Kutipan & Rujukan:"Flora bilang padaku, 'Bersyukur itu, bukanlah sesuatu yang menimbulkan perdebatan. Pula, ia bukan ilmu roket. Ia sederhana. Segenap manusia sepakat bahwa bersyukur itu, hal yang baik. Bersyukur, sama seperti emosi positif lainnya, telah mengilhami banyak tulisan teologis dan filosofis, '" berkata sang Purnama, usai menyampaikan Basmalah dan Salam."'Menurut Al-Ghazali,' kata Flora, 'ada lima sifat baik yang hendaknya kita anut dan rawat dalam diri kita. Yang pertama, taubah (bertaubat); yang kedua, khauf (takut) dan yang ketiga, zuhud (asketisme), yang keempat, sabr (sabar), yang kelima, syukr (bersyukur).Ibnu Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, berkata, 'Iman terdiri dari dua bagian; setengahnya, Kesabaran (sabr) dan setengahnya lagi, Bersyukur (syukr).' Ibnu Qayyim, rahimahullah, menulis bahwa Kesabaran—atau tekun bersabar—itu, wajib, menurut kesepakatan para ulama, dan itulah separuh dari iman, separuh lainnya, Syukr (syukur). Baik Ibnu Qayyim maupun Al-Ghazali sepakat bahwa ilmu itu, tonggak syukur pertama. Tentu saja, bagaimana bisa bersyukur jika tak tahu caranya? Setelah engkau memperoleh ilmunya, engkau dapat melangkah masuk ke dalam ruang kegembiraan, ketakziman dan ketertundukan. Syukur biasanya diikuti oleh pilar kedua, amar [tindakan], misalnya, mengucapkan terimakasih kepada orang yang telah memberikan bantuannya.Para Psikolog lebih suka membicarakan emosi dikala membahasakan rasa-syukur. Salah satu perawatan psikologis paling awal dari rasa-syukur sebagai emosi, muncul dalam tulisan William McDougall. McDougall memandang rasa-syukur sebagai emosi sekunder, atau campuran, yang mencakup keterpesonaan, kekaguman, penghormatan, iri-hati, kebencian, rasa-malu, dan kecemburuan. Filsuf Søren Kierkegaard mengemukakan bahwa, dalam rasa-syukur, hubungan seseorang dengan Tuhan dan sesama, melahirkan kesadaran-diri yang membentuk keberadaannya. Pengalaman dan ekspresi rasa-syukur, dengan demikian membentuk identitas. Mengingat bahwa rasa-syukur itu, atribut mendasar manusia dan kunci potensial bagi berkembangnya manusia, kita semestinya berusaha belajar sebanyak mungkin tentang asal-usulnya, bentuk ekspresinya, dan konsekuensinya terhadap fungsi individu dan kolektif.Era kita adalah era komersial, yang didorong oleh dorongan kepentingan pribadi. Adam Smith memahami hal ini dengan baik ketika ia mencatat dalam The Wealth of Nations bahwa bukan kebajikan atau cinta sesama manusia yang membawakan makanan ke meja kita. Kita menerima roti harian kita dengan menarik minat pembuat roti dan menawarkan sesuatu sebagai imbalan yang dibutuhkan. Dua faktor berada di belakang pembelaan Smith atas kepentingan pribadi terhadap kebajikan. Pertama, ia mempercayai bahwa kepentingan pribadi itu, hasrat yang lebih menenangkan dibanding kebajikan sebab konsekuensi yang tak diinginkan dari kepentingan pribadi dapat dihitung dan diproyeksikan ke masa depan. Kita dapat mengandalkan kepentingan pribadi orang lain lebih mudah daripada kebajikan atau cinta mereka. Kedua, Smith mempercayai bahwa panggilan bagi kepentingan pribadi, juga merupakan panggilan martabat individu. Hanya seorang pengemis yang bergantung pada kebajikan orang lain demi penghidupan sehari-hari, dan itu pun semata terbatas. Berbeda dengan kebajikan, pertukaran kepentingan pribadi, yang didasarkan pada gagasan bahwa individu dapat masuk ke dalam pertukaran pasar dan menegaskan keberadaan mereka sebagai manusia yang bebas dan otonom.Mengingat peran sentral kepentingan pribadi