Jumat, 11 Juni 2021

Kepalangnya Netralitas

Goldfinch melangkah maju, beserta goyangan-itik dan kicau yang mengesankan, ia bersenandung,
 
Pandanglah paras ini, kukenali menampak bayanya
Pandanglah hayat ini, kutak celik kemana haluannya
Kutak sungguh tahu, namun kutahu engkaulah yang kucintai
Barangkali, cuma itu yang perlu kupahami

Pandanglah kedua-mata ini, seolah tak pernah peduli
Pandanglah khayal ini, sungguh kacau dan curai
Kutak sungguh tahu, namun kutahu engkaulah yang kucintai
Barangkali, cuma itu yang perlu kupahami
Kemudian, Profesor Nightingale berbicara, "Duhai saudara-saudariku! Berekspresi itu, nikmat dari Allah. Berekspresi berarti suatu tindakan, proses, atau sarana, mengungkapkan sesuatu ke dalam kata-kata, atau raut-wajah, yang dianggap sebagai gelagat suasana-hati atau perasaan. Bisa juga, serangkaian huruf yang dapat dilafalkan, yang bermakna tertentu, terutama dalam bidang tertentu, atau rangkaian kata, yang memiliki arti tertentu. Ekspresi diungkapkan dengan artikulasi, rumusan, frasa, pernyataan, ujaran, verbalisme, suara, susunan-kata, dan masih banyak lagi.
Kemampuan mengekspresikan-diri sepenuhnya, meningkatkan kesejahteraan mental dan membantu kita, terhubung dengan kesejatian-diri kita, serta menjadikannya lebih seimbang, dan bahagia dalam bathin. Saat kita sungguh mengekspresikan diri, kita dapat menjelajahi perasaan dan emosi, apa yang ada di dalam bathin, dibanding lahiriah kita, yang kita tampakkan pada dunia. Mengekspresikan-diri, dapat bermakna mengekspresikan identitas, menjadikan diri diperhatikan, ketegasan, kreativitas, atau bahkan, individualisme.

Allah mendorong manusia, agar bersuara bagi dirinya sendiri, dan berekspresi. Berbagi dan menunjukkan perasaaan, sungguh merupakan anugerah, namun Allah memerintahkan manusia, agar bersuara atau membela-diri. Allah berfirman,
اَلرَّحۡمٰنُۙ عَلَّمَ الۡقُرۡاٰنَؕ خَلَقَ الۡاِنۡسَانَۙ عَلَّمَهُ الۡبَيَانَ
"Ar-Rahman, Yang telah mengajarkan Al-Qur'an, mencipta insan, mengajarinya Al-Bayaan." [QS. Ar-Rahman (55):1-4]
Jika engkau mendasarkan berekspresi itu, pada sudut pandang manusia, maka pentingnya ekspresi-diri, akan bervariasi, tergantung pada daerahmu, dan budaya tempatmu menetap. Lantaran itulah, sebagai Muslim, sebelum mengekspresikan diri, ilmu tentang apa dan bagaimana berekspresi, didasarkan pada perintah Allah, serta teladan dan sikap Rasul-Nya (ﷺ). Percayalah, tiada manusia, yang dapat menghakimi berekspresi dengan benar, kecuali dengan Hikmah Allah.
Penciptaan manusia itu, anugerah termegah Allah, dan dalam tatanan alamiah segala sesuatu, ia yang pertama dan terutama, sedemikian rupa, sehingga bahkan memberikan ilmu tentang Al-Qur'an, yang disebutkan pertama, hanya dapat terjadi setelah penciptaannya. Namun, karunia ilmu Al-Qur'an disebutkan pertama, dan penciptaan manusia kemudian, karena tujuan mendasar dari penciptaan manusia, memberikan kepadanya ilmu Al-Qur'an, dan baginya, mengikuti petunjuknya. Sesungguhnya, beribadah dan beramal shalih tanpa tuntunan Ilahi, mustahil, karena sumber hidayah Ilahi itu, Al-Qur'an. Jadi ilmu Al-Qur'an disebutkan sebelum penciptaan manusia.
Setelah manusia tercipta, karunia yang tak terhitung jumlahnya, dianugerahkan kepadanya, di antaranya, diletakkan ilmu tentang berekspresi, disebutkan secara khusus, karena karunia yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia, dan keberadaan dan kelangsungan hidupnya, laksana makanan dan airnya, perlindungannya terhadap dingin dan panas, pengaturan tempat tinggalnya dan sebagainya, karunia dimana segala makhluk itu, mitra yang setara. Di antara karunia yang khas bagi manusia, ilmu Al-Qur'an disebutkan pertama, dan diikuti oleh ilmu berekspresi, karena mengambil manfaat dari Al-Qur'an, dan membagikannya kepada orang lain, tergantung pada ilmu tentang berekspresi. Kata "Bayaan"—cara mengekspresikan diri—memahami semua alat komunikasi ciptaan Allah, seperti ucapan, tulisan, dll. Bahasa dan dialek berbagai bangsa di berbagai wilayah di dunia ini, beragam. Semua ini, bagian penyusun dari ilmu linguistik dan segala jenisnya, memungkinkan umat manusia mengetahui bagaimana menyapa orang-lain di antara mereka, yang sebaya dan sederajat. Adapun orang-orang yang beriman dan berilmu, ucapan mereka itu, ilmu mereka tentang cara menyapa Rabb-nya, dan ini berbeda-beda derajatnya. Ada yang berbicara kepada-Nya dengan lidah, ada yang dengan napas, dan beberapa yang berbicara kepada-Nya dengan air-mata, sedang yang lain, menyeru-Nya dengan rintihan dan desahan.

