Selasa, 18 Mei 2021

Sang Petani, Sang Penggawa dan Para Kera

Sang-bangau, yang selama ini, hidup dalam keheningan, buka suara, sekali lagi, "Mereka yang menyukai sanjungan—yang sepantasnya ditakuti, lantaran terlalu banyak yang melakukannya—dalam jangka panjang, akan mneyesali kerapuhan mereka itu. Namun, betapa sedikitnya—di antara seluruh ras umat manusia—yang dapat terhitung sebagai bukti-nyata terhadap serangan sanjungan?

Apa itu sanjungan? Berbeda dengan sikap merendah, yang merupakan disposisi psikologis umum, sanjungan, terdiri dari tindakan komunikatif terbuka, yang pada dasarnya bersifat 'proposisional.' Sanjungan, biasanya menggunakan bahasa pujian yang berlebihan, dalam menggambarkan kualitas atau rekam-jejak orang lain, demi tujuan menciptakan sikap yang menguntungkan dalam diri orang tersebut, terhadap orang yang menyanjung.

Di satu sisi, sanjungan, sangat mirip dengan penyuapan, lebih menggunakan kata-kata dibanding uang atau barang, dan memunculkan kebanggaan atau keangkuhan bagi sang penerima, bukan demi kepentingan materinya sendiri. Ingatkah engkau kisah tentang sang petani, sang penggawa, dan para kera, yang diceritakan kakekmu?
Tersebutlah, dua lelaki, bepergian bersama, yang satu, seorang Penggawa, yang suka menyanjung, dan seorang lagi, Petani awam, yang lugu, dan selalu mengatakan yang sebenarnya. Perjalanan, membawa mereka ke negeri Para-kera.
Seluruh kera berkerumun, dan salah satu, yang lebih besar, menilik kedua lelaki. Sang kera besar, yang tampaknya, pemimpin mereka, memerintahkan keduanya, ditahan. Sang kera ingin tahu, apa pendapat kedua orang ini tentang dirinya, maka, ia memerintahkan seluruh anggotanya, berdiri di hadapannya, dalam sebuah barisan, melebar ke kanan, dan ke kiri, sementara, sebuah kursi disiapkan sebagai singgasananya—rupanya, kera besar yang satu ini, pernah melihat seorang Raja, maka ia memerintahkan seluruh keranya, berbaris, seperti yang pernah ia saksikan.
Kedua lelaki, kemudian diseret maju ke depan, ke tengah-tengah kerumunan para-kera. Lalu, sang kera besar menyoal, 'Siapa aku?' Sang-penggawa menjawab, 'Daulat Sri-baginda, engkaulah sang-raja!' Selanjutnya, sang kera bertanya, 'Dan mereka yang kamu lihat, berdiri dihadapanku, siapa mereka?' Sang-penggawa menukas, 'Para pendukungmu, para-pemangku, para-wazir dan para hulubalangmu, yamg mulia!'

