“Boleh jadi, Adam Smith takkan pernah menyangka, bahwa benih tanaman yang disemainya, bakal tumbuh menjadi tetumbuhan menjalar yang, di satu tangkai menghasilkan buah yang ranum, walakin di tangkai yang lain, dan di banyak tangkai, menghasilkan buah yang getir,” Laluna membuka percakapan setelah menyapa dengan Basmalah dan Salam. "Haruskah ia dipersalahkan?" lanjutnya, "Yaa enggak doong. Dalam sejarah Ekonomi Modern, di setiap abad, medan-laga perspektif yang berseteru, terfokus pada 'Tiga Besar': Adam Smith, mewakili Laissez Faire, Karl Marx mencerminkan model Sosialis Radikal, dan John Maynard Keynes, yang melambangkan Pemerintahan besar dan Negara persemakmuran. Pada abad kedua puluh satu, model 'Tangan Gaib' Adam Smith, meraih kejayaannya, dan puncaknya, Kapitalisme memenangkan pertarungan-ide atas Sosialisme dan Intervensionisme. Akan tetapi, di era Globalisasi dan Privatisasi, buah-pikir Keynesian dan Marxisme, melejit, memainkan peran penting dalam kebijakan ekonomi di sektor-sektor publik dan privat.
Dalam karyanya, 'The Theory of Moral Sentiments,' Adam Smith menulis, [dalam terjemahan bebas]
'... Kita sering menyaksikan, kejahatan dan kebebalan para penguasa, sangat jarang dicerca ketimbang orang-orang tak bersalah, yang lemah dan papa. Bagi kita, demi memajukan ambisi besar kita, guna menikmati pencitraan dan keterpesonaan umat manusia, dua jalan berbeda, terpampang dihadapan kita, masing-masing mengarah ke tujuan yang dikehendaki: (1) perolehan harta-benda dan kemegahan, dan (2) studi tentang kearifan dan praktik kebajikan. Dua karakter berbeda, disuguhkan agar dapat dicapai: (1) angkuhnya ambisi dan pongahnya keserakahan, dan (2) kerendahan-hati dan perilaku yang adil. Dua potret berbeda, diperlihatkan kepada kita, sebagai model dimana kita dapat mencoba, membentuk karakter dan perilaku kita sendiri: (1) yang satu norak dan berkilauan dalam coraknya, (2) yang lain, lebih mengena, dan lebih indah dalam garis besarnya ; (1) yang satu memaksakan diri pada perhatian setiap mata yang melotot, (2) yang lain, tak menarik banyak perhatian dari siapapun kecuali pengamat, yang giat belajar dan mawas-diri. (1) Pemuja dan penyembah berhala kekayaan dan kemegahan itu, komplotan besar umat manusia (dan alangkah anehnya, tampaknya, sebagian besar dari mereka, tak ikut dalam pagelaran ini, lantaran mereka berharap, beroleh sesuatu darinya). (2) Pengagum kearifan dan kebajikan, yang sejati dan kokoh, yang sebagian besar diri mereka, bijak dan berakal-budi; mereka itu, kelompok orang pilihan, tapi maaf, mereka bukan dari orang kebanyakan. ....'
Lantas? Candaan berikut ini, semoga dapat membantu kita, memahami maksud Adam Smith,
Konon, di Negeri Ajaib, seorang Ajudan-presiden, berkata, 'Maap, maap ni ye Pak Presiden ... boleh kagak, anak aye, kerje di mari, di Istane, tempatnye sih, dimane aje, terserah bapak!'
'Saget banget!' tanggap sang Presiden. 'Apa yang ia kerjakan, sa'iki?'
Sang ajudan mengangkat bahunya, menjawab, 'Kagak ade Pak, kecuali kongko-kongko bareng konco-konco die ..'
'Uwaapik iku!' ucap sang Presiden, 'Kita nggak perlu ng'latih dia laghi!'
Dan malam itu, bersama Burung-kicau, aku datang ke pertemuan yang kujanjikan padamu sebelumnya. Kami tiba agak terlambat, tepat ketika sang filsuf, berdiri lalu berbicara. Ia berkata, 'Sejarawan itu, sama seperti ilmuwan lainnya, satwa yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan 'Mengapa?' Pemikir cemerlang itu, orang yang mengajukan pertanyaan 'Mengapa?' tentang hal-hal baru atau dalam konteks kekinian. Para insan tak diatur secara unik oleh fantasi mereka, perilaku mereka mengikuti hukum atau prinsip tertentu, yang berasal dari 'sifat segala sesuatu'. Jadi, mari kita mulai dengan menanyakan apa yang dilakukan sejarawan dalam praktik, manakala ia dihadapkan pada kebutuhan untuk menetapkan penyebab peristiwa.
Pelajaran sejarah itu, pelajaran tentang Kausa. Karakteristik pertama pendekatan sejarawan terhadap masalah kausa, ialah bahwa, ia biasanya akan menetapkan beberapa penyebab peristiwa yang sama. Sejarawan membahas berbagai penyebab, acakadut kausa ekonomi, politik, ideologi, dan personal, kausa jangka-panjang dan jangka-pendek. Hal ini, sekaligus membawa kita kepada karakteristik kedua dari pendekatan sejarawan. Sejarawan sejati, dihadapkan dengan daftar penyebab ini, dari kompilasinya sendiri, ia akan merasakan dorongan profesional agar mengurutkannya, menetapkan beberapa hierarki kausa yang akan memperbaiki hubungan mereka satu sama lain, kemungkinan untuk memutuskan penyebab mana, atau yang mana. kategori penyebab, yang akan dianggap 'in the last resort' atau 'in the final analysis' (frasa favorit sejarawan) sebagai penyebab utama, penyebab dari segala penyebab. Inilah penafsiran tentang temanya; sejarawan dikenal melalui Kausa yang diajukannya.
Henri Poincare, mencatat bahwa sains, secara simultan melangkah ke depan 'menuju keberagaman dan kompleksitas' dan 'menuju kesatuan dan kesederhanaan', dan bahwa proses ganda yang tampak kontradiktif ini, suatu keadaan ilmu yang diperlukan. Dan inilah yang tak kalah benarnya dengan sejarah. Para sejarawan, dengan memperluas dan memperdalam penelitiannya, terus-menerus mengumpulkan semakin banyak jawaban atas pertanyaan, 'Mengapa?'
Intinya, kita membuat asumsi. Kita berasumsi tentang dunia di sekitar kita, berdasarkan informasi yang terkadang, tak lengkap atau keliru. Ini penting, sebab perilaku kita, dipengaruhi oleh asumsi atau kebenaran yang kita rasakan. Kita memutuskan berdasarkan apa yang kita kira kita tahu. Kita memutuskan berdasarkan persepsi dunia yang mungkin, tak sepenuhnya akurat. Tak cuma keputusan buruk yang dibuat berdasarkan asumsi yang keliru. Terkadang, saat segalanya berjalan dengan baik, kita merasa kita tahu, namun benarkah demikian? Bahwa sebuah hasil berjalan seperti yang engkau harapkan, bukan berarti engkau dapat mengulanginya, lagi dan lagi. Sebaiknya engkau berhati-hati dengan apa yang engkau kira, engkau ketahui. Berasumsi, walau didasarkan pada penelitian yang baik, dapat menyesatkan kita.
Ada orang yang memutuskan untuk memanipulasi pintu agar pas mencapai hasil yang diinginkan, dan ada pula orang yang memulai dari sesuatu, yang sangat berbeda. Hanya ada dua cara untuk mempengaruhi perilaku manusia: engkau dapat memanipulasinya; atau engkau dapat menginspirasinya. Dari bisnis hingga politik, manipulasi merajalela dalam segala bentuk penjualan dan pemasaran. Manipulasi yang khas, meliputi: menjatuhkan harga; menjalankan promosi; mempermainkan rasa-takut dan khawatir, tekanan teman sebaya atau pesan aspirasional; dan inovasi yang menjanjikan demi mempengaruhi perilaku—baik itu jual-beli, pemungutan suara, atau mencari dukungan. Ketika perusahaan atau organisasi, tak memiliki pemahaman yang jelas tentang mengapa pelanggan mereka itu, ya pelanggan mereka, mereka cenderung mengandalkan sejumlah manipulasi yang tak proporsional demi memperoleh apa yang mereka butuhkan.
Bila ibu seseorang berkata, 'Andai kawan-kawanmu memasukkan kepala mereka ke dalam oven, akankah engkau melakukannya juga?' Sayangnya, jika Presiden Negeri Ajaib melakukannya, ditambah dengan bumbu-dapur oleh para pemandu-soraknya aka para Buzzer dan influencer bayarannya, pastilah bakal ngetren. Dan untuk alasan yang baik, manipulasi pun berdaya-guna.
Seiring berjalannya waktu, Manipulasi semakin mahal. Keuntungannya, semata dalam jangka-pendek. Di luar dunia bisnis, manipulasi menjadi norma pula dalam politik saat ini. Sama seperti manipulasi dapat mendorong penjualan namun tak menciptakan loyalitas, demikian pula, manipulasi dapat membantu kandidat terpilih, walakin tak menciptakan landasan bagi kepemimpinan. Kepemimpinan menghendaki, agar orang-orang tetap bersamamu, baik dalam suka maupun duka. Kepemimpinan itu, kemampuan mengumpulkan orang, bukan untuk satu pagelaran, melainkan bertahun-tahun lamanya. Dalam bisnis, kepemimpinan bermakna bahwa pelanggan akan terus mendukung perusahaanmu, walau ketika engkau tersandung. Jika manipulasi itu, satu-satunya strategi, apa yang terjadi saat keputusan pembelian diperlukan? Apa yang terjadi setelah pemilu dimenangkan? Entah seberapa visioner atau briliannya, ide bagus atau produk hebat, takkan banyak berarti bila tiada yang membelinya. Manipulasi itu, strategi yang benar-benar valid untuk mendorong transaksi, atau untuk perilaku apa pun yang hanya diperlukan sesekali atau pada kesempatan yang langka. Dan, seperti bentuk promosi apapun, manipulasi akan berhasil dengan syarat, bila insentifnya terasa cukup tinggi untuk mengurangi risiko, alias mahal.
Dalam keadaan apapun, dimana seseorang atau organisasi menginginkan lebih dari satu transaksi, namun, jika ada harapan akan adanya ikatan kesetiaan yang kuat dan langgeng, manipulasi tak membantu. Akankah seorang politisi cuma menginginkan suaramu, atau, ia menginginkan dukungan dan kesetiaan seumur hidup darimu? (Dilihat dari bagaimana pemilu dijalankan sekarang ini, tampaknya, yang mereka inginkan, menang pemilu doang. Pariwara yang mendiskreditkan lawan, fokus pada isu tunggal, dan ketergantungan yang tak nyaman pada ketakutan atau keinginan aspirasional, semua ini, indikatornya. Taktik tersebut, bolehlah memenangkan pemilu, namun tak menumbuhkan loyalitas di antara para pemilih.)
Manipulasi berdaya-guna, tapi butuh biaya uang. Banyak uang. Bila uang tak tersedia mendanai taktik tersebut, tak punya pengikut setia, sungguhlah menyakitkan. Bila engkau tahu bahwa engkau punya pelanggan setia dan basis karyawan, bukan hanya mengurangi biaya, namun juga, menenteramkan. Ibarat kawan setia, engkau tahu pelanggan dan karyawanmu, akan selalu ada untukmu di kala engkau sangat membutuhkannya. Inilah rasa 'we're in this together,' kebersamaan antara pelanggan dan perusahaan, pemilih dan kandidat, bos dan karyawan, inilah yang memunculkan pemimpin yang hebat.
Sebaliknya, mengandalkan manipulasi, menciptakan tekanan besar bagi pembeli dan penjual. Bagi pembeli, semakin sulit mengetahui produk, layanan, merek, atau perusahaan mana yang terbaik. Manipulasi akan membuat organisasi dan sistem kita, semakin lemah dan lemah.
[Bagian 2]