuk dalam kerja-giat dan kerja-cerdas, dengan kerat-gigi mungilnya yang tajam, menggerogoti simpul demi simpul, memutus pengikat jeratan, membebaskan sang raja agam.
"Engkau menertawakanku saat aku berkata, aku akan membalasmu," bisik sang-alit. "Sekarang engkau tahu, bahkan makhluk-mungilpun, mampu menolong singa-akbar." Tuan Leo tersenyum, menggerakkan kepalanya, memberi isyarat agar sang-alit naik ke punggungnya, dan berkata, "Mari bernyanyi dan, yuk pulang!" Tak lama kemudian, merekapun mendendangkan sebuah lagu dari Negeri Fujiyama, negeri dengan ancala masyhur tertinggi, lantaran rupa mengerucutnya yang anggun,
繰り返すあやまちの そのたびひとは
[Tiap kali kita tertelentang di atas butala, durja menatap bumantara]
ただ青い空の 青さを知る
[Kita bangkit meraih birunya, bagai sediakala]
果てしなく 道は続いて見えるけれど
[Walau jalan itu membujur, hening tak berujung, tak ketara]
この両手は 光を抱ける
[Kumampu, dengan kedua lengan ini, merangkul sang-kirana]
さよならのときの 静かな胸
[Sanubari tertambat kata sayonara]
ゼロになるからだが 耳をすませる
[Bathin hampa-sepiku mulai dengarkan bahana]
生きている不思議 死んでいく不思議
[Hayat itu ghaib, maut, ghaib jua]
花も風も街も みんなおなじ
[Pawana, praja, dan puspa, segenap berdansa, seirama]
ラララララララララ・・・・・・・・・
[La la la la la la la la la la... ] *)
Sebagai penutup, Profesor Nightingale menyimpulkan, "Duhai saudara-saudariku! Kita semua, sama. Setiap orang, membutuhkan orang lain. Walau alit, atau lemah, melainkan mampu menolong kita saat senak-rasa di dada. Jangan pernah, jika bijak, memasung dan menindas. Wallahu a'lam." 
Rujukan :
- Shaykh Safiur-Rahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume 10, Darussalam
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
*) "Itsumo Nando Demo (Always With Me)" karya Youmi Kimura & Wakako Kaku

Jumat, 21 Mei 2021

Mural, Mural Di Dinding!

Saatnya Manakin, angkat suara. Usai menyapa dengan salam dan menyampaikan kalimat pembuka, ia berkata, “Duhai saudara-saudariku! Sanjungan itu, tak didasarkan pada ilmu yang baik, melainkan sekadar tebakan. Sanjungan mengabaikan apa yang terbaik, namun tampak seolah meninggalkan kesan yang baik. Satu-satunya sasasaran sanjungan itu, hanyalah rasa-senang, tanpa menghiraukan beban-moral.
Plato menghakimi sanjungan dengan sangat tajam, ia mencitrakannya 'ugal-ugalan, memperdaya, tercela, dan tak-beradab.' Wawasan utama Plato, sebagai berikut: sanjungan mengarah pada tergantinya kebaikan manusia dengan pengganti yang nyaris tak dapat dikenali. Sifat yang paling menonjolnya, kehancuran pada orang yang disanjung. Kehancuran ini, muncul akibat kekuatan sanjungan yang menggoda: daya tariknya menyenangkan, yang berasal dari rayuan orang lain, membangkitkan rasa-bangga, dan janji yang dipegangnya, yang bersumber dari jenis hubungan pribadi yang tulus, yang biasanya berfungsi sebagai pengakuan atau penghargaan yang ikhlas, ​​​​dan kritik yang membangun. Penyanjung Manipulatif, mengenal korbannya, memahaminya, merayunya, dan karenanya, menyelewengkannya. Perhatikan bahwa kejahatan, biasanya merusak diri sendiri, yaitu bentuk perilaku yang merusak integritas atau harmoni bathin pelakunya. Namun sanjungan—tak seperti penipuan biasa, yang merugikan kepentingan korban—merusak kepribadian pihak lain: ia menjebak lawan bicara dalam keadaan berkhayal, dan terkadang, memperdaya diri sendiri, sedangkan lawan bicaranya, dengan lugunya, mempercayai persahabatan dan sikap saling melengkapi sang penyanjung.
Sang penyanjung, menipu, dan mungkin merusak penerima sanjungan, dengan membangkitkan rasa-bangga akan diri-sendiri. Sang penyanjung, tak cuma mengorbankan harga dirinya sendiri, dan mungkin, hubungan pribadi, demi keuntungan materi, juga menjadikan dan memanfaatkan kurangnya harga diri, yang memunculkan sifat buruk dari sang penyanjung dan penerima sanjungan.

Dalam bahasa Arab, ada istilah, misalnya, "Mujamalah," yang bermakna mengucapkan kata-kata manis yang menunjukkan rasa-hormat kepada seseorang; "Itraa'," menyebutkan sifat-sifat terbaik dalam diri seseorang kepada yang bersangkutan. Contohnya, ketika seorang penyair menyebutkan sifat-sifat terbaik seorang raja, kita mengatakan bahwa sang penyair sedang mempraktekkan itraa’ bagi sang raja. Istilah yang mirip dengan 'sanjungan,' disebut "Tamalluq," yang bermakna menyanjung, seperti bersikap baik kepada seseorang dan mengatakan hal-hal manis kepadanya, namun tak tulus.
Nifaq—kemunafikan—secara komprehensif, disorot dalam Al-Qur'an dan Sunnah, karena bahaya orang munafik, dan kerugian yang dapat ditimbulkannya terhadap individu, kelompok, organisasi, atau masyarakat secara keseluruhan. Nifaq berarti menunjukkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang tersembunyi. Konsep nifaq, disebutkan dalam Al-Qur'an, sebagaimana Allah berfirman,
الْأَعْرَابُ أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا وَأَجْدَرُ أَلَّا يَعْلَمُوا حُدُودَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Orang-orang Badui itu, lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." [QS. At-Taubah (9):97]
Di sini, perlu diperhatikan bahwa A'raab—disebutkan dalam ayat, yang diterjemahkan sebagai orang Badui, Arab-gurun—berbeda dengan orang Arab. Dalam bahasa Arab, orang-orang Arab disebut Arabi, sedangkan Arab-gurun, disebut A'raab.

Nifaq, konsep yang lebih komprehensif, bahkan gerak-tubuh yang disebut para-penyanjung, juga disebutkan dalam pembahasan Nifaq. Allah berfirman,
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُۥ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَيُشْهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِى قَلْبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلْخِصَامِ
"Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkanmu, dan ia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal ia, penentang yang paling keras." [QS. Al-Baqarah (2):204]
“Mudahana,” menunjukkan kesenangan terhadap ketidaktaatan tanpa penyangkalan apapun, demi kepentingan duniawi. Suatu ketika, Sang-kekasih (ﷺ), bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمْ التُّرَابَ
“Kala engkau menyaksikan 'muddahina' (orang yang menyanjung orang lain), sambitlah pasir ke wajahnya.” [Sahih Muslim]
Rasulullah (ﷺ), tak menerima sanjungan karena tak tulus, dan memerintahkan kita agar menyiramkan pasir ke wajah orang yang menyanjung. Ketika seseorang menyanjung orang lain di hadapan Ibnu 'Umar, ia mulai melemparkan debu ke arah wajah orang tersebut, berkata, "Nabiyullah (ﷺ) bersabda, 'Jika engkau menemukan orang-orang yang menyanjung, lemparkan debu ke wajah mereka.".
'Adi bin Artah berkata, "Bila salah seorang sahabat disanjung, ia akan berdoa, 'Ya Allah, semoga Engkau tak mengadzabku karena apa yang mereka ucapkan. Ampunilah aku atas apa yang tak mereka ketahui. Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.'”

