"Apa itu Etika?" bertanya sang Pungguk, mencari jawaban. Rembulan menanggap, “Secara umum, Etika itu, cabang filsafat, yang membahas masalah moral, tentang apa yang baik dan buruk; benar dan salah; mulia dan bajik; terpuji atau tercela. Secara khusus, etika normatif itu, studi tentang pendekatan pragmatis, agar sampai pada pedoman moral. Meskipun kebanyakan orang tak menganggap Etika sebagai agama—setidaknya bukan dalam makna yang sebenarnya, dan spiritual—pada dasarnya, etika itu, saling-melengkapi dengan banyak agama, dalam berbagai aspek."
"Lantas, bagaimana Etika dalam perspektif Islam?" sang Pungguk ingin tahu. Rembulan menjawab, "Bagi seorang Muslim, masalah moralitas—haq dan bathil—tak diserahkan kepada standar suka-suka manusia. Ia digantikan oleh masalah kepatuhan yang lebih mulia, lebih bermakna, dan lebih adil, kepada Sang Pencipta, berkenaan dengan apa yang telah Dia tetapkan menjadi halal dan haram. Hal inilah, yang mengangkat status para Muslim, namun tak menghalangi Etika itu, malahan, menetapkan standar etika bagi mereka.
Islam dimulai dengan tujuan yang jelas, berbuat kebaikan: beribadah kepada Allah, yang merupakan tujuan utama manusia diciptakan. Allah telah berfirman,
وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ مَآ اُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ
'Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu, bermanfaat bagi orang-orang mukmin. Aku tak menciptakan Jin dan Manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka, dan Aku tak menghendaki, agar mereka memberi makan kepada-Ku.' [QS. Az-Zariyat (51):55-57]
Sebaliknya, bidang Etika Sekuler, sekadar menganjurkan 'berbuat baik demi berbuat kebajikan.' Allah telah memperingatkan kita tentang kewajiban hampa seperti itu, khususnya kesia-siaan berbuat baik demi mencari apapun selain keridhaan-Nya,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ وَلِقَاۤىِٕهٖ فَحَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَزْنًا ذٰلِكَ جَزَاۤؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوْا وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَرُسُلِيْ هُزُوًا
'Katakanlah (Muhammad), 'Perlukah Kami beritahukan kepadamu, tentang orang yang paling rugi perbuatannya?' (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itulah, orang yang mengingkari ayat-ayat Rabb mereka, dan (tak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal mereka, dan Kami tak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka, pada hari Kiamat. [QS. Al-Kahf (18):103-106]
Sangat terang, bahwa Islam dan Etika Sekuler, tak semata pendekatan yang dapat dipertukarkan, agar hasil yang sama mencapai landasan moral yang lebih tinggi. Islam memberikan tujuan perilaku etis, sedangkan Etika Sekuler, merintangi tujuan hidup. Islam menentukan aturan hukum, sementara Etika Sekuler, berusaha mengembangkan Kode Moral Universal. Dengan demikian, Islam jelas lebih unggul daripada Etika Sekuler.
Khusus dalam konteks Etika Bisnis, Islam bisa dibilang, memberikan sikap epistemologis yang lebih baik. Untuk membuktikannya, kita akan menggunakan contoh CSR (Corporate Social Responsibility).
Apa itu CSR? Lebih mudah menjelaskan dengan contoh daripada memberikan definisi teknis. Ketika sebuah Rumah Sakit mensponsori klinik gratis di lokasi dalam kota; perusahaan telepon seluler besar turut dalam program kebersihan kota; atau bank menawarkan beasiswa kepada siswa yang membutuhkan, semua itu, berkenaan dengan kegiatan CSR. Secara umum, CSR mengacu pada perusahaan yang melakukan sesuatu yang positif, guna kesejahteraan masyarakat. Banyak perusahaan berada di bawah tekanan yang semakin meningkat—dari semua orang, mulai dari konsumen hingga pembuat Undang-undang—demi meningkatkan CSR mereka. Walau tanpa perlu analisis, bisa disimpulkan bahwa, CSR, yang melibatkan perilaku etis tingkat perusahaan, tiada lain selain kebajikan.
Namun, ketika CSR pertama kali muncul hampir empat puluh tahun yang lalu, Milton Friedman—Peraih Nobel bidang Ekonomi—sangat menentangnya. Ia bahkan merekomendasikan agar diambil langkah-langkah hukum demi mencegah para manajer, turut-serta dalam kegiatan CSR. Alasannya cukup sederhana; ia berpendapat, bahwa para manajer, tak boleh mengganggu tujuan maksimalisasi keuntungan perusahaan dengan memaksakan CSR, karena perusahaan dan masyarakat, akan lebih kaya dengan perusahaan yang sukses. Meskipun pendirian Friedman bertahan hari ini di antara pendukung setianya, sebagian besar para manajer dan anggota masyarakat lainnya, telah menganut CSR. Anehnya, para peneliti Etika, belum mampu menjelaskan secara akurat, mengapa demikian.
Jelas, bahwa ada banyak bagian yang hilang dalam teori CSR, dimulai dengan kurangnya definisi CSR yang akurat. Secara khusus, sungguhkah sebuah perusahaan melakukan kebajikan jika dimotivasi oleh keuntungan? Haruskah perusahaan ikut berperan dalam CSR jika tak menguntungkan? Jika demikian, berapa keuntungan yang semestinya dikorbankan, dan tingkat dukungan apa yang akan diberikan kepada CSR? Lebih besarkah hasil positif dari CSR dibanding inefisiensi yang ditimbulkannya, lantaran beberapa sumber daya perusahaan digunakan guna aktivitas yang tak sesuai, demi mengoptimalkan produksi barang atau jasa perusahaan?
Selagi studi dalam Etika Bisnis sekuler, belum menghasilkan teori CSR yang lengkap, yang menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Islam memberikan segala jawaban, serta pedoman normatif yang sempurna. Pendekatan Islam, lebih unggul dari pendekatan sekuler, oleh dua alasan. Pertama-tama, Islam dengan tepat mempertahankan perbedaan tingkatan antara perusahaan-perusahaan dan para manajer. Islam memberlakukan pembatasan secara eksplisit pada individu, dan hanya secara implisit pada perusahaan—karena perusahaan itu, kumpulan orang dan aktivitas mereka. Dengan demikian, Islam tak memaksakan perilaku etis tingkat perusahaan. CSR tak secara eksplisit didorong atau dilarang dalam Islam. Alhasil, pendekatan Islam, bahkan tak tunduk pada pertanyaan yang melumpuhkan pendekatan sekuler terhadap Etika Bisnis, yaitu: mengapa perusahaan harus turut-serta dalam kegiatan CSR yang tak menghasilkan keuntungan, terutama ketika tak dapat 'merasakan' binar kehangatan?
Kedua, Islam mempertanyakan setiap perilaku yang tampak etis pada bagian individu atau ciptaan, yang tak termotivasi oleh peribadahan kepada Allah sebagai Pencipta mereka, karena perbuatan itu, dinilai berdasarkan niat. Sebaliknya, pendekatan Etika Bisnis sekuler, mendorong para manajer—dan, anehnya, perusahaan, yang bukan manusia—agar turut dalam perilaku etis, dengan menyarankan imbalan seperti keuntungan atau kebanggaan. Isu tentang pengesahan CSR yang berorientasi pada keuntungan, atau moralitas tipu-muslihat tingkat perusahaan, takkan ada dalam Islam.
Terlepas dari kenyataan bahwa Islam mengatur tanggungjawab sosial bagi individu, dan bukan pada tingkat organisasi, perusahaan, yang dipimpin oleh para manajer dan pemilik perusahaan yang Muslim, akan mempraktikkan apa yang bisa dibilang sebagai praktik bisnis yang paling bertanggung jawab secara sosial—dan mudah mengetahui alasannya.
Islam menganjurkan bersedekah, dan para sahabat teladan Nabi kita tercinta (ﷺ), menetapkan standar yang sangat tinggi dalam praktik sedekah mereka. Dengan demikian, para pemilik perusahaan yang Muslim, yang takut kepada Allah dan mencari berkah-Nya, akan mengorbankan dividen, demi moral. Keuntungan yang hilang ini, yang tak ternoda oleh pemasaran atau motif keuntungan lainnya, dapat dikelola secara efisien, yang mengarah ke tingkat CSR tertinggi. Selain itu, para manajer Muslim yang takut kepada Allah, akan memastikan bahwa, aktivitas perusahaan tidaklah zhalim atau curang.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, penduduk dilanda kekeringan. Mereka menemuinya dan berkata, 'Langit belum turun hujan, dan bumi belum bertumbuh. Semua orang sedang mengalami kesulitan yang berat.' Abu Bakar berkata, 'Pulanglah, dan bersabarlah, karena malam takkan turun sampai Allah, Yang Maha Pemurah, menganugerahkanmu, kelapangan.'
Tak lama kemudian, para pedagang 'Utsman kembali dari Syam dengan membawa seratus unta membawa gandum—atau makanan. Para penduduk pergi ke rumahnya dan mengetuk pintunya.
