Selasa, 08 Juni 2021

Aku Tak Betah!

Dan kali ini, Profesor Nightingale, beraksi bagai seorang aktor, bermonolog, "Duhai saudara-saudariku! Didalam sebuah mural—paling tidak—terdapat sebuah puisi. Puisi itu, berbagai sastra yang bahasanya terikat oleh ritme, matra, rima dan susunan larik dan bait. Atau lebih mudahnya, puisi itu, ragam karya sastra yang dalam bahasanya, disusun dengan cermat. Sajak, puisi bebas, yang tak terikat rima dan matra, serta tak terikat sejumlah larik dan bait. Syair, merupakan puisi lama, yang setiap baitnya, terdiri dari empat baris, diakhiri dengan bunyi yang sama.
Bagi sebagian orang, puisi itu, sebuah ungkapan keterbebasan dan keterlepasan. Ia, salah satu dari banyak tataan artistik, guna melepaskan amarah atau suka-cita, dari pikiran manusia. Ketajaman setiap ritme, kata, dan gaya setiap puisi, memungkinkan pembaca mengungkap makna yang lebih dalam, pada kerangkanya.

Dengarkan puisi sederhana Kodok-haiku dari Matsuo Basho ini,
古 池 や 蛙 飛 こ む 水 の お と
[Furuike ya kawazu tobikomu mizu no oto]
Dan terjemahan Allen Ginsberg menjadi,
The old pond—a frog jumped in—Kerplunk!
[Perigi-tua—seekor katak mencemplung—Plung!]
Aku tak berencana membicarakan lebih jauh tentang puisi, melainkan aku hendak menyampaikan apolog, perihal kodok. Tak tahu beda antara katak dan kodok? Engkau tak sendiri. Kendati katak dan kodok sama-sama amfibi, mereka itu, keluarga satwa yang terpisah. Dan meski mereka serupa dalam banyak hal, keduanya ada perbedaan, walau tak selalu jelas.
Semua kodok itu, katak, namun tak semua katak itu, kodok. Pada dasarnya, kodok itu, klasifikasi katak. Dan inilah fakta menyenangkan lainnya: Tiada perbedaan ilmiah antara kodok dan katak. Bingung? Tak boleh ada yang menyalahkanmu! Dari segi klasifikasi ilmiah, baik katak maupun kodok, termasuk dalam ordo Anura, yang berarti "togel." Dalam ordo Anura, terdapat beberapa famili satwa, termasuk Ranidae, yang disebut sebagai katak sejati, dan Bufonidae, yang disebut sebagai kodok sejati. Ada keluarga katak dan kodok lainnya — misalnya, katak pohon, keluarga katak yang berbeda dari katak sejati—akan tetapi, yang ini, kelompok spesies yang lebih kecil, dan spesifik dalam wilayah tertentu di dunia.
Kendati banyak katak dan kodok terlihat serupa, ada beberapa perbedaan. Misalnya, katak, umumnya, punya kaki-belakang yang panjang dan kuat, yang membantunya melompat, sedangkan kodok, kaki-belakangnya lebih pendek, lebih pantas berjalan, dibanding melompat. Perbedaan kaki mereka, juga menyebabkan perbedaan perilaku, saat didekati manusia. Katak, biasanya, akan menggunakan kakinya yang panjang dan kuat, melompat ke dalam air saat didekati, sementara kodok, cenderung duduk diam dan menunggu. Jika kodok benar-benar melompat, lompatannya lebih ringkas dibanding katak.
Katak, lazimnya punya mata yang besar dan menonjol, sedangkan mata kodok, lebih lembut, jika diperhatikan. Katak berkulit halus atau lembab berlendir, kodok berkulit lebih tebal, bergelombang, kebanyakan kering. Perbedaan kulit mereka, lantaran lingkungan khas mereka. Katak menghabiskan lebih banyak waktu di dalam air atau biasanya sangat dekat dengan air, bila berada di darat, sehingga kulitnya tetap lembab. Kodok, sebaliknya, menghabiskan lebih banyak waktu di darat dan berjalan lebih jauh dari air. Kecuali jika engkau tinggal sangat dekat dengan air, kemungkinan besar, engkau akan bertemu kodok di halaman rumahmu, karena mereka bergerak menjauh dari air.
Semua kodok beracun, sedang katak, tidak. Kodok punya kelenjar parotoid di belakang matanya, yang mengeluarkan racun. Racun ini, menembus kulitnya, sehingga dapat tersentuh olehmu, bila membekuk kodok. Sebagian besar racun tersebut, tak berbahaya bagi manusia, namun hendaknya, engkau mencuci tangan dengan sabun, setelah memegang kodok.
Baik katak maupun kodok, bertelur di dalam air, namun engkau dapat membedakannya, dari susunan telurnya. Telur katak biasanya bergugus atau berkelompok, sedangkan telur kodok, biasanya tersusun berantai. Dan baik katak maupun kodok, indikator ekosistem yang sehat. Mereka tak dapat hidup di habitat yang tercemar dan sensitif terhadap perubahan di lingkungannya, sehingga keberadaan katak atau kodok, merupakan tanda bahwa habitat tersebut sehat, sedangkan perubahan kehadiran mereka secara mendadak, dapat menunjukkan bahwa kawasan tersebut, telah tercemar, atau sebaliknya, tidak seimbang. Lalu, bagaimana jika, ada kejadian, seekor biawak memangsa para-kodok?

