Mereka yang disebut sebagai pemimpin terampil di masa-lampau, tahu bagaimana meng-intercept pasukan depan dan belakang musuh; guna mencegah kerjasama antara divisi besar dan kecilnya; agar menghalangi pasukan yang baik menyelamatkan yang buruk, dan para perwira dari menghimpuin pasukan mereka. Manakala pasukan musuh berkumpul, mereka berhasil menjaga agar pasukan musuh agar tetap kacau-balau. Bila terdapat keuntungan yang dapat mereka raih, maka mereka terus bergerak; bila sebaliknya, mereka diam.
Jika ditanya bagaimana cara mengatasi sejumlah besar musuh yang lebih tertib, terpimpin dan pada titik terdekat, aku akan mengatakan, 'Jadilah yang pertama menangkap sesuatu yang paling berharga bagi musuhmu, sehingga ia bakalan mengabulkan segala tuntutanmu.'
Kecepatan itu, inti dari perang: manfaatkan ketidaksiagaan musuh, buat jalanmu dari arah yang tak terduga, dan serang tempat-tempat yang tak terjaga.
Berikut ini, prinsip-prinsip yang seyogyanya diperhatikan oleh kekuatan penyerang: Semakin jauh engkau menembus masuk sebuah negeri, semakin kuat soliditas pasukanmu, dan dengan demikian, para penjaga takkan menang melawanmu. Jarahlah perbekalan di negeri yang subur [ini gagasan Sunzi, mungkin sebagian dari kita akan setuju, namun bisa jadi tidak bagi yang lain] guna memasok makanan bagi tentaramu. Cermati kebugaran pasukanmu, dan jangan menjadikan mereka lelah bila tak perlu. Konsentrasikan energimu dan simpan kekuatanmu. Arahkan pasukanmu agar terus bergerak, dan buat rencana yang tak terduga. Tempatkan pasukanmu ke posisi dimana tiada jalan keluar, dan mereka akan lebih memilih mati ketimbang lari. Jika mereka tak takut mati, tiada yang tak bisa mereka capai. Para perwira dan prajuritmu, sama-sama akan mengerahkan kekuatan terbaiknya.
Prajurit yang dalam posisi yang sulit dan bernahaya, akan kehilangan rasa-takut. Bila tak ada tempat berlindung, mereka akan berdiri-kokoh. Jika mereka berada di negara yang bermusuhan, mereka akan menunjukkan keuletan. Manakala tiada bantuan, mereka akan berjuang keras. Maka, tanpa perlu menunggu perintah, para prajurit akan terus-menerus siaga; tanpa perlu diarahkan, mereka akan melaksanakan kehendakmu; tanpa batasan, mereka akan setia; tanpa perlu mandat, mereka bisa dipercaya. Jangan percayai kabar-burung dan hindari takhayul. Meski sampai kematian itu sendiri datang, tiada malapetaka yang perlu ditakuti. Bila para perwira dan prajurit tak punya beban dengan uang, itu bukan berarti mereka tak menyukai materi; jika hidup mereka tak terlalu panjang, itu bukan bermakna mereka segan berumur-panjang.
Pada hari perintah perang dikeluarkan, boleh jadi pasukan akan menangis, mereka yang sedang duduk akan berlinang air-mata, serta umbel yang akan membasahi pakaianya, dan yang sedang berbaring, akan mengucurkan air-mata yang membasahi pipinya. Namun, saat terlontar ke dalam kondisi tiada jalan keluar, mereka bakal memperlihatkan keberanian Chu atau Kuei. Jadi, pasukan yang ahli dalam peperangan dapat disamakan dengan ular SHUAI-JAN. SHUAI-JAN itu, seekor ular yang ditemukan di Pegunungan Cung. Jika engkau menyerangnya, ekornya bakalan melabrakmu; jika engkau menempur ekornya, kepalanya bakal menyerudukmu; dan jika engkau menerjang bagian tengah-tubuhnya, kepala dan ekornya bakalan mendampratmu.
