Jumat, 07 Mei 2021

Nasruddin dan Sang-Filantropis

Chiwawa melanjutkan dengan berkata, "Pak Himar dan Pak Beruk, dalam perjalanan pulang. Saat Kerajaan Rimba-raya telah tampak di Kaki-langit, Pak Himar berkata, "Aku merasa penat, bolehkah kita berhenti sebentar?" Pak Beruk mengangguk, dan setelah duduk di bawah sebuah pohon yang rindang, ia bergumam, “Sangat berat melepaskan diri dari pendapat orang banyak!” “Wahai Pak Beruk, daripada mengatakan sesuatu yang tak kupahami, lebih baik engkau bercerita untukku!" jawab Pak Himar. Pak Beruk mengangguk, "Dengarkan ini!"

“Suatu hari, Nasruddin Hodja dan putranya, menuju pulang ke rumah. Alih-alih mengendarai keledainya, sang-Hodja lebih suka berjalan kaki, dan menyuruh putranya, mengendarai sang-keledai. Dalam perjalanan, para abdi-dalem, yang lewat, membicarakan mereka, "Lihatlah anak muda yang sehat itu! Seperti kebanyakan anak muda, tak menghormati orang yang lebih tua. Seharusnya, ia yang berjalan, bukan ayahnya yang malang itu!"
Saat mereka menghapus pandangan dari orang-orang ini, putra sang-Hodja merasa terusik, dan memaksa ayahnya, naik keledai, dan ia lebih suka berjalan kaki. Maka, sang-Hodja menunggangi sang-keledai, dan putranya, berjalan di sampingnya. Beberapa langkah ke depan, mereka berpapasan, dengan beberapa abdi-dalem, yang berkata, "Nah, lihat pemandangan menyedihkan itu! Pemuda remaja yang malang itu, harus berjalan, sementara ayahnya yang sehat, mengendarai keledai!"
Setelah jauh meninggalkan orang-orang ini, sang-Hodja bercakap-cakap dengan putranya, "Lebih baik kita berdua, berjalan kaki. Maka, takkan ada yang keberatan!" Lalu, mereka pun melangkah, berjalan menuntun sang-keledai. Baru beberapa langkah, mereka bertemu lagi dengan kelompok abdi-dalem lainnya—engkau tahu pasti, mereka ada di mana-mana, merambat bagai parasit—menyindir, "Lihatlah orang-orang bodoh itu. Keduanya, berjalan di bawah terik matahari, namun tak jua mengendarai sang-keledai!"
Sang-Hodja menoleh ke putranya, mengangguk sembari berkata, "Sulit melepaskan-diri dari opini manusia!"

Sementara itu, di pasar, seorang saudagar, yang bukan penduduk setempat, tapi kebetulan punya toko di sana, mengumumkan, "Aku akan menghibahkan, seluruh emas milikku, kepada segenap penduduk desa!" katanya dengan lantang dan bersemangat. Berdiri di sampingnya, seorang hulubalang, seorang perangkat-desa, dan seorang carik.
Namun, tak di duga, para penduduk desa, tak begitu bersemangat, bukannya menerima, mereka bergemam, "Hmmm! Ini sering terjadi!" Namun sebaliknya, ada juga yang menyambut pengumuman tersebut dengan riang-gembira, engkau pasti dapat menebak, siapa mereka! Ya, para abdi dalem!—dan memang, begitulah mereka—Mereka berteriak, nyaring, "Lihat, Tuan Filantropis ini, lebih dermawan dibanding kalian, hai penduduk desa!"
Hari berganti esok, dan esok beranjak lusa, serta lusa beralih jadi tarsok, sang-emas belum juga tersaji. Kesal, para penduduk desa mengadu kepada Hakim setempat. Sang-hakim, segera memanggil sang-saudagar. Namun entah mengapa, sewaktu sang-saudagar berdiri di hadapannya, sang-hakim hanya berkata, "Jika engkau mampu menghadirkan seorang saksi, engkau akan bebas!"
Maka, sang-saudagar pun mencari seorang saksi, dan, dari beberapa informasi yang ia kumpulkan, hanya satu orang yang sanggup melakukannya, asalkan tersedia hadiah beberapa koin perak.

Nasruddin Hodja sedang berbaring di bawah naungan pohon kenari tua. Raganya beristirahat, walakin, ada sesuatu yang salah terlintas dalam bathinnya. Menatap ke atas sang pohon besar, ia merenung. “Bijakkah bila pohon besar seperti ini, diciptakan, hanya menghasilkan buah kenari kecil? Lihatlah pokok yang kokoh dan ranting yang kuat. Ia dapat dengan mudah mengusung labu yang tumbuh, dibanding tanaman merambat kurus, di ladang sana, tanaman merambat tak sanggup menahan berat buahnya sendiri. Bukankah kenari tumbuh di tanaman merambat yang lemah dan labu di pohon yang kokoh?" kata sang-Hodja.
Penat berpikir, sang-Hodja terlelap, dan hanya terbangunkan oleh sebuah kenari, yang jeblok dari pohonnya, melenting di dahinya. "Ya Tuhan!" serunya, melihat apa yang terjadi. "Jika dunia diciptakan menurut hikmahku yang picik ini, maka labulah yang akan jatuh dari pohon, lalu menghempas kepalaku, dan pastilah, akan membunuhku!"

Tiba-tiba, sang-saudagar muncul, menyerahkan sekantong besar koin perak, memintanya jadi saksi, seraya berkata, "Bila hakim bertanya, 'Benarkah orang ini telah mendermakan seluruh koin emasnya?' Mohon katakan padanya, bahwa aku telah melakukannya." dan dengan tergesa-gesa, ia pamit. Sang Hodja, terdiam dan termangu, yang bisa ia lakukan, hanyalah, berdiri dan menggaruk-garuk kepalanya, "Ada apa dengan orang ini?"
Mereka tampak di hadapan hakim. dan sang-Hodja memberikan bukti, bahwa sang-sudagar, memang, telah menyerahkan koin "perak" miliknya. Sang-hakim menerima, dan mereka diperkenankan pulang. Di luar, sang-saudagar, bertanya tentang sesuatu, "Hodja Effendi, mengapa engkau mengatakan 'perak,' bukan 'emas'?"

"Andai itu dusta," jawab sang-Hodja, "Pentingkah itu? Dusta, tetap dusta. Kebohongan putih itu, dusta. Setengah kebenaran itu, dusta. Menyembunyikan kebenaran itu, dusta. Bohong akibat lalai itu, dusta. Sekali dusta, tetaplah dusta!"

Pak Himar terpingkal, demikian pula Pak Beruk, yang tertawa, bukan karena ceritanya, melainkan ringkikan Pak Himar."

"Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Minyatur Yayinlari, 202 Jokes of Nasreddin Hodja, Amazon