Selasa, 07 September 2021

Keadilan, Ada di Mata yang Melihat? (1)

Malam berikutnya, Rembulan mengutarakan. “Duhai Pungguk! Keadilan itu, teruntuk semua! Keadilan itu, hak setiap insan. Persyaratan demi menegakkan Keadilan, semata memperhitungkan fakta bahwa, para insan itu, manusia, dan cuma itu, yang memenuhi persyaratan agar mereka diperlakukan Adil. Lantaran itulah, Keadilan hendaknya diperlebar kepada semuanya: orang beriman dan tak-beriman, kawan dan lawan, kulit-putih dan kulit-berwarna, dan sebagainya."

"Dan apa yang diucapkan Hakim Kelima?" Pungguk langsung menyambut. Rembulan menjawab, "Hakim Kelima mengungkapkan, 'Keadilan bermakna, adil dan merata, dan menghindari pembedaan, perlakuan tak setara, dan penindasan. Keadilan sangat diperlukan bagi insan maupun masyarakat. Ia menghasilkan kepuasan bagi insan dan fungsi yang sehat dalam masyarakat. Allah berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡىِ ۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
"Sesungguhnya, Allah menyuruhmu, berlaku adil dan berbuat kebajikan, membantu kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu, agar kamu dapat mengambil pelajaran." [QS. An-Nahl(16):90]
Ada berbagai kategori Keadilan. Pertama, Keadilan di sisi Allah, dengan beribadah hanya kepada-Nya, tanpa menyekutukan-Nya, dan menaati perintah-Nya.

Kedua, Keadilan mendamaikan di antara para insan yang berselisih: dengan memberikan kepada masing-masing, apa yang menjadi haknya. Allah memerintahkan agar Keadilan dipergunakan saat menyelesaikan perselisihan di antara, baik kaum lelaki maupun kaum wanita yang beriman,
وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
"Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu, kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." [QS. Al-Hujurat (49):9]
Kekasih kita (ﷺ) bersabda,
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ قَاضِيَانِ فِي النَّارِ وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الْحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ
“Hakim itu, ada tiga ragam: dua hakim dalam neraka, dan satu hakim dalam surga. Yang menghakimi tanpa kebenaran, padahal ia mengetahuinya, ia berada dalam api-neraka. Hakim yang tak berilmu dan melanggar hak-hak manusia, ia berada pula dalam api-neraka. Seorang hakim yang memutuskan dengan kebenaran, ia berada dalam Jannah.” [Sunan at-Tirmidzi; Sahih menurut Al-Albani]
Ketiga, Keadilan di antara istri dan anak: tanpa mengutamakan yang satu, di atas yang lain. Keadilan dimulai dalam keluarga. Allah berfirman,
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
"Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika ia (anak perempuan) itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika ia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika ia (yang meninggal) tak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika ia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Inilah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana." [QS. An-Nisa (4):11]
Pada titik ini, ayat tersebut menjelaskan sistem waris Islam. Berawal dari sebuah perintah, berupa anjuran yang kuat, yang disampaikan Allah kepada para orangtua, agar memelihara Keadilan di antara anak-anaknya.