Bila aku ditanya, 'Bisakah prajurit berkemampuan yang sama dengan Shuai-jan?' Aku bakal menjawab, 'Ya.' Disebutkan bahwa rakyat dan para prajurit Kerajaan Wu dan Yueh, saling-membenci, namun jika mereka ditempatkan dalam perahu yang sama dan menghadapi angin yang kuat dan mengancam, mereka akan bekerjasama dan saling membantu ibarat tangan-kiri dan tangan-kanan. Karenanya, tak cukup bila semata bergantung pada tindakan mengikat kuda dan mengubur roda-roda kereta perang sebagai alat mengendalikan pasukan itu. Ia mengubah metodenya dalam melaksanakan banyak hal dan mengubah strateginya agar tak seorangpun dapat memahami dan mengetahui rencananya, serta siasatnya. Ia mengubah lokasi perkemahannya dan melakukan perjalanan melalui rute yang tak dapat diprediksi agar tak seorang pun dapat menebak motifnya.
Pada saat kritis, sang jenderal yang sedang menjalankan misi militer khusus, laksana seseorang yang memimpin orang-orangnya mendaki tempat yang tinggi dan mampu menyingkirkan tangga yang membawanya naik. Ia akan memimpin pasukannya jauh ke dalam wilayah musuh yang berbahaya dan kemudian mengungkapkan niatnya, yang sesungguhnya setelah membakar perahu dan memecahkan belanga untuk memasak. Ia memimpin pasukan seumpama sekawanan domba, mengangonkannya ke satu arah, lalu mengalihkan kembali ke arah lain tanpa mereka pahami apa yang sedang ia lakukan. Memimpin semua divisi pasukan dan menghadapkan mereka pada bahaya besar—inilah yang dikata menjadi urusan seorang jenderal.
Variasi dan perubahan berbagai jenis mandala, berbagai keuntungan yang terkait, dengan tindakan bertahan dan menyerang, serta pemahaman atas sifat dasar manusia, merupakan aspek penting yang dipelajari dengan cermat. Prinsip yang mengatur pendudukan atas wilayahmusuh itu, apabila sebuah pasukan menerobos jauh ke dalam wilayah musuh; pasukan itu akan lebih terfokus dan bersatu dalam pertempuran; ketika pasukan itu menerobos tak begitu jauh, semangat tempurnya cenderung terancam dan mencair. Manakala pasukan itu meninggalkan negerinya dan menyeberangi perbatasan menuju negara lain guna bertempur, pasukan itu berada dalam mandala terisolasi. Tatkala sebuah daerah sangat mudah dicapai dan komunikatif bagi semua pihak, itulah mandala fokus. Bila sebuah pasukan menerobos jauh ke dalam wilayah musuh, pasukan itu berada di dalam mandala berbahayas. Dikala sebuah pasukan tak jauh menerobos ke dalam wilayah musuh, mereka berada dalam mandala perbatasan. Jika daerah yang dekat dengan barisan belakang sangat berbahaya dan daerah depannya sangat sempit, medan itulah, mandala yang menyempit. Suatu daerah yang tak ada jalan untuk meloloskan diri disebut dengan mandala kematian. Karenanya, dalam mandala menyebar, aku semestinya menyatukan kebulatan tekat pasukan. Dalam mandala perbatasan, aku harus tetap menjaga agar para pasukan tetap terhubung-erat. Ketika menghadapi mandala-kunci, aku harus secepatnya membawa pasukan maju mendudukinya sebelum musuh melakukannya. Dalam mandala komunikatif, aku harus berwaspada selagi bertahan. Dalam mandala fokus, aku harus memperkuat aliansi dengan negara-negara tetangga. Dalam mandala rawan, aku harus terus-menerus memastikan pasokan makanan dan perbekalan. Dalam mandala berbahaya, aku harus mendorong pasukanku agar maju secepatnya supaya dapat melewatinya. Dalam mandala yang menyempit, aku harus mengunci jalan masuk dan keluarnya. Dan dalam mandala kematian, aku harus berlaga seakan tak ingin hidup.
Merupakan sifat intuitif para prajurit, melawan dikala mereka dikepung, bertarung sampai mati saat mereka tak punya pilihan lain, dan patuh ketika mereka berada pada situasi yang sangat berbahaya.