Ada dua penyakit qalbu yang akan diderita oleh penerima sanjungan, yang disebabkan oleh sanjungan: Kibr dan 'Ujub.
Kibr, kata bagi kepongahan dan keangkuhan, kecongkakan, rasa bangga-diri, sifat merendahkan—menganggap diri sendiri lebih baik dan lebih utama dibanding orang lain. Inilah sumber dari banyak kejahatan dan dikenal sebagai penyebab utama kebencian dan perpecahan dalam masyarakat. Juga, termasuk dosa besar.
Sang-kekasih (ﷺ) bersabda,
مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ أَكَبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي النَّارِ
"Barangsiapa yang di dalam qalbunya, ada Kibr seberat biji sawi, maka Allah akan menjerembabkannya ke dalam api neraka.” [Musnad Ahmad; Sahih menurut Al-Arna’ut]
Kibr, penamaan terhadap keadaan psikis, dimana seseorang merasakan rasa superioritas dan berperilaku sewenang-wenang terhadap orang lain. Tanda-tandanya terlihat dalam perbuatannya, dan gejalanya, terlihat jelas oleh orang lain, yang dengannya mereka tahu bahwa ia berbangga-diri. Kibr itu, sesuatu yang berbeda dengan 'Ujub.
Sang-kekasih (ﷺ) bersabda,
لَوْ لَمْ تَكُونُوا تُذْنِبُونَ لَخَشِيتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْثَرُ مِنْهُ الْعُجْبَ
“Andai engkau tak berbuat dosa, aku mengkhawatirkanmu pada yang lebih buruk lagi: 'Ujub.” [Musnad al-Bazzār; Hasan menurut Al-Albani]
`Ujub, terdiri dari cinta-diri dan berbangga-diri, sedangkan Kibr, menganggap diri-sendiri lebih utama dibanding orang lain. Ketika seseorang merasakan kelebihan dalam dirinya dan dikuasai oleh rasa-senang, kegembiraan yang meluap-luap, dan rasa-bangga, keadaan ini disebut `Ujub. Dan dilkala ia menganggap orang lain berada di bawah apa yang ia bayangkan dalam dirinya, ia menganggap dirinya lebih utama. Persepsi superioritas dan keunggulan atas orang lain ini, menyebabkan timbulnya keangkuhan dalam diri, yang merupakan rasa-berbangga. Kibr, dalam pengertian ini, keadaan bathin, dan di saat pengaruhnya tercermin dalam perilaku dan ucapan, disebut Takabbur. Singkatnya, orang yang memanjakan-diri dengan mementingkan diri-sendiri, dan kecenderungan pencarian dirinya itu, tumbuh menjadi cinta-diri, dan ketika cinta-diri ini dipenuhi hingga terpuaskan, ia mewujudkan dirinya sebagai keangkuhan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap orang lain.

Duhai saudara-saudariku! Sanjungan itu, dapat terjadi dimanapun dan dengan siapapun. Bahkan, Raja dan Sultan, ada yang menyanjung, juga ada yang tersanjung. Para penyanjung dan 'yes men,' berlimpah-ruah dalam lingkaran kekuasaan. Siapapun yang suka menyanjung, takkan pernah menjadi kawan-sejati di masa-masa suram. Namun, ketika seseorang kaya, atau berkuasa secara finansial, dalam hal jabatan, orang lain akan cenderung dekat dengannya. Sebaliknya, jika seseorang miskin, orang akan cenderung menjauh. Sahabat sejati itu, yang menolong kita, saat kita membutuhkan, dan yang akan merasa tersakiti, karena ia merasakan kita, yang sedang kesakitan.

Dan akhirnya, dengarkan apolog ini,
Suatu pagi yang cerah, di Negeri Ludikrum, Tuan Austus, sang-rubah, sedang berjalan pulang setelah menghadiri upacara Hari Kemerdekaan. Hatinya merasa senang, semalam, ia bermimpi bertemu gumiho, yang menyanjungnya. Perasaan senang itu, begitu lengkap saat upacara, sambutannya disanjung oleh para-pemangku.
Rasa-senang itu, membuatnya lapar. Saat Tuan Austus mengendus hidungnya yang tajam, menembus hutan, mencari makanan, ia melihat Nona Cornix, sang-gagak, di dahan pohon, di atas kepalanya.
Yang menarik perhatiannya kali ini, dan membuatnya berhenti, memperhatikannya lagi, bahwa Nona Gagak yang beruntung itu, menjepit sepotong keju di paruhnya. “Tak perlu mencari jauh-jauh,” pikir Tuan Austus yang nakal. “Itulah gigitan kecil buat sarapanku.” Iapun berlari ke arah kaki pohon tempat Nona Cornix duduk, dan melihat ke atas dengan kagum, ia berteriak, "Selamat pagi, nona manis!" Nona Cornix, dengan kepala agak dimiringkan, memperhatikan Tuan Austus dengan curiga. Ia tetap membungkam paruhnya rapat-rapat dan tak membalas sapaannya.
"Sungguh makhluk yang menawan!" rayu Tuan Austus. “Aduhai bulu hitam yang berkilau! Betapa indah bentuknya, dan betapa indah sayapnya! Burung mengagumkan seperti itu, pastilah punya suara yang sangat indah, karena segala sesuatu tentang dirinya begitu sempurna. Bisakah ia mendendangkan sebuah lagu saja, kutahu, sepantasnya, aku menyanjungnya sebagai Ratu para Burung.” Mendengar kata-kata sanjungan ini, Nona Cornix lupa akan segala kecurigaannya, dan juga, sarapan paginya. Ia mendamba dipanggil Ratu Burung. Maka, ia membuka paruhnya lebar-lebar, agar dapat bersuara sekeras-kerasnya, dan, kejupun langsung meluncur ke mulut Tuan Rubah yang tengah menganga. “Terima kasih,” kata Tuan Austus dengan manis, seraya berjalan pergi. “Meskipun serak, suaramu, bolehlah. Akan tetapi, dimanakah akal-sehatmu?”
Para penyanjung, hidup dengan mengorbankan mereka yang mau mendengarkannya.
Namun, rasa-senang itu, tak berlangsung lama. Di depan sebuah dinding-tembok, ia duduk di tanah, meratap. Seorang asing bertanya padanya, ada apa. Ia menunjuk ke sebuah jembatan dan berkata, "Lihat jembatan itu? Aku yang membangunnya. Namun apakah mereka memanggilku Sang-pengembang? Tidaak," dan kemudian, ia menunjuk ke jalan tol dan berkata, "Aku juga berhasil membangunnya! Namun, merekapun tak menyebutku Sang-pembangun." Orang asing itu bertanya, "Apa yang telah engkau bangun itu, bermanfaatkah bagi mereka?" Ia mulai terisak lagi, dan menunjuk pada mural-gaffitti di dinding. Orang asing itu, mulai mengamati dindingnya: goresan diri seseorang terpampang, dan di bawahnya, deretan cerita tertulis. "Sang Ratu bertanya-tanya, 'Mural, Mural di dinding, diantara mereka, siapa yang paling ayu-kemayu?" Sang-mural menjawab, dengan santun, "404 Error! Halaman telah dihapus."
Wallahu a'lam.”
Rujukan :
- Yuval Eylon & David Heyd, Flattery, International Phenomenological Society
- Ismael Abu Jaradi & Suhailiza Md. Hamadani, Flattering, Flattery, and Hypocrisy : A Closer Look at Theese Meaning in Al-Quran, Al-Sunnah, and the English Literature, Al-Qanatir
- Samuel Croxall, DD, Fables of Aesop and Others, Simon Probasco

Selasa, 18 Mei 2021

Sang Petani, Sang Penggawa dan Para Kera

Sang-bangau, yang selama ini, hidup dalam keheningan, buka suara, sekali lagi, "Mereka yang menyukai sanjungan—yang sepantasnya ditakuti, lantaran terlalu banyak yang melakukannya—dalam jangka panjang, akan mneyesali kerapuhan mereka itu. Namun, betapa sedikitnya—di antara seluruh ras umat manusia—yang dapat terhitung sebagai bukti-nyata terhadap serangan sanjungan?

Apa itu sanjungan? Berbeda dengan sikap merendah, yang merupakan disposisi psikologis umum, sanjungan, terdiri dari tindakan komunikatif terbuka, yang pada dasarnya bersifat 'proposisional.' Sanjungan, biasanya menggunakan bahasa pujian yang berlebihan, dalam menggambarkan kualitas atau rekam-jejak orang lain, demi tujuan menciptakan sikap yang menguntungkan dalam diri orang tersebut, terhadap orang yang menyanjung.

Di satu sisi, sanjungan, sangat mirip dengan penyuapan, lebih menggunakan kata-kata dibanding uang atau barang, dan memunculkan kebanggaan atau keangkuhan bagi sang penerima, bukan demi kepentingan materinya sendiri. Ingatkah engkau kisah tentang sang petani, sang penggawa, dan para kera, yang diceritakan kakekmu?
Tersebutlah, dua lelaki, bepergian bersama, yang satu, seorang Penggawa, yang suka menyanjung, dan seorang lagi, Petani awam, yang lugu, dan selalu mengatakan yang sebenarnya. Perjalanan, membawa mereka ke negeri Para-kera.
Seluruh kera berkerumun, dan salah satu, yang lebih besar, menilik kedua lelaki. Sang kera besar, yang tampaknya, pemimpin mereka, memerintahkan keduanya, ditahan. Sang kera ingin tahu, apa pendapat kedua orang ini tentang dirinya, maka, ia memerintahkan seluruh anggotanya, berdiri di hadapannya, dalam sebuah barisan, melebar ke kanan, dan ke kiri, sementara, sebuah kursi disiapkan sebagai singgasananya—rupanya, kera besar yang satu ini, pernah melihat seorang Raja, maka ia memerintahkan seluruh keranya, berbaris, seperti yang pernah ia saksikan.
Kedua lelaki, kemudian diseret maju ke depan, ke tengah-tengah kerumunan para-kera. Lalu, sang kera besar menyoal, 'Siapa aku?' Sang-penggawa menjawab, 'Daulat Sri-baginda, engkaulah sang-raja!' Selanjutnya, sang kera bertanya, 'Dan mereka yang kamu lihat, berdiri dihadapanku, siapa mereka?' Sang-penggawa menukas, 'Para pendukungmu, para-pemangku, para-wazir dan para hulubalangmu, yamg mulia!'

Berkat sanjungan itu, para kera menghadiahkan beragam bingkisan bagi sang-penggawa. Seluruh kera tertipu oleh sanjungannya. Sementara itu, sang-petani, yang selalu berkata jujur, dalam benaknya, terlintas, 'Jika berbohong saja, bajingan itu menerima bingkisan, pastilah, aku akan memperoleh hadiah yang lebih besar lagi, bila mengatakan yang sejujurnya.' Sang kera besar, menyidik sang petani, 'Sekarang, katakan padaku, siapa aku, dan siapa mereka yang kamu lihat berdiri di hadapanku?' Dan sang petani, yang selalu mencintai kebenaran, dan tak pernah berbohong, menjawab, 'Engkau hanyalah seekor monyet, dan seluruh simian yang berlagak serupa manusia itu, tak lebih dari kumpulan monyet belaka!' Sang kera besar naik-pitam, segera, ia memerintahkan pasukan kera, menyerang sang petani dengan gigi dan cakar mereka, sebagai hukuman, bagi mereka, yang berkata jujur. Sesungguhnya, terkadang, kebenaran itu, seringkali menyakitkan.
Tiba-tiba, terdengar suara tembakan, segenap kera kocar-kacir, lari tunggang-langgang. Seorang pemburu, mendekat, dan membebaskan mereka. Setelah melihat luka sang petani, ia berkata, "Kalian berdua, tunggu di sini, aku akan mencari bantuan." Lalu, ia pun bergegas meninggalkan mereka.
Rupanya, drama belum berakhir. Seekor macan-kumbang, yang, selama ini, telah mengintai, menerjang tepat di hadapan mereka, yang berdiri kaku, tak berdaya. Sang macan, bertanya kepada sang-petani, "Ada apa denganmu?" Sang-petani, menceritakan apa yang terjadi, sejujurnya. Iapun dilepaskan.
Sang macan, menatap sang-penggawa dan menggeram, "Seluruh manusia, cenderung mendiamkan informasi yang akan mengurangi ketulusan motif pengagumnya. Orang-orang yang punya jabatan dan kekuasaan itu, sasaran utama sanjungan. Dari pengalaman, mereka cukup sering menyadari kerentanan ini dan curiga terhadap ekspresi pujian. Terkadang, kecurigaan itu berakhir tragis, yakni, orang itu, tak dapat menerima pujian apapun dengan harga nominal, dan sepenuhnya mengabaikan penilaian positif tentang diri mereka sendiri. Namun, banyak orang masih percaya bahwa mereka dapat membedakan antara, kata-kata sanjungan dan pujian yang nyata. Itulah sebabnya mengapa sanjungan selalu berpeluang sukses, walau terhadap orang-orang yang tak menyukainya. Kenyataannya, itu tak berlaku bagiku!"
Sang-penggawa memohon belas-kasihan, "Tolong, akhirilah kesengsaraanku ini, dengan membebaskanku!"
Namun, bagi orang durjana, yang suka berbohong dan membuat masalah, menyerang kejujuran dan kebenaran, akhir hidupnya, tak semenyenangkan tinggal di istana.
Namun, ada dua perbedaan terkait antara suap dan sanjungan. Pertama, penyuapan biasanya, merupakan 'kesepakatan' antara kedua belah pihak, yang syarat-syaratnya diletakkan di atas—atau di bawah—meja. Kedua, mata uang yang digunakan dalam penyuapan itu, 'nyata'—nilainya tak berkurang karena penggunaannya. Perbedaan pertama, karenanya, bahwa sanjungan itu, bentuk penipuan tersembunyi, dan keberhasilannya sebagai tindakan manipulatif, dikondisikan oleh kurangnya kesadaran tentang kualitas diri dari pihak penerima sanjungan. Sanjungan berhasil hanya jika penerima sanjungan, percaya bahwa sang-penyanjung memuji dengan ketulusan. Karena persepsi di mata orang yang disanjunglah, yang penting, sanjungan dapat terdiri dari pernyataan yang diketahui oleh penuturnya, sama sekali tak benar, atau setidaknya, terlalu dibesar-besarkan terhadap lawan bicaranya.
Perbedaan kedua, menyangkut tutur-kata sanjungan. Penyanjung menggunakan pujian, agar dirinya disayangi oleh yang disanjung, yang tak tahu akan kebohongannya. Jika A menyuap B dengan 100 koin emas asli, nilai koinnya tetap sama. Tak demikian halnya dalam hal sanjungan. Sanjungan, karenanya, memuji-muji, sedangkan berbohong, menonjol-nonjolkan.

