Senin, 24 Oktober 2022

Hanoman Obhong : Quid Pro Quo

"Mungkin, dikala engkau sebu oleh ambisi, atau sedang berjuang. Atau boleh jadi, engkau telah menghasilkan sekian juta pertamamu, menandatangani kontrak pertamamu, terpilih masuk ke dalam kelompok elit, atau mungkin pula, sudah cukup berprestasi sepanjang umurmu. Bisa jadi, engkau tercengang mengetahui betapa kosongnya berada di puncak. Atau barangkali engkau bertugas menuntun orang lain melalui masa-masa krisis. Atau agak-agaknya engkau baru saja dipecat, atau sekira baru saja menyentuh titik-nadir. Dimanapun engkau berada, apapun yang engkau lakukan, musuh terburukmu telah lama hidup di dalam dirimu: ego-mu, " sang Purnama mengutip Ryan Holiday.
"'Bukan gue dong!,' pikirmu. 'Kagak bakalan ada yang menyebut gue egomaniak.' Kelihatannya, engkau selalu menganggap dirimu sebagai orang yang cukup selaras. Namun bagi orang-orang dengan ambisi, bakat, dorongan, dan potensi guna dipenuhi, ego datang dengan teritoriumnya. Justru itulah yang membuat kita sangat menjanjikan sebagai para pemikir, pengarah, tim kreatif, dan pengusaha, apa yang mendorong kita ke puncak bidang itu, membuat kita rentan terhadap sisi gelap psike ini.
Ini bukan tentang ego dalam pengertian Freudian. Freud suka membeberkan ego dengan perumpamaan—ego kita itu, penunggang kuda, dengan dorongan bawah sadar kita diibaratkan satwa, dimana ego berusaha mengarahkannya. Namun, para Psikolog modern, cenderung menggunakan kata 'egotist,' merujuk pada seseorang yang, secara berbahaya, berfokus pada diri mereka sendiri dan dengan mengabaikan orang-lain.
Sang ego yang paling sering kita saksikan, berjalan dengan pemahaman yang lebih kasual: keyakinan yang tak sehat akan kepentingan kita sendiri. Congkak. