Selasa, 28 September 2021

Murari dan Hari Hara (2)

Rembulan menyambung, "Sesungguhnya, yang halal itu, telah jelas, dan yang harampun, telah jelas. Sedangkan di antaranya, ada urusan yang syubhat—ambigu—yang kebanyakan manusia, tak mengetahui hukum-Nya. Barangsiapa yang menghindari persoalan syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam ihwal yang syubhat, maka ia telah lingsir ke dalam masalah yang haram. Ibarat penggembala yang berada di dekat tembok larangan—milik orang lain—dan dikhawatirkan, ia akan masuk ke dalamnya. Sesungguhnya, bahwa setiap raja memiliki larangan—undang-­undang. Dan sungguh, bahwa larangan Allah itu, apa yang diharamkan-Nya."

Rembulan kemudian diam sejenak, dan memberitahu Pungguk, "Tahukah engkau? Aku serasa, ingin menyampaikan sebuah cerita kepadamu. Berkenankah engkau mendengarkan ceritaku?" Bergegas, Pungguk menukas, "Tentu saja, sampaikanlah padaku!"
"Jadi," jawab Rembulan, "Ceritanya, tentang Dua Maling!" berkata Rembulan. "Para maling keji dan kejamkah?" Pungguk bereaksi. "Tidak juga! Mereka hanya ditaklukkan oleh egonya, sehingga perilaku mereka terlihat konyol, dan pantas ditertawakan," jawab Rembulan, tersenyum, saat ia memulai.
Dalam bahasa para insan, sepasang Maling, Murari dan Hari Hara, mengetahui seekor Anak Sapi, tersimpan dalam sebuah kandang Sapi, telah mencanangkan untuk mencolongnya, dalam gelap-malam. Mereka mengumpulkan informasi dari warga sekitar, mengenai lokasi dan kondisi anak sapi tersebut. Seorang warga bertanya kepada Murari, 'Mengapa engkau menanyakannya?' Murari menjawab, 'Aku hanya khawatir, bukankah, menyayangi satwa itu, menggalakkan akhlak yang baik?' Sang penanya mengangguk, dan bertanya kepada Hari Hara, 'Dan engkau, mengapa?' Hari Hara, agak bingung, namun dengan rupa serius, berkata, "Bukan apa-apa, cuma berasal dari sifat manusiawiku. Sebenarnya, aku tak ingin mengatakannya, kan jika tangan kanan beramal, tangan kiri seharusnya tak tahu?' Sang penanya berlalu, manggut-manggut. Setelah itu, mereka menetapkan tengah malam, bertemu di tempat yang diinformasikan, guna menyelesaikan rencana bangor mereka.

Disepakati, salah seorang dari mereka, Murari, berjaga-jaga di luar, sementara yang lain, Hari Hara—yang tubuhnya kekar dan kuat, sebab ia dulu bertugas sebagai Satpam—masuk ke dalam kandang, dan mengangkat sang Anak Sapi keluar dari jendela.

Pada malam yang diusulkan, mereka menuju ke tempat dimaksud, dan salah satunya—yaitu Hari Hara, sesuai kesepakatan—masuk lewat jendela kandang Sapi, sementara Murari, yang tetap berjaga-jaga, mulai was-was, oleh sebab rasa takut ketahuan, mendesak sahabatnya, agar bergegas secepat mungkin; akan tetapi, Hari Hara, yang berada di dalam, menjawab bahwa karena sang satwa sangat berat, dan tak dapat dikendalikan, ia tak sanggup mengangkatnya, apalagi membopongnya ke jendela.

Murari, dengan sumpah-serapahnya, menjawab, 'Aku yakin, pastilah itu, iblis dari dirimu sendiri, yang perlu engkau atasi.' Namun Hari Hara menjawab, 'Sekarang, aku bahkan tak dapat keluar, binatangnya, memegangku sangat erat.' Sang sobat, Murari, karena tak bisa lagi menahan rasa takut, terbirit-birit, dan meninggalkan Hari Hara, menjalani nasibnya.

Di kejauhan, para warga menyaksikan dan tertawa terpingkal-pingkal, melihat kelakuan dua Maling malang itu. Lalu, apa sih yang sebenarnya terjadi? Setelah Murari dan Hari Hara menanyakan tentang sang Anak Sapi, para warga, merasa curiga.

Faktanya, begini: sang Anak Sapi, telah dipindahkan dari kandang segera setelah para Maling melihatnya di sana, mereka menempatkan seekor Beruang, yang akan dibawa ke kota sebagai pertunjukan; dan dengan satwa gedhe inilah, Hari Hara menemui dan mengalami kenestapaannya, lantaran, sang Beruang, terus merangkulnya kuat-kuat, sampai pagi saat ia ketahuan oleh warga dan dibawa ke penjara.

Murari, yang menunggu di tempat persembunyian, semakin khawatir, karena sobat kentalnya, belum juga pulang. Ia kemudian membuka jendela, namun melihat para warga, menggelandang Hari Hara. Ia mendengar Hari Hara berkata kepada para warga, membela-diri, 'Aku tak berniat nyolong. Dengar, aku cuma menemani sang beruang, tidur!' Seketika, ia menutup jendela, dan terduduk. Setelah menenangkan diri, ia memeluk kedua lututnya, dan dengan gundah-gulana, bersenandung,
Trouble, he will find you, no mater where you go
No matter if you're fast, no matter if you're slow
The eye of the storm, or the cry in the morn
You're fine for a while, but you start to loose control

He's there in the dark
He's there in my heart
He waits in the winds
He's gotta play a part
Trouble is a friend
Yeah, trouble is a friend of mine *)
Rembulan mengakhiri ceritanya dengan berkata, "Bahaya yang tak terhitung jumlahnya, yang menyertai para bajingan, membuat para orang jujur, bergidik memikirkannya. Tak hanya dari para aparat hukum dan perseteruan umat manusia terhadap mereka, melainkan pula, bahaya mengintainya di setiap sisi, dari situasi penuh resiko, dimana mereka terus-menerus menempatkan diri.
Sungguh aneh, bahwa banyak orang, mau melepaskan keselamatan, ketenangan, dan nama-baik, demi kesusahan, masalah, dan kebobrokan; lebih memilih bermalas-malasan dan menghambur-hamburkan uang dalam waktu yang singkat, yang disertai dengan rasa-malu dan rasa-sakit—dibanding pekerjaan yang sehat, yang membawa serta keberlimpahan, kebugaran, dan yang terpenting,, umur panjang. Seorang bajingan, mungkin cuma sehari, memperoleh lebih dari orang jujur, namun orang jujur—atas berkah Allah—akan mendapatkan lebih banyak dibanding sang bajingan, sepanjang tahun. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Mohammad Rahman, Phd., Your Money Matters - The Islamic Approach to Business, Money, and Work, IIPH
- James Northcote, RA, One Hundred Fables, Originals and Selected, J. Johnson
*) "Trouble Is A Friend" karya Lenka Kripac & Thomas Salter
[Bagian 1]