Argumen serupa dapat diterapkan pada penghargaan, yang sangat mirip dengan, pernyataan yang tegas. Sama seperti penghargaan, sanjungan membuat pernyataan positif tentang orang lain. Namun, tak seperti seseorang yang memberikan penghargaan yang tulus, tujuan sang penyanjung, mengambil-hati sang penerima sanjungan. Akibatnya, bahkan jika seseorang yang menyanjung dengan mengucapkan pujian yang ia tahu benar, pernyataan itu, tak menularkan pengetahuan. Hal ini terjadi, bahkan jika sang penyanjung itu, yang menggunakan pujian yang sebenarnya, wasit yang dapat diandalkan bagi masalah yang dihadapi, dan punya reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya. Alasannya, sang-penyanjung tak dapat dipercaya dalam arti lain: ia takkan memuji kecuali ingin mendapatkan sesuatu dari yang disanjung, dan mungkin juga, pujian-palsu, jika pujian seperti itu, berguna dan berpeluang. Oleh sebab itu, fakta bahwa seseorang yang menyanjung, meniadakan nilai pujian sebagai penghargaan. Berbeda dengan mata uang yang digunakan dalam penyuapan, apa yang digunakan oleh sang-penyanjung, bohong-bohongan. Maka, sanjungan itu, penipuan yang dirancang untuk menguasai orang yang disanjung. Dalam hal ini, secara moral, tak dapat dibedakan dari tipu-muslihat.

Seperti rayuan, sanjungan terjadi dengan merendahkan-diri atau adanya keperluan—materi atau psikologis. Namun tak seperti penghargaan, sanjungan, tentu saja tak jujur. Dan, tak demikian halnya dengan merendah, sang-penyanjung ingin memutuskan hubungan hierarkis sampai batas tertentu daripada mengakuinya.
Aristoteles, secara agak artifisial — seperti yang ia akui sendiri — mencoba menerapkan model sisi baik dari sanjungan, menunjukkan bahwa, sanjungan itu, milik bidang hubungan sosial, secara umum, dan yang menyenangkan dalam bisnis kehidupan. Rumus umum Aristoteles, dan perbedaan antara sanjungan dan penghargaan, dan antara sanjungan dan merendah, merujuk pada pemetaan umum dari dua jenis sanjungan yang ideal, atau lebih tepatnya, dua kutub ekstrem. Yang pertama, disebut 'manipulatif;' yang kedua, 'merendah.' Yang pertama, sesuai dengan deskripsi Aristoteles tentang keramahan yang berlebihan, yang bertujuan bagi keuntungan sendiri; yang kedua, bagi orang yang punya kebutuhan yang sama, namun 'tak punya sasaran akhir'. Dalam metafora zoologi, dua bentuk sanjungan ini, masing-masing berwujud 'ular' dan 'anjing.' Shakespeare menggunakan 'anjing' dalam konteks ini.
Penyanjung dari tipe pertama, bertindak dengan desain yang menawan, bertujuan agar mendapatkan sesuatu atau keuntungan pribadi tertentu, sebagai konsekuensi dari sikap yang disukai yang mungkin akan dikembangkan oleh sang -penerima sanjungan terhadapnya. Illustrasinya, seperti sanjungan dalam politik. Sanjungan manipulatif, cerminan dari "tact." "Tact" itu, seni membiarkan hal-hal tertentu, tak terucapkan, dengan tujuan menghindari rasa malu sang penerima. Sanjungan itu, mengatakan hal-hal yang seharusnya tak diucapkan. Keduanya, cara untuk memuluskan hubungan sosial, tetapi tact, sifat pengekangan introvert yang bertujuan menghormati yang lain, sedangkan sanjungan, sifat penipuan ekstrovert. Baik orang yang tact maupun yang menyanjung, sensitif terhadap citra diri dan kehormatan lawan bicaranya, namun yang satu menghormatinya, sementara yang lain, memanipulasinya. Berbeda dengan kesantunan, yang konvensional dan karenanya tak dianggap tunduk pada norma kebenaran, baik tact maupun sanjungan, hanya dapat beroperasi atas dasar ketidaksadaran pihak lain akan penyimpangannya. Kejahatan sang penyanjung, bergantung pada, atau beralih kepada, kerentanan sang penerima sanjungan. Seperti halnya tact, sanjungan yang berhasil, membutuhkan pengetahuan tertentu—pengetahuan tentang sang penerima, kebanggaan dan ambisinya, serta kemampuan agar pujian itu seolah terdengar nyata, meyakinkan, jujur, dan beralasan. Namun, tak seperti tact, pengetahuan ini digunakan untuk memajukan tujuan penyanjung itu sendiri, bukan untuk menghindari rasa malu penerima.
Tipe pertama ini, bisa digambarkan sinis, sedangkan jenis yang kedua, menyedihkan. Jenis pertama, biasanya akibat marah, karena melibatkan muslihat dan upaya tak bermoral agar dapat mencapai sesuatu yang tak pantas diterima oleh sang-penyanjung. Jika berhasil, sang-penyanjung mungkin mendapatkan sesuatu yang tak adil—seperti nilai yang lebih tinggi di sekolah, promosi di kantor—dengan cara yang tak adil, bahkan merugikan, bagi pihak ketiga. Biasanya, kemarahan tak ada ketika kita menganggap ketidaksetaraan itu, tidak adil, dan manfaat yang dicari oleh sang penyanjung, pantas. Sanjungan bahkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengungkap hierarki yang illegal, yang lebih banyak dianggap sebagai bahan komedi dibanding tragedi.
Sanjungan tipe kedua secara psikologis, lebih kompleks. Jenis ini merupakan upaya menciptakan hubungan pribadi untuk mengatasi kesenjangan hierarkis. Berbeda dengan jenis pertama, tipe ini, agak tulus dan tak mencari keuntungan 'materi', melainkan hanya perhatian pribadi dan penghargaan timbal balik.
Bentuk sanjungan yang kedua ini, terdapat sifat segan, dan bahkan mungkin sangat disayangkan, karena meskipun orang takkan kehilangan apapun dari tindakan itu, ia menilai perantaranya, punya kecacatan karakter. Kedua bentuk sanjungan tersebut, menyikapi ketimpangan kekuasaan dan status antara kedua belah pihak dengan cara yang berbeda. Penyanjung Manipulator, berusaha menghindari implikasinya dengan mencapai tujuannya secara tak langsung. Penyanjung Merendah, tak menerima kesenjangan, melainkan berusaha mengubah hubungan hierarkis impersonal menjadi hubungan pribadi yang lebih egaliter. Berbeda dengan manipulator, ia mencari perhatian dan persahabatan pribadi. Biasanya, bahkan jika kita menyayangkan tipe penyanjung seperti ini, mengutuk keadaan yang membawanya ke sanjungan, dan mengakui validitas kebutuhannya, sulit untuk 'berpihak' dengan karakter seperti ini, yang menunjukkan kelemahan dan kurangnya harga diri.

