Minggu, 30 Oktober 2022

Hanoman Obhong : C'est La Vie

"Tes urine?'" sang Purnama memulai dengan sebuah tanggapan sebelum melanjutkan Sundara Kanda. "'Belum becus juga ngurusin diri 'endiri, eh malahan pingin ngurusin orang lain. Untuk sementara, urus dulu deh moral elu dewek, dan biarkan kami, ngurusin moral kami sendiri. C'est la vie!' berkata seorang lelaki yang masuk ke bar dan memesan minuman. Ia melihat seorang pemabuk yang terus terjatuh dari kursinya. Sang lelaki menghabiskan minumannya sambil memperhatikan lelaki lain yang berusaha bangkit kembali ke kursinya. Merasa sedikit kasihan pada sang pemabuk, sang lelaki mencoba membantunya berdiri, namun sang pemabuk terus-terusan jatuh. Sang lelaki menawarkan tumpangan pulang kepada sang pemabuk, akan tetapi, sang pemabuk tak mampu berbicara hingga sang lelaki menemukan alamat di dompetnya. Saat berjalan menuju ke mobil, sang lelaki praktis kudu membopong sang pemabuk. Di rumah sang pemabuk, ia memarkir kendaraannya masuk dan setengah membopong, setengah menyeret sang pemabuk ke pintu depan. Ia membunyikan bel pintu dan seorang wanita membuka pintu. 'Bu, suami ibu, mabuk berat, jadi ane mutusin, ngasih tumpangan pulang.'
"Ente baik banget," kata sang wanita. 'Makasih yaa, tapi ... di mana kursi rodanya?'

Dan kembali ke bar, Fred dan saudaranya, Keledai, berjalan masuk ke bar. Fred memesan duluan dan berkata, 'Gua pesen satu gelas dan nambah segelas buat Keledai.'
Kedua lelaki, meminum gelas bir mereka dan Fred berkata, 'Okeh, Keledai, giliran elu. Pesenin gua, satu gelas Guinness.’
Keledai berjalan ke bar dan berkata, 'Dua g—gelas G— Guinness t—tolong.'
Sementara Keledai membawa gelas, Fred pergi ke toilet dan bartender berkata, 'Lu tu ye, mestinya lu nggak boleh ngebiarin die, manggilin elu sebutan dungu kek gitu.'
Keledai menjawab, 'Gue tahu. Doi sell—, doi sel—, doi sella—, doi selalu aja, manggil gue Kelede. C'est la vie!’

Kemudian, seekor panda masuk ke bar dan memberitahu bartender bahwa ia hendak makan siang. Bartender memberinya menu dan ia memesan. Sang panda memakan makan siangnya, dan begitu ia selesai, ia beranjak pergi. Tiba-tiba, sang panda menarik pucuk senjata AK-47 dari bulunya, dan menembak palangnya hingga berkeping-keping. Ia lalu berjalan menuju pintu.
Bartender yang terkejut melompat keluar dari balik bar yang berantakan dan berteriak, 'Hei, menurut loe, loe syapah? Elu udah makan siang, pucuk senapan loe, nembakin bar gue, dan sekarang, loe pegi, geto aja?’
Sang panda menjawab dengan kalem, 'Lho, gue kan panda.' Sang bartender berkata, 'Trus, emang 'napa?' Sang panda menjawab, 'Loe liat deh di ensiklopedia, c'est la vie!' dan berjalan keluar pintu.
Sang bartender melompat kembali ke belakang bar yang hancur dan mengambil ensiklopedianya. Ia melongok kata 'panda' dan benar saja, ada gambar panda.
Ia membaca keterangan, yang berbunyi, 'Panda—makhluk hitam-putih yang suka diemong. Makan pucuk dan daun.’

Seekor ayam masuk ke bar dan berkata, 'Seorang menteri dari negeri Zamrud, mengatakan bahwa merekalah negara pertama di Asia Tenggara yang punya kereta cepat. Bartender berkata, 'Kami tak melayani unggas.' Sang ayam menjawab, 'Gpp, aye cuma pengen minum kok. C'est la vie! Tek-kotek!’

Seorang lelaki berjalan masuk ke bar dengan seekor bebek nempel di kepalanya. Ia berkata, 'Perdana Menteri negeri Zamrud—ups maaf kalau keliru—berkata bahwa saat ini, banyak negara-negara besar yang meminta bantuan kepada rajanya, terkait perdamaian dunia. Padahal menurutnya, sang raja, dulunya, cuma suka main-kayu, eh bukan, maksudnya ... tukang-kayu.'
Sang bartender menjawab, 'Jangan baper dulu, ia seorang yang berpengalaman, cermati aja omongan dan nada-bicaranya, serta ... realitanya. Jadi, apa yang bisa ane bantu buat loe?' Sang bebek menyela, 'Yes, tolong dong singkirin orang ini dari bokong ane! C'est la vie! Kwek-kwek!'

Yah, c'est la vie. Maka, kita aktifkan Sundara Kanda lagi.

Kobra dan singa keluar dari lubang dan guanya, ketakutan, saat Hanoman melompat ke langit. Pepohonan terangkat bersamanya dan lingsir kembali ke bumi dan ombak, batang-batangnya mengambang bagai ranting di atas buih yang bergelombang. Sebelum ia melesat ke angkasa biru, ia tampak menggantung di udara sejenak. Tubuhnya diterangi oleh sinar terakhir matahari yang mulai tenggelam, ia memenuhi setengah cakrawala laksana awan petir yang disambar geledek.
Kemudian, dengan mudah, ia terbang mengarungi awang-awang yang lembut, di sepanjang jalan bayu, bersuka-ria bahwa ia telah mencapai apa yang diinginkannya dan, sungguh, lebih banyak lagi. Terdapat awan yang memantulkan lautan yang berada di bawahnya, demikianlah panoramanya: Hanoman melintas di antara mereka, rambutnya berpendar dengan matahari terbenam, dan berbintik-bintik hijau laut. Dengan kecepatan dua kali lipat dari kecepatannya terbang ke Alengka, putrabayu terbang kembali ke Rama membawa berita.

Sekali lagi, Mainaka muncul di hadapannya, sebuah piramida emas, sebuah visi di antara gelombang. Hanoman mengitari sang gunung, meneriakkan keberhasilannya, mendoakan Mainaka, dan balik didoakan sebagai balasannya. Ia mengelus sisi gunung yang berkaca-kaca, dengan cinta-kasih, dan, menangkupkan kedua telapak-tangannya kepada makhluk purbakala itu, dan berkilat. Seketika ia melihat Mahendra menjulang di hadapannya dan pantai bersih Baratawarsa. Hanoman mengaum kegirangan menembus langit yang gelap dan awan di dalamnya. Laut berguncang, demikian pula empat penjuru angin. Para wanara di pantai seberang, menanti dengan harap-harap cemas, masing-masing pasang kuping.
Wajah mereka berseri-seri, para kera Anggada, hampir tak punya waktu saling-menatap ketika, dengan siulan udara dan gempa bumi, Hanoman mendarat di puncak Mahendra. Ia berdiri sejenak di ketinggian itu. Ia menepuk-nepuk dadanya; ia berteriak panjang dan penuh kemenangan, dan berterima kasih kepada ayahnya yang ada di mana-mana lantaran telah menemaninya dalam perjalanannya. Kemudian, Hanoman menyusut kembali ke ukuran wanaranya yang biasa dan berlari menuruni gunung, penuh dengan berita dan kegembiraannya. Ia bertemu Angada, Jembawan, dan yang lainnya, di tengah jalan, sebab mereka juga menyambutnya dengan baik dan berlari ke atas, sama bersemangatnya dengan ia yang berlari ke bawah.
Kala mendengar Hanoman mengaum di atas mereka, Jembawan berseru kepada Anggada dan pasukan keranya di pantai, 'Ia telah menemukannya, atau ia takkan mengaum sekeras itu.'
Maka, para wanara berlari ke Mahendra dalam hiruk-pikuk harapan. Tersangkut dan mencabut tanaman dan pohon-pohon kecil di sekitar mereka, menyerbu lereng bukit dengan suka-ria, mereka bergegas berseru ke atas gunung. Saat mereka sampai, mereka mematahkan ranting-ranting pohon yang berwarna-warni dan melambaikannya tinggi-tinggi bak lautan obor bunga. Dan di saat mereka bertemu pahlawan yang pulang turun gunung, kegembiraan mereka tak terlukiskan.
Anggada memeluk Hanoman lagi dan lagi, dan yang lain, semuanya membungkuk di kakinya dengan aneh, dengan telapak tangan tertangkup. Ada yang membawa buah dan akar yang gurih, yang mereka kumpulkan dalam perjalanan ke atas. Mereka menawarkannya kepada Hanoman, mengira bahwa mungkin ia belum makan sejak ia meninggalkan pantai itu. Hanoman membungkuk ke Anggada dan Jembawan. Saat matahari terbenam di bawah ombak, mereka terdiam dan berdiri kaku di sekelilingnya, menunggunya berbicara. Sebuah senyuman, tiba-tiba menghiasi wajahnya yang ramah, dan Hanoman mengangkat suara dan menangis, sehingga setiap wanara yang mendengarnya, dan tempat itu, bergema dengan apa yang ia ucapkan, 'Di asokawana Rahwana, aku melihat Sita!'
Tentara kera mengaum. Mereka melompat tinggi ke udara. Mereka memutar roda gerobak di tanah dan cabang-cabang pohon, dan merepet kegirangan.

Para yakshi merayakan kegembiraan mereka, dengan berdansa waltz, mereka bersenandung,

Eurus ... Afer Ventus ... so the world goes round and round
[Angin Timur ... Angin Afrika ... maka duniapun berputar dan berputar]
With all you ever knew
[Dengan segala yang pernah engkau ketahui]
They say the sky high above is Caribbean blue
[Mereka bilang, langit tinggi di atas sana, birunya Karibia]

If every man says all he can
[Jika setiap manusia, ucapkan segala yang ia bisa]
If every man is true
[Jika setiap manusia itu, benar]
Do I believe the sky above is Caribbean blue?
[Percayakah aku, langit tinggi diatas sana, birunya Karibia?]

Boreas ... Zephyrus...
[Angin Utara ... Angin Barat yang lembut]
If all they told was turned to gold
[Jika segala yang mereka ucapkan, malih jadi emas]
If all you dreamed was new
[Andai segala impianmu itu, kekinian]
Imagine the sky high above in Caribbean blue
[Bayangkanlah langit, yang tinggi di atas sana, dalam birunya Karibia]

Eurus... Afer Ventus ... Boreas ... Zephyrus ... Africus ... *)

Ceritanya panjang. Dalam bentuknya yang masih ada, Ramayana karya Walmiki merupakan syair epik sekitar 24.000 syair, terbagi menjadi tujuh kanda: Bala Kanda, Ayodhya Kanda, Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda, Uttara Kanda, dan sekitar 500 sarga. Kita telah mendekati ujung-akhir Sundara Kanda, tapi cukuplah untuk saat ini. Dan kita bakalan sampai di Yudha Kanda, lalu Uttara Kanda, bi-idznillah."

Sebelum berangkat, sang Purnama menatap ke depan, 'Karena matahari terbit dari Timur, tampaknya tepat memulai dengan Eurus, Angin Timur. Fajar, awal dari hari baru yang melambangkan awalan baru. Biasanya, awal dari segala sesuatu dapat dikatakan tak pasti; manusia tak tahu apa yang bakal terjadi pada hari itu. Ia mungkin mengisyaratkan perjalanan yang menarik dengan nuansa, klimaks, suasana-hati dll, yang berbeda. Manusia akan memperhatikan bahwa banyak hari berputar di seputar tema alam dan kekuatan yang bertenaga.
Afer Ventus, angin Afrika atau angin Barat-Daya, penguatan alam. Angin memainkan peran utama. Sebab angin disebut sering berubah, seseorang cenderung merenungkan kebiasaan sifat manusia yang tak pasti. Dalam banyak agama, angin dikatakan sebagai kekuatan penuntun. Angin menunjukkan bahwa manusia yang 'tak pasti' selalu dapat bergantung pada kekuatan yang lebih besar darinya. Tinimbang harus membuat keputusan sendiri atau mengikuti keputusan manusia lain, marilah kita melepaskan beban duniawi dan membiarkan angin menuntun kita melalui perjalanan eksotis.
Boreas, angin Utara. Angin ini sering digambarkan berjanggut, kuat, berselimutkan dingin, dan bersayap. Angin utara biasanya dikaitkan dengan badai amarah dan kegetiran. Sebaliknya, Zephryus, angin Barat yang lembut. Kedua angin ini, saling-kontra dan mewakili dua sisi manusia yang berbeda: sisi baik, terkait dengan amal-shalih, dll, dan sisi buruk, terkait dengan kejahatan, dosa, dll. Lantaran spektrumnya sangat luas, manusia mudah berubah dan tak dapat diandalkan.
Dunia berputar dan berputar, takkan pernah berhenti beredar dan bergulir. Pengetahuan kita, bakalan terus berkembang seiring dengan pergerakan planet ini. Namun, ada di antara para manusia, menginginkan kesempurnaan, dan terkadang, mereka memaksakan diri untuk melihat kesempurnaan, walaupun itu, suatu ketiadaan. C'est la vie. Wallahu a'lam bish-shawab.”
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Billy Brownless, A Man Walks into a Bar, Allen & Unwin
*) "Carribean Blue" karya Eithne Ni Bhraonain, Roma Ryan, Nicky Ryan
[Bagian 16]

Jumat, 28 Oktober 2022

Hanoman Obhong : Stigma

Sang Purnama melanjutkan, "Ketika ia dibawa ke hadapan Rahwana, Hanoman membuka matanya, yang telah ia tutup rapat-rapat seolah kesakitan saat ia diseret di sepanjang lantai licin istana. Samar-samar, ia melihat Rahwana: jangkung dan flamboyan. Mahkota emas di kepalanya, memantulkan kilauan dari mutiara, berlian, dan rubi. Sang rakshasa mengenakan sutra putih melambai, yang persis seperti yang pernah ia lihat di suatu pagi. Ia duduk diam di singgasananya, sementara sang wanara tergeletak di depan kakinya.
Aroma kayu-cendana, yang membaluri tubuh Rahwana, memenuhi majelisnya. Necis, pesolek tapi serem, terpancar dari mata sang Iblis; yang memberangsang kepoin sekujur tubuh Hanoman. Rahwana mengenakan kalung mutiara di lehernya, ada yang segede telur merpati, dan di pergelangannya yang beriak, ia memakai gelang emas dan koral yang berat. Ia duduk di padmasana kristal hitamnya, ditemani para menteri di sekelilingnya, Prahasta, Nikumba dan yang lain.
Para rakshasa pengawal Indrajit, telah menyeret Hanoman ke sini dengan kasar. Namun saat ia terbaring di kaki Rahwana dan menatap kemewahan sang Rakshasa yang rancak ini, mata sang wanara tersilau. Ia menatap sang Iblis dan, tak dapat mengalihkan pandangannya dari sang raja Alengka, Hanoman mengamati. Ia membatin, 'Sungguh keren, sungguh cakep! Sayang, durjana. Andai ia tak mengambil jalur kegelapan, di sisi sebelah-kiri, Rakshasa ini, bisa menjadi raja para batara jika ia mau. Aku belum pernah melihat penampakan seperti ini, kece-badai seperti itu. Tapi sayang, ia kejam dan kasar. Ia makhluk kelam dan hatinya tak mengenal belas-kasihan.’
Rahwana, yang punya nama lantaran bikin geger Triloka, menatap mata Hanoman yang kuning kecoklatan, menakarnya dengan tajam dan cepat, sehingga sang monyet merasa jiwanya sedang diamati. Sang rakshasa merasakan tikaman kejerian, dan berpikir, 'Banteng Siwa-kah ini, yang datang ke Alengka, seperti yang ia janjikan ketika aku mengangkat gunung Mahadewa? Nandi-kah, yang datang sebagai monyet untuk mengumumkan kematianku? Atau, Banasura-kah, yang datang untuk membunuhku?’
Perlahan, api yang terlelap di kedalaman matanya, berkobar ke permukaan. Dalam tatapan gentar, Rahwana menolehkan sepuluh kepalanya ke arah menterinya, Prahasta, yang baru saja kehilangan seorang putra gegara Hanoman. Serempak, sepuluh kepala sang raja bertanya, 'Siapakah dirinya? Darimana asalnya? Apa yang diinginkannya, sehingga ia menghancurkan asokawanaku dan membunuh banyak prajuritku? Ia telah membunuh anakku. Tanyakan padanya.'
Prahasta berpaling ke Hanoman yang tergeletak di lantai, 'Jawab tanpa ragu hai monyet. Engkau takkan diapa-apain bila mengatakan yang sebenarnya. Indrakah yang mengutusmu kemari sebagai mata-mata, ataukah Waisrawana, Kubera atau Yama? Atau mungkin Wisnu, musuh rakyat kami, mengutusmu? Engkau bukan monyet sembarangan. Itu terlihat dari keberanianmu. Katakan pada kami, siapakah engkau.'
Akan tetapi, Hanoman takkan sudi menjawab pertanyaan orang sekelas menteri belaka. Ia mengisyaratkan bahwa ia ingin berdiri. Saat ia dibantu berdiri, ia beralih menghadap Rahwana, 'Bukan Yama, Kubera atau Baruna yang mengutusku. Bukan pula atas perintah Wisnu aku datang. Ini bukanlah penyamaran, melainkan wujud asliku, sebab aku seorang wanara. Aku ingin bertatap-muka denganmu, hai penguasa para rakshasa, karenanya, aku mengobrak-abrik asokawana. Aku membunuh para prajuritmu semata membela diri, karena mereka datang untuk membunuhku.
Tiada astra yang dapat mengikatku, Rahwana; lantaran Brahma sendiri yang telah memberikanku kekuatan itu. Aku membiarkan diriku, terikat dengan tali leceh ini, karena aku ingin berbicara denganmu. Perhatikan omonganku ini, dan itu mungkin menguntungkanmu, wahai Kaisar.’
Rahwana tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sang kera, menunggunya melanjutkan. Hanoman berkata, 'Rahwana dari Alengka, aku datang ke kotamu atas perintah rajaku, Sugriwa raja para wanara. Ia mendoakanmu agar selalu sehat dan memintamu agar memperhatikan pesan yang ia kirimkan. Inilah isi pesan Sugriwa:
'Ada seorang raja yang mulia, wangsa Ikswaku, yang keberanian dan kebajikannya tak bernoda, dan namanya Dasarata. Rama, putra sulungnya. Rama, seorang kesatria dan pangeran kebenaran. Untuk menjaga kehormatan ayahnya, ia pergi ke Dandakawana, mengasingkan-diri selama empat belas tahun. Rama bersama istrinya, Sita, dan adiknya, Laksmana. Suatu hari, Sita putri Janaka, tersesat di hutan. Dalam kesedihan, Rama datang ke gunung Reksamuka. Di sana, ia bertemu Sugriwa, yang diusir dari kerajaannya oleh saudaranya Subali. Rama dan Sugriwa bersumpah bahwa Rama akan mengembalikan kerajaan Sugriwa, dan sebagai imbalannya, Sugriwa akan mencari Sita sampai ketemu, dimanapun keberadaannya.'
Rahwana mendengarkan, dua puluh mata ganas menatap Hanoman tanpa kedip. Sang kera melanjutkan tanpa henti, 'Rahwana dari Alengka, pasti telah mendengar tentang keberanian Subali, raja para wanara. Rama membunuh Subali dengan salah satu anak-panah dari anak-panah-anak-panah ajaibnya, dan melantik Sugriwa di singgasana kayu hitam Kiskenda. Agar menghormati perjanjian mereka, Sugriwa mengirim pasukan wanara, mencari Sita; Utara dan Timur, Barat dan Selatan, ia mengutus mereka. Bukan hasil dari teori delusi Darwin, melainkan mereka semuanya wanara perkasa dari wangsa wayang purwa. Ada yang bisa terbang seperti Garuda, dan yang lain secepat Bayu. Aku Hanoman, putrabayu oleh Anjana, dan aku melompat ke seberang lautan, mencari Sita.
Bayangkanlah keterkejutanku, wahai raja yang hebat, yang tahu betul tentang kebajikan, yang lebih NKRI dibanding mereka yang menyatakan diri lebih NKRI diantara para NKRI-an, pokoknya yang lebih tahu tentang darma dan bukan drama, ketika aku melihat Sita yang ayu berduka di asokawanamu. Aku berpikir, bagaimana mungkin seseorang yang sangat mulia dan masyhur seperti Rahwana dari para rakshasa, Rahwana dengan tapa-bratanya yang tiada tara, menyandera istri orang di luar kehendaknya? Engkaulah orang yang, boleh dikata punya IQ di atas 200; engkau tak semestinya terperangkap dalam arang-muka seperti itu. Batara atau danawa, asura atau rakshasa mana, wahai penguasa Alengka, yang akan mampu menahan astra-astra Rama dan Laksmana?'

Rahwana masih tetap diam. Hanoman menatap tajam ke matanya dengan sikap menantang, padahal tiada yang berani melakukannya. Sang wanara berkata, 'Aku melihat Sita. Aku terkejut bahwa seorang raja bijak sepertimu, memelihara seekor ular-besar yang bakal mematukmu, di istanamu dengan kasih-sayang dan kelembutan. Layaknya makanan pilihan yang dicampur dengan racun, walau ia tak pandai memainkan drama ratu drama, namun ia akan membuktikan, lebih dari yang dapat engkau cerna. Rahwana, ia bakal menjadi kehancuranmu. Perhatikan apa yang kukatakan; pulangkanlah ia ke Rama yang merindukannya. Pulangkanlah ia sekarang, ia berbahaya.
Engkau seorang tapaswin [pertapa]. Bagi seseorang yang duduk selama pertapaan yang engkau lakukan, seorang wanitakah, bahkan yang paling cantik? Aku telah diberitahu bahwa itulah dhyana [meditasi] yang tiada banding, yang menjadikanmu tak tertandingi melawan para batara dan asura; dan engkau mengalahkan Indra dan Kubera. Akan tetapi Rahwana, engkau lupa bahwa Sugriwa bukanlah batara cahaya, bukan pula asura kegelapan. Ia bukan gandarwa, yaksha atau pannaga. Wahai Rakshasa dahsyat, Sugriwa itu wanara, dan Rama seorang manusia. Tak terkalahkankah engkau melawan keduanya?
Pikirkan baik-baik, sebelum terlambat dan musuh bebuyutan datang memburumu. Telah lama engkau menikmati buah tapasyamu; namun waktu untuk membayar dosa-dosamu sudah mendekat. Akan mampukah engkau menahan pangeran manusia dan para wanara, atau akankah mereka membawa kematianmu? Aku menyadikkan kearifanmu, Rahwana dari Alengka. Ingatlah bagaimana Subali mati; pikirkan kembali Janastana dan pembantaian tentara Kara. Pikirkanlah sekarang, dan apa yang telah kulakukan terhadap taman dan para prajuritmu. Kukatakan padamu, bahkan aku, yang hanyalah seekor monyet kecil, mampu memborbardir Alengka dongenganmu. Sebab aku berada di sisi kebajikan, sedang engkau, di sisi yang berlawanan.’

Mata Rahwana diamuk amarah; namun ia tetap membisu. Hanoman melanjur dengan berani, dan dengan kalem, semata argumen yang tenang mengalir dalam nada-suaranya. 'Engkau menganggap istri Rama hanya sebagai wanita lain. Walakin ia kedalaman malam nan kelam, yang akan menutupi kemuliaan Alengka; ia akan membuktikan, menjadi akhir dari segala keagunganmu. Ia jerat yang engkau ikat sendiri di lehermu, seolah kematian lebih engkau sukai ketimbang kehidupan. Ia api kebenaran, yang engkau nyalakan di dekat hatimu yang terperdaya. Wahai rakshasa, ia bakal membuatmu dan kotamu, jadi debu.
Rama orang yang mampu membumi-hanguskan jagad-raya ini. Ia sanggup memadamkan bintang-bintang dengan panahnya dan kemudian, mewujudkannya kembali. Selamatkan dirimu dari kemurkaanya. Selamatkan rakyatmu, para wanita dan anak-anakmu; selamatkan Alengka yang indah ini. Bilamana Rama datang, apa yang kulakukan di asokawanamu, akan tampak cemeh dibanding dengan apa yang bakal ia lakukan. Brahma, Indra, atau Rudra bermata tiga, takkan menyelamatkanmu.’

Mata Rahwana menyala. Bagai binatang pemangsa yang tak terlukiskan, Sang rakshasa menderam-dalam di tenggorokannya. Dengan pelan, ia berkata, 'Bunuh ia.'
Namun adiknya, Wibisana, berseru, ‘Baginda, membunuh sang kera bertentangan dengan kebajikan para raja. Jangan biarkan amarah menguasai dirimu; Engkau tak semestinya membunuh seorang utusan. Pertimbangkan hukuman yang tak terlalu ganas terhadapnya.”
Akan tetapi, Rahwana menggeram, mata sepuluh kepalanya, berapi-api, ‘Tiada dosa membunuh seorang perusak dan seorang pembunuh. Bukankah ia membunuh Jambumali, Aksa dan ribuan yang lain? Bukankah ia telah memusnahkan asokawana? Bukankah aku duduk di sini mendengar cemoohan dan hinaannya, yang takkan diterima oleh seorang raja?’
Wibisana berkata ayem, ‘Alasan apapun, seorang utusan tak boleh dibunuh. Ia musuh kita dan ia harus membayar apa yang telah ia lakukan. Cambuk, buat cacat, atau bahkan; cukur kepalanya dan lukai tubuhnya dengan murkamu. Tapi jangan biarkan ia terbunuh; kanun para raja tak membolehkannya. Selain itu, ia cuma utusan rendahan. Jika engkau membiarkannya dihukum mati, semua yang telah engkau peroleh, akan menjadi sebutan buruk bagi dirimu sendiri. Tugaskan pasukan melawan pangeran manusia yang mengutusnya. Itulah Keadilan; dan bukanlah orang bijak yang akan mencelamu, melainkan terbayang bahwa Rahwana mampu menahan amarahnya walau saat ia sedang dihasut.’
Sang kepala sepuluh, manggut-manggut. Namun dalam batinnya, Rahwana kepo, 'Inikah Wisnu yang berwujud kera, datang untuk membunuhku? Atau Brahma, atau jelmaan Parabrahmam?' Dengan susah-payah, sang iblis Alengka, meredam amarahnya
Menenangkan diri, Rahwana berkata kepada saudaranya, 'Engkau benar, Wibisana; aku takkan membunuh monyet itu. Tapi aku harus menghukumnya, lantaran kekacauan yang dibawanya ke kota kita.”
Para kepala saling berbisik jahat di antara mereka; setelah itu, sebagaimana mereka bersepakat men-stigma sang wanara, perlahan, senyum menghiasi wajah tengahnya. Rahwana berkata, 'Tiada yang lebih berharga bagi seekor kera selain ekornya. Biarkan ekor lembut monyet ini dibakar. Biarkan ia dipulangkan dengan tunggul yang terbakar di bokongnya guna menunjukkan bahwa ia menerobos jalanku. Ya, biarkan ekor monyet itu terbakar dan biarkan ia diarak di jalan-jalan Alengka. Biarkan rakyatku, menertawakannya atas apa yang ia lakukan hari ini.'"

Sang Purnama berkata, "Tapi tunggu dulu, aku ingin menggarisbawahi kata 'stigma.' Jadi, kita pause cerita ini barang sejenak. Lantas, mengapa stigma? 'Stigma', kata benda kiasan yang bermakna 'tanda pembeda atau karakteristik (dari jenis yang buruk atau tak pantas)' dan 'tanda aib atau penghujatan; tanda kecaman atau kutukan yang keras, yang dipandang sebagai kesan pada seseorang atau sesuatu'. Penggunaan kata 'stigma' sehari-hari mengacu pada kedua pemahaman ini; kita menggunakan 'stigma' untuk melukiskan tanda merendahkan yang ditempelkan pada anggota-tubuh, orang, kondisi, tempat tertentu, semisal ras, suku, agama, ideologi, dll. dalam interaksi sosial yang mempermalukan.
Kini, tatkala orang menggunakan istilah 'stigma', mereka cenderung pula menggunakannya berdasarkan pengalaman, menggambarkan efek psikologis yang melemahkan dari stigma, dengan penekanan khusus pada bagaimana rasa-malu yang disebabkan oleh stigma, merusak ketenteraman dan merusak rasa-dirimu. Namun, pemahaman psikologis stigma sering berfokus pada pengalaman individu yang distigmatisasi dengan cara yang menutup pemahaman tentang stigma sebagai kekuatan material, bentuk kekuatan struktural dan penataan. Stigma mengembangkan pemahaman yang lebih psiko-politik tentang stigma, mengkonseptualisasikan kembali stigma sebagai bentuk kekuatan yang terukir pada tubuh dan berada di bawah kulit.
Dalam kata pengantar Laporan Amnesty International 2016/2017 tentang keadaan hak asasi manusia dunia, Sekretaris Jenderal Amnesty Salil Shetty memperingatkan bahwa kita sedang menyaksikan 'tren global menuju politik yang lebih marah dan memecah belah' dimana 'ide tentang martabat manusia' 'di bawah serangan yang kuat dan tanpa henti dari narasi kuat tentang menyalahkan, rasa-takut dan kambing-hitam, disebarkan oleh mereka yang berusaha mengambil atau merangkul kekuasaan'. 'Di seluruh dunia', tulisnya, 'para pemimpin dan politisi mempertaruhkan kekuatan masa-depan mereka pada narasi ketakutan dan perpecahan, menyalahkan 'yang lain' atas keluhan dari para pemilih, yang nyata atau yang dibuat-buat.'
Stigma, mesin ketidaksetaraan, punya banyak akibat buruk. Stigma itu, 'serangan kuat dan tanpa henti' terhadap martabat manusia yang merupakan karakteristik utama dari pembelokan para otoritarian global saat ini. Stigma disebarkan sebagai teknologi pemecah-belah dan dehumanisasi oleh pemerintah. Politik stigma berperan dalam menghasilkan iklim beracun rasa-takut dan kebencian, yang menyelubungi dan memecah-belah bangsa dan masyarakat. Kekuatan stigma dibuat dan dikembangkan sebagai sarana untuk memanfaatkan modal politik. Politik yang memecah-belah ini, berada di bawah kulit orang-orang yang ditaklukkannya; stigma yang ditanamkan oleh negara ini, mengubah cara orang berpikir tentang diri mereka sendiri dan orang lain—merusak cinta-kasih, menghancurkan harapan, melemahkan solidaritas sosial.

Sekarang, bila aku pencet tombol play, Sundara Kanda akan berlanjut lagi.
Rahwana mengangguk kepada pengawalnya, dan mereka berlari keluar mengambil sehelai kain. Mereka melilitkan kain itu dengan erat di ekor Hanoman. Pada awalnya, Hanoman melotot; ia memamerkan taringnya dan menggeram pada para penculiknya. Tapi kemudian, ia berpikir, 'Jika aku membiarkan diriku diarak di jalanan Alengka, aku bakalan dapat melihat kota pada siang hari. Apa yang kuamati akan berguna nanti, saat membawa pasukan kita melawan Rahwana.’
Ia membiarkan ekornya dibalut, dicelupkan ke dalam minyak dan dibakar. Ia membiarkan penjaga Rahwana menyeretnya keluar istana, dan di bawah sinar matahari yang menyilaukan. Mereka menyeretnya ke seluruh kota, sementara para rakshasa berbaris di jalan-jalan, mencemooh dan mengejeknya. Hanoman berlalu dengan tenang, seolah-olah tak ada pertarungan yang tersisa dalam dirinya; ekornya menyala, kwndatipun ia belum merasakan sakit.
Para rakshasi dari asokawana berlari menemui Sita, dan berseru penuh kemenangan, 'Temanmu, monyet berwajah merah, sedang diarak di jalanan, dengan ekornya yang terbakar!'
Air-mata mengalir di matanya, Sita berpaling dari mereka. Ia mulai berdoa. 'Jika benar aku setia kepada Rama, bahwa benar aku telah menepati janjiku dan bahwa pikiranku selalu bersih, maka jangan biarkan Hanoman, yang telah melompat menyeberangi lautan untuk menemukanku, yang berani menghadapi setiap bahaya, membawa pesan Rama kepadaku, terbakar oleh api. Biarkan sentuhan pada ekornya, sedingin belaian ayahnya, Bayu.’
Hmm, bagian ini, mirip-mirip dengan cerita Nabi Ibrahim, alaihissalam, ketika ia akan dibakar oleh Raja Namrud. Kesimpulannya, jika ada yang sedang berupaya membakar hati dan kepalamu, jangan marah atau sedih, tapi berdoalah kepada Dia, Yang menciptakan api, agar mendinginkannya, dan menolongmu.

Seketika, api menjadi lembut seperti balsam kayu-cendana di ekor Hanoman, dan sang bayu meniup lembut di sekeliling putranya yang heroik. Sang wanara kepo, mengapa api yang melompat-lompat di sekitar ekor emasnya, tak menyakitinya sama sekali. Ia berpikir, 'Ekorku terbakar hebat, namun aku hanya merasakan kesejukan, seolah-olah seseorang mengurapiku dengan balsam yang lembut. Oh, ini bahkan lebih menakjubkan dari gunung yang muncul diantara gelombang. Tapi mengapa aku merasakan keajaiban? Baruna sangat setia kepada Rama sehingga ia meminta Mainaka menerimaku. Mengapa aku kepo tentang api yang tak membakar ekorku, dikala ia tahu, kepada siapa kubaktikan diriku?’
Kemudian, hatinya yang bijak, memberitahunya, 'Sita mendoakanmu!'
Ia merasa telah melihat semua yang bisa dilihat di Alengka. Ia mengaum di atas atap dan, dalam sekejap, Hanoman berwujud menara tertinggi di kota itu. Saat berikutnya, ia menjadi monyet kecil asokawana lagi, sekecil kucing, dan ia melompat dengan gesit ke atap terdekat. Tali yang mengikatnya, terlepas dari tubuhnya dalam tumpukan tak berguna. Ia melompat turun ke jalan lagi, membesar saat ia tiba, lebih besar dari sebelumnya di Alengka. Menarik sebuah pilar yang berdiri di persimpangan jalan, ia menyerang rakshasa yang menyerangnya, membabat ratusan; sisanya melarikan diri. Hanoman berdiri mengaum di jantung Alengka yang indah dan ekornya berkobar di belakangnya bagaikan obor yang tak pernah padam.
Kemudian, Hanoman melompat dari atap ke atap, membakar Alengka dengan ekornya yang terbakar, sementara angin bertiup di sekelilingnya, mengipasi api. Rumah-rumah masuk-angin dan terbakar, dan istana para bangsawan, saat api menyebar. Hanoman, mengaum kegirangan, berlari ke seluruh kota, menyentuhnya dengan ekornya seolah-olah ia menyalakan seribu lampu yang mencengangkan. Rakshasa, rakhshasi, wanita dan anak-anak, berhamburan keluar dari rumah mereka. Seluruh kota bergema oleh tangisan saat tempat tinggal mereka, yang ditata oleh Wiswakarman, berderak dan terbakar. Dan semua yang ada di dalamnya, rampasan dari ratusan perang, dilahap oleh neraka Hanoman. Sutra, brokat, dan permadani yang tak ternilai harganya, jadi debu. Kencana-kencana Alengka, lebur dan leler ke jalan-jalan yang gelap, dan jantung permata berharga itu, terbenam dalam api yang menyelimuti ibukota Rahwana. Pilar-pilarnya retak oleh panas yang membara, rumah-rumah besar runtuh.
Saat ia telah membakar sebagian besar Alengka, Hanoman melompat tinggi ke udara dan mendarat dengan getaran hebat di atap istana Rahwana. Sang wanara berlari melintasi atap itu, besar seperti kota, menyentuh setiap sudut dengan ekornya yang mengamuk. Istana Rahwana terperangkap dan terbakar seperti jerami. Api di ekor kera itu ganas, dan menggairahkan nafas yang dengannya sang bayu mengipasi api. Para harem memuntahkan wanita-wanita lezatnya, berteriak di atas deru api dan deru angin.
Setelah itu, ia melompat ke pantai putih di bawah, tangisan para rakshasa yang masih terngiang di telinganya. Ia mencelupkan ekornya yang mendesis ke dalam ombak dan memadamkan api yang menakjubkan, yang tak menghanguskan sehelaipun rambutnya.

Ia lalu memutuskan akan mengunjungi Sita sekali lagi, sebelum ia meninggalkan Alengka. Satu lompatan besar dan ia mendarat di hadapannya. Wajah Sita berseri-seri, dan ia menangis, ‘Duhai Hanoman! Engkau sendiri sudah cukup untuk menyasap Alengka dari muka bumi. Engkau lebih kuat dari yang kubayangkan. Tapi, terbanglah sekarang, wanara yang baik, terbanglah ke Rama membawa pesanku.’
Hanoman berkata, 'Jangan cemas, Dewi. Rama akan berada di sini dalam beberapa hari dengan tentara wanara. Sampai jumpa Dewi!'
Sita berkata, 'Terbanglah Hanoman, terbanglah ke yayangku!'
Hanoman melompat kembali ke puncak Trikuta, dan dari sana ke gunung lain yang disebut Arista. Sekarang, ia tumbuh tinggi seperti ia berada di atas Mahendra di seberang laut; tubuhnya menjulang ke langit laksana sebuah gunung berdiri di atas gunung yang lain. Saat ia maju-mundur di puncak bukit, mencari tempat yang sulit untuk meluncurkan dirinya, Hanoman menghancurkan bebatuan di bawah kakinya menjadi debu dan Arista berguncang seperti Mahendra. Menghadap ke Utara, sang wanara emas, sejenak menatap gelombang berbuih jauh di bawah sana. Ia berjongkok, seluruh ototnya meregang untuk melompat. Dengan teriakan yang menggetarkan lautan, Hanoman meluncurkan dirinya ke udara, dan Alengka berguncang seolah gempa-bumi. Saat tubuhnya lepas-landas dari bumi dan mulai melayang di udara, Hanoman bersenandung,

Born free
[Terlahir merdeka]
As free as the wind blows
[Semerdeka sang bayu bertiup]
As free as the grass grows
[Semerdeka rerumputan tumbuh]
Born free to follow your heart
[Terlahir merdeka 'tuk ikuti hatimu]

Live free
[Hiduplah merdeka]
And beauty surrounds you
[Dan keindahan mengitarimu]
The world still astounds you
[Dunia tetap menakjubkanmu]
Each time you look at a star
[Tiap kali engkau memperhatikan bintang]

Stay free
[Tetaplah merdeka]
Where no walls divide you
[Dimana tiada dinding memisahkanmu]
You're free as a roaring tide so there's no need to hide
[Engkau merdeka bagaikan gelombang bergemuruh, jadi tak perlu sembunyi]

Born free
[Terlahir merdeka]
And life is worth living
[Dan hidup pantas di jalani]
But only worth living
[Namun hanya patut dijalani]
'Cause you're born free *)
[Lantaran engkau terlahir merdeka]

Bagaikan anak panah, sang wanara terbang ke Utara melewati desiran-ombak, melesat kembali ke arah Baratawarsa."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Imogen Tyler, Stigma, Zed Books
*) "Born Free" karya John Barry dan Don Black.
[Bagian 17]
[Bagian 15]

Kamis, 27 Oktober 2022

Hanoman Obhong : Pemimpin Beretika

"Mengapa organisasi membutuhkan para pemimpin? Dan mengapa para pemimpin dalam organisasi tak memperhatikan soal etika?" sang Purnama melanjur dengan pertanyaan. “Seperti yang engkau sekalian ketahui, etika itu, berkaitan dengan moral, ya kan? Sedangkan moral, berkaitan dengan karakter atau watak atau dengan membedakan antara benar dan salah, yang kita sebut moralitas.
Tindakan etis didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang universal, sebab memasukkan nilai-nilai fundamental semisal kebenaran, kebaikan, keindahan, keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai ini, ditemukan dalam semua budaya, walau mungkin tiap-tiap budaya, berbeda dalam hal penerapan nilai-nilainya.
Teori-teori etika, secara umum, menyajikan garis-pedoman untuk membuat keputusan moral dengan mengartikulasikan standar-moral yang menjadi dasar perilaku-moral.
Salah satu ciri standar-moral, yang membedakannya dengan standar-standar yang lain, bahwa standar-moral menyangkut perilaku yang dapat berdampak mendalam bagi manusia, dan kesejahteraan manusia. Norma-moral menolak kebohongan, pencurian, dan pembunuhan, yang berkaitan dengan perbuatan yang dapat merugikan manusia; dan prinsip-moral yang mengharuskan manusia agar diperlakukan dengan hormat, yang meninggikan harkat-martabat para insan. Keabsahan standar-moral tergantung pada kecukupan asas yang mendukung, atau yang membenarkan standar tersebut. Moral atau etika, melebihi adab atau etiket, protokol atau adat-istiadat, dan bahkan ketaatan pada hukum negara. Ia tak mempertanyakan tentang suatu perbuatan yang legal atau ilegal, melainkan baik atau durjanakah perbuatan itu. SUATU PERBUATAN HUKUM, SECARA MORAL, BELUM TENTU MERUPAKAN PERBUATAN YANG BAIK.

Lantas, mengapa organisasi membutuhkan pemimpin? Organisasi punya struktur; anggota organisasi yang memangku atau mengemban kewajiban, peran, dan tingkatan status berbeda dalam organisasi, guna mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Struktur organisasi menyiratkan bahwa ada pemimpin dan pengikut. Para pemimpin diharapkan memberi arahan, menjalankan kontrol, dan secara umum, menjalankan fungsi-fungsi yang diperlukan agar mencapai tujuan organisasi.
Dalam organisasi yang sukses, perilaku kepemimpinan sejati—dalam makna memimpin orang-lain—lebih dari sekadar aktivitas pemeliharaan rutin seperti mengalokasikan sumber daya, memantau dan mengarahkan karyawan, dan membangun 'esprit de corps' organisasi. Kepemimpinan sejati terkait dengan menggerakkan pengikut menuju realisasi visi yang telah dirumuskan pemimpin demi memenuhi misi organisasi. Jelas, organisasi membutuhkan kepemimpinan. Tanpa pemimpin, organisasi bagaikan kapal tanpa kemudi, terombang-ambing dalam alam yang bergejolak.

Dan mengapa para pemimpin dalam organisasi tak memperhatikan soal etika? Sejumlah besar organisasi atau institusi yang ada di sektor bisnis dan pemerintahan, boleh dikata, nggak peduli-peduli amat dengan soal etika atau moralitas. Argumennya, barangkali bahwa etika dan moralitas, semata bagi urusan perlindungan organisasi-organisasi keagamaan secara ekslusif, dan mungkin, organisasi-organisasi pendidikan. Tatkala moralitas masuk ke dalam organisasi bisnis, ia berpotensi mengalihkan para pemimpin bisnis dari tujuan utama organisasi dan, sebagai akibatnya, jadi tak efisien dan menghilangkan pengembalian yang semestinya kepada para pemegang saham. Sudah barang tentu, sang pendiri perusahaan, tak memulai bisnisnya untuk memasarkan moralitas, melainkan mendapatkan keuntungan dan menghasilkan kekayaan. Pertanyaan serupa, dapat pula diajukan tentang peran etika dalam organisasi nirlaba, termasuk pemerintah–organisasi terbesar di negeri ini.

Awal tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, dapat ditelusuri ke Politik Aristoteles. Aristoteles mengamati bahwa negara terbentuk dengan tujuan menyediakan hukum dan ketertiban yang berkesinambungan, demi hukum yang baik, ketertiban yang baik, dan perbuatan yang bermartabat. Dalam nada yang sama, 'raison d'etre' organisasi manusia—struktur dan mekanisme, norma dan aktivitasnya—untuk mendukung seberapa 'baik' dan sesuai dengan 'fadilat tertingginya.' Seperti yang dicermati Peter Drucker, 'Apa yang terpenting ialah, manajemen menyadari bahwa ia hendaknya mempertimbangkan dampak dari setiap kebijakan bisnis dan tindakan bisnis terhadap masyarakat. Ia seyogyanya mempertimbangkan, akankah tindakan tersebut kemungkinan memajukan kebajikan publik, untuk mengedepankan kepercayaan dasar masyarakat kita, agar berkontribusi pada stabilitas, kekuatan, dan keharmonisannya.’
Seluruh anggota organisasi, memikul tanggungjawab guna memastikan bahwa tujuan organisasi dicapai dengan cara yang konsisten dengan cita-cita ini dan menyajikan kesejahteraan bagi mereka sendiri, beserta kepentingan masyarakat yang lebih besar.
Namun, tugas dan tanggung jawab utama untuk memberikan arahan yang tepat dan standar kinerja yang tinggi, terutama terletak pada pemimpin organisasi. Sesungguhnya, pemimpin itu, jiwa organisasi. Visi pemimpin, menginspirasi dan mengartikulasikan misi organisasi; memberikan dasar bagi tujuan dan sasaran organisasi; mengkomunikasikan keyakinan dan nilai-nilai yang mempengaruhi dan membentuk budaya organisasi serta norma-norma perilaku; dan meletakkan dasar bagi strategi, kebijakan, dan prosedur organisasi. Namun, prinsip moral dan integritas pemimpinlah, yang memberikan legitimasi dan kredibilitas pada visi dan mempertahankannya. Manakala integritas moral pemimpin, diragukan, maka visi pemimpin, seberapapun adiluhungnya, walau diukir dengan baik, dan diartikulasikan, bakal dipandang dengan skeptis oleh para pengikutnya, kehilangan kekuatannya, dan takkan mampu menggerakkan mereka, berfungsi menuju pengejewantahannya.
Saat ini, ada kesadaran yang semakin meningkat bahwa para pemimpin bisnis, perlu lebih bertanggungjawab, tak semata kepada para stock-holder, namun juga kepada para stakeholder lainnya—konsumen, karyawan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat. Walau tak ada yang bakal menyangkal bahwa bisnis harus menghasilkan keuntungan, semata asyik dengan cuan namun mengesampingkan atau mengabaikan pertimbangan lain, tak lagi dapat diterima. Laba–yang dulunya menjadi segalanya, dan akhir dari segala macam bisnis–sekarang dipandang sebagai sarana melayani kepentingan masyarakat yang lebih besar, yang, pada dasarnya, menyiratkan bahwa keputusan bisnis seyogyanya didasarkan pada standar kinerja ekonomi dan etika yang tinggi. Sebuah survei terhadap eksekutif sumber daya manusia menemukan bahwa 67 persen responden, mengobservasi bahwa etika, ke depannya, akan lebih penting bagi organisasi.
Kini, ada kesadaran yang meningkat bahwa para pemimpin organisasi, perlu lebih peka terhadap kewajiban moral mereka kepada masyarakat yang lebih luas, yang mencakup seluruh pemangku kepentingan [stakeholders] seperti konsumen, karyawan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat. Pengakuan kewajiban inilah, yang mendorong beberapa perusahaan besar merumuskan kode-etik, membentuk komite-etika, sistem-komunikasi bagi karyawan guna melaporkan pelanggaran atau meminta petunjuk, program pelatihan etika, petugas etika, dan proses pendisiplinan. Kode-etik dapat menjadi pengingat penting bahwa individu, bukan organisasi, terlibat dalam praktik etis atau tidak-etis.
Namun, kode-etik dan struktur seperti itu, semestinya lebih dari sekadar 'window dressing'; apalagi keunggulan bisnis yang kompetitif menjadi latarbelakangnya. Karakteristik khusus dari program etika atau kepatuhan formal, kurang penting daripada persepsi yang lebih luas tentang orientasi program terhadap nilai-nilai dan aspirasi etis. Yang paling membantu ialah, konsistensi antara kebijakan dan tindakan serta dimensi budaya-etis dalam organisasi, semisal kepemimpinan beretika. Kode-etik organisasi, menetapkan prinsip-prinsip etika yang seyogyanya mengatur keputusan dan perilaku pemimpin agar pemimpin dapat memenuhi misi, mengangkat iklim-moral organisasi. Melalui perilaku mereka yang menitikberatkan pada prinsip, orang-orang dalam posisi kepemimpinan, menentukan kualitas moral anggota organisasi, dan dengan demikian, berkontribusi pada penguatan, atau kemerosotan, serat moral masyarakat.
Sungguh sangat disayangkan bahwa organisasi bisnis telah menjadi sasaran banyak kritik. Kita berutang banyak kepada korporasi bisnis. Ia memberikan produk dan layanan yang kita butuhkan, serta dengan peluang mengembangkan dan memanfaatkan bakat, pengetahuan, dan kemampuan kita. Ia berkontribusi pula pada perekonomian, dan tanpa organisasi bisnis kontemporer, kita takkan dapat membayangkan standar hidup yang kita nikmati. Banyaknya terobosan yang bermanfaat dan vital di bidang kedokteran, pendidikan, dan teknologi, dihasilkan dari upaya atau dukungan korporasi bisnis. Namun litani duka-cita yang telah ada, agak-agaknya memunculkan pengamatan bahwa masyarakat kita telah kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai dasar kalangan ekonomi, dan bahwa kita membutuhkan kebangkitan spiritualitas dalam industrial leadership.

Ada pemahaman yang berkembang bahwa prinsip-prinsip etika, seyogyanya mengatur keputusan para pemimpin kita. Tidaklah cukup bahwa para manajer itu, cerdas, rajin, dan kompeten dalam konteks spesialisasi teknis mereka, sebab penelitian menunjukkan bahwa, kendatipun kualitas ini yang dikendaki, boleh jadi, tak efektif, lantaran mereka dipandang arogan, pendendam, tak dapat dipercaya atau tak amanah, egois, emosional, kompulsif atau suka memaksa, terlalu mengontrol, tidak peka, dan kasar. Selain kualitas etika individu, lingkungan moral organisasi, sama pentingnya.
Kualitas hidup dan kelangsungan hidup masyarakat manusia, bergantung pada kualitas moral para anggotanya. Namun, kualitas moral para anggota, sangat ditentukan oleh mereka yang menduduki posisi kepemimpinan. Cara dimana para pemimpin berfungsi dalam posisi pengaruh ini, dapat secara langsung berkontribusi pada penguatan, atau malah kemerosotan, serat moral masyarakat–dan sebagai seorang Muslim/Muslimah, kita dapat belajar dari Sirah tentang kehidupan kekasih kita, Rasulullah (ï·º), dan pula guna menambah wawasan, bisa disebutkan beberapa biografi antara lain Socrates, Buddha Siddhart-Gautam, Lao-Tzu, Gandhi, Ibu Teresa, yang membuktikan pengaruh fadilat masing-masing di eranya, dan juga, sepanjang zaman. Peran seorang pemimpin selalu membawa tanggungjawab yang berat dan ruwet. Di zaman kita, beban peran ini, menimbulkan tantangan yang agak unik dan berbobot, lantaran perubahan mendasar dalam norma-norma dan nilai-nilai masyarakat.

Sekarang, kembali ke buku-lima alegori naratif Ramayana, Sundara Kanda, Wibisana sedang berjalan menuju markas terdalam Rahwana. Ia bertemu dengan Trisirah, putra Rahwana dan Danyamalini—dari namanya saja, bahasa Sansekerta, kita tahu bahwa ia punya tiga kepala. Tak diketahui bisakah ia bermultitasking dengan ketiga kepalanya, tapi yang pasti, salah satu kepalanya menjawab sapaan Wibisana, dua lainnya, asyik membaca berita. Melihat bahwa ia sedang sibuk, Wibisana mempercepat langkahnya menuju markas. Wibisana, adik Rahwana, nama di KTP : Gunawan Wibisana, bertempat tinggal di Kasatrian Parangkantara, RT 5 RW 3, Kelurahan Cici Faramida, Kecamatan Dangdut Jadul, Daerah Khusus Trikuta, Alengka. Dari KK-nya, diketahui ia memperistri Rakshasi bijak, Sarama, dan berputri, Trijata.
Kemudian ia melangkah ke sebuah ruangan luas nan mewah, dimana Rahwana dan Kumbakarna duduk, ditemani oleh tiga putra Rahwana lainnya—dan merangkap pula sebagai buzzerp dan influencerp—Atikaya, Narantaka, dan Dewantaka. Kumbakarna berkata, 'Yang Mulia, radikalisme akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, dipicu oleh dinamika politik dan politik identitas yang kemungkinan muncul....' Tiba-tiba, dua orang pengawal datang beserta seorang wanita yang mengenakan hijab dan niqab baru, namun tampak linglung. Seorang dari mereka melapor, 'Yang mulia, kami barusan menangkap seseorang yang berusaha menerobos Istana. Ia membawa empat senjata dan Kitab Suci. Ia diduga tertular oleh K* Kl*x Klan.' Seketika, Kumbakarna menyela, 'Tuh kaan! Baruuu aja diomongin.' Atikaya menimpali, 'Parah nih!' Narantaka malah senang, 'Mayan, ada proyek baru!' Dewantaka menambahkan, 'Ya, ada bahan buat rayuan dan gorengan!' Tapi, Wibisana cuma berkomentar, 'Kok bisa ya?' Namun, dalam batinnya bergumam, 'Sialan, gue di undang dimari, cuman dijadiin kambing-congek, buat ngomongin soal ginian doang!'

Sementara itu, di asokawana, Indrajit berhadapan dengan Hanoman. Indrajit dielu-elukan oleh pengikutnya dewek a.k.a para rakshasa. Bersemangat-tarung, ia dengan antusias mempersiapkan diri berlaga. Putra penguasa rakshasa itu, meng keren-kece bro, matanya bak kelopak bunga teratai. Sang jiwa energik muncul, laksana lautan di bulan purnama. Indrajit mengendarai sebuah kereta yang kecepatannya, tak dapat dijajal. Ia dipasangkan pada empat Yali—sejenis binatang buas dan dapat berupa harimau, singa, macan tutul, gajah, atau bahkan sejenis reptil. Yali di kereta Indrajit biasanya dipasangkan harimau—yang bagaikan raja unggas dengan kecepatan terlajaknya, dengan taring tajam dan runcing. Yang terbaik dari yang terbaik di antara para pemanah, berada di kereta itu. Ia tahu tentang senjata dan yang paling tahu dari yang paling tahu di antara mereka yang paling tahu tentang senjata. Di kereta itu, ia dengan cepat maju menuju tempat dimana Hanoman berada.
Terdengar suara kereta. Ada suara dentingan busur. Mendengarnya, sang wanara pemberani, semangkin daripada yang mana seneng. Agar perlagaan cepat kelar, Indrajit mengambil busur raksasa dan anak panah tajamnya yang dapat melesat dengan cepat. Ia maju mendekat ke Hanoman. Dengan bersukaria, dengan busur di tangan, ia maju menuju medan pertikaian. Segala sudut memucat. Marga-satwa melolong ketakutan. Para ular dan yaksha bergerombol, seperti yang dilakukan para maharshi dan siddha. Kawanan besar burung menutupi langit dan sangat gembira, mulai saling-memanggil. Sang wanara melihat kereta Indrajit sedang melaju. Sang wanara kuat mengaum keras dan memperbesar ukuran tubuhnya. Indrajit berada dalam kereta ajaib itu, dengan busurnya yang berwarna-warni bagai pelangi. Ia mengayunkan busurnya dan mengeluarkan suara gemuruh. Keduanya sangat piawai. Keduanya sangat kuat dan tak takut adu-kekuatan. Sang wanara dan putra raja para rakshasa terikat dalam pertikaian, seperti Indra para dewa melawan Indra para asura. Hanoman tak tertakar dan bergerak dalam jejak ayahnya, memperbesar lagi ukuran tubuhnya.
Mereka berlaga di luar istana Rahwana, pangeran rakshasa dan wanara penggempur yang lebih tinggi dari pohon Hyperion. Bagai badai petir yang bertabrakan, mereka bertarung, menderu dengan riuh-rendah, ruang di antara mereka sarat oleh anak-panah Indrajit dan bebatuan beserta pepohonan lontaran Hanoman. Adakalanya, keduanya berhenti, ngos-ngosan tapi nggak sampai amsyong, keduanya tak sudi menyerahkan sejengkalpun lahan. Indrajit kagum pada sang monyet besar, yang tak pedulikan gotri mematikannya. Dan Hanoman kepoin sang rakshasa muda, yang tak terluka oleh rentetan segala sesuatu yang berat, yang bisa ia pegang. Ia merobek batu-ubin dan tangga-batu, dan melemparkannya, berputar laksana cakra, ke putra Rahwana; hanya untuk melihat semuanya lebur jadi bubur.
Akhirnya, Indrajit menarik anak-panah istimewa dari tabungnya. Ia memejamkan mata, menyebut sebuah nama tiga kali: Bento ... Bento ... Bento. Indrajit punya astranya sendiri, yang diberikan oleh Brahma. Hanoman terpaku di dalam mantra Brahma; ia melipat tangannya. Sang astra menyala, tertuju padanya melalui awang-awang. Karena bhaktinya, menghormati senjata Brahma, Hanoman tak mau menghindarinya, tapi malah membiarkannya, mengikatnya dalam cahaya melingkar. Ia tergeletak di tanah, seolah takluk. Hanoman berbisik pada dirinya, 'Bocah ini tak tahu bahwa, atas anugerah Brahma sendiri padaku, astranya cuma bisa menahanku 'bentar. Namun, aku hendak bertemu-muka dengan Rahwana, sebelum terbang meninggalkan Alengka, dan inilah peluangku. Aku tak takut.'

Ia berbaring santuy tanpa protes, sedang mereka mengira, kesaktian astra telah menaklukkannya. Para rakshasa berkerumun, dan mengikatnya sekali lagi dengan tali dan potongan kulit kayu terpanjang yang bisa mereka temukan. Saat gelungan tali menyentuh tubuh Hanoman, gulungan astra itu lenyap. Betapapun angkuhnya seluruh astra; tiada yang bakal bertahan lama kecuali bagi pemiliknya sendiri. Tatkala Indrajit melihat para rakshasa menyongong sang kera, yang tersungkur dengan tali yang mengekangnya, Indrajit berteriak kepada tentaranya agar berhenti. Namun mereka tak menghiraukannya dalam hiruk-pikuk seperti itu.
Putra Rahwana mengira bahwa sekarang, takkan perlu lagi membendung Hanoman. Namun, ada sesuatu yang membuatnya terperanjat, sang wanara yang berbaring di tempatnya menggelangsar, tapi membiarkan dirinya, diikat dan diseret ke hadapan Raja Alengka di istananya, dan malahan, berdangdut-ria,

Sambal ijo pedas rasanya
Namun tak sepedas hatiku yang luka
Janji manis yang kau berikan
Tak sepahit yang selalu ku rasakan
Sambal ijo pedasmu membuat diriku, jadi merana

Semua cara kau rayu diriku
Saat kau mengharapkan cintaku
Setelah kau dapatkan diriku
Kini kau pergi tinggalkan aku

Sambel ijo, itulah diriku
Seperti cintaku yang pedes di awal
Dan hilang berlalu *)

Gelagapan, Indrajit menyusul sang kera ke majelis sang babe."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Manuel Mendonca & Rabindra N. Kanungo, Ethical Leadership, edited by Chris Brotherton, Open University Press
*) "Sambal Ijo" karya Berry dan diaransemen oleh Capoenk, Arthur, Cepi
[Bagian 16]
[Bagian 14]

Senin, 24 Oktober 2022

Hanoman Obhong : Quid Pro Quo

"Mungkin, dikala engkau sebu oleh ambisi, atau sedang berjuang. Atau boleh jadi, engkau telah menghasilkan sekian juta pertamamu, menandatangani kontrak pertamamu, terpilih masuk ke dalam kelompok elit, atau mungkin pula, sudah cukup berprestasi sepanjang umurmu. Bisa jadi, engkau tercengang mengetahui betapa kosongnya berada di puncak. Atau barangkali engkau bertugas menuntun orang lain melalui masa-masa krisis. Atau agak-agaknya engkau baru saja dipecat, atau sekira baru saja menyentuh titik-nadir. Dimanapun engkau berada, apapun yang engkau lakukan, musuh terburukmu telah lama hidup di dalam dirimu: ego-mu, " sang Purnama mengutip Ryan Holiday.
"'Bukan gue dong!,' pikirmu. 'Kagak bakalan ada yang menyebut gue egomaniak.' Kelihatannya, engkau selalu menganggap dirimu sebagai orang yang cukup selaras. Namun bagi orang-orang dengan ambisi, bakat, dorongan, dan potensi guna dipenuhi, ego datang dengan teritoriumnya. Justru itulah yang membuat kita sangat menjanjikan sebagai para pemikir, pengarah, tim kreatif, dan pengusaha, apa yang mendorong kita ke puncak bidang itu, membuat kita rentan terhadap sisi gelap psike ini.
Ini bukan tentang ego dalam pengertian Freudian. Freud suka membeberkan ego dengan perumpamaan—ego kita itu, penunggang kuda, dengan dorongan bawah sadar kita diibaratkan satwa, dimana ego berusaha mengarahkannya. Namun, para Psikolog modern, cenderung menggunakan kata 'egotist,' merujuk pada seseorang yang, secara berbahaya, berfokus pada diri mereka sendiri dan dengan mengabaikan orang-lain.
Sang ego yang paling sering kita saksikan, berjalan dengan pemahaman yang lebih kasual: keyakinan yang tak sehat akan kepentingan kita sendiri. Congkak. Ambisi yang berpusat pada diri sendiri. Inilah bocah berangasan di dalam diri setiap insan, yang memilih mendapatkan apa yang diinginkannya ketimbang apapun atau siapapun. Kebutuhan menjadi lebih baik dibanding, lebih dari, diakui oleh, jauh melampaui segala manfaat yang masuk dalam nalar—itulah ego. Rasa superioritas dan kepastianlah yang melampaui batas kepercayaan dan bakat. Saat itulah, gagasan tentang diri kita dan dunia, tumbuh sangat pesat sehingga mulai mendistorsi realitas yang mengelilingi kita. Dikala, seperti yang dijelaskan oleh pelatih sepak bola Bill Walsh, 'self-confidence menjadi besar-kepala, assertiveness menjadi kebandelan, dan self-assurance menjadi pengabaian yang gegabah.' Inilah ego, sebagaimana yang diperingatkan oleh penulis Cyril Connolly, 'yang menyedot kita laksana hukum gravitasi.'
Dari sudut ini, ego itu, musuh dari apa yang engkau inginkan dan dari apa yang engkau miliki: Dari menguasai suatu keahlian. Dari wawasan kreatif yang nyata. Dari bekerja dengan baik dengan orang lain. Dari membangun loyalitas dan dukungan. Dari usia yang panjang. Dari mengulangi dan mempertahankan kesuksesanmu. Ia menolak keuntungan dan peluang. Ia magnet bagi musuh dan kesalahan. Ia Scylla dan Charybdis. Dalam mitologi klasik, Scylla, monster berkepala enam yang hidup di atas batu, di salah satu sisi selat sempit. Di sisi lain, Charybdis, pusaran air. Tatkala kapal-kapal lewat di dekat batu karang Scylla untuk menghindari Charybdis, ia akan menangkap dan melahap para pelautnya.
Sebagian besar kita, bukan 'egomaniak', melainkan ego yang ada pada akar hampir setiap problema dan hambatan yang mungkin terjadi, dari mengapa kita tak mampu menang sampai mengapa kita perlu selalu menang dan dengan mengorbankan orang-lain. Dari mengapa kita tak memiliki apa yang kita inginkan sampai mengapa memiliki apa yang kita inginkan, yang nampak tak membuat kita merasa lebih baik.
Kita biasanya tak memandangnya seperti itu. Kita beranggapan bahwa ada hal lain yang mesti disalahkan atas permasalahan kita (paling sering, orang-lain). Kita, sebagaimana pepatah penyair Lucretius beberapa ribu tahun yang lalu, ibarat, 'orang-sakit yang tak mengetahui penyebab penyakitnya'. Terutama bagi orang-orang sukses yang tak mampu memandang, sebab terhalangi oleh ego-nya, untuk berbuat, lantaran yang mereka pandang, semata apa yang telah mereka perbuat
Dengan setiap ambisi dan tujuan yang kita miliki—besar atau kecil—ego hadir mengacaukan perjalanan yang telah kita canangkan demi mengejar segalanya. Pionir CEO Harold Geneen membandingkan egoisme dengan alkoholisme, 'Sang egotist tak sempoyongan, atau membanting barang-barang dari mejanya. Ia tak gagap atau ngiler. Tidak, sebaliknya, ia semakin angkuh, dan beberapa orang, tanpa mengetahui apa yang ada di balik sikap seperti itu, mengira kesombongannya sebagai rasa-kuasa dan percaya-diri.' Boleh dikata bahwa mereka mulai keliru memandang tentang dirinya sendiri, tak menyadari penyakit yang di deritanya atau bahwa membunuh dirinya sendiri dengan penyakit itu.
Jika ego itu, suara yang bercerita pada kita bahwa kita lebih baik dibanding yang sebenarnya, kita dapat mengatakan bahwa ego menghambat kesuksesan sejati dengan mencegah hubungan langsung dan lurus ​​dengan dunia di sekitar kita. Salah seorang anggota awal Alcoholics Anonymous memahami ego sebagai 'pemisahan sadar dari....' Dari apa? Segalanya.
Cara pemisahan ini, sangat luas memujudkan dirinya secara negatif: Kita tak dapat bekerjasama dengan orang lain jika kita memasang dinding. Kita tak dapat memperbaiki dunia jika kita tak memahaminya atau diri kita sendiri. Kita tak dapat mengambil atau menerima umpan-balik jika kita tak mampu atau tak tertarik mendengarkan sumber dari luar. Kita tak dapat mengenali peluang—atau mewujudkannya—jika, alih-alih melihat apa yang ada di hadapan kita, kita hidup dalam angan-angan kita sendiri. Tanpa perhitungan yang akurat dari kemampuan kita sendiri dibanding orang-lain, apa yang kita miliki, bukanlah kepercayaan-diri, melainkan khayal. Bagaimana bisa kita menjangkau, memotivasi, atau memimpin orang-lain, jika kita tak sanggup mempertalikan kebutuhan mereka—lantaran kita telah kehilangan kontak dengan kebutuhan kita sendiri?
Artis teater Marina Abramovi mengutarakannya secara langsung, 'Jika engkau mulai percaya pada kehebatan dirimu, itulah kematian kreativitasmu.'
Hanya satu hal yang membuat ego tetap ada—kenyamanan. Mengejar pekerjaan hebat—baik itu dalam olahraga maupun seni ataupun bisnis—seringkali menakutkan. Ego mengentengkan rasa-takut itu. Ego-lah obat-penawar bagi rasa tak aman itu. Mengganti bagian rasional dan siuman dari psike kita, dengan gertakan dan penyerapan-diri, ego mengatakan pada kita, apa yang ingin kita dengar, di saat kita ingin mendengarkannya. Namun, itu semata pemulihan jangka-pendek, yang berakibat jangka-panjang.

Kini, lebih dari sebelumnya, budaya kita mengobarkan api-ego. Ngomong tak pernah semudah ini—terutama di medsos, kecuali di negara yang menyasar orang-orang tertentu dengan apa yang namanya UU ITE—buat obralin bualan kita. Kita bisa ngécap tentang tujuan-tujuan kita kepada jutaan penggemar dan follower kita—yang semata dipunyai oleh bintang-rock dan pemimpin sekte. Kita dapat mem-follow dan berinteraksi dengan idola kita di Twitter, kita boleh membaca buku dan situs serta nonton TED Talks, mengisap selang-api inspirasi dan validasi, yang belum pernah ada sebelumnya (ada app-nya kok). Kita dapat menyebut diri kita sebagai CEO dari perusahaan yang cuma ada di atas kertas. Kita bisa mengumumkan kabar-akbar di medsos dan membiarkan ucapan selamat mengalir. Kita bisa mempublikasikan artikel tentang diri kita di outlet yang dulunya, sumber jurnalisme objektif.
Beberapa dari kita melakukannya lebih dari yang lain. Walakin itu cuma masalah gelar. Selain perubahan teknologi, kita disuruh percaya pada keunikan diri kita di atas segalanya. Kita diperintah 'to think big, live big, to be memorable and dare greatly.' Kita menganggap bahwa kesuksesan membutuhkan visi yang tegas atau rencana menyeluruh—bagaimanapun juga, itulah yang semestinya dimiliki oleh pendiri perusahaan anu atau tim juara nganu. (Tapi merekakah juaranya? Serius?) Kita melihat orang-orang yang suka mengambil risiko dan orang-orang sukses di media, dan kepo pada kesuksesan kita sendiri, berusaha merekayasa balik sikap yang benar, pose yang benar.
Kita mengintuisi hubungan kausal yang tak pernah ada di sana. Kita menganggap gejala kesuksesan setara dengan kesuksesan itu sendiri—dan dalam kenaifan kita, tak dapat membedakan hasil-samping dengan penyebabnya.
Keruan, ego telah berdaya-guna bagi beberapa orang. Banyak kaum pria dan wanita, yang paling masyhur dalam sejarah, terkenal egoistis. Namun diikuti pula dengan banyak kegagalan besarnya. Bahkan sebenarnya, kegagalan yang jauh lebih berjibun. Tapi di sinilah kita, dengan budaya yang mendorong kita melempar dadu. Demi perjudian, namun mengabaikan pertaruhan.

Pada waktu tertentu dalam hidup, orang menemukan dirinya, berada dalam salah satu dari tiga tahapan: aspirasi, sukses dan gagal. Kita mencita-citakan sesuatu—berusaha membuat celah di alam semesta. Kita telah mencapai kesuksesan—mungkin sedikit, mungkin banyak. Atau kita telah gagal—baru-baru ini saja, atau terus-terusan. Sebagian besar dari kita, berada dalam tahap ini dalam pengertian yang cair—kita bercita-cita sampai kita berhasil, kita berhasil sampai kita gagal atau sampai kita bercita-cita lebih, dan setelah kita gagal, kita bisa kembali mulai bercita-cita atau sukses.
Ego itu, musuh di setiap langkah di sepanjang jalan ini. Dalam arti tertentu, ego-lah musuh dalam membangun, memelihara, dan memulihkan. Manakala segala sesuatunya datang dengan cepat dan mudah, mungkin baik-baik saja. Tapi, di saat ada perubahan, sulit.
'Lantas, sekarang apah?' tanyamu. Ego-mu, bukanlah kekuatan yang sepanjang waktu harus engkau puaskan. Ego dapat dikelola. Ego bisa diarahkan.
Sangatlah terpuji bila hendak menjadi pengusaha atau wanita pebisnis yang lebih bertalenta, atlet yang lebih jago, penakluk yang lebih heroik. Kita ingin semestinya mendapat informasi yang lebih akurat, lebih baik secara finansial. . . Kita ingin semestinya melakukan sesuatu yang akbar. Akan tetapi, pencapaian yang tak kalah mengesankannya: menjadi orang yang lebih baik, menjadi orang yang lebih berbahagia, menjadi orang yang lebih berselaras, menjadi orang yang lega, menjadi orang yang rendah-hati dan tak mementingkan diri-sendiri. Atau lebih baik lagi, semua sifat ini, direngkuh secara komplet. Namun yang paling tampak tapi yang paling diabaikan ialah bahwa menyempurnakan diri-pribadi secara rutin, yang mengarah pada kesuksesan sebagai seorang profesional, bukan kebalikannya. Berikhtiar memulihkan kebiasaan berpikir kita, berusaha menekan impuls destruktif, bukanlah semata persyaratan moral dari setiap orang yang berintegritas, ramah dan punya niat-baik.
Semuanya akan membuat kita lebih sukses; akan membantu kita menavigasi perairan berbahaya dimana ambisi mengharuskan kita melakukan perjalanan. Dan pula, upah bagi diri-sendiri.
Tapi, apa yang tersisa? Pilihan-mu. Apa yang akan engkau lakukan dengan informasi ini? Bukan hanya sekarang, tapi ke depannya? Setiap hari, selama sisa hidupmu, engkau akan menemukan dirimu dalam salah satu dari tiga fase: aspirasi, sukses, gagal. Engkau bakal melawan ego di setiap tahapan tersebut. Engkau bakalan berbuat keliru di masing-masing fase. Engkau seyogyanya menyapu lantai setiap menit, setiap hari. Dan terus, serta terus-menerus menyapu.

Memahami ini, kita akan menelusuri babak Sundara Kanda selanjutnya. Rahwana telah ditaklukkan oleh egonya sendiri. Walau sepuluh, duapuluh, tigapuluh, atau seratus bahkan ribuan kepala dan wajah Rahwana, takkan mampu memikirkan dan melihat, lantaran semata mempertahankan seorang Waidehi, putri Janaka. Sudah begitu banyak korban, bahkan putranya sendiri, Aksa. Suatu ketika, dalam pidatonya saat bertemu dengan para Asura lain—sebab Rahwana tak sanggup menaklukkannya—wangsa Niwatakawaca dan Kalakeya, ia berkata, 'Aku yakin, wangsa Asura akan dengan hati-hati, tidak sembrono dalam mendaklarasikan calon Kaisar.' Bagi para rakshasa, mendengarnya, membuat mereka manthuk-manthuk atau bertepuk-tangan, akan tetapi, bagi para Asura, mereka akan berkata, 'Yaa yaa, makasih udah ngingetin, tapi kalo milih elu, itu hasil dari kesembronoan.'
Layaknya seorang petinju dalam olahraga tinju, rekor tinju Rahwana dalam Main—Menang—Kalah adalah ribuan—ribuan—satu. Ya, ia pernah dikalahkan oleh Harjuna Sasrabahu atau Sahasrarjuna atau Kartawirya Arjuna. Ia putra Kartawirya, raja Mahespati. Engkongnya, Herriya, sang pendiri Kerajaan. Kartawirya Arjuna cukup disebut Arjuna, digambarkan sebagai Harjuna Sasrabahu, yang punya seribu lengan—pemberian Dattatreya—raja perkasa negeri Mahespati yang gemah-ripah, loh-jinawi, tata-tentrem, kerta-raharja.
Tapi semuanya sirna oleh ego-nya sendiri. Ia mabuk kepayang pada Citrawati, puteri raja negeri Magada. Namun, demi menjadikan Citrawati sebagai first lady, syarat dan ketentuan berlaku, bahwa Arjuna kudu menyediakan 800 orang dayang-dayang, dengan wajah yang sama cantiknya, dan dengan suara yang sama merdunya. Arjuna pun menyanggupi dan kemudian sanggup mewujudkannya. Namun, satu syarat belum cukup. Syarat berikutnya, Citrawati menghendaki sebuah ibukota baru dengan taman Sriwedari yang indahnya bak taman yang ada di Suralaya. Permintaan yang ekstra-ordineri ini pun dipenuhi. Arjuna segera menginstruksikan Menteri favoritnya, Sumantri.

Lha trus, siapa sih Sumantri? Sumantri ini ... Bambang Sumantri. Ia seorang kesatria, rupawan, perwira sakti, bersenjatakan Cakrabaskara, pemusnah kebiadaban. Ia putra seorang pendeta sakti bemama Maharesi Suwandagni. Ia masih saudara sepupuan dengan Ramaparasu atau Ramabargawa atau Parasurama, putra Resi Jamadagni. Namun sepanjang hayatnya, budi-pekerti Sumantri, mempermalukan derajat kesatriaannya. Sebaliknya, adiknya, Sukasrana, berparas raksasa, tapi berbudi-pekerti luhur, sakti-mandraguna dan sangat menyayangi kakaknya.
Pada suatu malam, Sumantri menghadap Resi Suwandagni, berpamitan guna pergi melamar pekerjaan ke negeri Mahespati. Akan tetapi, ia tak mau membawa adiknya, lantaran malu terhadap wajah Sukasrana. Sumantri diterima oleh Harjuna Sasrabahu, asalkan dapat merebut putri dari negeri Magadha. Dengan gagah perkasa, Sumantri berhasil menyisihkan semua lawan dalam sayembara merebut Citrawati. Namun, setelah berhasil, dalam benaknya, timbul akal-bulus, 'Bukankah aku yang berhasil memboyong Citrawati? Mengapa harus kuserahkan kepada Arjuna, yang belum tentu melebihi kesaktianku? Kalau begitu, lebih baik, aku tantang Arjuna menandingi keprawiraanku. Jika ia kalah dan lumat oleh Cakrabaskaraku, pasti akulah yang memiliki Citrawati, harta dan tahta negeri Mahespati.' Lagi-lagi, yang enak-enak dan yang empuk-empuk, cuan dan kekuasaan, mampu merubah budi-pekerti cicit Adam.
Tantangan Sumantri, disambut oleh Harjuna Sasrabahu dengan senang-hati. Sebab bagi Arjuna, lagak Sumantri itu, ibarat seseorang yang mendeklarasikan diri jadi Capres, namun belum dapat restu dari Nyonya partai. Maka, terjadilah perlagaan seru dan dahsyat, lantaran konon keduanya awatara Wisnu. Sumantri melontarkan Cakrabaskara ke arah Arjuna. Cakrabaskara menyalak, gemuruh suaranya membelah angkasa, mengejutkan hati Arjuna. Karena murka, Arjuna bertriwikrama menjadi Brahala, raksasa yang maha besar bermuka-seribu, sehingga dengan mudah, ia menangkap Cakrabaskara. Sumantri diringkus dan dijejak di bawah telapak kakinya. Seraya menangis, Sumantri minta ampun atas kelancangannya. Arjuna masih memberi maaf dan mau menerima pengabdiannya, namun dengan syarat yang lebih berat. Sumantri diperintahkan membangun taman Sriwedari dengan ancaman bahwa apabila ternyata gagal, maka pengabdiannya ditolak.

Sumantri pontang-panting nyari investor demi membangun ibukota baru, khususnya Taman Sriwedari. Bermacam gimik telah ia tawarkan, semisal memberikan Hak Guna Bangunan selama 80 tahun, dan bisa diperpanjang lagi selama 80 tahun, tanpa membayangkan selama berapa generasi lahan tersebut bakal dikuasai para investor. Selain itu, diskon pajak sampai sebesar 350% bagi para investor, tanpa sadar bahwa rakyatnyalah yang bakal menanggung semua itu.
Belum habis Sumantri berpikir, darimana ia akan memperoleh dana pembangunan taman Sriwedari, mendadak datanglah Sukasrana, adiknya yang berwajah rakshasa, lalu membantunya, dengan mudah membangun taman Sriwedari, demi memuaskan ego Citrawati.
Sumantri berterima kasih kepada adiknya, namun ia mensyaratkan agar Sukasrana bersembunyi, tak menampakkan diri di depan publik. Lalu, Sumantri mengaku bahwa dirinyalah yang membangun Taman Sriwedari, sungguh, Sumantri telah mencatut prestasi orang lain, Sukasrana, adiknya sendiri. Di masa kini, sama seperti seorang pejabat sementara gubernur di sebuah ibukota negara, yang ngakuin menggagas sistem transportasi terpadu, tapi merupakan prestasi gubernur sebelumnya. Mungkin bentar lagi, ia bakalan ngakuin, bahwa banjir dan macet, dapat teratasi berkat diri dan para kroninya.
Pada suatu hari, Citrawati bersama pengiringnya, di kala sedang bersukaria di taman Sriwedari, tiba-tiba lari ketakutan melihat raksasa kerdil berada di taman. Ia lari tunggang-langgang, melapor kepada Arjuna. Sumantri, yang belakangan bergelar Patih Suwanda, segera datang memeriksa taman. Bukan main marahnya ketika tahu bahwa raksasa yang menakuti sang permaisuri, adiknya sendiri. Dengan Cakrabaskara, Sumantri mengancam, agar Sukasrana pergi meninggalkan taman Sriwedari, namun ciloko, senjatanya lepas dan menewaskan Sukasrana. Lamat-lamat, Sumantri mendengar suara Sukasrana bahwa kelak, ia bakalan mati oleh gigi-taring Rahwana. Bergegas, Sumantri membersihkan tekapeh, termasuk CCTV dan barang bukti lainnya. Tak diketahui, apakah ia juga ngarang cerita soal pembunuhan itu, tapi yang pasti, Sumantri sukses membuat kalangan istana nampak sumringah. Sejak saat itu, mereka hidup dalam kemewahan, bahkan setiap hari, mereka berbaur dan berpesta di taman Sriwedari.

Namun syahdan, suatu hari lagi, Citrawati bertingkah, lagi. Ia kepingin mandi dan berenang bersama para maru—istri kedua, ketiga dst—beserta dayang-dayangnya. Tapi ia kuciwa-berat, lantaran kolam renang taman Sriwedari kering tak berair. Rupanya, kolam tersebut sengaja dikosongkan oleh Sukasrana, sebab ia tak mau, kolam bekas galian tambang itu, menelan korban seperti peristiwa di Kanjuruhan.
'Kanda, aku pengeen banget, mandi sambil ciblon, penuhilah keinginanku,' Demikian rayuan-maut Citrawati, mengadu kepada Harjuna Sasrabahu. Sumantri cuma bisa nepok-jidat, 'Ampun dah!'
Saking cintanya pada Citrawati, Arjuna bertriwikrama—mempertemukan tiga kekuatan yang ada dalam dirinya: masa lalu, masa kini, dan masa depan—mengalihkan wujudnya jadi seorang raksasa yang maha besar, padahal cuma untuk berbaring melintang menghalangi aliran sungai. Maka, terbendunglah air, terjadilah danau buatan, indah membiru, laksana langit di daratan. Citrawati bersama para maru dan inang-inangnya, bersuka ria. Apel, anggur, duren, dukuh, lengkeng, pokoke buanyaak banget buah-buahan, diusung ke tempat pemandian. Singkatnya, mereka berpesta-pora. Sumantri piket dari jauh, berjaga-jaga akan kemungkinan adanya bahaya yang mengancam sang first lady. Memang benar firasat Sumantri. Tak lama kemudian, Rahwana datang. Tatkala ia melihat tubuh Citrawati yang cuma memakai selapis kain 'nerawang yang'nutupin wadinya, Rahwana ... mana tahaan, dan glek, ia menelan air-ludahnya, serta seketika hendak menculiknya—ternyata, dari dulu Rahwana suka nyandera orang. Akan tetapi, rencana Rahwana dapat digagalkan. Sumantri dapat meremukkan kesepuluh kepala Rahwana. Berkat ajian Pancasonanya, Rahwana tak mati oleh tangan Sumantri, bahkan sebaliknya, tubuh Sumantri terobek-robek, digigit-gigit dan dikunyah-kunyah oleh sepuluh mulut Rahwana. Kutukan Sukasrana pun terbukti.
Mendengar kematian Sumantri, Prabu Arjuna murka. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan mengalahkan Rahwana. Rahwana diikat dan diseret kereta di sekitar alun-alun Maespati. Namun, waktu kematian Rahwana belum tiba. Resi Pulastya, engkong Rahwana, datang menghiba agar cucunya dibebaskan dan diampuni. Arjuna mengabulkan permintaan Pulastya seraya berkata, 'Iye iye kong, ane lepasin deh, tapi Rahwana kudu jadi vasal ane yee!' Dengan terpaksa, sang engkong manggut-manggut. Rahwana dibiarkan pulang ke Alengka dengan rasa-gondok.

Upaya Rahwana merebut Citrawati dari Arjuna, tak henti sampai di situ. Suatu hari ketika Arjuna keluar berburu sendirian, Rahwana mengutus intel-nya, Marica, menyampaikan kepada Citrawati bahwa Arjuna mati disembur gas air-mata. Berharap ia akan menyerahkan dirinya kepada Rahwana, ternyata, malah Citrawati yang bunuh-diri.
Hancur hati Arjuna mendengar yayangnya tewas melompat ke dalam kobaran api. Ia merasa tak ingin hidup lagi, dan meninggalkan kerajaan dan rakyatnya.
Selama berbulan-bulan, ia membiarkan rakyatnya dalam keadaan menderita dan akhirnya, kerajaannya pun runtuh. Di tengah pengembaraannya, ia bertemu dengan Ramabargawa.
Dulu, sewaktu masih menjadi raja, Arjuna tergolong kurang bijak. Apalagi setelah Patih Suwanda gugur—dan digantikan oleh Bambang Kuntanadi, bergelar Patih Surata—ia sering bertindak tanpa kearifan. Pada saat sedang berkelana bersama para putra dan pengawalnya, sang raja Mahespati membunuh Bagawan Jamadagni hanya soal sepele. Maharesi Jamadagni protes dan berdemo meminta keadilan lantaran ternak peliharaanya, dibantai oleh para prajurit Arjuna. Boro-boro ngegantiin binatang ternak sang resi, Arjuna bahkan membunuh Jamadagni dengan berseru, 'Tolak politik identitas, kita lawan!' Idih, apa hubungannya yaq? Biasalah, para penguasa represif memang begitu, orang meminta keadilan, malah penguasanya yang nyapnyap nggak keruan.
Ramabargawa, putra Bagawan Jamadagni, menuntut balas. Ia menantang Arjuna, kemudian melemparkan kapak saktinya ke arah Arjuna yang tak punya keinginan hidup lagi. Tubuh Arjuna hancur-lebur dijuing-juing kapak Ramabargawa. Sang raja Mahespati tamat riwayatnya, tenggelam oleh ego-nya dewek. Harjuna Sasrabahu, seribu lengan, seribu ego.

Boleh jadi, Rahwana telah lama melupakan kejadian itu, namun kemunculan Hanoman, mengingatkannya pada kehebatan Harjunasasra. Ia berkata kepada pangerannya, 'Adikmu dan teman-temanmu telah gugur. Sepertinya, tiada legiun yang sanggup melawan monyet ini, apalagi membawanya. Pergilah, anakku, bawakan ia padaku.’ Dengan berbisik, ia menambahkan, ‘Bawa hidup-hidup.’
Kemudian, sang pangeran rakshasa berangkat untuk menjinakkan wanara di asokawana. Laksana angin kelabu, kereta Indrajit menerbangkannya menuju Hanoman. Ketika mendekati sang wanara, ia menarik tali-busurnya dan Alengka bergema oleh gaungannya. Hanoman menjawab dengan tawa-liar, bahwa di sini, pada akhirnya, ada musuh yang pantas untuknya. Semangat bertempur ada padanya dan ia merindukan perlagaan yang sengit. Masih duduk kalem, Hanoman bersenandung,

Cublak, cublak suweng
[Bermain wadah anting-anting]
Suwengé ting gelèntèr
[Antingnya berserakan]
Mambu ketundhung gudèl
[Aromanya didekati anak-kerbau]
Pak Empong léra-léré
[Pak Ompong nengok kanan-kiri]
Sopo ngguyu ndhelikaké
[Siapa yang tertawa, ia yang menyembunyikannya]
Sir, sir pong dhelé kopong
[Nurani, hati-nurani, melompong bak kedelai tak berisi]
Sir, sir pong dhelé kopong. *)
[Nurani, hati-nurani, melompong bak kedelai tak berisi]

Lantas, pertarungan pun dimulai."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Ryan Holiday, Ego is the Enemy, Penguin
- Ir. Sri Mulyono, Wayang dan Karakter Manusia - Harjunasasra dan Ramayana, CV Haji Masagung
*) Lagu dolanan "Cublak-Cublak Suweng," menurut mbah Google, di berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa liriknya diciptakan oleh seorang Wali Songo, Syekh Maulana Ainul Yakin atau dikenal dengan Sunan Giri, sekitar tahun 1442 M.
[Bagian 15]
[Bagian 13]

Senin, 17 Oktober 2022

Hanoman Obhong : Convocare

"Sunzi bilang begini, 'Seni perang mengenal sembilan ragam Mandala Yudha,'" berkata sang Purnama saat menyajikan sebuah segmen Sunzi Bingfa. '[1] Ketika para panglima-perang berlaga di wilayahnya sendiri, itu yang disebut mandala tersebar. [2] Dikala ia telah menerobos masuk ke dalam wilayah yang tak bersahabat, namun tak terlalu jauh, disebut mandala yang mudah atau mandala perbatasan. [3] Mandala yang kepemilikannya mendatangkan keuntungan besar bagi kedua belah pihak, dinamakan mandala kunci atau mandala yang diperdebatkan. [4] Mandala dimana masing-masing pihak bebas-bergerak, disebut mandala terbuka atau mandala komunikatif. [5] Mandala yang mengunci tiga bagian mandala yang bersebelahan, sehingga ia yang menempatinya terlebih dahulu, menguasai sebagian besar mandala sebuah negeri di bawah komandonya, dipandang sebagai mandala persimpangan-jalan-besar atau mandala fokus [6]. Tatkala sebuah pasukan menerobos jauh ke dalam wilayah musuh, dengan meninggalkan banyak kota besar dan kota kecil yang berbahaya dan dikelilingi benteng, pasukan itu dianggap berada dalam mandala rawan. [7] Hutan pegunungan, lereng terjal, rawa dan payau—keseluruhan negeri yang sulit dilintasi: inilah yang dikatakan sebagai mandala berbahaya. [8] Mandala yang di tempuh melalui ngarai sempit, dan darimana kita semata dapat bergerak-mundur melalui jalan berliku, sehingga cukuplah sekelompok kecil tentara musuh menyerang kelompok pasukan yang lebih besar: merupakan mandala menyempit atau terkepung. [9] Mandala dimana kita tak bisa selamat dari kematian kecuali dengan bertarung habis-habisan, disebut mandala kematian atau kenekatan.

Lantaran itulah, dalam mandala yang tersebar, jangan melawan. Dalam mandala perbatasan, jangan berhenti atau berdiam-diri. Dalam mandala yang diperdebatkan, jangan lancarkan serangan. Dalam mandala terbuka, jangan berusaha menghalangi jalan musuh. Dalam mandala fokus, berjabat-tanganlah dengan sekutumu. Dalam mandala yang rawan, rampaslah perbekalan musuh. Dalam mandala yang berbahaya, tetaplah kekeh berdefile. Dalam mandala terkepung, buat rencana dan aturlah siasat. Dalam mandala kematian, berjuanglah. 
Mereka yang disebut sebagai pemimpin terampil di masa-lampau, tahu bagaimana meng-intercept pasukan depan dan belakang musuh; guna mencegah kerjasama antara divisi besar dan kecilnya; agar menghalangi pasukan yang baik menyelamatkan yang buruk, dan para perwira dari menghimpuin pasukan mereka. Manakala pasukan musuh berkumpul, mereka berhasil menjaga agar pasukan musuh agar tetap kacau-balau. Bila terdapat keuntungan yang dapat mereka raih, maka mereka terus bergerak; bila sebaliknya, mereka diam.

Jika ditanya bagaimana cara mengatasi sejumlah besar musuh yang lebih tertib, terpimpin dan pada titik terdekat, aku akan mengatakan, 'Jadilah yang pertama menangkap sesuatu yang paling berharga bagi musuhmu, sehingga ia bakalan mengabulkan segala tuntutanmu.'
Kecepatan itu, inti dari perang: manfaatkan ketidaksiagaan musuh, buat jalanmu dari arah yang tak terduga, dan serang tempat-tempat yang tak terjaga.

Berikut ini, prinsip-prinsip yang seyogyanya diperhatikan oleh kekuatan penyerang: Semakin jauh engkau menembus masuk sebuah negeri, semakin kuat soliditas pasukanmu, dan dengan demikian, para penjaga takkan menang melawanmu. Jarahlah perbekalan di negeri yang subur [ini gagasan Sunzi, mungkin sebagian dari kita akan setuju, namun bisa jadi tidak bagi yang lain] guna memasok makanan bagi tentaramu. Cermati kebugaran pasukanmu, dan jangan menjadikan mereka lelah bila tak perlu. Konsentrasikan energimu dan simpan kekuatanmu. Arahkan pasukanmu agar terus bergerak, dan buat rencana yang tak terduga. Tempatkan pasukanmu ke posisi dimana tiada jalan keluar, dan mereka akan lebih memilih mati ketimbang lari. Jika mereka tak takut mati, tiada yang tak bisa mereka capai. Para perwira dan prajuritmu, sama-sama akan mengerahkan kekuatan terbaiknya.
Prajurit yang dalam posisi yang sulit dan bernahaya, akan kehilangan rasa-takut. Bila tak ada tempat berlindung, mereka akan berdiri-kokoh. Jika mereka berada di negara yang bermusuhan, mereka akan menunjukkan keuletan. Manakala tiada bantuan, mereka akan berjuang keras. Maka, tanpa perlu menunggu perintah, para prajurit akan terus-menerus siaga; tanpa perlu diarahkan, mereka akan melaksanakan kehendakmu; tanpa batasan, mereka akan setia; tanpa perlu mandat, mereka bisa dipercaya. Jangan percayai kabar-burung dan hindari takhayul. Meski sampai kematian itu sendiri datang, tiada malapetaka yang perlu ditakuti. Bila para perwira dan prajurit tak punya beban dengan uang, itu bukan berarti mereka tak menyukai materi; jika hidup mereka tak terlalu panjang, itu bukan bermakna mereka segan berumur-panjang.
Pada hari perintah perang dikeluarkan, boleh jadi pasukan akan menangis, mereka yang sedang duduk akan berlinang air-mata, serta umbel yang akan membasahi pakaianya, dan yang sedang berbaring, akan mengucurkan air-mata yang membasahi pipinya. Namun, saat terlontar ke dalam kondisi tiada jalan keluar, mereka bakal memperlihatkan keberanian Chu atau Kuei. Jadi, pasukan yang ahli dalam peperangan dapat disamakan dengan ular SHUAI-JAN. SHUAI-JAN itu, seekor ular yang ditemukan di Pegunungan Cung. Jika engkau menyerangnya, ekornya bakalan melabrakmu; jika engkau menempur ekornya, kepalanya bakal menyerudukmu; dan jika engkau menerjang bagian tengah-tubuhnya, kepala dan ekornya bakalan mendampratmu.
Bila aku ditanya, 'Bisakah prajurit berkemampuan yang sama dengan Shuai­-jan?' Aku bakal menjawab, 'Ya.' Disebutkan bahwa rakyat dan para prajurit Kerajaan Wu dan Yueh, saling-membenci, namun jika mereka ditempatkan dalam perahu yang sama dan menghadapi angin yang kuat dan mengancam, mereka akan bekerjasama dan saling membantu ibarat tangan-kiri dan tangan-kanan. Karenanya, tak cukup bila semata bergantung pada tindakan mengikat kuda dan mengubur roda-­roda kereta perang sebagai alat mengendalikan pasukan itu. Ia mengubah metodenya dalam melaksanakan banyak hal dan mengubah strateginya agar tak seorangpun dapat memahami dan mengetahui rencananya, serta siasatnya. Ia mengubah lokasi perkemahannya dan melakukan perjalanan melalui rute yang tak dapat diprediksi agar tak seorang pun dapat menebak motifnya.
Pada saat kritis, sang jenderal yang sedang menjalankan misi militer khusus, laksana seseorang yang memimpin orang-­orangnya mendaki tempat yang tinggi dan mampu menyingkirkan tangga yang membawanya naik. Ia akan memimpin pasukannya jauh ke dalam wilayah musuh yang berbahaya dan kemudian mengungkapkan niatnya, yang sesungguhnya setelah membakar perahu dan memecahkan belanga untuk memasak. Ia memimpin pasukan seumpama sekawanan domba, mengangonkannya ke satu arah, lalu mengalihkan kembali ke arah lain tanpa mereka pahami apa yang sedang ia lakukan. Memimpin semua divisi pasukan dan menghadapkan mereka pada bahaya besar—inilah yang dikata menjadi urusan seorang jenderal.

Variasi dan perubahan berbagai jenis mandala, berbagai keuntungan yang terkait, dengan tindakan bertahan dan menyerang, serta pemahaman atas sifat dasar manusia, merupakan aspek penting yang dipelajari dengan cermat. Prinsip yang mengatur pendudukan atas wilayahmusuh itu, apabila sebuah pasukan menerobos jauh ke dalam wilayah musuh; pasukan itu akan lebih terfokus dan bersatu dalam pertempuran; ketika pasukan itu menerobos tak begitu jauh, semangat tempurnya cenderung terancam dan mencair. Manakala pasukan itu meninggalkan negerinya dan menyeberangi perbatasan menuju negara lain guna bertempur, pasukan itu berada dalam mandala terisolasi. Tatkala sebuah daerah sangat mudah dicapai dan komunikatif bagi semua pihak, itulah mandala fokus. Bila sebuah pasukan menerobos jauh ke dalam wilayah musuh, pasukan itu berada di dalam mandala berbahayas. Dikala sebuah pasukan tak jauh menerobos ke dalam wilayah musuh, mereka berada dalam mandala perbatasan. Jika daerah yang dekat dengan barisan belakang sangat berbahaya dan daerah depannya sangat sempit, medan itulah, mandala yang menyempit. Suatu daerah yang tak ada jalan untuk meloloskan diri disebut dengan mandala kematian. Karenanya, dalam mandala menyebar, aku semestinya menyatukan kebulatan tekat pasukan. Dalam mandala perbatasan, aku harus tetap menjaga agar para pasukan tetap terhubung-erat. Ketika menghadapi mandala-kunci, aku harus secepatnya membawa pasukan maju mendudukinya sebelum musuh melakukannya. Dalam mandala komunikatif, aku harus berwaspada selagi bertahan. Dalam mandala fokus, aku harus memperkuat aliansi dengan negara-­negara tetangga. Dalam mandala rawan, aku harus terus-menerus memastikan pasokan makanan dan perbekalan. Dalam mandala berbahaya, aku harus mendorong pasukanku agar maju secepatnya supaya dapat melewatinya. Dalam mandala yang menyempit, aku harus mengunci jalan masuk dan keluarnya. Dan dalam mandala kematian, aku harus berlaga seakan tak ingin hidup.
Merupakan sifat intuitif para prajurit, melawan dikala mereka dikepung, bertarung sampai mati saat mereka tak punya pilihan lain, dan patuh ketika mereka berada pada situasi yang sangat berbahaya.
Jadi, jika segala siasat dan taktik para panglima perang dari negara­negara tetangga tak diketahui, seseorang tak boleh giat menjalin aliansi apapun dengan mereka. Orang-­orang yang tak mengetahui kondisi pegunungan berhutan, dataran berbahaya jalur­-jalur pegunungan, serta sifat berbahaya rawa­ dan payau, takkan mampu menggerakkan pasukan. Dan orang­-orang yang tak menggunakan pemandu lokal, takkan mampu meraih segala manfaat dataran.

Jika seseorang tak memahami dan memanfaatkan, walau salah satu dari sembilan jenis mandala tersebut, orang itu tak dapat diakui sebagai panglima tertinggi dari sebuah pasukan penakluk. Bila seorang panglima perang menyerang sebuah negara yang besar, ia akan memastikan musuh takkan dapat mengumpulkan semua kekuatannya guna melawan pasukannya. Ia akan menaklukkan musuhnya dengan sangat meyakinkan dan membuat negara-negara lain sangat kagum sehingga tak satu pun dari para sekutu berani bersatu untuk melawannya. Jadi, seorang pemimpin tertinggi tak mesti berjuang mendapatkan aliansi dengan negara-negara lain. Ia tak harus mengembangkan atau membina kekuatan dengan negara lain. Sebaliknya, ia mengandalkan kemampuan terbaiknya guna menguasai musuh demi mencapai segala maksud dan tujuan. Karenanya, ia mampu menaklukkan banyak kota dan menggulingkan negara musuh­musuhnya. Dalam keadaan perang, berikan penghargaan yang berbeda dari kebiasaan umum dan norma. Laksanakan perintah yang tak sesuai dengan hukum dan peraturan yang lazim. Pimpinlah beragam kekuatan pasukan seolah-­olah sedang memberi perintah kepada satu orang.
Perintahkan kepada perwira dan prajurit menjalankan tugas, tetapi jangan beritahukan alasan atau maksudnya. Perintahkanlah agar mereka mengejar berbagai keuntungan dan perolehan, namun
jangan ungkapkan bahaya yang ada. Tempatkan para perwira dan prajurit ke mandala berbahaya, maka mereka akan berusaha bertahan hidup. Tempatkan para prajurit dalam mandala kematian, dan mereka akan berjuang keras agar tetap hidup. Ketika pasukan itu dilemparkan ke dalam situasi dengan bahaya besar, mereka mampu mengubah kekalahan menjadi kemenangan.
Jadi, seni peperangan itu, berpura-­pura menampung berbagai motif dan hasrat musuh. Pusatkan kekuatanmu pada satu poisi musuh. Maka, meskipun berasal dari jarak ribuan mil, engkau masih dapat membunuh pemimpin musuh. Inilah yang dimaksud dengan seni menyelesaikan tugas dengan terampil dan cakap. Ketika tiba waktunya bertempur, tutuplah seluruh pintu keluar di perbatasan, batalkan semua izin perjalanan dan jangan biarkan adanya gerakan dari para utusan negara-­negara lain. Selesaikan dan awasi dengan teliti semua persiapan, rencana, dan strategi akhir berperang di kuil para leluhur. Jika musuh memberikan satu celah, masuklah dengan cepat untuk memanfaatkannya. Cegahlah musuh dengan cara menangkap apa yang sangat mereka hargai, dan jangan biarkan musuh mengetahui tanggal serangan. Strategi militer seyogyanya disesuaikan dengan keadaan musuh sehingga berbagai tindakan dan keputusan dapat ditetapkan sesuai. Karenanya, pada awal pertempuran, berpura­-puralah tersipu-sipu bak seorang perawan, guna memancing musuh membukakan celah; dan seiring berlangsungnya pertempuran, hendaknya engkau sama cepatnya dengan kelinci yang melompat dan berlari, sehingga dapat memanfaatkan ketidaksiapan musuh.'

Metode militer Sunzi merupakan risalah militer Tiongkok, pertama kali ditulis pada sekitar tahun 400-320 SM, dikaitkan dengan seorang jenderal militer Tiongkok yang dikenal sebagai Sun Tzu—dilatinkan Sunzi—bermakna 'Filsuf Sun'. Terdiri dari 13 bab, yang membahas strategi dan berbagai metode perang. Buku tersebut merupakan catatan militer Tiongkok yang disegani dan masyhur di negara-negara di luar China. Ia pertama kali diperkenalkan di Jepang pada 716-735 M. Sedangkan di Eropa, diperkenalkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Jean Joseph Marie Amiot. Selanjutnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Kapten E.F. Calthrop, seorang kapten Inggris.
Buku tersebut merupakan salah satu buku strategi militer tertua di dunia dan berpengaruh besar terhadap perencanaan strategis militer, baik Timur maupun Barat. Selain menginspirasi dunia militer, juga diterapkan dalam bidang bisnis, bahkan politik.

Konon bahwa Sun Tzu Wu merupakan penduduk asli Negeri Chi. Seni Perangnya, membawanya sampai ke hadapan Ho Lu, Raja Wu. Ho Lu berkata padanya, 'Aku telah membaca dengan cermat 13 bab risalahmu. Bolehkah aku menguji teorimu tentang manajemen tentara?' Sun Tzu menjawab, 'Boleh.' Ho Lu bertanya, 'Bolehkah uji-coba ini diterapkan pada wanita?'
Jawabannya sekali lagi, sepakat, maka diaturlah dengan mengeluarkan 180 wanita dari Istana. Sun Tzu membaginya menjadi dua kompi, dan menempatkan salah seorang selir favorit Raja sebagai komandan masing-masing regu. Ia lalu meminta mereka semua, mengambil tombak, dan mengatakan begini, 'Aku yakin bahwa engkau sekalian tahu perbedaan antara depan dan belakang, tangan-kanan dan tangan-kiri?' Para wanita menjawab, Ya.'
Sun Tzu melanjutkan, 'Bila aku berseru, 'Mata ke depan,' engkau harus melihat lurus ke depan. Saat aku menyerukan, 'Hadap kiri,' engkau harus menghadap ke arah tangan-kirimu. Ketika aku bilang, 'Hadap kanan,' engkau harus menghadap ke arah tangan-kananmu. Manakala kuucapkan 'Putar balik,' engkau harus memutar balik ke arah kanan hinga menghadap ke belakang pungggungmu.'
Sekali lagi, para selir menjawab 'he-eh.' So, kalimat perintah telah dijelaskan, lalu Sun Tzu menyiapkan tombak dan kapak perang guna memulai latihan. Kemudian, diiringi suara drum, ia memberi perintah, 'Hadap kanan.' Boro-boro ngikutin perintah, para selir itu, tertawa cekikikan. Sun Tzu berkata, 'Tatkala kalimat perintah tak jelas dan terang, manakala perintah tak dipahami sepenuhnya, maakaaa ... itu salah jenderalnya!'
Lantas, iapun mengulang latihannya, dan kali ini, memberi perintah 'Hadap kiri,' Eeeh para selirnya malah terkikik-kikik lagi. Sun Tzu, 'Tatkala kalimat perintah tak jelas dan terang, manakala perintah tak dipahami sepenuhnya, jenderalnya yang kudu disalahin. Taapiii, 'kan perintahnya .. jellaas, dan para prajurit tetap saja tak mematuhinya, maakaaa ... itu dosa komandannya.'
Sambil berkata demikian, ia memerintahkan para komandan kedua kompi itu, dipenggal. Raja Wu, yang sedang menyaksikan tayangan dari paviliun atas; dan saat melihat bahwa para selir maknyus-nya bakalan dieksekusi, sangat terkejut dan buru-buru mengirimkan pesan berikut, 'Sekarang kami cukup puas dengan kemampuan jenderal kami menghandel pasukan. Bila kami kehilangan dua selir itu, daging dan minuman kami, bakalan terasa hambar. Kami berkehendak bahwa, mereka takkan dipenggal.'
Sun Tzu menjawab, 'Setelah menerima tugas Yang Mulia menjadi jendral pasukannya, ada perintah-perintah tertentu dari Baginda yang, dalam kapasitas itu, tak dapat diterima.'
Oleh karenanya, ia memenggal kedua komandan a.k.a selir itu, dan langsung menempatkan pasangan di urutan berikutnya, sebagai komandan. Ketika hal tersebut telah terlaksana, drum digaungkan pertanda latihan dimulai sekali lagi; dan para wanita itu, mengikuti seluruh gerakan, hadap kanan atau kiri, maju atau mundur, berlutut atau berdiri, dengan akurasi dan presisi yang sempurna, ora wani ngomong blas. Setelah itu, Sun Tzu mengirim utusan kepada sang Raja, mengatakan bahwa 'Prajurit Baginda, sekarang telah dilatih dan didisiplinkan dengan baik, dan siap diperiksa oleh Yang Mulia. Mereka dapat digunakan untuk apa saja yang dikehendaki oleh atasan mereka; disuruh melewati api dan air pun, mereka takkan membangkang.'
Sayangnya, sang Raja menjawab, 'Sudahi saja para jenderal berlatih dan kembali ke barak. Adapun kami, kami ogah turun memeriksa pasukan.'
Lalu, Sun Tzu bikin komen, update status, 'Raja cuma menyukai kata-kata, dan tak dapat menerjemahkannya ke dalam perbuatan.'
Setelah itu, Ho Lu melihat bahwa Sun Tzu, orang yang tahu bagaimana menghandel pasukan, dan akhirnya mengangkatnya menjadi jenderal. Di bagian Barat, ia mengalahkan Negeri Bagian Chu dan memaksa masuk ke Ying, ibukota; ke bagian Uutara, ia membuat ketakutan ke Negeri Chi dan Chin, dan menyebarkan kepopulerannya ke luar negeri di antara para pangeran feodal. Dan Sun Tzu pun berbagi kekuatan dengan sang Raja.'"

"Sementara itu," lanjut sang Purnama, "di kamarnya, Aksayakumara sedang bermuram-durja. Ia menumpahkan kegelisahannya kepada tiga orang encingnya, Prahasta, Kumbakarna dan Wibisana. Ia berkata, 'Begini encing, aku sedih lantaran kawan-kawanku sering ikut reunian, sedang aku, nggak pernah. Mereka menduga ijazah-ijazahku palsu. Jadi, apa yang harus kulakukan?' Kumbakarna dengan tegas menjawab, 'Penjarakan saja mereka!' Prahasta memberi saran, 'Sebaiknya engkau mengadakan reuni kecil-kecilan dengan orang yang engkau percayai guna menghilangkan anggapan itu.' Wibisana punya pandangan lain, 'Ini kan masalah sederhana, untuk apa engkau memenjarakan mereka, atau semata mengadakan reuni, hal tersebut malah membuat masalah semangkin ... mbulet. Aku sepakat dengan mereka yang menyarankan bahwa sebaiknya, tunjukin aja ijazah aslimu kepada mereka, sehingga masalah menjadi jelas. Jika engkau memenjarakan mereka, akan membuat mereka merasa tambah yakin bahwa ijazahmu palsu. Bila engkau mengadakan reuni kecil-kecilan, mereka akan merasa curiga bahwa itu cuma settingan. Memang sih, jika engkau seorang selebriti, itu bakal jadi sensasi, namun bila engkau seorang Pangeran, situasinya kurang menguntungkan. Mudah kan? Nah sekarang, perkenankan kami undur-diri, sebab ruang-rapat sedang menanti.' Belum sempat Aksa menanggapi, mendadak seorang utusan Rahwana datang tergopoh-gopoh, berkata, 'Duhai Pangeran, sang Kaisar mengundangmu ke markas beliau!' Seketika mereka berempat berdiri, dan Aksa mengangguk, memberi hormat kepada para tetuanya.

Aksayakumara muda, juga dikenal sebagai Mahabali Aksya, merupakan putra bungsu Rahwana dan Mandodari, dan pula, adik Megananda, yang dikenal sebagai Indrajit. Ia seorang kesatria yang berlaga dengan sportif dan tak meremehkan lawan. Sekarang, sang rakshasa memanggil putranya sendiri, Aksa sang perkasa, yang baru berusia enam belas tahun. Mengenakan zirah perak dengan busur di tangan, Aksa bagaikan nyala api pertama yang melompat ke dalam lubang yagna dikala brahmana menuangkan persembahan ke atas api. Rahwana merestui putranya yang gagah-berani.

Sang perkasa naik kereta raksasa yang bercorak seperti matahari terbit dan dilapisi dengan pelat yang terbuat dari emas-cair. Banteng di antara para nairita maju melawan kera-gedhe. Kereta itu dibuat dari gudang pertapaan yang telah ia kumpulkan dan menangkan bagi dirinya sendiri. Kereta tersebut diperlengkapi dengan baju zirah yang terbuat dari emas-cair. Bendera dan panjinya, dihiasi dengan permata. Dipasangkan dengan pas ke delapan kuda ruar biasa yang punya kecepatan secepat pikiran. Ia bergerak tanpa penghalang dan para batara dan asura tak bisa menyerangnya. Dengan corak mataharinya, ia bisa dikendalikan dan bisa bergerak di angkasa. Sebuah wadah anak-panah, delapan pedang dan lonceng dipasangkan padanya. Sesuai urutannya, tombak dan lembing diatur di tempat yang ditentukan. Aksa menaiki kereta yang bermotif seperti matahari.
Dipenuhi dengan segala objek yang diperlukan, kereta itu sangat megah. Ada tali yang menyilaukan seperti matahari dan bulan. Ia muncul, bagaikan abadi dalam keberaniannya. Suara kuda, gajah, dan kereta besar memenuhi langit dan bumi beserta pegunungannya. Bersama bala-tentaranya, ia mendekati gerbang. Sang wanara sakti, tegak berdiri di sana, menunggu.
Setelah memarani sang wanara, Aksa, yang bermata kuning kecokelatan, melihatnya berdiri di sana, laksana api penghancur di ujung yuga, sanggup menghancurkan apapun. Ia tercengang dan merasa terhormat. Ia menatap Hanoman, di matanya tampak penuh dengan rasa rispek. Sang putra raja yang sangat kuat itu, menimbang kekuatan dan keberanian sang musuh, kera berjiwa besar, dengan kekuatannya sendiri, dan meningkatkan ukurannya sendiri, bagaikan matahari di akhir musim dingin. Setelah mempertimbangkan keberanian, stabilitas dan ketaktertangan Hanoman, kendatipun ia dipenuhi amarah dalam pertempuran, ia mengendalikan dirinya dan memancingnya dengan tiga panah tajam. Ia melihat sang wanara bangga dan telah pulih dari kelelahannya, setelah mengalahkan musuh. Aksa menatapnya dengan perasaan gelisah dan mengambil busur dan anak panah di tangannya. Kalung dan gelang tangannya terbuat dari emas dan anting-antingnya mantap. Dengan cepat dalam keberaniannya, ia mendekati sang wanara. Pertemuan mereka yang tiada bandingannya itu, memunculkan rasa-hormat bahkan di antara para batara dan asura. Menyaksikan pertempuran antara wanara dan pangeran, bumi melaung. Matahari tak memancarkan panasnya. Angin tak bertiup dan pegunungan menggegar. Langit memekau dan lautan gelisah. Sang pemberani yang mengetahui kebenaran tentang memasang, membidik dan melepaskan, menghunjam sang wanara di kepala dengan tiga anak panah yang berujung sangat sempurna disertai jumbai emas. Anak-panah yang serupa ular berbisa. Tatkala anak-panah tersebut membenam dikepalanya, darah mulai mengucur dari luka dan ia melebarkan matanya. Dengan anak-panah laksana cahaya, ia bagaikan matahari ketika baru saja terbit. Ia bersinar bak sang surya, dengan rangkaian cahayanya. Dalam perlagaan itu, penasihat tertinggi penguasa kera, melirik putra raja yang mengagumkan dan bersemangat, dengan senjatanya yang hebat dan busurnya yang dahsyat. Ia sangat gembira dan sangat ingin bertarung dalam medan-laga. Penuh dengan kekuatan dan energi, amarahnya bertambah, bagaikan ia yang berada di hadapan Mandara. Menggunakan penglihatannya, yang seperti nyala api, Hanoman membakar tentara dan tunggangan Pangeran Aksa.
Busur rakshasa bagaikan busur Shakra, sang bianglala. Dalam pertemuan itu, ia menghujani panah laksana gegana. Sang penguasa kera, bagaikan jabal dan ia dengan cepat menghujaninya dengan anak-panah, seperti awan yang menghujani gunung yang dahsyat. Sang kera meperhatikannya bertempur, menakutkan karena keberaniannya dan dengan meningkatnya energi, kekuatan, kegagahan dan panah. Saat melihat Pangeran Aksa dalam pertemuan itu, laksana kabut oleh keperkasaannya, ia berteriak kegirangan. Oleh sifatnya yang masih kekanak-kanakan, ia berani dan tak tahu adat dalam pertempuran. Amarahnya bertambah, dengan matanya bagaikan luka. Ia mendekati sang kera, yang tak tertandingi dalam perlagaan, laksana gajah mendekati lubang raksasa yang tertutup rerumputan. Saat anak-panah kuat melaju ke arahnya, ia menggeru bak gemuruh gegana. Putrabayu, yang tampak menakutkan, dengan cepat melompat ke angkasa, melebarkan tangan dan pahanya. Yang tersakti di antara para rakshasa itu, yang tersakti di antara semua kusir. Ketika yang tersakti melompat, Aksa juga melompat dan mengurungnya dengan anak-panah, bagaikan kabut yang menghujani hujan es di gunung. Wanara pemberani mengikuti jalan sang bayu dan bagaikan angin, mencari celah di antara anak-panah yang dilepaskan. Seram dalam keberaniannya, ia bergerak, dengan kecepatan berpikir. Menggunakan matanya, ia melirik Aksa dengan penuh hormat. Dengan busur dan anak panah, Aksa bersemangat dalam bertempur dan menyelimuti langit dengan berbagai jenis anak-panah yang amat sempurna. Sang putabayu berpikir. Panah menembus sang wanara di antara lengan. Dihantam oleh pangeran terhormat, yang berjiwa besar meraung. Sang wanara perkasa tahu kebenaran tentang apa yang harus dilakukan dalam keadaan tertentu.
Ia memikirkan kehebatan lawannya dalam pertemuan itu. 'Ia tak bertingkah seperti anak kecil dan pancarannya bagaikan baskara muda. Yang sangat kuat sedang menyelesaikan perbuatan besar ini. Ia orang yang menunjukkan perbuatan dalam semua jenis pertemuan. Namun gagasan untuk membunuhnya, tak menarik bagiku. Yang berjiwa besar ini, hebat dan berani. Ia terkendali dan dapat menahan banyak hal dalam sebuah pertemuan. Karena perbuatan dan kualitas yang telah ia tunjukkan, tak diragukan lagi bahwa ia dihormati oleh para ular, yaksha, dan para resi. Ia ditempatkan di hadapanku dan menatapku, dengan keberanian, usaha, dan kemauan yang terus-bertambah. Keberanian orang yang bertindak cepat akan membuat pikiran para batara dan asura gemetar. Jika ia diabaikan, ia pasti akan mengalahkanku. Dalam pertemuan ini, keberaniannya meningkat. Gagasan untuk membunuhnya menarik bagiku, karena jika api yang membesar diabaikan, ia tak boleh dibiarkan.' Hanoman memperdebatkan kekuatan musuh. Dengan demikian, sang gagah-perkasa menentukan tindakannya sendiri. Sang perkasa, sang kera besar, memutuskan membunuhnya. Menggunakan tamparan telapak tangannya, sang kera pemberani, putrabayu, dan mengikuti jalan sang bayu, membunuh delapan kuda yang sangat cepat. Kereta besar itu, ditampar oleh telapak tangan menteri sang penguasa kera, dan berantakan. Kursinya berkecai dan kubaranya ancai. Terbunuh, delapan kuda lingsir dari langit ke bumi. Sang maharata meninggalkan keretanya. Memegang busur dan pedang, ia melompat dari tanah ke langit. Tubuhnya terbang ke udara, bagaikan angin di tempat tinggalnya sendiri. Sang wanara, ikut berkeliaran ke baskara, yang sering dikunjungi oleh sang raja unggas Garuda, bayu dan siddha. Putrabayu, kuat dan bahadur, menggunakan kesaktiannya, bagaikan resi yang berani dan garang. Ia memegang kaki Aksa, perlahan dan kuat. Sang wanara memutar Aksa sekitar seribu kali, seperti yang pernah dilakukan sang raja unggas, sang Kageswara: Garuda, terhadap seekor ular-besar berkepala banyak, Kaliya. Walau Aksa mirip babenya yang perkasa, kera yang luar biasa itu, membantingnya ke tanah dengan kekuatan besar. Lengan, paha, pinggang, dan kepalanya, hancur-lebur. Darah mengalir dari lukanya. Tulang dan matanya koyak. Sendi-sendinya kocar-kacir dan isi perutnya berserakan. Sang putra rakshasa terbunuh dan putrabayu mencampakkannya ke tanah. Sang wanara menghunjamnya ke tanah dan menimbulkan ketakutan besar pada sang penguasa rakshasa. Saat melihat sang pangeran telah dibunuh oleh sang kera, para maharshi yang agung dalam sumpah mereka, bergerak tanpa hambatan, makhluk-makhluk yang berkumpul, para yaksha, ular dan para batara, bersama Indra, dipenuhi ketakjuban. Pangeran Aksa, dengan mata terluka, sama gemerlapnya dengan sang putra pengguna bajra. Setelah membunuhnya, sang wanara perkasa kembali ke asokawana. Ia laksana Kematian, dikala waktu telah tiba, melumat para kawula.

Mendoakan sang rakshasa muda di dalam hatinya, seraya menghela nafas, Hanoman berbisik, 'Aku sangat menyukai bocah pemberani ini, hingga aku tak hendak membunuhnya. Tapi apa mau dikata? Api yang berkobar harus dipadamkan, atau akan menghanguskan.'
Ketika pangeran mereka tergusur, pasukan Aksa panik dan melarikan diri kembali ke majikan kegelapan di sabha-nya. Rahwana terduduk, berkepala sepuluh dan menyeramkan, di hadapan para menterinya. Ia melalak. Getaran menjalari tubuhnya yang tak berlemak ketika ia mendengar Aksa terbunuh. Tiada otot di wajahnya berkedut, menunjukkan kesedihan yang mencengkeramnya seperti sengat kematian. Namun sembilan dari sepuluh kepala menutup mata mereka dalam doa.
Lamat-lamat, lantunan suara anak-anak SMA mengidungkan lagu reunian the Graduation-nya Vitamin C, yang mengingatkan kita pada irama Canon in D-nya Johann Pachelbel,  senandungkan kata perpisahan buat Aksa,

So if we get the big jobs, and we make the big money
[Jadi, jika kita mendapat pekerjaan besar, dan kita menghasilkan uang besar]
When we look back now, will that joke still be funny?
[Saat kita kini melihat ke belakang, masihkah lucu lelucon itu?]
Will we still remember everything we learned in school?
[Masihkah kita ingat semua yang kita pelajari di sekolah?]
Still be trying to break every single rule?
[Masihkah mencoba melanggar setiap aturan?]

Will little brainy Bobby be the stockbroker man?
[Akankah Bobby kecil yang cerdas menjadi pialang-saham?]
Can Heather find a job that won't interfere with her tan?
[Bisakah Heather menemukan pekerjaan yang takkan mengganggu kulit-tanned-nya?]
I keep, keep thinking that it's not goodbye
[Aku terus, terus berpikir bahwa itu bukan selamat tinggal]
Keep on thinking it's a time to fly
[Terus berpikiran, itulah saatnya terbang]
And this is how it feels
[Dan beginilah rasanya]

As we go on, we remember
[Saat kita melanjutkan, kita ingat]
All the times, we had together
[Selama ini, kita pernah bersama]
And as our lives change, come whatever
[Dan saat hidup kita berubah, apapun yang terjadi]
We will still be friends forever *)
[Kita akan tetap berteman selamanya]

Kepala kesepuluh Rahwana, yang ditengah, memanggil putra sulungnya: Indrajit, penguasa astra, disebut-sebut setara dengan sang babe bila berada dalam mandala yudha. Indrajit, yang kece dan perlente."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Sun Tzu, The Art of War, Rupa Publications
- Lionel Giles M.A. (transl.), Sun Tzu's the Art of War, Pax Librorum
- Tjio Tjiang Feng, Seni Perang Sun Tzu dan 36 Strategi, Visimedia
*) "Graduations (Friend Forever)" karya Colleen Fitzpatrick, lebih dikenal dengan nama panggungnya Vitamin C.
[Bagian 14]
[Bagian 12]