Allah menunjukkan tanda-tanda bagaimana berekspresi. Allah berfirman,
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
"Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya). Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan mizan, agar kamu jangan merusak mizan itu, dan tegakkanlah mizan itu dengan adil, serta janganlah kamu mengurangi mizan itu." [QS. Ar-Rahman (55):5-9]
Dua benda langit, matahari dan bulan, termasuk karunia Allah. Seluruh sistem di dunia ini, bergantung pada pergerakan benda-benda ini dalam orbitnya, dengan urutan yang sempurna, menurut perhitungan yang tepat, yang tak pernah tertunda atau terganggu. Kedua benda ini, yang menjadi sandaran seluruh hidup manusia, berjalan di jalur yang tetap. Mereka tunduk pada aturan tertentu, dan mereka melakukan tugas-tugas mereka secara teratur, tepat waktu dan tak pernah keliru—pergantian siang dan malam, pergantian musim dan penentuan tahun dan bulan.
Semuanya bersujud kepada Allah. Sujud itu, simbol tertinggi kerendahan-hati, penghormatan, penyerahan-diri dan cinta tanpa syarat, serta ketaatan kepada Allah. Segala sesuatu, dari benda angkasa terbesar hingga tumbuhan terkecil, tunduk pada hukum-hukum-Nya, yang terwujud dalam jagat-raya. Sedikit saja gangguan atau penyimpangan dari arah yang telah ditentukan, akan merontokkan seluruh alam-semesta, yang telah diciptakan bagi pelayanan manusia. Oleh sebab itu, takkan mungkinlah, bahwa manusia, yang hanya untuk melayaninya saja, alam semesta yang luas dan rumit ini, diatur dengan sempurna, dicipta tanpa ada tujuan.

Allah juga telah menegakkan langit. Hal ini dapat bermakna yang jelas atau lahiriah, yang mengacu pada ketinggian fisik langit, dan bisa juga, bermakna metaforis, mengacu pada status tinggi langit. Dalam kaitannya dengan bumi, langit menempati posisi yang lebih tinggi. Biasanya, bumi dipahami sebagai kebalikan dari langit. Dari sudut pandang ini, langit dan bumi diperlakukan sebagai kebalikan dan disebutkan di seluruh Al-Qur'an. Setelah menggambarkan ketinggian langit, Al-Qur'an selanjutnya menggambarkan bahwa Allah mengatur keseimbangan, tetapi 'menempatkan skala' berhadapan dengan 'menaikkan langit,' seolah tak membentuk pasangan yang sesuai menurut norma linguistik.
Di antara keduanya, faktor ketiga—yakni menempatkan mizan atau keseimbangan—disisipkan sebagai pertimbangan yang bijak. Kebijaksanaan dalam hal ini, tampak terletak pada kenyataan bahwa ayat-ayat yang mengikutinya, menekankan pada penegakan keadilan dan kejujuran. Pelanggaran-hak dan praktik ketidakadilan, tak diperbolehkan. Ini menyiratkan, bahwa tujuan akhir penciptaan langit dan bumi itu, menegakkan keadilan, perdamaian dan keselarasan. Kedamaian, keselamatan, keamanan, dan kerukunan, tak dapat terwujud di muka bumi ini, tanpa menegakkan keadilan. Tanpa keadilan, kekisruhan, kekacauan, keonaran dan kerusakan, akan berkuasa di seluruh negeri.