'Utsman, radhiyallahu 'anhu, keluar menemui sekelompok orang dan bertanya, 'Hendak apa kalian ke sini?' Mereka menjawab, 'Kami sedang melalui masa-masa kekeringan; langit belum hujan dan bumi belum bertumbuh. Masyarakat sedang mengalami kesulitan yang berat, namun kami telah mendengar bahwa engkau punya makanan. Juallah sedikit kepada kami. Sehingga kami dapat membagikannya kepada Muslim yang miskin dan membutuhkan.'
'Utsman berkata, 'Silahkan, selamat datang! Masuk dan belilah!' Mereka masuk dan menemukan makanan telah menanti di sana. Utsman berkata, 'Wahai para saudagar, berapa banyak yang akan kudapatkan dengan menjual barang daganganku dari Syam kepadamu?' Mereka menawarkan, 'Kami memberimu dua belas untuk sepuluh.' 'Utsman menjawab, 'Mereka menawariku lebih banyak.' Mereka berkata, 'Lima belas untuk sepuluh.' 'Utsman menjawab, 'Mereka menawariku lebih banyak.' Sekarang para pedagang berkata, 'Abu 'Amr, tak ada pedagang yang tersisa di Madinah selain kami! Siapa yang menawarimu lebih banyak?' Ia menjawab, 'Allah Subhanahu wa Ta'ala, menawarkanku sepuluh untuk setiap dirham. Ada lagi yang engkau punya?' Mereka berkata, 'Demi Allah, tidak!' Ia menyatakan, 'Kalau begitu, aku bersaksi bahwa aku telah memberikan makanan ini sebagai sedekah, kepada umat Muslim yang miskin dan membutuhkan.'
Oleh sebab rekomendasi dari Allah, Islam memberikan solusi bagi setiap krisis etika, sehingga umat Islam, tak perlu menggunakan sumber lain di luar Islam, guna belajar tentang moralitas atau filosofinya. Cukup mengejutkan bahwa umat Islam, kini telah melupakan hal ini, dan berusaha mempelajari moralitas dari pendekatan sekuler. Mengapa mereka memilih pendekatan yang lebih rendah dibanding yang lebih unggul?
Sebuah Kode Etik Universal yang dirancang di kalangan sekuler, mungkin bertentangan dengan Islam. Oleh karenanya, bagi umat Islam, mengenai Etika tersebut: Jika sesuai dengan Islam, boleh diterima; jika bertentangan dengan Islam, tolaklah. Ada beberapa pedoman khusus guna menerapkan prinsip umum ini.
Pertama, menimba ilmu tentang Islam. Pada kenyataannya, Etika Sekuler itu, artifisial dan bernafsi-nafsi, sedangkan perbuatan yang diridhai Allah itu, perbuatan yang paling mulia. Sebagai bagian dari Etika, umat Islam hendaknya, terlebih dahulu mendapatkan ilmu tentang Islam. Tawakkal yang benar itu, bertakwa; meninggalkan yang haram, mengamalkan yang halal, yakin kepada Allah, dan ridha dengan apa yang telah ditetapkan Allah.
Kedua, menggalakkan Etika melalui Islam. Umat Islam seyogyanya tak menentang moralitas; sebaliknya, mereka sepantasnya, mempromosikannya. Mereka juga, hendaknya senantiasa ingat akan kewajibannya, berdakwah dalam jalan Islam. Dengan demikian, masalah Etika, dapat digunakan oleh umat Islam yang berilmu, guna menggarisbawahi kebenaran Islam, dengan menunjukkan Kode Etik paripurna, yang dianjurkan dalam agama ini, sebagaimana ditentukan oleh Allah, dan dengan mendorong orang lain agar merenungkan keagungan agama Allah.
Ketiga, merancang proyek CSR yang mencerminkan Etika Islami. Saat ini, ada banyak masalah sosial yang dapat diatasi oleh perusahaan-perusahaan melalui CSR. Para manajer, hendaknya menggunakan kearifan mereka, menyatakan kewajiban mereka kepada Allah, dan memilih proyek yang paling tepat. Sebagai contoh, perusahaan dapat mensponsori inisiatif Kredit Mikro untuk menggantikan Riba, dimana proyek-proyek yang ada, bergantung pada pendanaannya. Ini bisa menjadi upaya CSR yang bermakna, yang membantu menaklukkan Riba.
Terakhir, berupayalah meningkatkan taqwa. Umat Islam seyogyanya selalu sadar, ingat akan Allah, takut akan Dia, dan mencamkan bahwa, Dia, Subhanahu wa Ta'ala, selalu mengawasi dan mengetahui.