dalam teori ekonomi Smith tentang masyarakat komersial, menarik untuk menyimpulkan bahwa Smith meyakini—seperti yang tampaknya diyakini pula oleh banyak konterpartnya di abad ke-20 dan abad ke-21—bahwa manusia pada dasarnya, makhluk yang mementingkan diri sendiri, yang tak terlalu peduli pada urusan atau kepentingan orang lain. Namun, setelah membaca Theory of Moral Sentiments-nya, seketika para pembacanya bakal menemukan bahwa semuanya itu, suatu kesalahan fatal. Yang pasti, individu didorong oleh kepentingan pribadi. Tapi, menurut Smith, mereka juga mampu mencintai, menyayangi, mengasihani, berkorban, dendam, dan bersyukur. Smith, filsuf moral, tak begitu peduli dengan teriakan kemenangan kepentingan-pribadi dalam masyarakat komersial ketimbang berdamai dengan keseimbangan yang tepat, yang semestinya ada di antara kepentingan pribadi dan nafsu, serta kebajikan lainnya.Jauh dari mempercayai bahwa masyarakat komersial dapat berkembang semata atas dasar dorongan kepentingan pribadi, Smith berpendapat bahwa modal moral tertentu, diperlukan jika suatu masyarakat ingin berkembang. Agar kontrak sukses, manusia hendaknya menepati janji. Kepemilikan seyogyanya dihargai agar transaksi pertukaran dapat dilakukan. Para insan hendaknya juga bersedia agar saling menghormati dan bertoleransi, terutama dalam hal-hal yang memecah-belah. Nilai-nilai persahabatan, kekeluargaan, dan cinta-kasih, semestinya dipertahankan dan dijunjung tinggi. Setiap insan seyogyanya rela mengorbankan kebaikan mereka sendiri demi kebaikan semua, terutama pada saat perang dimana keberadaan bangsa itu sendiri, dipertanyakan. Insan yang diperjuangkan dalam teori moral Smith, serta ekonomi politiknya, bukan sekadar 'isolated utility maximizer.' Setiap insan itu, makhluk sosial yang terkait erat dengan orang lain dalam komunitas melalui hasrat dan kasih-sayang. Apa yang diakui Smith sebagai hal yang nyata, banyak ahli teori sosial, politik dan ekonomi sekarang ini, menganggapnya sebagai sebuah kesesatan.Adam Smith sering diidentikkan dengan ajaran yang disebut kesadaran moral abad kedelapan belas. Menanggapi filsuf rasionalis seperti Thomas Hobbes atau John Locke, filsuf berpemahaman moral seperti Earl of Shaftesbury pertama, Francis Hutcheson, dan David Hume, menolak gagasan bahwa moralitas semata didasarkan pada akal, sebaliknya mereka berargunen bahwa moralitas pada akhirnya berasal dari emosi dan perasaan. Moralitas itu, sesuatu yang dirasakan, dan bukan cuma kesimpulan akal. Tatkala seseorang hendak memahami norma-norma moral, termasuk bersyukur, maka ia hendaknya memahami sentimen moral.Tak semua filsuf abad kedelapan belas berwawasan atau berkemampuan sama dengan Adam Smith guna menjelaskan keterkaitan antara kepentingan pribadi dan rasa-syukur dalam masyarakat komersial modern. Jean-Jacques Rousseau, yang sezamannya, kritikus besar abad ke-18 terhadap tatanan komersial modern, tampak bingung menjelaskan ciri-ciri positif kepentingan pribadi atau peran yang terus dimainkan oleh rasa-syukur dalam masyarakat modern.Risalah besar pertama—selama berabad-abad, dan satu-satunya—tentang Bersyukur dalam pemikiran Barat adalah On Benefits, karya filsuf Stoa Romawi, Seneca. Ditujukan kepada seorang kawan, Aebutius Liberalis dari Lyons, karya ini, rada-rada ngalor-ngidul. Namun ia banyak memnculkan kekhawatiran yang bakal menentukan bagaimana para pemikir selanjutnya mengkonseptualisasikan masalah Syukur. Pentingnya memahami tempat bersyukur dalam masyarakat manusia, dinyatakan dengan jelas di paragraf