Allah juga mencipta mizan di antara manusia, agar mereka dapat saling-berekspresi dengan benar. Maka, bersikaplah sepadan dalam segala urusan, memperhatikan hak-hak manusia dan hak-hak Allah. Hal ini membutuhkan keadilan, dan meninggalkan ketidakadilan dan pelanggaran, dalam segala hal. Dengan perbuatan, ia membutuhkan keikhlasan. Dengan keadaan, ia membutuhkan kebenaran. Dengan kehidupan, ia membutuhkan pengamatan realitas, konsistensi dalam karakter publik dan pribadi seseorang, dan menjauhkan-diri dari sanjungan, pengkhianatan, penipuan, kemusyrikan, kemunafikan dan sikap-ambigu. Timbanglah barang milik orang lain, dengan cara yang engkau ingin mereka timbang untukmu, dalam ukuran penuh tanpa pengurangan.

Perhatikan apolog berikut,
Konon, di sebuah kawasan, ada masyarakat satwa-liar, sebut saja, Negeri Haywanah, ingin dikenal namun tak terkenal, sebagai negeri demokrasi termuda dan terpadat di dunia. Lantaran berjibun dan beragamnya penduduk di negeri tersebut, dapat dimaklumi, pelaksanaan demokrasi, terhambat kemajuannya, sebagai akibat dari berbagai bentuk Malpolitik, antara lain suap, melobi, pemerasan, kronisme, nepotisme, parokialisme, patronase, perdagangan barang ilegal dan pencucian uang-haram, sogok, dan penggelapan. Namun, negeri menghadapi masalah yang lebih rumit, menjaga kepercayaan publik, menjadikannya semakin menakutkan. Sangat jelas, bahwa semuanya bersumber dari dalam, menyebar, meluas dan merajalelanya Korupsi. Setiap warga, telah merasakan pengalaman ini, yang telah bertumbuh-kembang jadi budaya, dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pejabat penegak hukum terendah, hingga hierarki tertinggi dalam sistem pemerintahan.
Uang dan kekuasaan, berbicara dalam budaya yang mengerikan ini—diberi label "Para Bajingan Peradilan," kejahatan yang terorganisir dan menjijikkan—karena suap berjaya, terdakwa dapat menyuap Jaksa agar menolak dakwaan terhadap mereka, atau sebaliknya, mereka yang melaporkan kejahatan, menyogok aparat-hukum, agar mengusutnya lebih intensif, atau merayu hakim atau pejabat-pengadilan, demi memutarbalikkan suatu sengketa tertentu. Bahkan tanpa dorongan uang pun, mereka yang berkuasa, mampu menyetir jaksa, bahkan saksi, bertindak sekehendaknya. Mereka yang tak berpunya, sangat dirugikan, meski persidangan belum dimulai.

Orang yang pernah merusak pamornya dengan ketidakjujuran, di masa-depan, takkan dipercaya lagi, meski kelak, ia hendak berkata jujur. Seyogyanya, manusia menjadikan pernyataan ini, sebagai penghalang kebohongan dan keculasan. Siapapun yang tercium berlaku tidak-jujur, walau dengan alasan tak-sadar atau tergoda, namun diketahui publik, akan selamanya dibenci oleh koleganya, yang jujur ​​dan bijak. Dan walaupun, ia mungkin lolos dari segala jerat-hukum, dari hukum negeri tempatnya tinggal, namun semua yang mengenalnya, akan mengutuknya dalam hati, tanpa memaki atau mencercanya, dan selamanya, menganggapnya sebagai penjahat, dan orang yang patut dikucilkan. Kecurangan dan kelicikan, mungkin terkadang, diteruskan dan dikerahkan dalam bagian terkonyol umat manusia; namun para pembuat makar seperti ini, apapun keuntungannya, yakinlah, akan memperoleh sedikit atau tak ada sama sekali kehormatan oleh apa yang telah mereka lakukan; dan dapat terdeteksi dan terekspos, bahkan oleh para pekerja-alit dimana ia mempraktikkannya.
Orang jujur dan adil, yang berimbang dan lurus dalam urusannya, takkan diabaikan kehebatannya oleh semua orang, dan takkan mau mengubah setiap negosiasi menjadi keuntungan pribadi, di atas kehormatan dan kemuliaannya. Seorang bajingan bisa punya kesempatan, dan mungkin tak hirau, berhasil sekali-dua-kali, dan itulah bagian durjana dari umat manusia; sedang orang yang jujur, yakin akan selalu dipercaya dan dihormati, dan semua itu, oleh orang bijak dan baik.

Tuan Serigala, sang jaksa penuntut umum, atas nama kliennya, menuntut Tuan Rubah, melakukan kejahatan-berat. Namun entah mengapa, tuntutan yang sepatutnya 12 tahun, oleh Tuan Serigala, hanya dituntut setengahnya, 6 tahun. Di pengadilan tingkat pertama, hukuman dijatuhkan, Tuan Rubah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara.
Tuan Rubah memohon perubahan formal atas keputusan resmi tersebut, Pengadilan Banding. Yang mulia, Tuan Kera, ditunjuk sebagai hakim khusus bagi kasus ini. Tuan Rubah memberikan jawabannya atas tuduhan Tuan Serigala, dan menyangkal faktanya. Akhirnya, setelah sidang yang cukup alot di kedua-belah-pihak, Yang mulia, Tuan Kera, memberikan penilaiannya.
Yang mulia Tuan Kera, berkata, "Aku berpendapat bahwa engkau," katanya kepada Tuan Serigala, "Tak pernah kehilangan barang yang engkau tuntut." "Dan untuk engkau," ia berpaling ke Tuan Rubah, "menurut pendapatku," katanya, "Telah mengambil apa yang menjadi bebanmu, setidaknya." Yang mulia, dengan cengkoknya, melanjutkan, "Tapi jangan khawatir, aku tahu apa yang kalian cari, seperti yang disampaikan kepadaku. Maka, keputusanku, Tuan Rubah, tak terbukti bersalah dan dibebaskan dari segala dakwaan." Dan dengan demikian, sidang dibubarkan.
Wow! Sungguh keputusan yang mencengangkan, namun tak berpihak pada rakyat, melainkan pada "Para Bajingan Peradilan." Nah, semoga, seorang Hakim yang jujur dan adil, melihat dengan jelas, orang-orang macam apa, yang telah menyita perhatiannya, dan seyogyanya, menunjukkan rasa-muak yang pantas pada muslihat-jahat dari para penggugat dan tergugat, untuk memutuskan dan menegakkan keadilan terhadap orang-orang yang berseteru, yang bersekongkol melakukan kehinaan dan kejahatan, dan sama-sama khianat, menipu, menyalahgunakan, dan mungkin juga, saksinya punya sifat yang setara dengan mereka."
Sang profesor melukiskan, "Mencintai itu, mengalir. Jatuh-cinta itu, memahami cinta yang mencintaimu. Duhai kebenaran, kami tak mencintaimu, melainkan mencarimu. Duhai kebenaran, mengejarmu, penjelajahan yang menyenangkan. Melacakmu, pecahkan ihwal sebelum ia termakbul. Bahagia itu, jalan-lepas, sanubari kita merindunya. Akan tetapi, oleh keegoisan segelintir manusia, tak ingin yang lain, ceria. Ihtimal mengubah kita. Dengan segala taazur ini, lalu kita mengalami, kepalangnya netralitas. Wallahu a'lam."
Dan lantunan Goldfinch pun, mengalun,
Berlimpah tanya, berdiam tak terbalas
Berjebah, tak pernah mampu kuterabas
Saat kuterasa engkau dekatku, terkadang, kuterawang nyata
Semengga hakikat yang kumafhum, engkau dan aku jua

Pandanglah lelaki ini, sungguh terahmati oleh gerak-hati
Pandanglah bathin ini, bersisa merayau damai
Kutak sungguh tahu, namun kutahu engkaulah yang kucintai
Barangkali, cuma itu yang perlu kupahami
Bisa jadi, itu jualah yang usah kuketahui
Kutipan & Rujukan :
- Maulana Mufti Muhammad Shafi', Ma'ariful-Qur'an, Volume 8, Darul Uloom
- De J. La Fountaine, Fables, A Paris
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco