Jumat, 25 Juni 2021

Penyintas? (1)

Profesor Nightingale sedang cuti, sehingga, sesi kali ini, panitia menghadirkan Dr Swan sebagai pembicara. Dan setelah mengucapkan salam dan kalimat pembuka, ia mengungkapkan, "Duhai saudara-saudariku! Ada sebuah sajak Islandia yang populer dan arkais, dengan kreasi sebait. Sajak tersebut, berwarita,
Þat mælti mín móðir,
[Berkata Ibuku padaku]
at mér skyldi kaupa
[Kelak kukan beli]
fley ok fagrar árar,
[Galai dan dayung bagus]
fara á brott með víkingum,
[Berlayar ke pantai yang jauh]
standa upp í stafni,
[Tegak di haluan]
stýra dýrum knerri,
[Barque rafi kukemudikan]
halda svá til hafnar
[Menapak kukuh demi langit]
höggva mann ok annan
[Menebas jamak musuh]
Konon, sajak ini, berasal dari sebuah sajak dalam hikayat Islandia, bertajuk Egil's Saga, tentang orang Viking yang kondang, Egil Skallagrimsson. Sebuah interpretasi dari hikayat ini, mengutarakan bahwa kepribadian tokoh Agil, ruwet dan kusut. Kepribadiannya yang beraneka, merefleksikan kualitas eksesif keluarganya, keluarga para lelaki, ada yang teramat buruk, namun ada juga yang sangat tampan; sebuah keluarga yang mudah 'berubah wujud', dari mendadak tak-waras, kejam dan bengis, hingga menjadi tenang dan bijak; sebuah keluarga yang tak tunduk pada kehendak raja, tapi juga tak berpihak pada pemberontakan terbuka.

Namun, aku tak hendak membahas tentang hikayat ini, aku ingin menyampaikan bahwa, keteladanan yang buruk itu, merusak, bahkan terhadap watak-alami terbaik sekalipun. Sia-sia mengajarkan anak-anak kita, talenta, yang sekadar imitasi, mengikuti satu aturan, jika kita sendiri mengikuti tatanan berbeda. Ajaran-ajaran bagus, yang mungkin kita sampaikan kepada mereka, akan jadi mudarat, bila mereka menyaksikan, perilaku kita sendiri, menempuh arah berlawanan dengan apa yang telah kita ajarkan kepada mereka.

Simak apolog berikut,
Dua ekor ketam, seorang ibu dan putranya, yang tersapu air-pasang dan telah surut, merayap kembali ke arah pantai. Saat sang-ibu memperhatikan langkah putranya yang janggal, merasa gemas, dan berharap agar sang-anak melangkah lurus ke arah depan, tegap dan sigap, serta tak berjalan-miring, karena akan ditertawai oleh satwa sejagat.
"Mengapa engkau berjalan menyamping seperti itu?" tanya sang-induk kepada anaknya. "Engkau seharusnya berjalan lurus dengan ujung-kaki menghadap ke depan."
"Tunjukkanlah caranya, ibuku sayang," jawab sang-ketam mungil dengan patuh, "Aku ingin belajar."
Maka, sang-ketam dewasa, berusaha dan mencoba berjalan lurus ke depan. Tapi sayangnya, ia cuma mampu berjalan-miring, sama seperti putranya. Dan ketika ia hendak membalikkan ujung-kakinya, iapun tersandung dan terjerembab.
Oleh karenanya, para orangtua yang berkeinginan melakukan pembentukan watak yang efektif pada anak-anaknya, seyogyanya, memulai dengan melakukan perubahan nyata pada diri-sendiri. Inilah kewajiban mereka kepada masyarakat, juga kepada anak-cucu-cicit mereka. Sangatlah penting bagi keduanya, bahwa kesucian-qalbu atau kejujuran, dan kemuliaan atau kehormatan, ditanamkan sejak dini ke dalam benak-belia mereka, karena bersemi dengan pertumbuhannya, dan pada saat yang sama, dengan mengajak kepada kemuliaan atau kehormatan, mereka meletakkan dasar kebahagiaan individunya, sepanjang hidup.

Dalam perspektif Islam, orangtua, sepantasnya, selaras dalam perbuatan dan ucapan, yang meneladankan sifat sejati seorang Muslim. Anak-anak memperoleh banyak gagasan tentang peran dan nilai, dari individu yang signifikan, dengan siapa mereka berinteraksi, dan punya hubungan-dekat. Tentu saja, orangtualah yang akan menjadi tokoh utama dalam proses ini.
Berkaitan dengan parenting atau pola-asuh, orangtua hendaknya berupaya memperkuat pernikahan mereka demi anak-anak. Jika pernikahan itu, pusat keluarga, masuk akal jika upaya dilakukan agar membentengi dan memperkaya hubungan ini. Pasangan suami-isteri, sepatutnya, memahami tanggungjawab dan hak perkawinan mereka, dari perspektif Islam, dan berusaha menunaikannya, sekuat tenaga. Mereka hendaknya menimba ilmu parenting dari perspektif Islam, serta informasi yang berkaitan dengan hal-hal praktis, misalnya, disiplin, pembinaan, dan kebugaran.

Ilmu dan menuntut-ilmu, menuntun kita pada kesejatian hidup, guna menuju ke jalan yang lurus. Tanpa ilmu yang diperlukan, perjalanan hidup kita takkan berdaya-guna. Menuntut ilmu itu, wajib bagi setiap Muslim. Kemampuan belajar dan grahita inilah, yang membedakan kita dari ciptaan Allah yang lain, dan secara langsung, berkaitan dengan konsep kehendak-bebas. Membuat-pilihan, tentu akan menjadi urusan yang serampangan bila tak terisi dengan kapasitas ilmu.
Para Ulama, telah membagi ilmu itu, menjadi dua jenis.. Yang pertama, yang wajib bagi setiap individu, mencakup pengetahuan dasar agama, termasuk keyakinan (akidah) dan praktik (sholat, puasa, sedekah, muamalah, dan sebagainya). Jenis ilmu yang kedua, ilmu yang wajib bagi sebagian masyarakat muslim, namun tak seluruhnya. Kewajiban komunal ini, akan dicabut, setelah ada anggota masyarakat yang telah memenuhinya. Misalnya, jika ada anggota masyarakat, yang telah menjadi dokter guna merawat orang-sakit, maka anggota masyarakat lainnya, dibebaskan dari tanggung jawab; jika tak ada yang jadi dokter, maka seluruh masyarakat akan dimintai pertanggungjawabannya. Kategori ini, mencakup pengetahuan rinci tentang Islam dan Syariah, kedokteran, pendidikan, teknik, dan sebagainya.

Poin-poin yang terkait dengan ilmu, perlu ditekankan bagi orangtua. Salah satu tugas utama orangtua, merawat anak-anak mereka, secara fisik, emosional, spiritual, dan intelektual. Pendidikan itu, faktor kunci dalam semua ini, dengan tujuan membesarkan umat yang sehat, berilmu, dan kuat. Mungkin bahkan lebih penting bagi kaum-wanita, karena kedudukan mereka dalam keluarga. Pengajaran bisa secara langsung, seperti lingkaran belajar di rumah atau di masjid, tetapi banyak juga, yang tak langsung, melalui model dan observasi. Seorang ibu, melalui kontak terus-menerus dengan anggota keluarga lainnya, punya potensi menjadi guru yang sangat baik. Sebagian besar, dapat dilakukan hanya dengan belajar tentang Islam dan menerapkan hikmahnya. Anak-anak belajar banyak dengan memperhatikan orang-orang di sekitar mereka, terutama orangtua mereka.

Penting dipahami bahwa, suami dan istri, menyajikan model kehidupan pernikahan kepada anak-anak mereka, serta model pola-asuh. Pemodelan ini, berpengaruh besar pada keyakinan, sikap, dan perilaku anak, yang sedang berkembang. Anak-anak, pada kenyataannya, belajar lebih banyak dengan mengamati orang-lain dibandingkan apa yang disampaikan. Oleh alasan ini, orangtua hendaknya, sangat berhati-hati tentang bagaimana mereka berinteraksi saat berada di hadapan anak-anak. Penelitian menunjukkan, misalnya, bahwa konflik antara suami dan istri, punya banyak efek negatif pada anak-anak. Konflik perkawinan, hendaknya dihindari di depan anak-anak, dan sebagai gantinya, layaknya diberikan model dialog, kompromi, dan kesabaran. Konsultasi, keberimbangan, kewajaran, dan ketenangan-batin, unsur-unsur penting bagi unit keluarga yang harmonis.

Dari perspektif Islam, kaum-lelaki dan kaum-perempuan, berfitrah spiritual yang sebanding, dan sama-sama diberi tanggung jawab sebagai wali di muka bumi. Dengan demikian, mereka punya tugas dan tanggungjawab keagamaan yang sama. Keduanya, akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat, atas keyakinan dan perbuatan mereka di dunia ini. Tiada superioritas satu jenis-gender atas yang lain. Superioritas sebagai ciptaan, sesungguhnya ditakar dari segi keshalihan dan ketakwaan.

Allah telah menetapkan peran khusus bagi kaum-lelaki dan kaum-perempuan, dalam fungsi keseharian. Keduanya berperan terhormat dan beroperasi dengan cara yang saling-melengkapi. Setiap gender telah diberikan kualitas dan sifat khusus demi memenuhi perannya masing-masing.
Kaum-lelaki sebagai pemelihara dan penyedia rumah-tangga, dan pemimpin keluarga. Kaum-perempuan, bertanggung jawab membesarkan anak-anak dan menanamkan moral dan perilaku yang benar, serta mengurus rumah tangga. Mereka juga pantas taat kepada suami, selama tak diperintahkan bertindak melawan perintah Allah. Diferensiasi peran ini, diperlukan guna berfungsinya unit keluarga secara efektif, karena Allah telah menciptakan sistem dengan keseimbangan dan keteraturan. Keluarga itu, sebuah sistem, dan berfungsi, paling efisien, saat hukum-alam dan hukum Allah diterapkan. Bila keseimbangan terganggu, manusia menanggung akibatnya.

Sebagaimana disebutkan, suami bertanggung jawab, menyediakan nafkah dan kebutuhan istri dan anak-anaknya, termasuk penyediaan pangan, pakaian, papan, dan kebutuhan dasar lainnya, sesuai pendapatan finansial dan norma sosialnya. Secara umum, ia bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kesegaran fisik mereka, yang juga memerlukan ukuran keselamatan dan keamanan. Pentingnya hal ini, tak dapat diabaikan. Ayah sebagai pemegang otoritas dalam keluarga, dan pemimpin unit keluarga. Tak ada sebuah organisasi yang dapat berfungsi efektif, tanpa seorang manajer, dan dalam keluarga, sang-ayah, pemegang peran penting ini. Intinya, bahwa ayah layak dipatuhi oleh seluruh anggota keluarga, dan ia penentu dalam segala keputusan. Namun, hal ini tak menutup kemungkinan perbincangan dan kompromi tentang hal-hal penting, tetapi sepantasnya, sang-ayah, dihormati dan dipatuhi.

Ibu, sangat dimuliakan dalam Islam, dan merupakan sarana dimana seorang wanita dapat memperoleh imbalan spiritual yang sangat besar. Allah telah menciptakan peran ini, khusus bagi kaum-wanita, sebagai bagian dari rahmat-Nya. Terhadap tujuan ini, Allah telah menganugerahkan kepada kaum-wanita, kualitas dan karakteristik unik yang diperlukan, demi pemenuhan peran ini secara efektif. Wanita cenderung lebih mengasuh, berbelas-kasih, sensitif, dan sabar: segala kualitas yang diperlukan untuk menciptakan suasana yang hangat, penuh-kasih, dan damai, di dalam rumah.

Ibu itu, karier penuh-waktu, mencakup kehamilan, melahirkan, menyusui, dan bertahun-tahun mengasuh anak. Inilah tanggung jawab yang cukup berat bagi seorang individu tanpa menambah beban tambahan karena harus menafkahi keluarga. Inilah bagian dari rahmat Allah, bahwa kaum-wanita tak diharuskan bekerja di luar rumah, demi mengais rezeki bagi anak-anak mereka. Bebannya, dalam banyak kasus, akan lebih dari yang bisa ia tanggung. Situasi yang ideal memungkinkannya, memenuhi tanggungjawab utamanya, oleh potensi terbaiknya.
Akan tetapi, ada beberapa keadaan, dimana mungkin diperlukan bagi seorang ibu, bekerja, semisal membantu keuangan keluarga atau memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya, dokter, bidan, dan guru. Yang terakhir, dianggap sebagai kewajiban komunal, yang memang harus dipenuhi oleh anggota masyarakat, agar kewajiban tersebut dapat dihapus. Dalam kasus ini, manfaatnya, selayaknya ditimbang dengan bijak, terhadap mudarat yang mungkin terjadi. Perlu diingat, bahwa tanggungjawab pribadi, lebih diutamakan daripada tanggungjawab komunal.
Dalam perspektif Islam, kaum-perempuan tak sepenuhnya dilarang bekerja, namun hal tersebut hendaknya, menjadi pembahasan dan pertimbangan yang matang, sebelum mengambil keputusan.

Pendidik yang tercerahkan dan moderat, selalu mencari sarana pendidikan yang efektif, dan dasar mempersiapkan anak-anak secara religius, moral, pendidikan, psikologis, dan sosial, yang bertujuan membantu anak-anak, mencapai tingkat keparipurnaan, kedewasaan setinggi mungkin, rasionalitas, dan keseimbangan.
Tetapi apa sarana dan dasar pendidikan yang efektif untuk mendidik anak-anak ini? Ada lima,
  • Pertama, pendidikan dengan panutan yang baik. Keteladanan yang baik, sangat efektif dalam membantu membentuk kembali, anak yang bandel. Jika pendidiknya, hangat, jujur, mulia, dan tulus, anak-anak akan dibesarkan dalam kebenaran, kejujuran, moralitas, keluhuran, dan kesucian. Namun, jika pendidiknya, tak jujur, khianat, amoral, kikir, pengecut, atau jahat, anak-anak akan dibesarkan dalam kebohongan, pengkhianatan, imoralitas, kepengecutan dan kekejaman.
  • Kedua, pendidikan dengan membentuk kebiasaan yang bermanfaat. Peran kebiasaan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik dalam membesarkan anak, dengan tauhid yang murni, sopan-santun, kebajikan, dan aturan syariat Islam, sangatlah penting. Tak ada keraguan, jika seorang anak punya dua faktor yang tersedia baginya, yaitu pendidikan Islam yang bagus, dan lingkungan yang shalih, ia akan dibesarkan dengan keyakinan yang benar, dan ia akan menikmati perilaku Islami, dan akan mencapai puncak kebajikan dan sifat-sifat kepribadian yang mulia.
  • Ketiga, pendidikan dengan nasehat yang bijak. Salah satu cara yang paling penting dan efektif membesarkan seorang anak pada keyakinan dan mempersiapkannya secara moral, psikologis, dan sosial, dengan cara mengingatkan dan menasihatinya. Pengaruh nasehat dan bimbingan, sangat besar, dan menarik perhatian anak pada realitas segala sesuatu, mengarahkannya kepada hal-hal yang luhur, mengembangkan akhlak yang mulia, dan mencerahkannya tentang prinsip-prinsip Islam. Maka tak heran, bahwa Al-Qur'an Mulia menerapkan metode ini, dan membahas jiwa manusia dalam istilahnya, dan mengulanginya dalam banyak ayatnya, pada beberapa ayat yang serupa dengan bimbingan dan nasehat.
  • Keempat, pendidikan dengan observasi atau pengamatan. Makna pendidikan dengan pengamatan, memelihara kepercayaan dan pembentukan moral anak, mengamatinya dalam keadaan psikologis dan sosialnya, dan secara terus-menerus mengamati tentang pendidikan jasmani dan kemajuan belajarnya. Tiada keraguan bahwa pendidikan seperti ini, salah satu dasar yang paling kokoh dalam membentuk manusia yang seimbang dan terintegrasi, yang menunaikan segala haknya, yang sepenuhnya memikul tanggung jawabnya, dan yang menjadi seorang Muslim sejati. Muslim seperti ini, batu-penjuru dalam membangun dasar Islam yang kokoh, yang dengannya, kejayaan Islam didirikan, dan dimana dasar-dasar Islam membuahkan hasil. Sesungguhnya Islam itu, sarana peradaban.
  • Kelima, pendidikan dengan hukuman yang sesuai. Pendidik perlu menggunakan hikmah dalam memberikan hukuman, dan memilih metode yang paling tepat. Hukuman yang diberikan oleh orangtua atau pendidik, dalam hal kuantitas, kualitas, dan metode, berbeda dengan yang diberikan kepada masyarakat umum. Berikut cara Islam, jika memang perlu menghukum anak,
  • - Memperlakukan anak, pada dasarnya, dengan penuh-kelembutan dan kasih-sayang;
    - Memperhatikan sifat anak yang akan dihukum;
    - Gradasi dari hukuman yang lebih ringan, ke hukuman yang lebih berat.
[Bagian 2]