Sebelum kita menyelam ke dalam apolognya, seperti biasa, kuingin memberikan nasihat kepada ego-ku, bahwa nasihat yang baik, seyogyanya, selalu diiringi dengan tanpa purbasangka kita, pada orang yang memberinya, akan tetapi jarang sekali manusia, akan diperhatikan, bila meresepkan obat bagi sebuah penyakit, yang ia sendiri terinfeksi olehnya. Betapa terkejutnya kalangan, mendengar seorang yang sangat bersemangat mengecam kejahatan, yang tiada lain, yang pantas dicurigai, selain dirinya sendiri.
Amal-shalih itu, konsisten, walau sekecil apapun. Sang-kekasih (ﷺ) bersabda,
اكْلَفُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ خَيْرَ الْعَمَلِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Ambillah amal baik semampumu, karena sebaik-baik amalan itu, yang ditunaikan secara teratur, walau sedikit.” [Sahih Muslim]
Dari hadis ini, kita dapat belajar, bahwa membangun konsistensi itu, sangat penting.

Mari kita mencebur langsung ke dalam apolognya,
Disebutkan, di sebuah benua, ada tiga suku, bertetangga, Komunitas Kodok, Persemakmuran Semut, dan Kerajaan Ketungging. Namun, mengapa para-kodok disitir hanya sebagai komunitas? Di zaman kuno, para-kodok, menjalani kehidupan bebas nan tenang di danau dan rawa-rawa; namun lama kelamaan, merasa tak puas dengan ketenangan yang tak ada tantangannya.
Para-kodok, sangat bangga dengan kebangsaan mereka, meninggikannya di atas agama, etika dan moral. Seekor diantara mereka menyatakan, "Agama hanyalah sarana atau kendaraan." Bahkan, ketua Badan Ideologi Komunitas Kodok, yang pernah membolehkan perzinahan di antara para-kodok remaja, pernah mengumumkan, "Agama itu, penghalang ideologi!"

Faktanya, mereka lebih cenderung percaya pada mitos dibanding kenyataan. Ada mitos yang berkembang, "Dahulu kala, ketika Matahari mengumumkan niatnya mempersunting Venus, sebagai istrinya, para-kodok mengangkat suara ke langit. Ishtar, dewi perang dan cinta-syahwat, mitra Barat Dewi Semit, Astarte, terganggu oleh suara ngorek mereka, menanyakan penyebab mengapa mereka mengeluh. Salah seekor berkata, “Matahari, saat ia masih lajang pun, mengeringkan rawa-rawa, dan memaksa kami, mati dengan menyedihkan di rumah yang gersang. Bagaimana jadinya masa-depan kami, jika ia punya anak, yang juga matahari?"
Mereka lebih mengimani Ishtar, daripada Allah Subhananu wa Ta'ala. Maka, mereka mengajukan tuntutan kepada Ishtar agar memperoleh seorang raja. Sesosok dedemit, yang berganti-wujud sebagai Ishtar, tersenyum pada kebodohan mereka, dan melemparkan sepokok-kayu, dan dengan suara menggelegar berseru, "Ini raja untukmu." Percikan air akibat hempasan pokok-kayu, yang tiba-tiba, awalnya, menjadikan para kodok merasa panik, dan beberapa saat tak berani mengangkat kepala; namun perlahan-lahan, mereka memberanikan diri, mengintip, dan bahkan melompat ke atas pokok-kayu tersebut. Karena tak puas dengan raja yang lemah dan menjemukan, mereka kembali mengajukan petisi kepada Ishtar, agar diberi yang lain, yang dapat memperluas kekuasaan mereka. Ishtar, yang merasa muak dengan kebodohan mereka, mengirimkan seekor Bangau sebagai raja mereka, yang, tanpa upacara-pelantikan, memakannya satu demi satu, setiap kali ia merasa lapar.
Sejak saat itu, mereka tak pernah mendapatkan raja dan kerajaan. Raja-kodok yang sekarang, raja yang suka-suka mereka pilih, sebagai simbol. Dua kodok bertetangga. Seekor mendiami kolam yang dalam, jauh dari pandangan publik; yang seekor lagi, menetap di genangan yang berisi sedikit air, dan dilalui oleh jalan pedesaan. Kodok yang tinggal di kolam, memperingatkan kawannya agar berpindah tempat-tinggal, memintanya menetap bersamanya, mengatakan bahwa ia akan lebih aman dari bahaya, dan mendapat makanan yang lebih berlimpah. Kodok yang satunya, menolak, beralasan bahwa ia merasa sangat sulit meninggalkan tempat yang telah menjadi kerutinannya. Beberapa hari kemudian, sebuah gerobak yang berat melewati genangan, dan menggilasnya sampai mati. Seekor ketungging, menyaksikan dan mengingat sang-kodok penyintas. Yang disebut pertama menjadi Raja-ketungging, dan yang terakhir, diangkat sebagai Raja-kodok.
Kemudian, Persemakmuran Semut, ditakdirkan, diperintah oleh Komunitas Kodok. Namun, para-kodok tak mampu menaklukkan Kerajaan Ketungging, melainkan mereka hanya bisa mengajak saling-kerjasama.
Mengapa ini bisa terjadi? Raja-kodok, melompat keluar dari danau, dan tegak diatas seonggok tanah, mengumumkan kepada seluruh satwa-hutan, bahwa ia, seorang tabib-hebat, dan sanggup menyembuhkan segala penyakit. Pidato ini, dengan sedikit plintiran kata-kata dari para-kodok, yang tak dipahami siapapun, membuat para-satwa terkagum-kagum, dan menyanjung apapun yang diucapkan. Akhirnya, Raja-ketungging, yang pernah mengenal Raja-kodok, saat itu hadir, dengan dongkol mengutarakan, bahwa betapa songongnya sang-kodok, dengan rahang lampu-teplok yang tipis, tubuh pucat dan bangsai, serta kulit berbintil-bintil, kini menyaru mampu menyembuhkan penyakit satwa lain?
Seketika, seluruh satwa yang hadir, bubar. Namun sayang, utusan semut datang terlambat. Para-ulama berkata, "Jangan pernah telat. Tepatilah waktu!" Para-semut bertanya apa yang terjadi, dan para-kodok menyampaikan, bahwa Raja-kodok baru saja menerima pengakuan dari para-satwa. Para-semut, diminta menunaikannya, dan mereka melakukannya. Para-semut, telah kasip, bahwa semuanya, sekadar angan-angan para-kodok.
Dan pada suatu waktu, saat dunia ditetapkan terlanda wabah, Raja-kodok membuat aturan, tak boleh ada kerumunan. Setiap satwa, harus menjaga jarak, setidaknya 1,5 meter dari yang lain. Aturan berlaku bagi semuanya, termasuk para-semut. Namun, aturannya, bagai semata goresan-pena diatas plano, lantaran dapat diterjemahkan sebagai, "suka atau tidak-suka." Orang yang konsisten, berperilaku dengan cara yang sepadan, bersikap layak terhadap orang atau benda, atau mencapai tingkat keberhasilan, yang sebanding dalam sesuatu.
Konsistensi, biasanya menyiratkan rasa-ketergantungan yang positif. Jika engkau menunjukkan konsistensi di tempat kerja, bossmu, dapat mengandalkanmu. Definisi konsistensi itu, keseragaman yang harmonis atau kesepakatan di antara berbagai-hal atau setiap bagian. Namun, bagaimanapun juga, Konsistensi bukanlah keterampilan atau bakat, engkau punya kendali langsung terhadapnya.

Kenyataannya, panggangan semakin dijauhkan dari pemanggangnya. Suatu kali, seekor kodok mengadakan pesta yang megah, mengundang kerumunan kodok, tapi tiada sanksi baginya. Berbagai alasan konyol mencuat dari para-kodok. Sebaliknya, saat ada beberapa semut, yang berkerumun, mereka langsung digelandang dan dikerangkeng. Mereka berusaha memohon penjelasan, water-canon—bukan gas air-mata, sebab tak mempan terhadap para-semut—sebagai jawabannya. Raja-ketungging menyoal kepada Raja-kodok, "Mengapa engkau melakukannya? Tak tanggapkah engkau, sifat para-semut, suka berkerumun?" Raja-kodok menjawab, "Aku tak betah! Itu sifatku!"
Suatu hari, ketika Raja-kodok sedang membagikan bahan-makanan dan baju-kaos—dan aku tak dapat membayangkan, seperti apa, jika para-kodok mengenakan baju-kaos—mengundang kelimunan. Raja-ketungging yang lewat, menegurnya, "Mengapa engkau melakukannya, tak ingatkah engkau, aturan yang engkau buat sendiri?" Raja-kodok menukas, "Aku tak betah! Itu sifatku!"
Pada akhirnya, suatu hari, Raja-ketungging dan Raja-kodok, bertemu di tepi sungai yang bergemuruh. Terlalu berbahaya diseberangi, maka sang-ketungging dengan baik-baik meminta sang-kodok membawanya menyeberang di atas punggungnya. Ini membuat sang-kodok, agak curiga. Ia bertanya, "Bisakah aku mempercayaimu, engkau takkan menyengatku?" Sang-ketungging meyakinkan, "Bila kulakukan, aku jua yang kan mati." Alasan  masuk-akal, mengendurkan saraf sang-kodok. Maka, ia membolehkan sang-ketungging naik ke atas punggungnya, dan mereka menyeberangi aliran sungai. Tepat sampai di seperdua sungai, sang-ketungging menyengat sang-kodok, persis di bagian-tengah punggungnya. Sang-kodok merasakan racun-ketungging mulai menjalar, dan mulailah mereka terbenam. Saat melepas nafas terakhirnya, ia insaf, "Mengapa?!" Dan sang-ketungging menjawab, "Aku tak betah! Itu sifatku!" Dan nasib merekapun, laksana Firaun dan pasukannya, terpendam di Laut Merah.

Mengiringi karamnya ketungging dan kodok, para anak-manusia, berdendang,
Kodok ngorek, kodok ngorek
ngorek pinggir kali
teot-teblung, teot-teblung
teot teot teblung
Sang profesor menyimpulkan dengan sebuah ajuan, "Ada banyak rujukan tentang ketungging dan kodok dalam budaya-pop, ia menyelinap ke banyak film dan acara TV. Cobalah mencari-tahu, di sekelilingmu, siapakah sebenarnya, para-ketungging, dan siapakah sebenarnya, para-kodok! Wallahu a'lam."
Rujukan :
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Rev. Geo. Fyler Townsend, M.A., Aesop Fables, George Routledge and Sons