Keempat, Keadilan dalam berucap, dengan tak bersaksi palsu atau berdusta. Dapat dipercaya atau Amanah, dan Keadilan, terkait erat. Allah berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik Yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.." [QS. An-Nisa (4):58]
Semua inilah, kewajiban utama yang diletakkan atas masyarakat Muslim, dan merangkum etika-moralnya, yakni, menunaikan Amanah dan menegakkan Keadilan. Amanah yang paling mendasar dan terpenting itu, apa yang Allah tanamkan dalam fitrah manusia. Inilah yang ditampik oleh langit, bumi, dan pegunungan, melainkan disanggupi manusia. Yaitu dengan rela dan sengaja, mengakui pedoman Ilahi, dan beriman kepada Allah. Inilah Amanah yang diberikan Allah kepada manusia dalam kodratnya. Makhluk-makhluk lain, telah diberi kepercayaan tanpa mereka perlu berusaha apapun. Dengan demikian, mereka mengenali Rabb mereka dan menyembah-Nya tanpa harus memilih, atau mengerahkan upaya khusus apapun. Hanya manusialah, yang telah dibebankan tugas ini, agar memenuhinya berdasarkan sifat penuntunnya, pengetahuannya, penalarannya, kemauannya dan usahanya. Dan, dalam hal ini, ia akan selalu menerima pertolongan Allah.
Inilah, kemudian, Amanah pertama yang seyogyanya, ditunaikan manusia. Inilah yang memunculkan semua amanah lain yang Allah perintahkan agar dipenuhi manusia. Salah satu yang terpenting, di antaranya, bersaksi menurut keyakinan Islam. Ini berbentuk, pertama, berupaya keras bagi diri-sendiri, sehingga kehidupan, perasaan, tindakan, dan perilaku seseorang, menjadi terjemahan penerapan Iman. Jadi, saat masyarakat memuji perilaku, nilai dan sikap atau tatakrama, serta standar moral seorang mukmin, mereka menyadari bahwa, hanya karena ia meyakini Islam, ia mampu mencapai standar yang tinggi.
Cara lain bersaksi menurut keyakinan Islam, mewujudkan betapa Islam, jauh lebih mendalam dan luhur dibandingkan keyakinan manusia lainnya. Kesaksian selanjutnya, diberikan dengan mengambil langkah-langkah agar membantu mengimplementasikan Islam sebagai Pedoman Hidup bagi masyarakat Muslim, dan dalam kehidupan manusia pada umumnya. Agar dapat melaksanakannya, orang beriman seyogyanya menggunakan berbagai sarana yang tersedia bagi mereka, baik sebagai insan maupun sebagai anggota masyarakat. Implementasi praktis seperti inilah, Amanah menjadi sangat penting, setelah memeluk Iman itu sendiri. Tiada insan dan kelompok, yang dikecualikan dari Amanah ini. Amanah lain, yang tersirat dalam apa yang telah disebutkan, bahwa memperlakukan manusia dan memberikan kepada mereka, apapun yang mereka amanahkan kepada kita. Termasuk kejujuran dalam jual-beli, menyampaikan nasihat yang tulus kepada pemerintah dan yang diperintah, merawat anak-anak dengan baik, melindungi kepentingan masyarakat dan membelanya dari serangan musuh, dan mematuhi segala tugas dan kewajiban yang digariskan sesuai etika Ilahi. Semuanya, Amanah yang selayaknya dipenuhi.

Kelima, Keadilan dalam keyakinan, dengan tak mempercayai selain Kebenaran. Bersikap adil dalam segala keadaan. Allah berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu-sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah, Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan." (QS. An-Nisa (4):135]
Hal ini, ditujukan kepada orang-orang beriman, menggunakan kualitas baru dan unik mereka, yang memastikan kelahiran kembali masyarakat mereka yang sebenarnya. Sesungguhnya, mereka telah menikmati kelahiran kembali jiwa, prinsip, konsep, dan tujuan.
Di sini kita melihat metode Al-Qur'an yang penuh Hikmah, dalam mendidik masyarakat Muslim secara penuh, mempersiapkan penerimanya bagi tugas-tugas sulit mereka. Amanah yang telah diberikan kepada mereka, demi menegakkan Keadilan, dalam makna kemutlakannnya, dalam setiap keadaan. Inilah jenis keadilan yang mencegah agresi dan penindasan dimanapun di atas bumi. Yang menjamin Keadilan di antara umat manusia, memberikan setiap insan, Muslim atau non-Muslim, hak-hak mereka. Dalam hak mereka atas Keadilan, segenap manusia, beriman dan tak-beriman, sama di sisi Allah. Demikian pula, kerabat dan orang asing, teman dan musuh, miskin dan kaya, diperlakukan dengan kesetaraan mutlak.
Menjunjung tinggi Keadilan, menjadi saksi kebenaran, dilakukan karena Allah. Bukan oleh manusia lain, atau terhadap siapa kesaksian diberikan. Juga, bukan demi melayani kepentingan individu, kelompok atau komunitas manapun. Bukan pula sesuatu yang memperhitungkan situasi perkara tertentu. Melainkan kesaksian yang diberikan karena Allah, bebas dari keinginan, purbasangka, kepentingan, atau pertimbangan apapun.
Allah melarang kita, dipengaruhi oleh segala bentuk Hasrat, sedemikian rupa, sehingga kita menyimpang dari Kebenaran dan Keadilan. Hasrat itu, beragam, mementingkan kecintaan pada diri-sendiri, keluarga-dekat dan kaum-kerabat, dan yang lainnya, merupakan salah satu jenis Hasrat, semisal bersimpati kepada orang kaya ketika memberikan kesaksian atau saat memperdamaikan. Sebaliknya, bersikap segan, atau bisa jadi, memusuhi orang miskin, merupakan sejenis Hasrat. Dalam bersaksi atau membuat pertimbangan, berpihak pada kelompok, suku, masyarakat, bangsa atau kampung-halaman tertentu, merupakan sebuah Hasrat, seperti halnya berpihak pada lawan, meskipun mereka itu, seteru Iman kita.'