Aristoteles memandang kedua jenis sanjungan sebagai manifestasi persahabatan yang berlebihan. Karakterisasi ini, tak terlalu informatif, dan tampaknya keliru, khususnya sejauh menyangkut Penyanjung Manipulatif. Mari kita perhatikan jenis Penyanjung Manipulatif dan pengaruhnya pada penerima sanjungan. Dari sudut pandang moralitasnya yang berbasis metafisik, Plato menganggap sanjungan itu, keji, karena palsu, yaitu parasit kebenaran. Penampilannya tampak nyata melainkan ilusi. Ia didasarkan pada kekuatan kesenangan yang dianugerahkan pada penerima, bukan pada kebaikannya.

Wiliam Shakespeare, menyoroti fenomena 'sanjungan', dengan indah, di bagian terakhir puisinya, "The Passionate Pilgrim,"
Tiap orang yang menyanjungmu
Bukanlah kawan sependeritaan
Kata-katanya, enteng, bagai angin
Kawan setia, sulit ditemukan
Setiap orang, akan jadi kawanmu
Jika ada yang dapat dibelanjakan
Namun bila cadangan karuniamu tak sepan
Tiada yang 'kan menyediakan apa yang mereka inginkan.

Ia yang jadi kawanmu, ada saat diperlukan
Ia 'kan membantumu, saat mereka dibutuhkan
Jika engkau bersedih, ia dalam tangisan
Jika engkau terjaga, ia tak dapat beradu
Jadi, dari setiap kesedihan dalam qalbu
Ia bersamamu, menanggung setiap bagian
Inilah tanda-tanda tertentu, yang perlu engkau tahu
Kawan-setia dibanding musuh dibalik sanjungan.
"Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Yuval Eylon & David Heyd, Flattery, International Phenomenological Society
- Laura Gibbs, Mille Fabulae et Una: 1001 Aesop’s Fables in Latin, Lulu Publishers

Jumat, 14 Mei 2021

Amicus Certus In Re Incerta Cernitur

"Kawan yang dibutuhkan itu, kawan yang bersungguh-sungguh!" suara sang-bangau bergema ke seluruh ruangan.
"Ehm, maaf saudaraku!" terdengar suara mengingatkannya, "Mohon, jangan terlalu dekat ke mikrofon!" bisiknya. Sang-bangau berbalik, ternyata Murai, yang tersenyum. Sang-bangau mengiyakan.
Berjalan turun dari podium, Murai terhenti, "Oh ... dan ... jangan lupa menyapa dengan salam dan kalimat pembuka!" Sang-bangau melenggut, "Tentu saja, tadi aku sedang menerjemahkan tajuknya!" Murai mesem, lalu bergegas turun.

Setelah menyapa dengan salam dan menyampaikan kalimat pembuka, ia melanjutkan, "Meskipun kita sering mendengar orang berbicara tentang persahabatan, akan sangat langka dan sulit, menemukan kawan-sejati, yang akan membantu kita, selagi menghadapi bencana dan kesusahan. Segala maklumat syafakat yang dibuat oleh para pakar, bahwa walau disertai jabat-tangan, dan tekad-kuat, jika tak meninggalkan kesan mendalam di benak kita, ia laksana hembusan angin semilir, yang mengelus telinga dengan saluir tanpa makna, dan akhirnya, ambyar.

Pokoknya, jangan pernah percaya pada kawan, yang meninggalkanmu di saat-saat sulit. Mari kita lihat dalam citra yang lebih bayan. Dengarkan ini,
Suatu pagi, dua orang Badui, berangkat dari Venesia ke Roma. Mereka menuju Roma dengan kereta-api, yang lambat. Butuh waktu enam jam sampai ke Roma, namun, lawatannya, nampak tak berjalan mulus. Kereta diharuskan memangkal, akibat kendala teknis. Mereka memutuskan menunggu di gerbong-makan, sembari makan siang. Mereka duduk berhadapan dan, tak jauh dari tempat-duduk mereka, dua lelaki lain, dari pakaian yang mereka kenakan, rupanya, Pakistani. Sambil menyeruput kopi, salah-satu Pakistani, berkata kepada kawannya, "Manusia, selalu menjadi makhluk sosial dan, membutuhkan rekan dan sahabat. Sebagian besar hidup kita, dihabiskan berinteraksi dengan orang lain. Bagi kita, Muslim, yang hidup dalam masyarakat di mana kita jelas, lemah, masalah memilih kawan yang tepat, esensial memelihara Dien kita. Berkawan dengan Muslim yang shalih dan berbudi-pekerti, peranti krusial agar tetap berada di Jalan yang Lurus. Individu yang kuat, di sisi lain, inti dari komunitas yang kuat, sesuatu yang hendaknya selalu diperjuangkan oleh umat Islam.

Kita semua maklum, bahwa, kita diciptakan demi tujuan khusus, dan bahwa Allah, Subhanahu wa Ta'ala, telah menganugerahkan kita kehidupan, demi menguji kita. Tak satupun kita, akan menyangkal bahwa, kita berada di sini dalam waktu yang relatif singkat, dan bahwa kita akan bertemu Allah, suatu hari nanti.

Ketika telah memahami maksud dan tujuan kita, hendaknya, kita berikhtiar, guna mencapainya, agar bermanfaat bagi diri kita. Kita semua mengimani, bahwa Allah telah mengutus seorang Rasul (ﷺ) dan mewahyukan Al-Qur'an, sebaik-baik Hikmah, bagi kita.

Ketimbang berkawan dengan orang yang keliru-jalan, kita hendaknya berkawan dengan orang shalih, dan, konsisten memperlakukan sesama, tanpa kecuali, dengan ramah dan adil. Senantiasa berada pada jarak yang cukup, memang diperlukan, namun memperlakukan sesama dengan cara yang mulia dan bahari, juga tetap dibutuhkan.

Rasulullah (ﷺ) bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
"Iktibar kawan-baik dan kawan-buruk itu, bagai seorang penjual kesturi dan pandai-besi. Adapun penjual kesturi, boleh jadi, ia akan memberimu bingkisan, atau engkau membeli darinya, atau engkau mencium aroma wangi darinya. Sedang pandai-besi, agak-agaknya, akan membakar pakaianmu, atau engkau mengendus bau yang sangit.” [Muttafaqun Alaihi menurut al-Bukhari dan Muslim] 
Daripada duduk bersama orang-orang yang berbuat munkar, banyak berbuat dosa dan perbuatan buruk lainnya; punya sahabat yang baik, berakhlak mulia, taqwa, berilmu dan berbudi-pekerti, akan menganugerahkan kita, keutamaan mereka. Seorang ulama berkata, “Bergaul dengan orang-orang yang bertakwa, akan menghasilkan ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia dan amal-shalih, sedangkan bergaul dengan orang-orang fasik, menghalangi semua itu.”

Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu 'anhu, berkata bahwa, persahabatan apapun, yang bukan karena Allah, akan berganti jadi permusuhan, kecuali apa yang didalamnya, untuk Allah. Dua orang yang berkawan karena Allah; salah seorang meninggal, dan mendapat berita gembira bahwa ia akan masuk al-Jannah, maka, ia teringat rekannya, dan berdoa baginya, "Duhai Allah, kawanku itu, dulu mengajakku menaati-Mu dan menaati Rasul-Mu (ﷺ), dan selalu, memintaku agar berbuat kebaikan, dan melarangku, berbuat maksiat. Dan ia menyampaikan kepadaku, bahwa aku akan bertemu Engkau. Duhai Allah, jangan biarkan ia tersesat demi aku, hingga Engkau menunjukkan kepadanya, apa yang baru saja Engkau tunjukkan padaku, sampai Engkau ridha dengannya, sama seperti Engkau, ridha denganku.” Maka kepadanya, disampaikan, "Seandainya engkau tahu apa yang tertoreh bagi rekanmu, akankah engkau banyak tertawa, dan sedikit menangis?" Kemudian rekannya, tutup-usia, dan jiwa mereka dipertemukan, dan keduanya diminta saling mengungkapkan pendapatnya. Maka, masing-masing berkata kepada rekannya, "Engkaulah saudara terbaik, teman terbaik, dan sahabat terbaik."
Saat salah seorang dari dua orang rekan, yang tak-beriman, meninggal dunia, dan ia mendapat berita tentang Api-Jahannam, ia mengingat rekannya, dan berkata, “Ya Allah, kawanku itu, dulu, mengajakku agar mendurhakai-Mu, dan mengingkari Rasul-Mu (ﷺ), dan mempengaruhiku berbuat munkar, dan melarangku berbuat baik, dan menyampaikan kepadaku, bahwa aku takkan bertemu dengan-Mu. Ya Allah, jangan beri petunjuk kepadanya demi aku, sampai Engkau tunjukkan padanya apa yang baru saja Engkau tunjukkan padaku, dan sampai Engkau murka padanya, sama seperti Engkau murka padaku." Kemudian, rekan tak-beriman yang lainnya, mati, dan jiwa mereka dipertemukan, dan keduanya diminta agar saling memberikan pendapat. Maka, masing-masing berkata kepada rekannya, "Engkaulah saudara terburuk, teman terburuk dan sahabat terburuk."

“Orang mukmin itu, cerminan saudaranya,” dan jika ia melihat kekeliruan pada orang mukmin lainnya, ia memperhatikannya, membantunya meninggalkannya, dan menolongnya menghapus kejahatan yang mungkin pernah dilakukan. Siapapun yang menegurmu, hirau dengan persahabatanmu. Siapapun yang membiarkan kekeliruanmu, tak peduli denganmu."

Kedua Badui kita, memperhatikan ucapan sang-Pakistani, tutur-demi-tutur. Jadiannya, mereka saling-berjanji, untuk saling-menolong, apapun bahayanya, mereka akan saling-membela.

Sebuah maklumat terdengar, kereta akan terhenti selama empat jam lagi. Mereka yang tak keberatan menunggu, dipersilahkan ke gerbong-makan, sedangkan mereka yang ingin melanjutkan perjalanan, diperbolehkan berjalan-kaki ke stasiun, karena sudah sangat dekat. Namun, mereka diperingatkan agar waspada, karena seekor beruang, telah lepas.

Dua orang Badui kita, memutuskan berjalan-kaki. Merekapun meneruskan, akan tetapi, belumlah pergi jauh, seekor Beruang buas dan beringas, menyempal keluar dari semak-semak dan merintangi jalan mereka. Salah seorang Badui, yang kurus dan gesit, seketika memanjat dan bergelantung di pohon.
Yang satunya, jatuh tertelungkup dan menahan napas. Sang-beruang mendekat dan menghidunya; mengira ia telah tewas, kemudian berlalu entah kemana.
Lelaki yang di pohon, tampak turun laksana ogak-ogak, dan bergabung kembali dengan rekannya, bertanya, dengan senyum nakal, apa rahasia-indah yang telah dihembuskan sang-beruang ke dalam kupingnya. "Apanya?" tukas sang-Badui, cemberut, "Ia berbisik padaku, agar merawat sendiri masa-depanku, dan jangan pernah percaya pada bangsat, yang penggentar, sepertimu!"
Sang-bangau menyimpulkan, "Petaka itu, menguji ketulusan rekanmu. Jangan pernah mempercayai teman yang meninggalkanmu, selagi dilema mendekat. Ia yang membantu kebutuhanmu, dengan pertolongan yang tepat-waktu, meski tak perlu dibarengi dengan pujian, akan selamanya dipandang sebagai kawan dan pelindung; dan, dalam derajat yang jauh lebih mulia, pemberiannya itu, tak perlu dipinta dan diikrarkan; dan di sisi lain, tak terpaksa demi sebuah kepentingan, atau dari sudut lain, oleh janji-janji muluk. Kata-kata itu, tiada makna, hingga tertunaikan dalam perbuatan; dan lantaran itu, engkau tak boleh membiarkan dirimu, terkecoh oleh harapan-palsu, lalu mengandalkannya. Wallahu a'lam."

Dan dengan pekikan suara 'kaark' yang lembut, sang-bangau bersenandung,
Jangan pernah merasa terkucilkan
Kenanglah, ku 'kan selalu hiraukan
Dimanapun engkau berada
Kenanglah, ku 'kan ada di sana
Jangan pernah merasa terkucilkan
Kenanglah, ku 'kan ada di sana
Rujukan :
- Isa al-Bosnawi, Islam & The Concept of Friendship, Islam.com
- Samuel Croxall, DD, Fables of Aesop and Others, Simon Probasco

Senin, 10 Mei 2021

Muris dan Emasnya

"Saatnya mengucapkan selamat tinggal," kata Chiwawa. "Sesiku telah berakhir, aku harus pulang, ke tempat keberadaanku," lanjutnya. “Duhai saudara-saudariku! Kuingin berpesan kepada engkau sekalian, dan juga diriku sendiri, jika engkau hendak menunaikan sesuatu, awalilah dengan sesuatu yang baik. Ketahuilah bahwa tindakan kita itu, rupa dari niat kita.
Dari budi-pekerti yang telah Islam ajarkan kepada kita, memulai tindakan atau pekerjaan itu, dengan ucapan Basmalah—menyebut Nama Allah. Misalnya, Basmalah dianjurkan sebelum memulai Khutbah. Basmalah, juga dianjurkan sebelum seseorang masuk ke tempat dimana ia hendak buang air. Selanjutnya, Basmalah dianjurkan pada awal wudhu. Basmalah dianjurkan sebelum makan. Sebagian ulama menyatakan bahwa Basmalah sebelum makan, wajib. Basmalah sebelum berjimak, juga dianjurkan.

Tujuan di balik ucapan Basmalah, jauh jangkauannya, dan beragam. Ia berhajat kepada Allah, sebelum seseorang berbuat sesuatu; mencegah seseorang dari berbuat keburukan; membantu seseorang memohon pertolongan Allah dalam perbuatannya itu; dan akhirnya, mengingatkan pada salah-satu makna, sumber pemenuhan, sumber berkah atas perbuatan tersebut, serta tujuan akhirnya. Tentang poin terakhir ini, Allah berfirman, 
وَ اِنۡ مِّنۡ شَیۡءٍ اِلَّا عِنۡدَنَا خَزَآئِنُہٗ
"Dan tiada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya ..." [QS. Al-Hijr (15):21]
Tiadalah yang dipinta melainkan dari Dzat yang memiliki perbendaharaannya, Yang dalam Genggaman-Nya, terletak kunci-kunci banda ini. Meminta sesuatu dari selain Dia, berarti mencari sesuatu dari yang tak memilikinya atau tak punya wewenang atasnya.

