Jumat, 28 Mei 2021

Cuka Berumur Empat-puluh Tahun

"Duhai saudara-saudariku! Berkata orang Maori, 'Jika engkau ingin menangkap ikan, pertama-tama, belajarlah berpikir seperti ikan,'" imbuh Profesor Nightingale. "Jika engkau bermaksud 'mencuri' ikan, agar orang-lain tak mencium aromanya, tirulah cara kerja para-kucing. Dan jika engkau hendak mengabadikan potret Yulius Kaisar, perhatikan, jangan tunjukkan ia sedang memakai 'jam-tangan,' karyamu akan sia-sia, ketahuan 'ecek-ecek' dan semu, kecuali, jika engkau meniatkannya jadi sketsa-fiksi atau lelucon.

Namun biarlah, ketimbang kepala kita pening memikirkannya, mending, perhatikan cerita ini,
Pada malam bulan purnama, Nasruddin Hodja melihat di halaman belakang rumahnya, sosok bayangan-putih. Mengira itu penjarah, ia meminta istrinya membawakan busur dan anak-panah. Sang-Hodja membidik, anak-panahpun melesat, sasarannya tepat.

Setelah itu, Hodja berangkat tidur dan bermimpi. Dalam impiannya, ada orang memberi Hodja sembilan koin emas, akan tetapi, Hodja menginginkan sepuluh. Maka, ia menolaknya. Mendadak, ia terbangun dan melihat tangannya, nihil. Bergegas ia menutup matanya lagi, dan berkata, "Tak mengapa, yang sembilan koin, aku terima."

Fajar pun menyingsing, sang-Hodja tergopoh-gopoh ke halaman belakang rumahnya. Ia terkejut melihat apa yang ia sangka penjarah, ternyata, jubahnya sendiri, yang telah dibilas sang-bini dan tergantung di tali-jemuran. Ia berlutut dan berulang-ulang mengucap, “Terima-kasih Tuhan! Terima-kasih Tuhan!" Istrinya bertanya, “Mengapa engkau bersyukur?” dan sang-Hodja menjawab, “Tentulah, aku harus bersyukur. Aku berhasil membidik tepat di tengah jubah itu. Bayangkan, apa yang akan terjadi, jika aku berada di dalamnya!”

Keesokan harinya, sang-Hodja meminjam belanga tetangganya. Beberapa hari kemudian, sewaktu ia telah menggunakannya, ia mengembalikannya beserta sebuah periuk di dalamnya. "Apa ini?" tanya sang-jiran seraya menunjuk periuknya. "Belangamu beranak," jawab sang-Hodja. Tanpa berkomentar apapun, sang-jiran mengambil periuknya.

Beberapa hari kemudian, Hodja membutuhkan belanga lagi, dan meminjam milik tetangganya, sekali lagi. Sang-jiran, dengan girang, menyerahkannya kepada Hodja.
Beberapa waktu berlalu dan sang-belanga belum jua dipulangkan. Sang-jiran menemui Hodja, yang sedang bersama keledainya, dan bertanya, “Hodja, apa yang terjadi dengan belangaku?” "Belangamu mati," kata Hodja. Sang-jiran keberatan, berkata, “Bagaimana bisa belanga mati, Tuan?” Hodja menjawab, "Engkau percaya belanga bisa beranak, tapi mengapa engkau tak yakin belanga bisa mati?"

Sang-jiran tak bisa berkata-kata, kecuali bertanya, "Apa yang sedang engkau lakukan?" Sang-Hodja mulai merapik tentang keledainya. “Ia sangat cerdas, bahkan aku bisa mengajarinya membaca,” ujarnya. "Betulkah?" sang-jiran terkejut. “Ya tentu, butuh waktu tiga bulan,” jawab Hodja sembari merunduk. "Baiklah, kita lihat tiga bulan ke depan," kata sang-jiran, ragu-ragu.