Jadi, jika segala siasat dan taktik para panglima perang dari negaranegara tetangga tak diketahui, seseorang tak boleh giat menjalin aliansi apapun dengan mereka. Orang-orang yang tak mengetahui kondisi pegunungan berhutan, dataran berbahaya jalur-jalur pegunungan, serta sifat berbahaya rawa dan payau, takkan mampu menggerakkan pasukan. Dan orang-orang yang tak menggunakan pemandu lokal, takkan mampu meraih segala manfaat dataran.
Jika seseorang tak memahami dan memanfaatkan, walau salah satu dari sembilan jenis mandala tersebut, orang itu tak dapat diakui sebagai panglima tertinggi dari sebuah pasukan penakluk. Bila seorang panglima perang menyerang sebuah negara yang besar, ia akan memastikan musuh takkan dapat mengumpulkan semua kekuatannya guna melawan pasukannya. Ia akan menaklukkan musuhnya dengan sangat meyakinkan dan membuat negara-negara lain sangat kagum sehingga tak satu pun dari para sekutu berani bersatu untuk melawannya. Jadi, seorang pemimpin tertinggi tak mesti berjuang mendapatkan aliansi dengan negara-negara lain. Ia tak harus mengembangkan atau membina kekuatan dengan negara lain. Sebaliknya, ia mengandalkan kemampuan terbaiknya guna menguasai musuh demi mencapai segala maksud dan tujuan. Karenanya, ia mampu menaklukkan banyak kota dan menggulingkan negara musuhmusuhnya. Dalam keadaan perang, berikan penghargaan yang berbeda dari kebiasaan umum dan norma. Laksanakan perintah yang tak sesuai dengan hukum dan peraturan yang lazim. Pimpinlah beragam kekuatan pasukan seolah-olah sedang memberi perintah kepada satu orang.
Perintahkan kepada perwira dan prajurit menjalankan tugas, tetapi jangan beritahukan alasan atau maksudnya. Perintahkanlah agar mereka mengejar berbagai keuntungan dan perolehan, namun
jangan ungkapkan bahaya yang ada. Tempatkan para perwira dan prajurit ke mandala berbahaya, maka mereka akan berusaha bertahan hidup. Tempatkan para prajurit dalam mandala kematian, dan mereka akan berjuang keras agar tetap hidup. Ketika pasukan itu dilemparkan ke dalam situasi dengan bahaya besar, mereka mampu mengubah kekalahan menjadi kemenangan.
Jadi, seni peperangan itu, berpura-pura menampung berbagai motif dan hasrat musuh. Pusatkan kekuatanmu pada satu poisi musuh. Maka, meskipun berasal dari jarak ribuan mil, engkau masih dapat membunuh pemimpin musuh. Inilah yang dimaksud dengan seni menyelesaikan tugas dengan terampil dan cakap. Ketika tiba waktunya bertempur, tutuplah seluruh pintu keluar di perbatasan, batalkan semua izin perjalanan dan jangan biarkan adanya gerakan dari para utusan negara-negara lain. Selesaikan dan awasi dengan teliti semua persiapan, rencana, dan strategi akhir berperang di kuil para leluhur. Jika musuh memberikan satu celah, masuklah dengan cepat untuk memanfaatkannya. Cegahlah musuh dengan cara menangkap apa yang sangat mereka hargai, dan jangan biarkan musuh mengetahui tanggal serangan. Strategi militer seyogyanya disesuaikan dengan keadaan musuh sehingga berbagai tindakan dan keputusan dapat ditetapkan sesuai. Karenanya, pada awal pertempuran, berpura-puralah tersipu-sipu bak seorang perawan, guna memancing musuh membukakan celah; dan seiring berlangsungnya pertempuran, hendaknya engkau sama cepatnya dengan kelinci yang melompat dan berlari, sehingga dapat memanfaatkan ketidaksiapan musuh.'
Metode militer Sunzi merupakan risalah militer Tiongkok, pertama kali ditulis pada sekitar tahun 400-320 SM, dikaitkan dengan seorang jenderal militer Tiongkok yang dikenal sebagai Sun Tzu—dilatinkan Sunzi—bermakna 'Filsuf Sun'. Terdiri dari 13 bab, yang membahas strategi dan berbagai metode perang. Buku tersebut merupakan catatan militer Tiongkok yang disegani dan masyhur di negara-negara di luar China. Ia pertama kali diperkenalkan di Jepang pada 716-735 M. Sedangkan di Eropa, diperkenalkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Jean Joseph Marie Amiot. Selanjutnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Kapten E.F. Calthrop, seorang kapten Inggris.
Buku tersebut merupakan salah satu buku strategi militer tertua di dunia dan berpengaruh besar terhadap perencanaan strategis militer, baik Timur maupun Barat. Selain menginspirasi dunia militer, juga diterapkan dalam bidang bisnis, bahkan politik.
Konon bahwa Sun Tzu Wu merupakan penduduk asli Negeri Chi. Seni Perangnya, membawanya sampai ke hadapan Ho Lu, Raja Wu. Ho Lu berkata padanya, 'Aku telah membaca dengan cermat 13 bab risalahmu. Bolehkah aku menguji teorimu tentang manajemen tentara?' Sun Tzu menjawab, 'Boleh.' Ho Lu bertanya, 'Bolehkah uji-coba ini diterapkan pada wanita?'
Jawabannya sekali lagi, sepakat, maka diaturlah dengan mengeluarkan 180 wanita dari Istana. Sun Tzu membaginya menjadi dua kompi, dan menempatkan salah seorang selir favorit Raja sebagai komandan masing-masing regu. Ia lalu meminta mereka semua, mengambil tombak, dan mengatakan begini, 'Aku yakin bahwa engkau sekalian tahu perbedaan antara depan dan belakang, tangan-kanan dan tangan-kiri?' Para wanita menjawab, Ya.'
Sun Tzu melanjutkan, 'Bila aku berseru, 'Mata ke depan,' engkau harus melihat lurus ke depan. Saat aku menyerukan, 'Hadap kiri,' engkau harus menghadap ke arah tangan-kirimu. Ketika aku bilang, 'Hadap kanan,' engkau harus menghadap ke arah tangan-kananmu. Manakala kuucapkan 'Putar balik,' engkau harus memutar balik ke arah kanan hinga menghadap ke belakang pungggungmu.'
Sekali lagi, para selir menjawab 'he-eh.' So, kalimat perintah telah dijelaskan, lalu Sun Tzu menyiapkan tombak dan kapak perang guna memulai latihan. Kemudian, diiringi suara drum, ia memberi perintah, 'Hadap kanan.' Boro-boro ngikutin perintah, para selir itu, tertawa cekikikan. Sun Tzu berkata, 'Tatkala kalimat perintah tak jelas dan terang, manakala perintah tak dipahami sepenuhnya, maakaaa ... itu salah jenderalnya!'
Lantas, iapun mengulang latihannya, dan kali ini, memberi perintah 'Hadap kiri,' Eeeh para selirnya malah terkikik-kikik lagi. Sun Tzu, 'Tatkala kalimat perintah tak jelas dan terang, manakala perintah tak dipahami sepenuhnya, jenderalnya yang kudu disalahin. Taapiii, 'kan perintahnya .. jellaas, dan para prajurit tetap saja tak mematuhinya, maakaaa ... itu dosa komandannya.'
Sambil berkata demikian, ia memerintahkan para komandan kedua kompi itu, dipenggal. Raja Wu, yang sedang menyaksikan tayangan dari paviliun atas; dan saat melihat bahwa para selir maknyus-nya bakalan dieksekusi, sangat terkejut dan buru-buru mengirimkan pesan berikut, 'Sekarang kami cukup puas dengan kemampuan jenderal kami menghandel pasukan. Bila kami kehilangan dua selir itu, daging dan minuman kami, bakalan terasa hambar. Kami berkehendak bahwa, mereka takkan dipenggal.'
Sun Tzu menjawab, 'Setelah menerima tugas Yang Mulia menjadi jendral pasukannya, ada perintah-perintah tertentu dari Baginda yang, dalam kapasitas itu, tak dapat diterima.'
Oleh karenanya, ia memenggal kedua komandan a.k.a selir itu, dan langsung menempatkan pasangan di urutan berikutnya, sebagai komandan. Ketika hal tersebut telah terlaksana, drum digaungkan pertanda latihan dimulai sekali lagi; dan para wanita itu, mengikuti seluruh gerakan, hadap kanan atau kiri, maju atau mundur, berlutut atau berdiri, dengan akurasi dan presisi yang sempurna, ora wani ngomong blas. Setelah itu, Sun Tzu mengirim utusan kepada sang Raja, mengatakan bahwa 'Prajurit Baginda, sekarang telah dilatih dan didisiplinkan dengan baik, dan siap diperiksa oleh Yang Mulia. Mereka dapat digunakan untuk apa saja yang dikehendaki oleh atasan mereka; disuruh melewati api dan air pun, mereka takkan membangkang.'
Sayangnya, sang Raja menjawab, 'Sudahi saja para jenderal berlatih dan kembali ke barak. Adapun kami, kami ogah turun memeriksa pasukan.'
Lalu, Sun Tzu bikin komen, update status, 'Raja cuma menyukai kata-kata, dan tak dapat menerjemahkannya ke dalam perbuatan.'
Setelah itu, Ho Lu melihat bahwa Sun Tzu, orang yang tahu bagaimana menghandel pasukan, dan akhirnya mengangkatnya menjadi jenderal. Di bagian Barat, ia mengalahkan Negeri Bagian Chu dan memaksa masuk ke Ying, ibukota; ke bagian Uutara, ia membuat ketakutan ke Negeri Chi dan Chin, dan menyebarkan kepopulerannya ke luar negeri di antara para pangeran feodal. Dan Sun Tzu pun berbagi kekuatan dengan sang Raja.'"
"Sementara itu," lanjut sang Purnama, "di kamarnya, Aksayakumara sedang bermuram-durja. Ia menumpahkan kegelisahannya kepada tiga orang encingnya, Prahasta, Kumbakarna dan Wibisana. Ia berkata, 'Begini encing, aku sedih lantaran kawan-kawanku sering ikut reunian, sedang aku, nggak pernah. Mereka menduga ijazah-ijazahku palsu. Jadi, apa yang harus kulakukan?' Kumbakarna dengan tegas menjawab, 'Penjarakan saja mereka!' Prahasta memberi saran, 'Sebaiknya engkau mengadakan reuni kecil-kecilan dengan orang yang engkau percayai guna menghilangkan anggapan itu.' Wibisana punya pandangan lain, 'Ini kan masalah sederhana, untuk apa engkau memenjarakan mereka, atau semata mengadakan reuni, hal tersebut malah membuat masalah semangkin ... mbulet. Aku sepakat dengan mereka yang menyarankan bahwa sebaiknya, tunjukin aja ijazah aslimu kepada mereka, sehingga masalah menjadi jelas. Jika engkau memenjarakan mereka, akan membuat mereka merasa tambah yakin bahwa ijazahmu palsu. Bila engkau mengadakan reuni kecil-kecilan, mereka akan merasa curiga bahwa itu cuma settingan. Memang sih, jika engkau seorang selebriti, itu bakal jadi sensasi, namun bila engkau seorang Pangeran, situasinya kurang menguntungkan. Mudah kan? Nah sekarang, perkenankan kami undur-diri, sebab ruang-rapat sedang menanti.' Belum sempat Aksa menanggapi, mendadak seorang utusan Rahwana datang tergopoh-gopoh, berkata, 'Duhai Pangeran, sang Kaisar mengundangmu ke markas beliau!' Seketika mereka berempat berdiri, dan Aksa mengangguk, memberi hormat kepada para tetuanya.
Aksayakumara muda, juga dikenal sebagai Mahabali Aksya, merupakan putra bungsu Rahwana dan Mandodari, dan pula, adik Megananda, yang dikenal sebagai Indrajit. Ia seorang kesatria yang berlaga dengan sportif dan tak meremehkan lawan. Sekarang, sang rakshasa memanggil putranya sendiri, Aksa sang perkasa, yang baru berusia enam belas tahun. Mengenakan zirah perak dengan busur di tangan, Aksa bagaikan nyala api pertama yang melompat ke dalam lubang yagna dikala brahmana menuangkan persembahan ke atas api. Rahwana merestui putranya yang gagah-berani.
Sang perkasa naik kereta raksasa yang bercorak seperti matahari terbit dan dilapisi dengan pelat yang terbuat dari emas-cair. Banteng di antara para nairita maju melawan kera-gedhe. Kereta itu dibuat dari gudang pertapaan yang telah ia kumpulkan dan menangkan bagi dirinya sendiri. Kereta tersebut diperlengkapi dengan baju zirah yang terbuat dari emas-cair. Bendera dan panjinya, dihiasi dengan permata. Dipasangkan dengan pas ke delapan kuda ruar biasa yang punya kecepatan secepat pikiran. Ia bergerak tanpa penghalang dan para batara dan asura tak bisa menyerangnya. Dengan corak mataharinya, ia bisa dikendalikan dan bisa bergerak di angkasa. Sebuah wadah anak-panah, delapan pedang dan lonceng dipasangkan padanya. Sesuai urutannya, tombak dan lembing diatur di tempat yang ditentukan. Aksa menaiki kereta yang bermotif seperti matahari.
Dipenuhi dengan segala objek yang diperlukan, kereta itu sangat megah. Ada tali yang menyilaukan seperti matahari dan bulan. Ia muncul, bagaikan abadi dalam keberaniannya. Suara kuda, gajah, dan kereta besar memenuhi langit dan bumi beserta pegunungannya. Bersama bala-tentaranya, ia mendekati gerbang. Sang wanara sakti, tegak berdiri di sana, menunggu.
Setelah memarani sang wanara, Aksa, yang bermata kuning kecokelatan, melihatnya berdiri di sana, laksana api penghancur di ujung yuga, sanggup menghancurkan apapun. Ia tercengang dan merasa terhormat. Ia menatap Hanoman, di matanya tampak penuh dengan rasa rispek. Sang putra raja yang sangat kuat itu, menimbang kekuatan dan keberanian sang musuh, kera berjiwa besar, dengan kekuatannya sendiri, dan meningkatkan ukurannya sendiri, bagaikan matahari di akhir musim dingin. Setelah mempertimbangkan keberanian, stabilitas dan ketaktertangan Hanoman, kendatipun ia dipenuhi amarah dalam pertempuran, ia mengendalikan dirinya dan memancingnya dengan tiga panah tajam. Ia melihat sang wanara bangga dan telah pulih dari kelelahannya, setelah mengalahkan musuh. Aksa menatapnya dengan perasaan gelisah dan mengambil busur dan anak panah di tangannya. Kalung dan gelang tangannya terbuat dari emas dan anting-antingnya mantap. Dengan cepat dalam keberaniannya, ia mendekati sang wanara. Pertemuan mereka yang tiada bandingannya itu, memunculkan rasa-hormat bahkan di antara para batara dan asura. Menyaksikan pertempuran antara wanara dan pangeran, bumi melaung. Matahari tak memancarkan panasnya. Angin tak bertiup dan pegunungan menggegar. Langit memekau dan lautan gelisah. Sang pemberani yang mengetahui kebenaran tentang memasang, membidik dan melepaskan, menghunjam sang wanara di kepala dengan tiga anak panah yang berujung sangat sempurna disertai jumbai emas. Anak-panah yang serupa ular berbisa. Tatkala anak-panah tersebut membenam dikepalanya, darah mulai mengucur dari luka dan ia melebarkan matanya. Dengan anak-panah laksana cahaya, ia bagaikan matahari ketika baru saja terbit. Ia bersinar bak sang surya, dengan rangkaian cahayanya. Dalam perlagaan itu, penasihat tertinggi penguasa kera, melirik putra raja yang mengagumkan dan bersemangat, dengan senjatanya yang hebat dan busurnya yang dahsyat. Ia sangat gembira dan sangat ingin bertarung dalam medan-laga. Penuh dengan kekuatan dan energi, amarahnya bertambah, bagaikan ia yang berada di hadapan Mandara. Menggunakan penglihatannya, yang seperti nyala api, Hanoman membakar tentara dan tunggangan Pangeran Aksa.
Busur rakshasa bagaikan busur Shakra, sang bianglala. Dalam pertemuan itu, ia menghujani panah laksana gegana. Sang penguasa kera, bagaikan jabal dan ia dengan cepat menghujaninya dengan anak-panah, seperti awan yang menghujani gunung yang dahsyat. Sang kera meperhatikannya bertempur, menakutkan karena keberaniannya dan dengan meningkatnya energi, kekuatan, kegagahan dan panah. Saat melihat Pangeran Aksa dalam pertemuan itu, laksana kabut oleh keperkasaannya, ia berteriak kegirangan. Oleh sifatnya yang masih kekanak-kanakan, ia berani dan tak tahu adat dalam pertempuran. Amarahnya bertambah, dengan matanya bagaikan luka. Ia mendekati sang kera, yang tak tertandingi dalam perlagaan, laksana gajah mendekati lubang raksasa yang tertutup rerumputan. Saat anak-panah kuat melaju ke arahnya, ia menggeru bak gemuruh gegana. Putrabayu, yang tampak menakutkan, dengan cepat melompat ke angkasa, melebarkan tangan dan pahanya. Yang tersakti di antara para rakshasa itu, yang tersakti di antara semua kusir. Ketika yang tersakti melompat, Aksa juga melompat dan mengurungnya dengan anak-panah, bagaikan kabut yang menghujani hujan es di gunung. Wanara pemberani mengikuti jalan sang bayu dan bagaikan angin, mencari celah di antara anak-panah yang dilepaskan. Seram dalam keberaniannya, ia bergerak, dengan kecepatan berpikir. Menggunakan matanya, ia melirik Aksa dengan penuh hormat. Dengan busur dan anak panah, Aksa bersemangat dalam bertempur dan menyelimuti langit dengan berbagai jenis anak-panah yang amat sempurna. Sang putabayu berpikir. Panah menembus sang wanara di antara lengan. Dihantam oleh pangeran terhormat, yang berjiwa besar meraung. Sang wanara perkasa tahu kebenaran tentang apa yang harus dilakukan dalam keadaan tertentu.
Ia memikirkan kehebatan lawannya dalam pertemuan itu. 'Ia tak bertingkah seperti anak kecil dan pancarannya bagaikan baskara muda. Yang sangat kuat sedang menyelesaikan perbuatan besar ini. Ia orang yang menunjukkan perbuatan dalam semua jenis pertemuan. Namun gagasan untuk membunuhnya, tak menarik bagiku. Yang berjiwa besar ini, hebat dan berani. Ia terkendali dan dapat menahan banyak hal dalam sebuah pertemuan. Karena perbuatan dan kualitas yang telah ia tunjukkan, tak diragukan lagi bahwa ia dihormati oleh para ular, yaksha, dan para resi. Ia ditempatkan di hadapanku dan menatapku, dengan keberanian, usaha, dan kemauan yang terus-bertambah. Keberanian orang yang bertindak cepat akan membuat pikiran para batara dan asura gemetar. Jika ia diabaikan, ia pasti akan mengalahkanku. Dalam pertemuan ini, keberaniannya meningkat. Gagasan untuk membunuhnya menarik bagiku, karena jika api yang membesar diabaikan, ia tak boleh dibiarkan.' Hanoman memperdebatkan kekuatan musuh. Dengan demikian, sang gagah-perkasa menentukan tindakannya sendiri. Sang perkasa, sang kera besar, memutuskan membunuhnya. Menggunakan tamparan telapak tangannya, sang kera pemberani, putrabayu, dan mengikuti jalan sang bayu, membunuh delapan kuda yang sangat cepat. Kereta besar itu, ditampar oleh telapak tangan menteri sang penguasa kera, dan berantakan. Kursinya berkecai dan kubaranya ancai. Terbunuh, delapan kuda lingsir dari langit ke bumi. Sang maharata meninggalkan keretanya. Memegang busur dan pedang, ia melompat dari tanah ke langit. Tubuhnya terbang ke udara, bagaikan angin di tempat tinggalnya sendiri. Sang wanara, ikut berkeliaran ke baskara, yang sering dikunjungi oleh sang raja unggas Garuda, bayu dan siddha. Putrabayu, kuat dan