Berkat sanjungan itu, para kera menghadiahkan beragam bingkisan bagi sang-penggawa. Seluruh kera tertipu oleh sanjungannya. Sementara itu, sang-petani, yang selalu berkata jujur, dalam benaknya, terlintas, 'Jika berbohong saja, bajingan itu menerima bingkisan, pastilah, aku akan memperoleh hadiah yang lebih besar lagi, bila mengatakan yang sejujurnya.' Sang kera besar, menyidik sang petani, 'Sekarang, katakan padaku, siapa aku, dan siapa mereka yang kamu lihat berdiri di hadapanku?' Dan sang petani, yang selalu mencintai kebenaran, dan tak pernah berbohong, menjawab, 'Engkau hanyalah seekor monyet, dan seluruh simian yang berlagak serupa manusia itu, tak lebih dari kumpulan monyet belaka!' Sang kera besar naik-pitam, segera, ia memerintahkan pasukan kera, menyerang sang petani dengan gigi dan cakar mereka, sebagai hukuman, bagi mereka, yang berkata jujur. Sesungguhnya, terkadang, kebenaran itu, seringkali menyakitkan.
Tiba-tiba, terdengar suara tembakan, segenap kera kocar-kacir, lari tunggang-langgang. Seorang pemburu, mendekat, dan membebaskan mereka. Setelah melihat luka sang petani, ia berkata, "Kalian berdua, tunggu di sini, aku akan mencari bantuan." Lalu, ia pun bergegas meninggalkan mereka.
Rupanya, drama belum berakhir. Seekor macan-kumbang, yang, selama ini, telah mengintai, menerjang tepat di hadapan mereka, yang berdiri kaku, tak berdaya. Sang macan, bertanya kepada sang-petani, "Ada apa denganmu?" Sang-petani, menceritakan apa yang terjadi, sejujurnya. Iapun dilepaskan.
Sang macan, menatap sang-penggawa dan menggeram, "Seluruh manusia, cenderung mendiamkan informasi yang akan mengurangi ketulusan motif pengagumnya. Orang-orang yang punya jabatan dan kekuasaan itu, sasaran utama sanjungan. Dari pengalaman, mereka cukup sering menyadari kerentanan ini dan curiga terhadap ekspresi pujian. Terkadang, kecurigaan itu berakhir tragis, yakni, orang itu, tak dapat menerima pujian apapun dengan harga nominal, dan sepenuhnya mengabaikan penilaian positif tentang diri mereka sendiri. Namun, banyak orang masih percaya bahwa mereka dapat membedakan antara, kata-kata sanjungan dan pujian yang nyata. Itulah sebabnya mengapa sanjungan selalu berpeluang sukses, walau terhadap orang-orang yang tak menyukainya. Kenyataannya, itu tak berlaku bagiku!"
Sang-penggawa memohon belas-kasihan, "Tolong, akhirilah kesengsaraanku ini, dengan membebaskanku!"
Namun, bagi orang durjana, yang suka berbohong dan membuat masalah, menyerang kejujuran dan kebenaran, akhir hidupnya, tak semenyenangkan tinggal di istana.
Namun, ada dua perbedaan terkait antara suap dan sanjungan. Pertama, penyuapan biasanya, merupakan 'kesepakatan' antara kedua belah pihak, yang syarat-syaratnya diletakkan di atas—atau di bawah—meja. Kedua, mata uang yang digunakan dalam penyuapan itu, 'nyata'—nilainya tak berkurang karena penggunaannya. Perbedaan pertama, karenanya, bahwa sanjungan itu, bentuk penipuan tersembunyi, dan keberhasilannya sebagai tindakan manipulatif, dikondisikan oleh kurangnya kesadaran tentang kualitas diri dari pihak penerima sanjungan. Sanjungan berhasil hanya jika penerima sanjungan, percaya bahwa sang-penyanjung memuji dengan ketulusan. Karena persepsi di mata orang yang disanjunglah, yang penting, sanjungan dapat terdiri dari pernyataan yang diketahui oleh penuturnya, sama sekali tak benar, atau setidaknya, terlalu dibesar-besarkan terhadap lawan bicaranya.
Perbedaan kedua, menyangkut tutur-kata sanjungan. Penyanjung menggunakan pujian, agar dirinya disayangi oleh yang disanjung, yang tak tahu akan kebohongannya. Jika A menyuap B dengan 100 koin emas asli, nilai koinnya tetap sama. Tak demikian halnya dalam hal sanjungan. Sanjungan, karenanya, memuji-muji, sedangkan berbohong, menonjol-nonjolkan.