Hodja pulang dan mulai melatih keledainya. Ia meletakkan makanan di antara halaman-halaman sebuah buku besar dan mengajarinya membalik halaman dengan lidahnya, agar dapat menemukan makanannya. Tiga hari sebelum masa tiga bulan berakhir, ia berhenti memberinya makan.

Sang-jiran pun bertandang, Hodja meminta sebuah buku besar dan meletakkannya di depan sang-keledai. Sang-satwa yang lapar, membalik-balik halaman buku tersebut, lembar demi lembar, dengan lidahnya, dan selagi tak menemukan makanannya, ia mulai meringkik. Sang-jiran memperhatikan sang-keledai dengan cermat, lalu berkata, "Sungguh cara membaca yang aneh!" Hodja berkomentar, "Tapi, beginilah cara keledai membaca."

"Menarik," kata sang-jiran. "Bolehkah aku meminjamnya?" "Tentu! Datanglah besok!" balas Hodja. Keesokan harinya, sang-jiran datang lagi, dan melihat Hodja tampak sibuk mencari sesuatu. "Apa yang sedang engkau cari?," sang-jiran ingin tahu. "Aku kehilangan ayamku!" Kemudian, Hodja mengambil sehelai kain hitam kecil, dan mengalungkannya di leher ayam lain. Sang-jiran menyoal, "Hodja, mengapa ini?"
“Ayam ini sedang berduka, kehilangan induknya,” jawab Hodja dengan tenang.

Sang-jiran kemudian bertanya tentang sang-keledai. “Keledainya tak di rumah,” jawab Hodja. Saat itu, sang-keledai, di atas atap, mulai meringkik. “Oh,” sela sang-jiran, “Tadi engkau bilang, keledaimu tak ada di rumah, tapi, siapa yang meringkik?”
"Engkau ini, aneh!" seru Hodja. "Manakah yang engkau percayai, kata-kata keledai, atau kata-kataku?"
"Baiklah, kalau begitu! Tapi, bolehkah aku meminta bantuanmu?" tukas sang-jiran. "Tentang apa?" tanya Hodja. "Maukah engkau menulis surat untukku?"
"Kemana suratnya ditujukan?" tanya Hodja. "Ke Bagdad," jawab sang-jiran. "Aku tak bisa ke sana," Hodja menimpali. "Engkau tak mesti ke sana. Suratnya yang dikirim," kata sang-jiran dan Hodja menjelaskan, "Tak ada yang mampu membaca tulisanku. Jadi, aku harus ke sana, membacakannya!"

Keesokan paginya, Hodja mendapati keledainya, dicuri. Sang Hodja mulai mencari. Dalam pencariannya, ia mengedau. Sang-hakim, yang menyaksikan, mengusut, "Siapa yang mencuri keledaimu, dan bagaimana caranya?" Hodja kesal dan berkata, "Andai kutahu jawabannya, keledaiku takkan dicuri!"
"Oke, tenang!" Sang-hakim bertenggang-rasa, dan berkata, "Punyakah engkau, cuka yang berumur empat-puluh tahun?"
“Punya,” jawab Hodja. "Boleh kuminta sedikit? Aku membutuhkannya sebagai obat," kata sang-hakim. "Tidak, tak boleh," jawab Hodja. "Bila kuberikan, walau sedikit, kepada setiap orang yang memintanya, akankah kumiliki selama empat-puluh tahun?"
Sang-hakim maklum, lalu pamit. Hodja berdiri memperhatikan sang-hakim melangkah pergi, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Siapa pula yang mau menyimpan cuka selama empat-puluh tahun?" Hodja geleng-geleng kepala dan berjalan gontai masuk ke rumahnya."
Profesor Nightingale menyimpulkan, dengan berkata, "Wahai saudara-saudariku! Kurasa, akan ada banyak berdatangan kisah-cerita yang menarik, dan kita sedang menantikannya. Ketahuilah, bahwa cerita yang bagus itu, menjalin hubungan, dan membuat para manusia, hirau. Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Minyatur Yayinlari, 202 Jokes of Nasreddin Hodja, Amazon