Jumat, 31 Desember 2021

Cincin Kesepuluh (7)

"Jadi, aku telah menjelajahi Bhumi Swatantra ini," imbuh Rembulan, "Dan akhirnya aku tahu, bahwa di sisi lain negeri ini, dahulu kala, sekitar seribu tahun yang lalu, ada legenda tentang Sepuluh Cincin Mistis, yang mana, Sembilan Cincin akan memberikan umur panjang, kecuali keabadian, dan kekuasaan serta kekayaan, kepada pemiliknya, dan Cincin Kesepuluh, dapat mengungkapkan kepada pemakainya, sesuatu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.

Konon, seekor Singa perkasa, kadarullah, menemukan Kesepuluh Cincin Mistis tersebut. Ia menegakkan klannya, menaklukkan Kerajaan Swatantra. Ia naik tahta dan bergelar Prabhu Kusam Mukha, lantaran ia tak pernah tersenyum. Kekuasaan sang Raja, bertambah luas, dan ia memproklamirkan diri sebagai Kaisar. Dimanapun sang Kaisar berada, tangan kanannya, Gadha, sang Rajawali, ksatria yang setia dan patuh kepada sang Kaisar, selalu menyertainya. Dan alih-alih memilih yang cakap, ia cenderung mempercayai para Kasim, merekalah yang sebenarnya merusak tatakrama Kekaisaran. Para Kasim ini, berasal dari empat klan, ular; serigala; rubah; dan tikus. Gadha yang jujur, berusaha menyingkirkan para Kasim ini, namun gagal sebab mereka licik, bahkan lebih kuat.

Suatu malam, di atas peraduannya, sang Kaisar, setelah lama tak mengenakan Cincin Kesepuluh semenjak pertama kali menemukannya, perlahan-lahan memakainya. Sang Kaisar tampak terkejut dan pucat-pasi. Malam itu, ia melihat sesuatu, yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Keesokan harinya, sang Kaisar mengumumkan kepada seluruh satwa, dan menjanjikan hadiah kepada yang putranya, dipandang paling tamvan.
Seekor induk kera, datang bersama yang lain, dan mempersembahkan, dengan segala kelembutan sang induk, seekor kera muda berhidung pesek, tak-berbulu, dan buruk-rupa, sebagai kandidat demi hadiah yang dijanjikan. Gelak-tawa khalayak, memberi hormat padanya, atas persembahan putranya. Ia dengan tegas berkata, 'Aku tak tahu, akankah Kaisar menganugerahkan hadiah kepada putraku, tetapi yang kutahu, bahwa anakku, setidaknya di mataku, ibunya, yang paling kusayang, tertamvan, dan tergagah dari semuanya. Dan kelak, ia bakal menjadi seorang Kaisar.' Sungguh, cinta seorang ibu itu, buta.

Waktu berlalu, para satwa telah melupakan kejadian itu. Dan di tepi sungai, duduk seekor kera, yang pernah dibawa ibunya ke hadapan sang Kaisar, sedang merenung, dan sampailah ia pada kesimpulan, 'Aku harus mengubah waktu! Aku harus mengunjungi negeri seberang, dimana para manusia, di kawasan yang jauh, berkeliaran, guna membawa pulang, peradaban.'
Seketika, ia berangkat, namun alih-alih menembus ruang dan waktu, langkah kakinya, membawanya keluar Rimba, dan sampailah ke sebuah kota. Sang monyet malang, ditangkap, dan dijual kepada seorang Nyonya yang kehilangan suaminya dalam perang. Sang Nyonya memakaikan kostum era abad pertengahan kepada sang monyet, termasuk wig dan rambut keriting putih, sebagaimana yang dikenakan dalam lukisan George Washington.
Hari demi hari, sang monyet menjadi tontonan sirkus, dan menjadi favorit sang Nyonya. Akhirnya, karena bosan dengan keadaannya, sang monyet melompat-lompat, mengacak-acak simpul rambut sang Nyonya dan mematahkan kipasnya. Sang Nyonya menendang sang monyet keluar dari rumahnya, yang berlari, sejauh yang ia mampu, membawanya kembali ke Belantara. Sekawanan monyet, lewat, mengenalinya, dan berkata, 'Dari mana saja kamu? Wow hebat! Lihat pakaianmu!' sembari memegang sylvan berbulu di sekeliling tubuhnya. Ada yang tercengang melihat strut dan jubahnya. Ada yang memuji lengan bajunya, serta periwignya yang rapi. Tak lama kemudian, kisah Monyet Jenaka, menjadi viral.

Sementara itu, sang Kaisar dan tangan-kanannya yang baik, Gadha, sedang berburu di hutan. Yang sejak pagi hingga siang, belum menemukan mangsa, kemudian beristirahat di sebuah gua. Seekor ular, mengintai keduanya, yang sedang membuka perbekalan mereka. Dengan instingnya yang tajam, sang Singa menggeram. Kumandang dari gua, menggeram pula, sangat menyeramkan. Sang Kaisar terkejut, pada awalnya, mengira bahwa itu, singa lain, 'Suara siapa yang menggeram padaku?' Yang Mulia bertanya. Sang kumandang menjawab, 'Padaku!' 'Kamu,' bentak sang Singa, 'Siapa kamu?' Sang kumandang dengan keras berteriak, 'Siapa kamu?' 'Ketahuilah aku singa, dengar dan gemetarlah!' jawab sang Kaisar. Sang kumandang kembali berseru, 'Gemetarlah!'
'Majulah,' sang Singa mulai dongkol, 'Tunjukkan mukamu!' Sang kumandang menjawab, 'Mukamu!' 'Apa? Engkau menganggapku remeh?' Kumandang menjawab dengan keras, 'Remeh!' Mendengar ini, karena merasa jiper ada ancaman terhadap tahtanya, sang Singa menggeram murka, namun gema suaranya menggeram pula. Ia makin gondok, kemarahannya berbuih, tahu bahwa ada saingan tahtanya, yang dengan berani akan merebut mahkotanya.
Gadha, yang mengamati kelakuan sang singa, berkata kepada sang Monarki, seraya tersenyum. 'Duhai engkau yang kujunjung tinggi, dengan rendah-hati aku memberanikan-diri, walau kebenaran, mungkin tak selalu pantas diucapkan, bahwa dedemit yang baginda dengarkan itu, yang sangat menggelisahkan telinga muliamu, bukanlah saingan tahtamu, suara dan kekhawatiran itu, semuanya milikmu.'
Tiba-tiba terdengar suara batu berderak, sang Kaisar, yang mulai tenang, bertanya, 'Gema jugakah itu?' Gadha, menyadari adanya bahaya, menjawab, 'Bukan, Yang Mulia, itu pasti, pengintai!' Bergegas ia berdiri, dan berteriak, 'Engkau yang bersembunyi di sana, keluarlah!' Sang ular yang gusar oleh tantangan sang Rajawali, segera keluar dari persembunyiannya. Melihatnya, sang Kaisar panik, langsung menerkam sang ular, namun meleset, karena reptil merangkak itu, berkelit. Sang ular, balik menyerangnya, dan mempersembahkan sengatan mematikan, lalu berkata kepada Pahlawan Rimba yang sebentar lagi kadaluwarsa itu, 'Matilah kau, tiran yang angkuh! Dan biarlah engkau jadi contoh bahwa tiada daya atau kekuatan yang cukup, yang setiap saat akan mampu menyaring seorang lalim dari kehancuran, bahkan seekor reptilpun, bila dipancing, dapat menjadi penyebab kesirnaannya.' Belum selesai dengan kalimatnya, nyawa sang ular lepas oleh paruh dan cakar-kokoh, Gadha.
Di penghujung napasnya, sang Kaisar menyerahkan sebuah cincin kepada Gadha, 'Simpan ini, dan bawa pulang jenazahku untuk dimakamkan sebagaimana layaknya seorang Kaisar. Setelah itu, pergilah mengasingkan-diri, dan kelak, berikan cincin kesepuluh ini, kepada para pencari keadilan, nantikanlah mereka!' Gadha bertanya, 'Bagaimana dengan sembilan cincin lainnya?' Untuk sementara, jawaban sang Kaisar, kita tunda dulu hingga menjelang akhir cerita ini yaq.

Ucapan belasungkawa mengalir dari penjuru hutan. Sang singa mati, tak meninggalkan penerus, dan setelah pemakaman, para Kasim, mulai mencari Cincin sang Kaisar. Mereka menemukan sembilan cincin di atas peraduan sang Kaisar. Sang ular, dengan racun muslihatnya yang mematikan, sang serigala dengan keserakahannya, sang rubah dengan kelicikannya, dan sang tikus, dengan hasrat mencurinya, menghambur ke arah cincin-cincin tersebut. Perebutan tak terelakkan, dan pada akhirnya, masing-masing mendapat dua cincin, kecuali sang ular, memperoleh tiga, yang kemudian berkata, 'Akulah pemimpin kalian, sebab aku punya tiga cincin!'
Setelah itu, mereka mendiskusikan siapa yang pantas menjadi Kaisar baru. Dan setelah adu-mulut yang melelahkan, mereka sampai pada pandangan bahwa mereka, tak bisa menjadi yang terpilih. Mereka harus menemukan siapa yang akan menjadi Kaisar, yang dapat mereka kendalikan. Sang tikus menginformasikani, 'Aku tahu, ada!' Yang lain bertanya, "Siapa?" Sang tikus menjawab, 'Ia yang dikenal para satwa sebagai Monyet Jenaka!' Kemudian merekapun mematangkan makar mereka.

Pada dini hari, Komisi yang dibentuk oleh para Kasim, mengumumkan, apa yang disebut Ambang-batas Pemilihan Kaisar, 'Melihat dst dst... Menimbang dst dst... Memutuskan, bahwa syarat dan ketentuan untuk menjadi Kaisar, para kandidat harus menemukan Sembilan Cincin Kaisar.'
Pada hari yang ditentukan, tiada satwa yang maju, lantaran mereka tak dapat menemukan sembilan cincin Kaisar. Pada pertemuan besar para satwa, berpura-pura tak mengenal sang monyet, sang ular memintanya, menari. Dalam hal ini, ia melakukannya dengan sangat baik, dengan seribu mimik dan seringai yang lucu, sehingga para satwa berlompatan dengan antusias. Sang ular bertanya, 'Sudahkah engkau menemukan Sembilan Cincin?' Dengan percaya-diri, sang monyet menjawab, 'Cincin-cincin itu, telah kuserahkan kepadamu, tiga di antaranya!' Sang ular segera menjawab, 'Benar!' sambil menunjukkan tiga cincin. 'Cincin lainnya, telah kualihkan kepada Rubah, Serigala, dan Tikus, masing-masing dua!' Ketiga satwa yang ditunjuk, langsung berseru, 'Cocok!' sembari menunjukkan cincin masing-masing. Setelah itu, ada yang berteriak, 'Ayo kita pilih monyet sebagai Kaisar baru kita!' Di sudut lain, menimpali, 'Ya, ia pantas menjadi Kaisar kita!' Yang lain, tiba-tiba berteriak, 'Ya, pilihlah monyet!' Yang lain lagi, berteriak, 'Hidup monyet, Kaisar baru!' dan di sana-sini, memilihnya sebagai Kaisar baru mereka. Para Senior yang semestinya bijak melihat keadaan, terkagum-kagum pula, bahkan ada yang berkata, 'Meskipun ia bukan singa, tapi aku jatuh cinta padanya!' Akan tetapi, para unggas, tak memilih sang Monyet dan merasa muak dengan para satwa, karena memilih penguasa yang, sangat tak layak.

Pada hari Pemahkotaan, sang Kaisar Baru, dengan ekor hitam di bokongnya, menggelantung, buritnya yang berbedak, laksana embun beku, dengan bangga menyampaikan pidatonya, 'Aku datang membawa bangsa ini, ke arah yang lebih baik. Timbanglah nilaimu sendiri, pertahankan posisimu, agar berada pada peringkat yang menyamai peringkat ras manusia. Di kota, telah lama kulewati hari-hariku, bercakap dengan manusia, dan mempelajari cara mereka. Aku telah melihat pakaian dan tatakrama mereka. Ubahlah keadaanmu, dan teladanilah aku. Jika engkau ingin mengembangkan kesantunanmu, perbanyaklah berurusan dengan sanjungan. Ungkapkanlah dengan cemoohan dan kebencian, gunakan temanmu sebagai tujuan pribadimu. Jika perlu, banyaklah berdusta, jangan berkata jujur, karena kebenaran itu, pahit. Jangan pakai otak, pakailah dengkul, yang penting, semua sanjungan mengalir. Beranilah merangkul segala bentuk kepura-puraan. Dan engkau akan diuji, maka turutilah perkataanku. Engkau, niscaya akan tumbuh seperti manusia yang beradab.' Para hadirin, segenap berdiri, bertepuk tangan, kagum.  Di belakang panggung, sang rubah berbisik kepada sang ular, 'Hebat kan konsep pidato yang gue bikin!' Sang ular mendesis, 'Iya, isi pidatonya, menunjukkan siapa pembuatnya!'
Komisi mengumumkan bahwa para satwa harus bersumpah-setia kepada Kaisar baru. Seluruh satwapun, melakukannya, kecuali para unggas. Dengan berdiplomasi, mereka berkata bahwa, oleh karena sebagian besar telah bersumpah setia, itu sudah cukup. Lagi pula, mereka ingin terbang bebas, tanpa keterikatan. Semua mengamini. Dan pada hari yang sama, sebagai penghormatan kepada para Senior, mereka dilantik, ada yang menjadi penasihat Kaisar, duta besar, atau posisi lainnya, atau fasilitas untuk mengembangkan bisnisnya, bahkan ada yang memperoleh jatah pembagian lahan. Pada awalnya, para satwa tak menyadari, bahwa semua ini, tentang sesuatu, yang kelak, mereka gambarkan sebagai gestur Jari-hati, sebuah tren yang dipopulerkan oleh Oppa Korea. Jempol dan jari telunjuk disilangkan membentuk sebuah hati: yang tersirat di atasnya, lalu kedua jari itu, berulang kali digosok-gosokkan, seperti gestur 'Bayarlah aku!'