Argumen serupa dapat diterapkan pada penghargaan, yang sangat mirip dengan, pernyataan yang tegas. Sama seperti penghargaan, sanjungan membuat pernyataan positif tentang orang lain. Namun, tak seperti seseorang yang memberikan penghargaan yang tulus, tujuan sang penyanjung, mengambil-hati sang penerima sanjungan. Akibatnya, bahkan jika seseorang yang menyanjung dengan mengucapkan pujian yang ia tahu benar, pernyataan itu, tak menularkan pengetahuan. Hal ini terjadi, bahkan jika sang penyanjung itu, yang menggunakan pujian yang sebenarnya, wasit yang dapat diandalkan bagi masalah yang dihadapi, dan punya reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya. Alasannya, sang-penyanjung tak dapat dipercaya dalam arti lain: ia takkan memuji kecuali ingin mendapatkan sesuatu dari yang disanjung, dan mungkin juga, pujian-palsu, jika pujian seperti itu, berguna dan berpeluang. Oleh sebab itu, fakta bahwa seseorang yang menyanjung, meniadakan nilai pujian sebagai penghargaan. Berbeda dengan mata uang yang digunakan dalam penyuapan, apa yang digunakan oleh sang-penyanjung, bohong-bohongan. Maka, sanjungan itu, penipuan yang dirancang untuk menguasai orang yang disanjung. Dalam hal ini, secara moral, tak dapat dibedakan dari tipu-muslihat.

Seperti rayuan, sanjungan terjadi dengan merendahkan-diri atau adanya keperluan—materi atau psikologis. Namun tak seperti penghargaan, sanjungan, tentu saja tak jujur. Dan, tak demikian halnya dengan merendah, sang-penyanjung ingin memutuskan hubungan hierarkis sampai batas tertentu daripada mengakuinya.
Aristoteles, secara agak artifisial — seperti yang ia akui sendiri — mencoba menerapkan model sisi baik dari sanjungan, menunjukkan bahwa, sanjungan itu, milik bidang hubungan sosial, secara umum, dan yang menyenangkan dalam bisnis kehidupan. Rumus umum Aristoteles, dan perbedaan antara sanjungan dan penghargaan, dan antara sanjungan dan merendah, merujuk pada pemetaan umum dari dua jenis sanjungan yang ideal, atau lebih tepatnya, dua kutub ekstrem. Yang pertama, disebut 'manipulatif;' yang kedua, 'merendah.' Yang pertama, sesuai dengan deskripsi Aristoteles tentang keramahan yang berlebihan, yang bertujuan bagi keuntungan sendiri; yang kedua, bagi orang yang punya kebutuhan yang sama, namun 'tak punya sasaran akhir'. Dalam metafora zoologi, dua bentuk sanjungan ini, masing-masing berwujud 'ular' dan 'anjing.' Shakespeare menggunakan 'anjing' dalam konteks ini.
Penyanjung dari tipe pertama, bertindak dengan desain yang menawan, bertujuan agar mendapatkan sesuatu atau keuntungan pribadi tertentu, sebagai konsekuensi dari sikap yang disukai yang mungkin akan dikembangkan oleh sang -penerima sanjungan terhadapnya. Illustrasinya, seperti sanjungan dalam politik. Sanjungan manipulatif, cerminan dari "tact." "Tact" itu, seni membiarkan hal-hal tertentu, tak terucapkan, dengan tujuan menghindari rasa malu sang penerima. Sanjungan itu, mengatakan hal-hal yang seharusnya tak diucapkan. Keduanya, cara untuk memuluskan hubungan sosial, tetapi tact, sifat pengekangan introvert yang bertujuan menghormati yang lain, sedangkan sanjungan, sifat penipuan ekstrovert. Baik orang yang tact maupun yang menyanjung, sensitif terhadap citra diri dan kehormatan lawan bicaranya, namun yang satu menghormatinya, sementara yang lain, memanipulasinya. Berbeda dengan kesantunan, yang konvensional dan karenanya tak dianggap tunduk pada norma kebenaran, baik tact maupun sanjungan, hanya dapat beroperasi atas dasar ketidaksadaran pihak lain akan penyimpangannya. Kejahatan sang penyanjung, bergantung pada, atau beralih kepada, kerentanan sang penerima sanjungan. Seperti halnya tact, sanjungan yang berhasil, membutuhkan pengetahuan tertentu—pengetahuan tentang sang penerima, kebanggaan dan ambisinya, serta kemampuan agar pujian itu seolah terdengar nyata, meyakinkan, jujur, dan beralasan. Namun, tak seperti tact, pengetahuan ini digunakan untuk memajukan tujuan penyanjung itu sendiri, bukan untuk menghindari rasa malu penerima.
Tipe pertama ini, bisa digambarkan sinis, sedangkan jenis yang kedua, menyedihkan. Jenis pertama, biasanya akibat marah, karena melibatkan muslihat dan upaya tak bermoral agar dapat mencapai sesuatu yang tak pantas diterima oleh sang-penyanjung. Jika berhasil, sang-penyanjung mungkin mendapatkan sesuatu yang tak adil—seperti nilai yang lebih tinggi di sekolah, promosi di kantor—dengan cara yang tak adil, bahkan merugikan, bagi pihak ketiga. Biasanya, kemarahan tak ada ketika kita menganggap ketidaksetaraan itu, tidak adil, dan manfaat yang dicari oleh sang penyanjung, pantas. Sanjungan bahkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengungkap hierarki yang illegal, yang lebih banyak dianggap sebagai bahan komedi dibanding tragedi.
Sanjungan tipe kedua secara psikologis, lebih kompleks. Jenis ini merupakan upaya menciptakan hubungan pribadi untuk mengatasi kesenjangan hierarkis. Berbeda dengan jenis pertama, tipe ini, agak tulus dan tak mencari keuntungan 'materi', melainkan hanya perhatian pribadi dan penghargaan timbal balik.
Bentuk sanjungan yang kedua ini, terdapat sifat segan, dan bahkan mungkin sangat disayangkan, karena meskipun orang takkan kehilangan apapun dari tindakan itu, ia menilai perantaranya, punya kecacatan karakter. Kedua bentuk sanjungan tersebut, menyikapi ketimpangan kekuasaan dan status antara kedua belah pihak dengan cara yang berbeda. Penyanjung Manipulator, berusaha menghindari implikasinya dengan mencapai tujuannya secara tak langsung. Penyanjung Merendah, tak menerima kesenjangan, melainkan berusaha mengubah hubungan hierarkis impersonal menjadi hubungan pribadi yang lebih egaliter. Berbeda dengan manipulator, ia mencari perhatian dan persahabatan pribadi. Biasanya, bahkan jika kita menyayangkan tipe penyanjung seperti ini, mengutuk keadaan yang membawanya ke sanjungan, dan mengakui validitas kebutuhannya, sulit untuk 'berpihak' dengan karakter seperti ini, yang menunjukkan kelemahan dan kurangnya harga diri.

Aristoteles memandang kedua jenis sanjungan sebagai manifestasi persahabatan yang berlebihan. Karakterisasi ini, tak terlalu informatif, dan tampaknya keliru, khususnya sejauh menyangkut Penyanjung Manipulatif. Mari kita perhatikan jenis Penyanjung Manipulatif dan pengaruhnya pada penerima sanjungan. Dari sudut pandang moralitasnya yang berbasis metafisik, Plato menganggap sanjungan itu, keji, karena palsu, yaitu parasit kebenaran. Penampilannya tampak nyata melainkan ilusi. Ia didasarkan pada kekuatan kesenangan yang dianugerahkan pada penerima, bukan pada kebaikannya.

Wiliam Shakespeare, menyoroti fenomena 'sanjungan', dengan indah, di bagian terakhir puisinya, "The Passionate Pilgrim,"
Tiap orang yang menyanjungmu
Bukanlah kawan sependeritaan
Kata-katanya, enteng, bagai angin
Kawan setia, sulit ditemukan
Setiap orang, akan jadi kawanmu
Jika ada yang dapat dibelanjakan
Namun bila cadangan karuniamu tak sepan
Tiada yang 'kan menyediakan apa yang mereka inginkan.

Ia yang jadi kawanmu, ada saat diperlukan
Ia 'kan membantumu, saat mereka dibutuhkan
Jika engkau bersedih, ia dalam tangisan
Jika engkau terjaga, ia tak dapat beradu
Jadi, dari setiap kesedihan dalam qalbu
Ia bersamamu, menanggung setiap bagian
Inilah tanda-tanda tertentu, yang perlu engkau tahu
Kawan-setia dibanding musuh dibalik sanjungan.
"Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Yuval Eylon & David Heyd, Flattery, International Phenomenological Society
- Laura Gibbs, Mille Fabulae et Una: 1001 Aesop’s Fables in Latin, Lulu Publishers