Basmalah itu, perwujudan isti'anah, meminta pertolongan dan sokongan, maknanya, seorang hamba memohon pertolongan Allah dalam tindakan yang akan ia perbuat, dengan demikian, mengekspresikan pengabdian kepada-Nya. Dalam Basmalah, Nama Allah disebutkan, karenanya, apapun niat sang-hamba, Basmalah berlaku untuknya. Ketika sang-hamba hendak melakukan suatu perbuatan dan mengucapkan pernyataan ini, perbuatan yang akan ia tunaikan, tersirat dalam ucapan tersebut, dan bahwa, tindakan yang akan muncul dari ucapan ini, dilatarbelakangi oleh dua alasan penting, memohon berkah dengan mengawalinya atas nama Allah; dan, mengungkapkan fakta, bahwa perbuatan tersebut, semata karena Allah. Oleh sebab itu, seakan sang-hamba berdoa, 'Aku memohon pertolongan Allah, dengan setiap Nama-Nya, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, dalam suatu perbuatan yang hendak kulakukan.' 
Setiap sasaran yang diinginkan, yang ditujukan bukan karena Allah, dan tak terkait dalam bentuk atau cara apapun dengan-Nya, bersifat fana, dan segera sirna, karena tekadnya, tak bersama-Nya. Sasaran akhir, hanya terletak pada Dzat, Yang kepada-Nya, segala masalah menemukan kesudahannya, berakhir pada ciptaan, kehendak, hikmah, dan ilmu-Nya. Oleh karena itu, Dia-lah sumber dari setiap hal yang diinginkan.
Jika engkau mengawali urusan atau pekerjaanmu, dengan sesuatu yang buruk, maka seluruh perjalanan yang engkau tempuh, akan engkau jalani, penuh dengan kejahatan. Hasil akhir yang akan engkau peroleh, juga buruk. Jika engkau memulai dengan suatu kekonyolan, maka engkau akan menjalaninya dengan berbagai kekonyolan, dan akan berakhir dengan kekonyolan pula.

Dengarkan cerita ini,
“Di suatu kala, hiduplah Muris, seorang yang sangat ghani dan punya banyak harta. Ia punya ladang, sawah, dan lahan peternakan yang luas. Namun, ia tampak hidup sederhana, menyembunyikan hartanya yang berlimpah. Ia hidup sederhana karena ingin dipuji, dan selain itu, hendak menghindari kerabat dan tetangganya, yang hidup dalam kemiskinan, yang akan mendatangi dan meminta uangnya. Selagi segala sesuatu dalam hidupnya, berubah jadi emas, ia jadi loba, ia terus-menerus menumpuk harta-benda, menghitungnya tanpa bersedekah dan membantu orang lain yang membutuhkan. Hingga suatu hari, para kerabat dan tetangganya, datang, menasihati, 'Wahai Muris! Bersedekahlah, maka engkau akan bahagia!
Seseorang, takkan beroleh manfaat dari kekayaannya, kecuali yang ia belanjakan demi tujuan yang baik, karena kelak, ia akan menemukannya di kemudian hari, dan akan menjadi di antara perbuatan, yang akan menemaninya di alam Barzakh. Adapun harta yang ditinggalkan seseorang bagi ahli warisnya, maka pada kenyataannya, harta itu, tak menetap padanya, ia memegang harta itu, hanya untuk sementara, kemudian akan beralih kepada para ahli-warisnya.
Tidaklah seseorang mengambil manfaat dari hartanya, kecuali dari apa yang ia usahakan bagi dirinya, dan menafkahkannya di jalan Allah. Adapun apa yang ia makan dan kenakan, bukan untuknya dan kelak menentangnya, kecuali dengan niat beramal-shalih.
Adapun bagi orang yang membelanjakan hartanya dalam perbuatan dosa, maka harta itu, akan jadi hujah yang akan melawannya, dan tak ada manfaat baginya. Demikian juga dengan apa yang ia pelihara, dan tak menyerahkan hak-hak Allah. Bagi orang ini, kelak akan berbentuk ular-berbisa yang menakutkan. Sang-ular akan mengejarnya, walau ia lari darinya, hingga menggigitnya. Sang-ular akan berkata, "Akulah kekayaanmu, akulah hartamu!" Orang itu akan mengulurkan tangannya dan sang-ularpun mematuknya bagai kuda yang menggigit. Jika harta itu, emas atau perak, pemilik emas atau perak yang tak mengeluarkan zakatnya, pada Hari Kiamat, pelat-pelat besi akan dipanaskan di Neraka, dan akan dicap di lambung, dahi, dan punggungnya, selama lima puluh ribu tahun.
Seseorang boleh saja pelit menafkahkan hartanya di jalan Allah, tapi ia akan melihat hartanya pada Hari Kiamat, dalam timbangan orang lain, yang menafkahkannya sebagai sedekah. Pada saat itu, ia akan sangat sedih dan menyesal, karena harta yang sama inilah, yang memasukkan pewarisnya ke Surga, namun yang menyebabkan dirinya, masuk Jahannam!
Orang berakal itu, orang yang bersedekah dari harta yang dicintainya, agar ia menemukannya di kehidupan selanjutnya. Bagi orang yang mencintai sesuatu, menyimpannya lekat dengan dirinya sendiri, dan tak memberi kepada orang lain, sehingga ia akan kecewa di saat sesal, tiada lagi berguna. Maka, barang siapa yang menafkahkan sesuatu di hari ini, maka ia akan mmemperoleh manfaat esok-hari, dan barang siapa yang tak menafkahkannya, maka ia takkan mendapatkan apa-apa, dan ia akan mengalami kerugian besar, di kampung Akhirat.”

Muris bereaksi, dengan kasar, ia berteriak, "Hei kalian semua! Simpan saja garammu, jangan taburkan ke laut, masukkan saja ke dalam periukmu. Karena apa yang telah engkau sampaikan, aku tahu semuanya. Jika engkau hendak berkhutbah, lakukanlah di Masjid!" seraya mengusir semuanya. Orang-orang yang malang itu, melangkah pergi dan berkata, "Kekayaan bukanlah banyak harta, tapi kekayaan itu, kekayaan-diri!"

Terusik, ia menyembunyikan diri, sendirian. Dan setelah bermeditasi selama empat puluh hari, diselingi nonton sinetron, Muris dapat ide, yang menurutnya, brilian! "Eureka!" serunya, keluar dari jamban, berlagak bagai Archimedes.
Muris, kemudian menjual semua miliknya, dan membeli banyak emas batangan. Ia mengubur emas-emas tersebut di sebuah lubang, dalam tanah samping tembok tua. Setelah itu, ia mengumumkan kepada seluruh tetangga dan kerabatnya, ia sudah tak punya uang. Namun sialnya, kata para tetangga, meski Muris mengaku tak punya uang, ia baru saja menyuruh rumahnya, di cat, senada dengan warna Bendera Nasional. Konon, biaya pengecatannya, cukup untuk memberi makan sekampung orang.
Setiap hari, Muris ke loka emasnya, menggali harta-karunnya, dan menghitungnya, sebatang demi sebatang, memastikan semuanya masih di situ. Karena seringnya mondar-mandir, salah seorang pekerjanya, memperhatikan lawatannya, dan memutuskan mengintai pergerakannya. Ia segera tahu, rahasia harta terpendam, dan suatu malam, diam-diam menggali, menemukan emas-emas batangan, lalu menggasak seluruhnya.

Sebagaimana yang telah kusampaikan, jika mengawali suatu urusan dengan sesuatu yang konyol, engkau akan mengalami hal-hal yang konyol, dan konyol pula, kesudahannya. Sewaktu Muris sadar bahwa seluruh emasnya telah ghaib, ia bersedih dan berputus-asa. Ia menangis dan meraung, serta mengacak-acak rambutnya.
Tak jauh dari tempat Muris berada, dua orang saudagar Gujarat, sedang berbincang-bincang. Yang satu bercakap dengan yang lain, "Dari segala hawa-nafsu yang menjadi subjek sifat manusia, tiada yang kekal, sangat-berkuasa, dan pada saat yang sama, sangat tak bertanggung jawab, kecuali ketamakan. Hasrat kita yang lain, umumnya, mulai mendingin dan mengendur, saat mendekati usia-renta; namun ketamakan, tumbuh di bawah uban, dan unggul di tengah-tengah ketidakberdayaan dan kelemahan. Seluruh hasrat kita yang lain, dapat tertutupi dengan berbagai alasan, membiarkannya selama hayat masih di kandung badan. Akan tetapi, sangat tak masuk di akal, dan karenanya, sungguh tak dapat dipahami, mengapa seseorang, sangat menyukai uang, walau cukup dengan memandangnya. Harta karunnya, baginya, sama tak bergunanya laksana setumpuk cangkang tiram; meski ia tahu, berapa banyak kesenangan kasat-mata yang bisa diperolehnya, namun ia tak berani menyentuhnya; dan karena fakir akan uang, semua maksud dan tujuan, ia menjadi orang yang tak berharga. Inilah keadaan sebenarnya dari orang-tamak; yang mungkin dilakukan salah seorang dari kelompok minat yang sama, punya jawaban ini, bahwa di saat kita telah mengatakan semuanya, karena menganggap kepuasan itu, tujuan utama hidup, jika ada kepuasan bagi beberapa orang tertentu dari kepemilikan harta, meskipun mereka tak pernah berniat menggunakannya, kita mungkin bingung bagaimana menjelaskannya, dan berpikir, itu sangat aneh, namun hendaknya, tak secara mutlak mengutuk orang-orang yang serupa, tapi dengan lugunya, mengejar apa yang mereka anggap sebagai kebahagiaan yang dahsyat. Sungguh; orang akan keliru mencitrakan ketamakan dengan warna-warna tak mengenakkan seperti itu, jika memang serupa dengan kenaifan. Namun di sini muncul kesesatan, seseorang yang benar-benar tamak, takkan berpegang pada apapun guna mencapai tujuannya; dan, di saat ketamakan mengambil-alih gelanggang, kejujuran, amal-shalih, kemanusiaan, dan singkatnya, setiap kebajikan yang menentangnya, pasti akan dikorbankan.”

Kedua saudagar mendengar tangisan Muris dan bertanya apa yang terjadi. "Emasku! Wahai emasku!” pekik Muris, dengan beringas, “Ada yang merampokku!”
“Emasmu! Ada di lubang itu? Mengapa engkau meletakkannya di sana? Mengapa tak menyimpannya di rumah, dimana engkau dapat dengan mudah mengambilnya saat hendak membeli sesuatu?”
"Membeli!" tukas Muris, geram. “Untuk apa, aku tak pernah menyentuhnya. Aku tak berniat membelanjakannya.” Salah seorang saudagar, mengambil sebongkah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang. “Jika itu masalahnya,” jawabnya, “Simpanlah batu itu. Nilainya sama bagimu bagai harta yang hilang! Harta yang tak dipergunakan itu, harta yang tiada. Nilai kepemilikan itu, tidaklah lebih dari apa yang telah engkau manfaatkan.” Dan saudagar lainnya, menyerahkan sebuah kantong. Muris bertanya, "Apa ini?" Sang saudagar berkata, "Garam, masukkanlah ke dalam periukmu!" Mendengarnya, Muris tersengut-sengut. Kedua saudagar Gujarat, meninggalkan Muris, yang bagai anak kecil, bergoyang-goyang menjerit, "Andai saja aku mendengarkan tetangga dan kerabatku!"
Segala sesuatu yang dicintai—jika tak dicintai karena Allah, maka cinta itu, tak lain melainkan penderitaan dan adzab sengsara. Setiap perbuatan yang tak ditunaikan karena Dia, 'kan sia-sia dan fatal akibatnya. Setiap qalbu yang tak mencapai-Nya, 'kan celaka dan tertangkup dari pencapaian kesuksesan dan kebahagiaan. Oleh sebab itu, Allah telah menghimpun segala sesuatu yang diinginkan, dan Dia telah mengumpulkan segala sesuatu, yang ditunaikan untuk-Nya. Ibnu Mas'ud, radhiyallaahu 'anhu, berkata, "Barangsiapa yang ingin selamat dari sembilan belas Malaikat di atas api Neraka, maka ia hendaknya mengucapkan, 'Bismillahirrahmanirrahim.'"

Duhai saudara-saudariku! Usai mengucapkan Basmalah, maka tutuplah urusanmu, dengan melafalkan "Hamdalah." Dengan mengucapkan "Alhamdulillah," sang-hamba memuliakan dan bersyukur kepada Allah semata, demi Keagungan, Keesaan, Kesempurnaan, Nama dan Sifat-Nya yang Indah, serta nikmat dan berkah-Nya yang tak terhitung banyaknya, yang tak dapat dicakup oleh siapapun melainkan Dia. Inilah pernyataan yang mengagumkan, yang melampaui sesuatu yang tak dapat disuarakan oleh bunyi, dan alat-hitung tak mampu menaksirnya!

Duhai saudara-saudariku! Saat memulai suatu urusan yang diawali dengan Basmalah, bekali diri dengan ilmu dalam menjalankan urusanmu, rawatlah akal-sehat sebagai salah-satu cara menghidupkan qalbu, berdayakan pikiran guna meraih Hikmah, hingga melahirkan berbagai kebijakan dalam segala urusan. Kemudian, ketika urusanmu telah usai, tutuplah dengan Hamdalah. Dan di kala segala urusan hidupmu telah berakhir, maka tutuplah dengan ucapan, "La ilaha illallah" - Tiada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah, " sebagaimana Sang-kekasih (ﷺ) bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Jika seseorang, kata-kata terakhirnya " لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ" ia akan masuk Surga.” [Sunan Abi Dawud; Shahih oleh Al-Albani].
Segala pujian, milik Allah jua!
Wallahu a'lam!"

Chiwawa kemudian berdiri tegak di podium, menundukkan kepala, menunjukkan penghormatan, lalu melangkah turun, diikuti "standing-up" para unggas, yang berkicau,
Saatnya ucapkan, "Selamat jalan!"
Cakrawala takkan menjauh
Haruskah ketemukan sendiri?
Tanpa cahaya kesejatianku?
Denganmu, ku akan bertolak
Dalam bahtera lintasi samudera
yang sekarang ku tahu
Sirna, tiada lagi
Saatnya ucapkan, "Selamat jalan!"
Rujukan :
- Dar Us-Sunnah Qur'anic Colletion, The Spiritual Cures, translated by Abu Ramaysah, Dar Us-Sunnah
- Shaykh Safiur-Rahman Al-Mubarakpuri, Tafsir Ibn Kathir (Abridged) Volume I, Darussalam
- Abdullah Ibn Rajab Al-Hanbali, The Three That Follow To The Grave, Dar Us-Sunnah
- Ibn Muhammad Al-Muthlaq, The Good End, IIPH
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons