Saatnya Manakin, angkat suara. Usai menyapa dengan salam dan menyampaikan kalimat pembuka, ia berkata, “Duhai saudara-saudariku! Sanjungan itu, tak didasarkan pada ilmu yang baik, melainkan sekadar tebakan. Sanjungan mengabaikan apa yang terbaik, namun tampak seolah meninggalkan kesan yang baik. Satu-satunya sasasaran sanjungan itu, hanyalah rasa-senang, tanpa menghiraukan beban-moral.Plato menghakimi sanjungan dengan sangat tajam, ia mencitrakannya 'ugal-ugalan, memperdaya, tercela, dan tak-beradab.' Wawasan utama Plato, sebagai berikut: sanjungan mengarah pada tergantinya kebaikan manusia dengan pengganti yang nyaris tak dapat dikenali. Sifat yang paling menonjolnya, kehancuran pada orang yang disanjung. Kehancuran ini, muncul akibat kekuatan sanjungan yang menggoda: daya tariknya menyenangkan, yang berasal dari rayuan orang lain, membangkitkan rasa-bangga, dan janji yang dipegangnya, yang bersumber dari jenis hubungan pribadi yang tulus, yang biasanya berfungsi sebagai pengakuan atau penghargaan yang ikhlas, dan kritik yang membangun. Penyanjung Manipulatif, mengenal korbannya, memahaminya, merayunya, dan karenanya, menyelewengkannya. Perhatikan bahwa kejahatan, biasanya merusak diri sendiri, yaitu bentuk perilaku yang merusak integritas atau harmoni bathin pelakunya. Namun sanjungan—tak seperti penipuan biasa, yang merugikan kepentingan korban—merusak kepribadian pihak lain: ia menjebak lawan bicara dalam keadaan berkhayal, dan terkadang, memperdaya diri sendiri, sedangkan lawan bicaranya, dengan lugunya, mempercayai persahabatan dan sikap saling melengkapi sang penyanjung.Sang penyanjung, menipu, dan mungkin merusak penerima sanjungan, dengan membangkitkan rasa-bangga akan diri-sendiri. Sang penyanjung, tak cuma mengorbankan harga dirinya sendiri, dan mungkin, hubungan pribadi, demi keuntungan materi, juga menjadikan dan memanfaatkan kurangnya harga diri, yang memunculkan sifat buruk dari sang penyanjung dan penerima sanjungan.Dalam bahasa Arab, ada istilah, misalnya, "Mujamalah," yang bermakna mengucapkan kata-kata manis yang menunjukkan rasa-hormat kepada seseorang; "Itraa'," menyebutkan sifat-sifat terbaik dalam diri seseorang kepada yang bersangkutan. Contohnya, ketika seorang penyair menyebutkan sifat-sifat terbaik seorang raja, kita mengatakan bahwa sang penyair sedang mempraktekkan itraa’ bagi sang raja. Istilah yang mirip dengan 'sanjungan,' disebut "Tamalluq," yang bermakna menyanjung, seperti bersikap baik kepada seseorang dan mengatakan hal-hal manis kepadanya, namun tak tulus.Nifaq—kemunafikan—secara komprehensif, disorot dalam Al-Qur'an dan Sunnah, karena bahaya orang munafik, dan kerugian yang dapat ditimbulkannya terhadap individu, kelompok, organisasi, atau masyarakat secara keseluruhan. Nifaq berarti menunjukkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang tersembunyi. Konsep nifaq, disebutkan dalam Al-Qur'an, sebagaimana Allah berfirman,الْأَعْرَابُ أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا وَأَجْدَرُ أَلَّا يَعْلَمُوا حُدُودَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ"Orang-orang Badui itu, lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan sangat wajar tak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." [QS. At-Taubah (9):97]Di sini, perlu diperhatikan bahwa A'raab—disebutkan dalam ayat, yang diterjemahkan sebagai orang Badui, Arab-gurun—berbeda dengan orang Arab. Dalam bahasa Arab, orang-orang Arab disebut Arabi, sedangkan Arab-gurun, disebut A'raab.Nifaq, konsep yang lebih komprehensif, bahkan gerak-tubuh yang disebut para-penyanjung, juga disebutkan dalam pembahasan Nifaq. Allah berfirman,وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُۥ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَيُشْهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِى قَلْبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلْخِصَامِ"Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkanmu, dan ia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal ia, penentang yang paling keras." [QS. Al-Baqarah (2):204]“Mudahana,” menunjukkan kesenangan terhadap ketidaktaatan tanpa penyangkalan apapun, demi kepentingan duniawi. Suatu ketika, Sang-kekasih (ﷺ), bersabda,إِذَا رَأَيْتُمْ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمْ التُّرَابَ“Kala engkau menyaksikan 'muddahina' (orang yang menyanjung orang lain), sambitlah pasir ke wajahnya.” [Sahih Muslim]Rasulullah (ﷺ), tak menerima sanjungan karena tak tulus, dan memerintahkan kita agar menyiramkan pasir ke wajah orang yang menyanjung. Ketika seseorang menyanjung orang lain di hadapan Ibnu 'Umar, ia mulai melemparkan debu ke arah wajah orang tersebut, berkata, "Nabiyullah (ﷺ) bersabda, 'Jika engkau menemukan orang-orang yang menyanjung, lemparkan debu ke wajah mereka.".'Adi bin Artah berkata, "Bila salah seorang sahabat disanjung, ia akan berdoa, 'Ya Allah, semoga Engkau tak mengadzabku karena apa yang mereka ucapkan. Ampunilah aku atas apa yang tak mereka ketahui. Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.'”Ada dua penyakit qalbu yang akan diderita oleh penerima sanjungan, yang disebabkan oleh sanjungan: Kibr dan 'Ujub.Kibr, kata bagi kepongahan dan keangkuhan, kecongkakan, rasa bangga-diri, sifat merendahkan—menganggap diri sendiri lebih baik dan lebih utama dibanding orang lain. Inilah sumber dari banyak kejahatan dan dikenal sebagai penyebab utama kebencian dan perpecahan dalam masyarakat. Juga, termasuk dosa besar.Sang-kekasih (ﷺ) bersabda,مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ أَكَبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي النَّارِ"Barangsiapa yang di dalam qalbunya, ada Kibr seberat biji sawi, maka Allah akan menjerembabkannya ke dalam api neraka.” [Musnad Ahmad; Sahih menurut Al-Arna’ut]Kibr, penamaan terhadap keadaan psikis, dimana seseorang merasakan rasa superioritas dan berperilaku sewenang-wenang terhadap orang lain. Tanda-tandanya terlihat dalam perbuatannya, dan gejalanya, terlihat jelas oleh orang lain, yang dengannya mereka tahu bahwa ia berbangga-diri. Kibr itu, sesuatu yang berbeda dengan 'Ujub.Sang-kekasih (ﷺ) bersabda,لَوْ لَمْ تَكُونُوا تُذْنِبُونَ لَخَشِيتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْثَرُ مِنْهُ الْعُجْبَ“Andai engkau tak berbuat dosa, aku mengkhawatirkanmu pada yang lebih buruk lagi: 'Ujub.” [Musnad al-Bazzār; Hasan menurut Al-Albani]`Ujub, terdiri dari cinta-diri dan berbangga-diri, sedangkan Kibr, menganggap diri-sendiri lebih utama dibanding orang lain. Ketika seseorang merasakan kelebihan dalam dirinya dan dikuasai oleh rasa-senang, kegembiraan yang meluap-luap, dan rasa-bangga, keadaan ini disebut `Ujub. Dan dilkala ia menganggap orang lain berada di bawah apa yang ia bayangkan dalam dirinya, ia menganggap dirinya lebih utama. Persepsi superioritas dan keunggulan atas orang lain ini, menyebabkan timbulnya keangkuhan dalam diri, yang merupakan rasa-berbangga. Kibr, dalam pengertian ini, keadaan bathin, dan di saat pengaruhnya tercermin dalam perilaku dan ucapan, disebut Takabbur. Singkatnya, orang yang memanjakan-diri dengan mementingkan diri-sendiri, dan kecenderungan pencarian dirinya itu, tumbuh menjadi cinta-diri, dan ketika cinta-diri ini dipenuhi hingga terpuaskan, ia mewujudkan dirinya sebagai keangkuhan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap orang lain.Duhai saudara-saudariku! Sanjungan itu, dapat terjadi dimanapun dan dengan siapapun. Bahkan, Raja dan Sultan, ada yang menyanjung, juga ada yang tersanjung. Para penyanjung dan 'yes men,' berlimpah-ruah dalam lingkaran kekuasaan. Siapapun yang suka menyanjung, takkan pernah menjadi kawan-sejati di masa-masa suram. Namun, ketika seseorang kaya, atau berkuasa secara finansial, dalam hal jabatan, orang lain akan cenderung dekat dengannya. Sebaliknya, jika seseorang miskin, orang akan cenderung menjauh. Sahabat sejati itu, yang menolong kita, saat kita membutuhkan, dan yang akan merasa tersakiti, karena ia merasakan kita, yang sedang kesakitan.Dan akhirnya, dengarkan apolog ini,Suatu pagi yang cerah, di Negeri Ludikrum, Tuan Austus, sang-rubah, sedang berjalan pulang setelah menghadiri upacara Hari Kemerdekaan. Hatinya merasa senang, semalam, ia bermimpi bertemu gumiho, yang menyanjungnya. Perasaan senang itu, begitu lengkap saat upacara, sambutannya disanjung oleh para-pemangku.Rasa-senang itu, membuatnya lapar. Saat Tuan Austus mengendus hidungnya yang tajam, menembus hutan, mencari makanan, ia melihat Nona Cornix, sang-gagak, di dahan pohon, di atas kepalanya.Yang menarik perhatiannya kali ini, dan membuatnya berhenti, memperhatikannya lagi, bahwa Nona Gagak yang beruntung itu, menjepit sepotong keju di paruhnya. “Tak perlu mencari jauh-jauh,” pikir Tuan Austus yang nakal. “Itulah gigitan kecil buat sarapanku.” Iapun berlari ke arah kaki pohon tempat Nona Cornix duduk, dan melihat ke atas dengan kagum, ia berteriak, "Selamat pagi, nona manis!" Nona Cornix, dengan kepala agak dimiringkan, memperhatikan Tuan Austus dengan curiga. Ia tetap membungkam paruhnya rapat-rapat dan tak membalas sapaannya."Sungguh makhluk yang menawan!" rayu Tuan Austus. “Aduhai bulu hitam yang berkilau! Betapa indah bentuknya, dan betapa indah sayapnya! Burung mengagumkan seperti itu, pastilah punya suara yang sangat indah, karena segala sesuatu tentang dirinya begitu sempurna. Bisakah ia mendendangkan sebuah lagu saja, kutahu, sepantasnya, aku menyanjungnya sebagai Ratu para Burung.” Mendengar kata-kata sanjungan ini, Nona Cornix lupa akan segala kecurigaannya, dan juga, sarapan paginya. Ia mendamba dipanggil Ratu Burung. Maka, ia membuka paruhnya lebar-lebar, agar dapat bersuara sekeras-kerasnya, dan, kejupun langsung meluncur ke mulut Tuan Rubah yang tengah menganga. “Terima kasih,” kata Tuan Austus dengan manis, seraya berjalan pergi. “Meskipun serak, suaramu, bolehlah. Akan tetapi, dimanakah akal-sehatmu?”Para penyanjung, hidup dengan mengorbankan mereka yang mau mendengarkannya.Namun, rasa-senang itu, tak berlangsung lama. Di depan sebuah dinding-tembok, ia duduk di tanah, meratap. Seorang asing bertanya padanya, ada apa. Ia menunjuk ke sebuah jembatan dan berkata, "Lihat jembatan itu? Aku yang membangunnya. Namun apakah mereka memanggilku Sang-pengembang? Tidaak," dan kemudian, ia menunjuk ke jalan tol dan berkata, "Aku juga berhasil membangunnya! Namun, merekapun tak menyebutku Sang-pembangun." Orang asing itu bertanya, "Apa yang telah engkau bangun itu, bermanfaatkah bagi mereka?" Ia mulai terisak lagi, dan menunjuk pada mural-gaffitti di dinding. Orang asing itu, mulai mengamati dindingnya: goresan diri seseorang terpampang, dan di bawahnya, deretan cerita tertulis. "Sang Ratu bertanya-tanya, 'Mural, Mural di dinding, diantara mereka, siapa yang paling ayu-kemayu?" Sang-mural menjawab, dengan santun, "404 Error! Halaman telah dihapus."Wallahu a'lam.”
Rujukan :
- Yuval Eylon & David Heyd, Flattery, International Phenomenological Society
- Ismael Abu Jaradi & Suhailiza Md. Hamadani, Flattering, Flattery, and Hypocrisy : A Closer Look at Theese Meaning in Al-Quran, Al-Sunnah, and the English Literature, Al-Qanatir
- Samuel Croxall, DD, Fables of Aesop and Others, Simon Probasco