pertama, 'Di antara banyak dan beragam kekeliruan dari mereka yang hidup nekat dan gegabah, hampir tiada yang dapat kusebutkan, Kaum Liberalis yang luar biasa pun, lebih tak beryukur dibanding fakta bahwa kita tak tahu bagaimana memberi atau menerima manfaat. Karenanya, jika mereka didudukkan di tempat yang buruk, mereka tak diakui, dan bila kita mengeluhkan bahwa mereka tak berterimakasih, itu sudah terlambat; sebab mereka menghilang sesaat setelah menerima pemberian. Tak mengherankan bahwa di antara segala sifat buruk kita yang banyak dan besar, tiada yang sangat umum semisal sikap tak tahu bersyukur.'Mengidentifikasi rasa tak bersyukur sebagai sifat buruk kita yang paling umum, sangat menarik. Mungkin karena itulah sifat buruk yang umum sehingga kita tak memahami kompleksitasnya dengan baik. Di sepanjang risalah, Seneca berupaya memberikan perspektif agar memilah kompleksitas yang mendasari masalah rasa-syukur.Dalam analisis mereka tentang perasaan syukur, McCullough, Kilpatrick, Emmons, dan Larson mengkonseptualisasikan rasa-syukur punya tiga fungsi yang relevan secara moral, yaitu sebagai barometer moral, motivator moral, dan penguat moral. Perasaan bersyukur kepada Tuhan, memotivasi perilaku yang tepat terhadap orang yang bersyukur, yang bermakna mematuhi perintah-perintah-Nya dan mencintai-Nya.Gagasan bahwa berterimakasih kepada manusia lain merupakan salah satu jalan mengembangkan rasa-syukur kepada Tuhan, diuraikan panjang lebar oleh Bahya Ibnu Pakuda, penulis Yahudi Spanyol abad ke-10 dari salah satu risalah renungan Yahudi yang paling berpengaruh, Chovot HaLevavot [Kewajiban-kewajiban Qalbu].Bersyukur rupanya telah ketinggalan zaman dalam kehidupan modern. Bukan karena orang modern tak tahu bagaimana bersyukur. Pula, tak benar bahwa kita jarang mengungkapkan rasa-syukur atas tindakan kebaikan dan hal-hal baik lainnya yang kita terima. Bagaimanapun, para orangtua masih mengajari anaknya mengatakan 'tolong' dan, terutama, 'terima kasih.' Dan masyarakat Amerika Serikat berhari libur di bulan November, berkumpul bersama keluarga mereka untuk berpesta dan menonton sepak bola, seolah-olah dengan tujuan ucapan 'Thanksgiving.' Namun kapan terakhir kali engkau benar-benar terkesan oleh tindakan syukur yang heroik? Kapan terakhir kali seorang pemimpin bangsa membuat berita dengan mengatakan bahwa kunci kemakmuran dan kebahagiaan masa depan itu, mensyukuri apa yang kita miliki? Berapa banyak buku self-help, pidato inspirasional, atau acara bincang-bincang di televisi, yang mendorong kita ke derajat rasa-syukur yang lebih tinggi dan lebih besar lagi?Syukur punya begitu sedikit cap dalam kehidupan modern yang bahkan tak memerlukan catatan kaki dalam Book of Virtues yang otoritatif dan populer karya William J. Bennett. Mengutip berbagai tradisi, Bennett menyatukan kisah-kisah moral yang menginspirasi, yang menggambarkan sepuluh cita-cita manusia: disiplin-diri, kasih-sayang, tanggungjawab, persahabatan, kerja, keberanian, ketekunan, kejujuran, kesetiaan, dan iman. Kenapa bukan Syukur? Orang dapat berargumen bahwa rasa-syukur dimasukkan ke dalam satu atau dua dari 10 teratas Bennett (katakanlah, iman?). Atau orang mungkin berpendapat bahwa, meskipun penting, rasa-syukur tak mengilhami kisah-kisah moral yang hebat. Namun sulit mengabaikan dengan mudah alasan ketiga tentang status tingkat kedua rasa-syukur dalam kehidupan modern. Kalimat itu kira-kira seperti ini: Bersyukur itu menyenangkan, namun menyenangkan saja tak cukup. Menyenangkan tak cukup untuk memenuhi tuntutan psikologis dan sosial yang paling mendesak dari kehidupan modern. Menyenangkan takkan memberimu pekerjaan yang baik, penghasilan yang layak, pasangan yang penuh kasih, anak-anak yang bahagia, tempat yang berharga dalam komunitas—belum lagi ketenaran, kekayaan, atau kepuasan pribadi. Sebagai pewaris Pencerahan, modernitas budaya menghargai otonomi, pencapaian, produktivitas yang efisien, inovasi kreatif, rasionalitas yang jernih, serta perluasan dan aktualisasi diri. Dalam nada yang lebih lembut dan lebih interpersonal, kehidupan modern juga menjunjung tinggi cinta romantis, komitmen pernikahan, persahabatan, pengasuhan anak, dan tanggung jawabsipil sebagai cita-cita mulia yang memperkaya kehidupan dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat secara luas. Meskipun rasa-syukur tak bertentangan dengan salah satu dari pengejaran ini, orang sulit sekali melihat bagaimana hal itu secara eksplisit integral dengan banyak darinya. Tanggapan modern terhadap rasa-syukur bahkan dapat berubah dari dukungan yang ringan namun tak antusias, hingga acapkali ambivalensi. Dalam ekonomi pasar modern, seseorang tak mengharapkan membayar barang dan jasa dengan rasa-syukur. Sungguh menyenangkan jika pelanggan menawarkan token atau bahkan ucapan terima kasih yang tulus kepada penjual di akhir negosiasi mereka, namun pelanggan tetap diharuskan menulis cek untuk alat rumah tangga yang baru dibelinya. Rasa-syukur takkan menghasilkan potongan sepeser pun. Rasa-syukur yang berlebihan dapat dipandang sebagai hal yang tak menyenangkan. Ketika seseorang mengucapkan terima kasih yang berulang-ulang dan berlebihan, penerima manfaat mungkin mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya diinginkan oleh orang yang berterimakasih tersebut.Terkadang, orang menerima pemberian dan, karena alasan yang kompleks, mereka merespons dengan sikap tak berterimakasih. Tindakan memberi dan menerima, dapat dipenuhi dengan bermacam-macam persepsi, keadaan psikologis, dan emosi yang saling bertentangan. Dinamika memberi dan menerima, hubungan antara sang donor dan sang akseptor, motivasi yang dirasakan masing-masing, dan sejarah sebelumnya dalam situasi yang sama, mempengaruhi sejauh mana rasa-syukur dirasakan, serta cara mengungkapkan rasa-syukur. Adakalanya pemberian membawa kegembiraan, di lain waktu, pemberian itu membawa kebanggaan, dan, andai ada keadaan tertentu, dapat pula membawa iri, benci, keserakahan, dan rasa-cemburu.Rasa-syukur menuntut agar sang pemberi, tak semata memberi, melainkan pula pemberian itu sesuatu yang ia sukai—seolah 'mutiara yang sangat berharga'. Agar sang penerima berterimakasih, dalam pengertian emosional, ia hendaknya tahu bahwa tindakan memberi, menyebabkan sang pemberi kehilangan sesuatu, melepaskan beberapa kesempatan, berpisah dengan sesuatu yang berharga, atau, paling tidak, mengupayakan sesuatu dengan sungguh-sungguh.Inilah mengapa besarnya rasa-syukur yang kita rasakan saat menerima pemberian, hampir tak ada hubungannya dengan berapa harga pemberian tersebut. Pengusaha kaya yang meminta asisten atau pembelanja pribadinya agar membelikan hadiah mahal dan kemudian mengirimkannya ke berbagai penerima, takkan menghasilkan rasa-terimakasih yang berarti dari mereka yang ada dalam daftar hadiahnya. Para penerima hanya mengetahui bahwa pemberian itu, tak memerlukan biaya apapun dalam hal upaya dan bahwa kehilangan uang yang terpakai, tak bermakna apa-apa bagi sang pemberi. Boleh jadi, mereka benar-benar merasa lebih berterimakasih kepada asisten yang datang tergopoh-gopoh dan bergaji rendahan, yang memilihkan hadiah, dibanding pemberi yang sebenarnya, penilaian bahwa ikhtiar sang asisten, lebih mahal ketimbang uang dan biaya pengawasan dari sang pemberi yang 'dermawan' tersebut.Sejauh mana kita merasa bersyukur, selalu bergantung pada penilaian biaya internal dan rahasia ini. Ia intrinsik terhadap emosi, dan sangat logis, bahwa kita tak merasa sangat berterima kasih atas pemberian yang kita terima, yang harganya sedikit atau tidak sama sekali bagi sang pemberi. Namun, ada faktor penting lainnya: tingkat rasa-syukur kita dipengaruhi oleh persepsi kita tentang motif yang mendasari pemberian tersebut. Mengingat kesenangan yang menyertai rasa-syukur, nampak bahwa tak-bersyukur itu, penyangkalan terhadap kesenangan, tindakan anhedonik, yang mungkin dimotivasi oleh dorongan untuk menghukum atau menyakiti diri-sendiri dan orang lain. Keinginan menyakiti diri sendiri dan sang pemberi, melalui rasa tak berterima kasih merupakan hambatan yang signifikan agar merasakan dan mengungkapkan rasa-syukur.Tapi ada hambatan lain yang kurang kompleks secara psikologis untuk bersyukur. Pertama, bias negatif. Dalam beberapa hal, wajar mengabaikan berkah seseorang, atau bahkan mengeluhkan tentangnya. Hal ini mungkin mengejutkan bagi kebanyakan orang, sebab kebanyakan dari kita, percaya bahwa kita bersyukur atas manfaat yang telah kita terima. Hal ini semestinya tak terduga, mengingat bahwa para psikolog telah mengidentifikasi kecenderungan alami pikiran yang menganggap input sebagai hal yang negatif. 'Bias negatif' ini bermakna bahwa emosi dan pikiran yang masuk, lebih cenderung tak menyenangkan daripada menyenangkan. Selain itu, bias negatif, seolah merupakan fenomena yang sangat nyata dengan dasar neurofisiologis yang kuat.Berikutnya, ketidakmampuan mengakui ketergantungan. Novel Great Expectations karya Charles Dickens, merupakan kisah abadi dimana rasa-syukur dan rasa tak tahu berterimakasih dituangkan dalam pahatan kasar sebagai elemen sentral dalam keadaan manusia. Dalam sebagian besar novel tersebut, Pip, sang protagonis, menerima begitu saja kebaikan Joe Gargery, saudara iparnya yang telah menjadi teman dan pelindungnya sepanjang hidup. Sedikit rasa-syukur yang mungkin dimiliki Pip, didorong oleh ambisinya yang egois. Terhadap Magwitch, dermawan rahasia Pip, Pip hanya menyambah. Bahkan dalam adegan pembukaan yang mendalam ketika ia mengetahui kebenaran tentang Magwitch, tanggapan awalnya bukanlah berterimakasih tetapi merasa jejap dan kecewa.Terkait erat dengan ketidakmampuan untuk mengakui ketergantungan, bahwa kita tidak mandiri merupakan konflik internal yang kita alami dalam mengekspresikan emosi positif yang intim. Seperti yang disimpulkan oleh penelitian Sommers, hal tersebut lebih menjadi masalah bagi pria daripada wanita, setidaknya dalam budaya Amerika. Mengingat penekanan umum budaya kita pada penahanan ekspresi emosional, ditambah dengan kecenderungan alami agar mencari ekspresi, tak mengherankan jika individu menjadi ambivalen atas ekspresi emosional.Hambatan lain adalah pemberian hadiah yang tidak tepat. Hubungan anugerah disebut sebagai salah satu hubungan yang paling sarat moral yang dimiliki manusia. Pertukaran hadiah diatur oleh hukum timbal-balik, dan rasa-syukur mengkalibrasi keinginan untuk melakukan pengembalian yang sesuai. Hadiah punya banyak makna, namun beresiko tinggi terhadap hasil yang tak diinginkan. Hadiah bisa menjadi beban yang tak diinginkan. Hadiah dapat digunakan untuk mengendalikan penerima dan menjamin kesetiaannya. Hadiah yang tak proporsional dengan apa yang pantas bagi hubungan antara pemberi dan penerima, akan menghasilkan kebencian, rasa-bersalah, kemarahan, merasakannya sebagai kewajiban, atau bahkan penghinaan.Kendala lain adalah kita perlu memilih perbandingan kita dengan bijak. Epicurus menulis, 'Jangan merusak apa yang engkau miliki dengan menginginkan apa yang tak engkau miliki; tetapi ingatlah bahwa apa yang engkau miliki sekarang, merupakan salah satu dari hal-hal yang hanya diharapkan.' Bersyukur itu, kesadaran bahwa kita memiliki semua yang kita butuhkan, untuk saat ini.'""Tepat sebelum waktu kami berakhir, Flora mengakhiri perbincangan, 'Syukur membutuhkan waktu untuk merenungkan karunia seseorang. Sebab kehidupan sehari-hari semakin pelik, melelahkan, dan terpecah-pecah, rasa-syukur dapat terpadamkan. Peristiwa, orang, atau situasi yang cenderung membangkitkan rasa-syukur dapat dengan mudah dianggap biasa saja, atau dikesampingkan saat seseorang berjuang menghadapi percekcokan dan perjuangan hidup sehari-hari guna mengatur perasaan negatif yang intens seperti kemarahan, rasa malu, dan dendam.'"Lalu ia melambai padaku seraya melagukan,So goodbye yellow brick road[Selamat tinggal 'yellow brick road']Where the dogs of society howl[Dimana 'the dogs of society' melolong]You can't plant me in your penthouse[Engkau tak dapat menanamku di penthouse-mu]I'm going back to my plough[Kukan balik ke tenggalaku]Back to the howling old owl in the woods[Kembali ke pekikan pungguk tua didalam hutan]Hunting the horny back toad[Berburu kadal bertanduk]Oh, I've finally decided my future lies[Duhai, akhirnya telah kuputuskan letak masa-depanku]Beyond the yellow brick road *)[Melampaui 'yellow brick road' itu]Sebelum pergi, sang Purnama menyimpulkan, "Bersyukur didefinisikan sebagai 'kualitas atau perasaan syukur atau berterimakasih.' Berterimakasihlah kepada mereka yang telah berbuat baik kepadamu; bersyukurlah atas anugerah yang telah engkau peroleh. Inilah sesuatu yang kita ajarkan kepada anak-anak kita di masa mudanya. Syukur itu, dimensi kehidupan yang penting saat kita saling-berinteraksi dalam urusan kita sehari-hari. Mustahil membayangkan dunia dimana para insan tak saling memberi dan menerima syukur secara rutin. Syukur itu, salah satu unit-dasar dibangunnya masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan. Wallahu a'lam."
- Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Patience and Gratitude - An abridgement of his original work entitled, “Uddat as-Sabireen wa Dhakirat ash-Shakireen” translated by TheVista, Taha Publishing
- Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, The Forty Principle of the Religion, translation by Nasir Abdussalam, Turath Publishing
- Robert A. Emmons & Michael E. McCullough (ed.), The Psychology of Gratitude, Oxford University Press
- Robert A. Emmons, Ph.D, Thanks! How the New Science of Gratitude Can Make You Happier, Houghton Mifflin
- Ellen Vaughn, Radical Gratitude, Zondervan
- Doğan Göçmen, The Adam Smith Problem - Human Nature and Society in The Theory of Moral Sentiments and The Wealth of Nations, Tauris Academic Studies
*) "Goodbye Yellow Brick Road" karya Elton John. "The yellow brick road" adalah elemen fiksi dalam novel anak-anak tahun 1900 The Wonderful Wizard of Oz karya penulis Amerika L. Frank Baum, berbentuk sebuah jalan yang terbuat dari batu-bata dan di cat berwarna kuning. "The dogs of society" mungkin bermakna para maestro musik yang bernyanyi tanpa nada.