bahadur, menggunakan kesaktiannya, bagaikan resi yang berani dan garang. Ia memegang kaki Aksa, perlahan dan kuat. Sang wanara memutar Aksa sekitar seribu kali, seperti yang pernah dilakukan sang raja unggas, sang Kageswara: Garuda, terhadap seekor ular-besar berkepala banyak, Kaliya. Walau Aksa mirip babenya yang perkasa, kera yang luar biasa itu, membantingnya ke tanah dengan kekuatan besar. Lengan, paha, pinggang, dan kepalanya, hancur-lebur. Darah mengalir dari lukanya. Tulang dan matanya koyak. Sendi-sendinya kocar-kacir dan isi perutnya berserakan. Sang putra rakshasa terbunuh dan putrabayu mencampakkannya ke tanah. Sang wanara menghunjamnya ke tanah dan menimbulkan ketakutan besar pada sang penguasa rakshasa. Saat melihat sang pangeran telah dibunuh oleh sang kera, para maharshi yang agung dalam sumpah mereka, bergerak tanpa hambatan, makhluk-makhluk yang berkumpul, para yaksha, ular dan para batara, bersama Indra, dipenuhi ketakjuban. Pangeran Aksa, dengan mata terluka, sama gemerlapnya dengan sang putra pengguna bajra. Setelah membunuhnya, sang wanara perkasa kembali ke asokawana. Ia laksana Kematian, dikala waktu telah tiba, melumat para kawula.
Mendoakan sang rakshasa muda di dalam hatinya, seraya menghela nafas, Hanoman berbisik, 'Aku sangat menyukai bocah pemberani ini, hingga aku tak hendak membunuhnya. Tapi apa mau dikata? Api yang berkobar harus dipadamkan, atau akan menghanguskan.'
Ketika pangeran mereka tergusur, pasukan Aksa panik dan melarikan diri kembali ke majikan kegelapan di sabha-nya. Rahwana terduduk, berkepala sepuluh dan menyeramkan, di hadapan para menterinya. Ia melalak. Getaran menjalari tubuhnya yang tak berlemak ketika ia mendengar Aksa terbunuh. Tiada otot di wajahnya berkedut, menunjukkan kesedihan yang mencengkeramnya seperti sengat kematian. Namun sembilan dari sepuluh kepala menutup mata mereka dalam doa.
Lamat-lamat, lantunan suara anak-anak SMA mengidungkan lagu reunian the Graduation-nya Vitamin C, yang mengingatkan kita pada irama Canon in D-nya Johann Pachelbel, senandungkan kata perpisahan buat Aksa,
So if we get the big jobs, and we make the big money
[Jadi, jika kita mendapat pekerjaan besar, dan kita menghasilkan uang besar]
When we look back now, will that joke still be funny?
[Saat kita kini melihat ke belakang, masihkah lucu lelucon itu?]
Will we still remember everything we learned in school?
[Masihkah kita ingat semua yang kita pelajari di sekolah?]
Still be trying to break every single rule?
[Masihkah mencoba melanggar setiap aturan?]
Will little brainy Bobby be the stockbroker man?
[Akankah Bobby kecil yang cerdas menjadi pialang-saham?]
Can Heather find a job that won't interfere with her tan?
[Bisakah Heather menemukan pekerjaan yang takkan mengganggu kulit-tanned-nya?]
I keep, keep thinking that it's not goodbye
[Aku terus, terus berpikir bahwa itu bukan selamat tinggal]
Keep on thinking it's a time to fly
[Terus berpikiran, itulah saatnya terbang]
And this is how it feels
[Dan beginilah rasanya]
As we go on, we remember
[Saat kita melanjutkan, kita ingat]
All the times, we had together
[Selama ini, kita pernah bersama]
And as our lives change, come whatever
[Dan saat hidup kita berubah, apapun yang terjadi]
We will still be friends forever *)
[Kita akan tetap berteman selamanya]
Kepala kesepuluh Rahwana, yang ditengah, memanggil putra sulungnya: Indrajit, penguasa astra, disebut-sebut setara dengan sang babe bila berada dalam mandala yudha. Indrajit, yang kece dan perlente."