"Flora bilang padaku, 'Seorang wanita berkata, 'Saat aku masih jadi mahasiswa berusia 20-an, aku cukup akrab dengan rekan belajarku, seorang lelaki berusia 64 tahun, yang telah kembali ke bangku kuliah menyelesaikan gelar sarjananya. Ia mengaku, ia pernah berpikir, andai lebih dari persahabatan, bisa menjadi sebuah kemungkinan. 'Jadi, apa yang membuatmu berubah pikiran?' tanyaku padanya. 'Aku pergi ke dokterku dan bertanya, menurutnya, dapatkah perbedaan usia 40 tahun antara lelaki dan wanita, teratasi. Ia memeriksa catatan kesehatanku dan berkata, 'Tertarikkah engkau pada seseorang yang berusia 104 tahun?' Flora mengimbuhkan, 'Seorang lelaki berkata, 'Selama lebih dari 40 tahun, kakekku menghabiskan banyak waktu di pekerjaannya, jadi aku sangat kepo tentang caranya mengisi hari-harinya sejak pensiun. 'Bagaimana kehidupan berubah?' tanyaku. Sebagai seorang lelaki yang tak banyak bicara, ia menjawab, 'Yah, aku bangun di pagi hari tanpa melakukan apa-apa, dan aku pergi tidur di malam hari, dengan menyelesaikan setengahnya.'
Lalu Flora berkata, 'Tampaknya, cuma sedikit di antara kita memvisualisasikan seperti apa rasanya bertambah tua, atau apa yang mungkin kita lakukan guna mempersiapkan diri menghadapi waktu dikala berkurangnya aktivitas fisik kita, atau berkurangnya minat kita untuk menyibukkan diri. Barangkali, kita telah memastikan bahwa keuangan kita telah beres dan cukup menyokong kita serta memungkinkan kita berkelana atau melakukan apa yang menurut kita, ingin kita lakukan di masa pensiun. Kita boleh saja memperkecil ukuran rumah kita setelah anak-anak telah memasuki dunia mereka masing-masing, dan para istri telah menemukan cara menggunakan waktu dan energi ekstra yang tampaknya tersedia saat itu, akan tetapi, bukan itu yang kumaksud. Banyakkah di antara kita, duduk sebelum pensiun dan berbicara tentang apa arti perubahan dalam hidup kita? Untuk masalah itu, adakah di antara kita yang menyadari apa yang mungkin terjadi pada usia tua sampai ajal tiba?'" berkata sang Purnama saat ia datang dan seperti biasa, setelah membaca Basmalah dan mengucapkan Salam.
"Flora melanjutkan, 'Banyak orang yang menjalani hidup, masih berpegang pada kesan negatif atau mitos tentang penuaan. Hidup dengan penuh semangat dan kebaikan tak berhenti pada titik tertentu dalam kehidupan seseorang, semata diikuti oleh kekuatan destruktif penuaan. Semakin cepat kita mengubah sikap kita tentang hal ini, semakin cepat pula kita dapat mengeksplorasi umur panjang kita dengan tulus.
Sikap yang mengelilingi kita bahwa usia tua, dalam makna yang paling problematis. dimulai antara lima puluh dan enam puluhan. Mengapa demikian? Mungkin kita masih percaya pada aturan usang bahwa paruh-baya itu, awal dari kemerosotan kita. Kekeliruan ini, didasarkan pada harapan hidup yang sama-sama ketinggalan zaman, yaitu empat puluh tujuh tahun atau lebih, yang merupakan rentang hidup rata-rata pada awal abad ke-20. Meskipun harapan hidup rata-rata telah meningkat secara drastis sejak saat itu, sikap budaya kita, belum.
Orang yang berpikir positif tentang penuaan, cenderung hidup hampir delapan tahun lebih lama dibanding mereka yang berpikir negatif. Faktanya, berpikir positif itu, perpanjangan hidup yang lebih signifikan daripada tensi rendah, rendah kolesterol, berolahraga secara teratur, atau tidak merokok. Semangat, juga membuat penuaan lebih enteng, dan tekad pribadi agar tetap mandiri dapat membantu mengatasi kelemahan fisik. Sebuah studi bacaanku, menunjukkan bahwa sikap optimis berefek terukur dalam mencegah, misalnya, penyakit jantung.
Boleh jadi, kita tak punya kendali atas banyak hal seiring bertambahnya usia, namun yang bisa kita kendalikan ialah, sikap kita terhadap penuaan. Aspek degeneratif dari proses penuaan dapat secara substansial diperlambat oleh kombinasi faktor-faktor yang mencakup perbaikan sikap, meraih peluang guna melayani, melanjutkan stimulasi intelektual, dan menerapkan kebiasaan kesehatan yang baik.
Kita takkan mengalami penuaan seperti ibu dan nenek kita. Kitalah yang mendefinisikan waktu kita. Dengan sedikit usaha, kita bisa bugar, hebat, dan lebih dari lima puluh tahun. Persepsi—dan pengalaman—kita tentang penuaan, telah berubah karena hampir tiada apapun dalam hidup kita yang bakalan terjadi dalam kehidupan seusia kita bahkan dua puluh tahun yang lalu. Sebagian besar, kaum wanita di masa kini, sekarang lebih sehat karena mereka berharap hidup lebih lama, mengevaluasi kembali prioritas mereka, dan sekali lagi mengeksplorasi hasrat mereka.
Kita hidup di zaman yang menakjubkan. Kebanyakan wanita yang mencapai usia seratus tahun, melakukannya dengan kesehatan yang sangat kuat. Faktor Gen, bisa jadi bertanggung jawab atas sekitar 30 persen perubahan fisiologis yang terjadi pada usia lanjut, namun sebagian besar perubahan itu, hasil dari lingkungan, pola makan, olahraga, pemanfaatan perawatan medis yang tersedia, dan pandangan mental.
Agar menua dengan sukses, kita perlu menyadari mitos yang lebih baru dan lebih tua tentang penuaan yang benar dalam budaya kita saat ini. Berikut beberapa contoh mitos yang kurang tepat: 'Menjadi tua identik dengan hilangnya makna dan tujuan; Jika engkau lebih tua dan mengenang atau jutek tentang masa lalu, engkau menunjukkan tanda-tanda kepikunan; Semakin tua usiamu, semakin cepat waktu berlalu; Setiap orang ingin, dan harus mau, mendengar kebijaksanaan dan pendapat kita hanya karena kita lebih tua; Kreativitas hanya untuk beberapa orang berbakat, dan bakat kita meredup seiring bertambahnya usia.
Setiap hari, kita semakin tua, namun kita perlu memikirkan hal lain selain asuransi perawatan jangka panjang dan bertanya-tanya apa yang dilakukan anak-anak dewasa kita saat kita sendirian di rumah. Luangkan waktu sejenak—sekarang. Mungkin engkau sedang membaca buku di kursi, di kereta, atau di pesawat. Nyamankah? Terasa empuk atau keraskah kursinya? Apa yang engkau lihat di sekelilingmu? Berada di lokasi yang indahkah engkau? Di pantai atau beranda? Perhatikan baik-baik yang kecil, yang indah, yang bermakna. Hiduplah di masa kini—untuk hari ini, selama sepuluh menit, selama satu jam. Apa yang telah engkau abaikan saat ini, karena engkau terlalu mengkhawatirkan masa depan?
Setiap minggu, kita punya 168 jam—0.080 menit—untuk bekerja dan bermain, dan engkau menghabiskan sebagian besar waktumu berusaha menyelesaikan terlalu banyak hal—terburu-buru, berlari-larian penuh aksi. Pada pertengahan abad ke-20, para futuris Amerika meramalkan bahwa komputer dan perangkat penghemat tenaga kerja lainnya, akan menghemat waktu dan mengubah Amerika menjadi masyarakat paling santai dalam sejarah. Yang terjadi, justru sebaliknya. Di era teknologi yang berkembang pesat dan konsumerisme yang berkelanjutan ini, bagaimana bisa engkau membuat kehidupan yang lebih sederhana dan berjalan lambat? Jika engkau sibuk dengan tugas ini ke tugas itu dengan ponsel di tangan, berlomba dari satu aktivitas ke aktivitas berikutnya, bagaimana bisa engkau menikmati duniamu?
Harapan masyarakat bahwa kita seyogyanya mencapai sesuatu sepanjang waktu, disiarkan dengan sangat efisien dan sejak usia dini sehingga kita menginternalisasinya. Kita bergumul dengan suara hati yang menghasut, mengatakan, “Kamu membuang-buang waktu. Bangun dan lakukan sesuatu dengan hidupmu.”
Kita diharapkan—atau kita mengharapkan diri kita sendiri—agar menanggapi kehidupan yang bergerak cepat dengan cara yang sama seperti yang kita lakukan saat berusia dua puluh tahun. Wajibkah kita mengikuti perkembangan teknologi terkini seperti SMS, Whatsapp, Twitter, Instagram dan Facebook agar tak ketinggalan zaman? Atau punyakah kita hak istimewa berdasarkan usia agar memilih keluar atau selektif dalam mengadopsi gelombang baru teknologi yang bergerak cepat ini?
Cobalah sesekali memperlambat tempo. Mengapa tak menggunakan pena dan kertas untuk surat pribadi kendatipun berkomunikasi melalui email lebih cepat dan nyaman? Mengapa tak memegang buku asli di tanganmu selain alat baca elektronik? Selain menikmati pesanan secara online dan tak harus melawan kerumunan selama liburan, mengapa tak menikmati berjalan-jalan santai melalui gift shop, menyentuh dan mencium pernak-pernik, serta berbagi senyuman dengan kasirnya? Mungkin terasa penting bagi kebugaran kita saat ini, dalam hidup kita, sedikit memperlambat tempo. Luangkan waktu memanjakan-diri dan menemukan langkah baru.
Apa mungkin jadi tua, bisa menyenangkan? Barangkali, harapan negatif kita ada hubungannya dengan pengalaman kita. Seseorang kelihatan berusia lima puluh lima tahun, lalu menyesali proses penuaan setiap kali ada kesempatan. Ia menentukannya semata-mata sebagai penguraian tubuh dan fungsinya. Ia tampak menciptakan lebih banyak ketidaknyamanan bagi dirinya sendiri sepanjang waktu —lebih banyak sakit, lebih banyak rasa sakit, lebih banyak kunjungan ke dokter.
Di sisi lain, ada seseorang di usia delapan puluhnya, berbicara tentang apa yang mengasyikkan, memuaskan, dan menyenangkan dalam hidupnya. Saat sakit, ia tak fokus padanya. Ia bepergian, membaca, tertawa, dan ia memelihara hubungannya dengan teman, anak, dan cucu.
Kita menantikan jadi eksentrik, merasakan sakit dan nyeri, serta semuanya. Tatkala suatu saat kita perlu berjalan dengan tongkat, kita tak menjadikannya tongkat biasa. Akan kita cat dengan warna merah dan putih agar terlihat seperti tongkat permen. Andai harus menggunakan walker, maka akan dilengkapi dengan klakson sepeda. 'Bip, bip—minggir!' Sekira radang sendi di tangan mengganggu kita, kita bakalan memakai sarung tangan bintik-bintik hijau di dalam ruangan di musim dingin. Penuaan bisa menjadi pengalaman yang sangat memvalidasi asalkan kita belajar menertawakan diri-sendiri dan berfokus pada kegembiraan.
Segalanya berubah—tubuh, rumah, keluarga, koneksi spiritual, dan seluruh dunia kita. Kita dapat menggunakan energi kita melawan dan menolak perubahan. Tapi ada sesuatu yang gagah-berani tentang menyerah. Perubahan tak bisa dihindari, dan menolaknya menyebabkan jiwa kita sangat sedih dan sakit. Selagi kita begitu sibuknya menolak, kita berisiko kehilangan potensi kebahagiaan yang luar biasa besar.
Mungkin tiada hari dimana engkau tak menyadari perubahan. Tubuhmu berubah, keluarga dan temanmu berubah, kekuatan dan kecepatan pemrosesan mentalmu berubah, dan prioritasmu berubah. Bagaimana engkau menghadapi perubahan ini? Menyangkalnya? Atau, terima begitu saja?
Bagiku, jika penerimaan bermakna persetujuan, kukatakan tidak, aku tak menyepakati sebagian dari apa yang terjadi seiring bertambahnya usia. Bila penerimaan bermakna aku bakalan mengubah hidupku, maka kukatakan 'ya.' Jika perubahan bermakna kehilangan dan kekecewaan yang menyakitkan, kukatakan 'tidak, aku tak menginginkan semua itu! (Dan punyakah aku sebuah pilihan?) Bila perubahan bermakna pertumbuhan, gerakan maju, dan sikap menyegarkan, aku setuju. Jika penerimaan bermakna aku bakal membiarkan diriku pergi seiring bertambahnya usia, maka kukatakan tidak.
Penulis Frances Weaver memberitahu kita bahwa sikap kita terhadap segala perubahan inilah yang paling penting. Ia menulis, 'Keinginan tulus menjalani kehidupan yang produktif dan menarik di usia berapapun, bergantung pada imajinasi kita sendiri dan penerimaan ide-ide baru.'
Bila engkau merangkul saat-saat perubahan dinamis ini, engkau bakalan merasa lebih adem-ayem. Engkau sedang berpetualang. Katakan ya bagi perasaan tenteram—dan katakan ya untuk berkelana.'"