Hari-hari berlalu, para satwa, yang berharap ada perkembangan yang baik pada masa pemerintahan Kaisar baru, malah merasakan banyak kemunduran. Harga barang semakin mahal dan kebutuhan sehari-hari semakin langka, seperti minyak goreng, kedelai, dan gula. Namun, apa yang mereka lihat, sangat berbeda dengan yang tercantum dalam berita resmi. Dan dari hari ke hari, keadaan semakin berat. Namun ganjilnya, sang Kaisar dan para kasimnya, hidup dengan pesta-pora dan kuda-kuda nan mewah. Dan satu demi satu, mereka yang dulu berteriak mendukung sang Kaisar, menjadi pejabat penting. Para senior yang semestinya memberi nasihat, tetap diam, sebab mereka telah merasa nyaman dengan posisinya masing-masing.
Di pasar, ada bakul-cendol berseru, 'Kaisar layak mendapatkan Cendol!' Merasa enek dengan keadaan yang ada, jangankan menanggapi, para pembeli yang lewat, meletakkan batu-bata di hadapannya, satu demi satu, hingga menutupi wajah sang bakul. Pedagang lain, bertanya kepada seorang pembeli, 'Aksi ini, buat apa yaq?' 'Sang pembeli menjawab, 'Cendol itu, warnanya ijo, dan kami tawarkan batu-bata, yang warnanya merah, artinya, alih-alih memberi lima bintang, walau satu bintang pun, 'Oogaah!'

Sebenarnya, para satwalah yang memperhatikan bahwa ada kesumbangan dalam pemilihan. Sebelum acara Pemahkotaan, mereka menyiapkan sedikit daging sebagai jebakan, dan salah satu anggota mereka, bergegas menemui calon Kaisar, mengatakan kepadanya, ia telah menemukan harta-karun, yang tak ia sentuh lantaran itu hak yang mulia Monyet. Sang monyet serakah, mengikuti sang unggas, lalu masuk perangkap. Saat melihat daging, segera digenggamnya dengan erat, hanya untuk mendapati dirinya, terjerat di dalam jeratan. Para unggas berdiri dan terbahak, 'Engkau berpura-pura jadi Kaisar kami, tetapi dirimu sendiri, tak sanggup engkau jaga! Pemimpin sejati, akan membuktikan dirinya, dengan kualitasnya.' Sejak saat itu, para unggas menyebutnya 'Prabhu Chari Mukha', dan kemudian para unggas tahu bahwa sang Kaisar, punya hobi mengoleksi boneka barbie, dan mereka menjulukinya, 'Prabhu Muchi Khari.'
Selain itu, para unggas bertanya-tanya tentang cincin Kaisar, kok cuma sembilan, bukan sepuluh? Akhirnya, dengan susah-payah, mereka mencari Gadha, yang mengasingkan-diri, di sebuah gunung. Awalnya, Gadha tak mau bertemu dengan mereka, namun ketika salah satu dari mereka, kadarullah, berkata, 'Kami ingin mencari Keadilan!' Maka, Gadha berbalik dan menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi.
Ia menunjukkan pula, Cincin Kesepuluh, dan membiarkan setiap tamunya, mengenakannya. Setelah segenap yang hadir, menyaksikan sesuatu yang belum pernah mereka lihat, Gadha berkata, 'Sebelum kematiannya, sang Kaisar menyerahkan cincin ini kepadaku dan menceritakan tentang Sembilan Cincin itu, 'Sembilan cincin itu, ecek-ecek. Cincin itu, bohong-bohongan, aku membuatkannya di pinggir jalan, cincin logam bersepuh emas, dan tak punya kekuatan apapun. Semua cerita tentang kebertuahannya, karanganku dewek. Aku menceritakannya kepada para Kasim dan mereka menyebarkan dusta.'

Kemudian Gadha berkata, 'Apa yang engkau s'kalian lihat dan alami, bagai cerita dalam senandung mabok orang Irlandia, the Drunken Scotsman. Dengarkan,
Well a Scotsman clad in kilt, left a bar one evening fair
[Nah, seorang Skotlandia, yang mengenakan Kilt,*) meninggalkan bar, di malam nan indah] 
And one could tell, by how he walked, that he'd drunk more than his share
[Dan orang pun tahu, dari caranya berjalan, ia minum melebihi jatahnya]
He stumbled round, until he could no longer keep his feet
[Ia terhuyung, hingga tak kuat menahan tungkainya]
Then he stumbled off into the grass, to sleep beside the street
[Lalu tersandung ke rumput, terlelap di tepi jalan]

About that time, two young and lovely girls just happened by
[Tepat waktu itu, dua gadis muda nan cantik, kebetulan lewat]
And one says to the other, with a twinkle in her eye
[Dan yang satu berkata kepada yang lain, dengan binar di matanya]
'See yon sleeping Scotsman so strong and handsome built,
[Lihat, orang Skotlandia yang tidur itu, kuat nan tamvan]
I wonder if it's true what they don't wear beneath the kilt!'
[Aku pengen tahu, benarkah, mereka tak mengenakan apa-apa di balik kiltnya!]

They crept up on that sleeping Scotsman, quiet as could be
[Mereka menggerayangi sang Skotlandia, sehening mungkin]
Lifted up his kilt about an inch, so they could see
[Mengangkat Kiltnya sekitar satu inci, agar mereka dapat melihat]
And there behold, for them to view, beneath his Scottish skirt
[Dan tak dinyana lihatlah, apa yang mereka saksikan, dibalik rok Skotlandianya]
Was nothing more than God had graced him with, upon his birth
[Tiada lain selain apa yang Tuhan anugerahkan padanya, sejak kelahirannya]

They marveled for a moment, then one said 'We must be gone!
[Mereka terkagum sejenak, lalu yang satu berkata 'Kita harus pergi!]
Let's leave a present for our friend, before we move along!'
[Mari persembahkan hadiah buat kawan kita ini, sebelum beranjak!]
As a gift they left a blue silk ribbon, tied into a bow
[Sebagai bingkisan, mereka tinggalkan pita sutra biru, yang diikat bersimpul]
Around the bonnie star, the Scot's kilt did lift and show
[Bagai bintang yang indah, Kilt sang Skotlandia, berdiri dan mempertontonkan]

Now the Scotsman woke to nature's call and stumbled toward the trees
[Sekarang, sang Skotlandia terbangun oleh rasa kepingin nguyuh dan tersandung ke arah pepohonan]
Behind a bush, he lifts his kilt and gawks at what he sees
[Di balik semak, ia mengangkat Kiltnya dan melongo melihat apa yang dilihatnya]
And in a startled voice he says to what's before his eyes
[Dan dengan suara terbata, ia menanggapi apa yang ada di depan matanya]
'O lad, I don't know where you been, but I see, you won first prize!'
['Duhai kawan, kutak tahu kemana saja engkau pergi, tapi aku sadar, engkau telah memenangkan anugerah pertama!']
Ring ding diddle diddle i de o ring di diddly i o
[Ring ding didel didel ai di yo ring dai didli aiyo]
"Sayangnya," kata Rembulan, "Aku harus pamit dan pergi. Tapi perbolehkan aku menyampaikan tentang para pencari keadilan itu, yakni para unggas. Mereka tiada henti menggemakan, bahwa Ambang-batas Sembilan Cincin itu, ciloko, dan kudu dihapuskan. Mereka menyadari bahwa apa yang mereka saksikan dan rasakan selama ini, tiada lain selain Atraksi Topeng Monyet belaka. Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan :
- 'Umar S. Al Ashqar, The World of the Noble Angels, translated by Nasreddin Al-Khattab, IIPH
- 'Umar S. Al Ashqar, The World of the Jinn and Devils, translated by Jamaal al-Din M. Zarabozo, IIPH
- Thomas Bewick, Bewick's Select Fables, Bickers & Sons
- Samuel Croxall, D.D., Fables of Aesop and Others, Simon Probasco
- Capt. Anas Abdul-Hameed Al-Qoz, Men and The Universe - Reflections of Ibn Al-Qayyem, Darussalam
*) Kilt ialah pakaian tradisional Skotlandia dan bangsa Keltik yang dikenakan di bagian pinggang dan mengelilingi tubuh pemakai hingga bagian atas kaki, di atas lutut.

[Bagian 1]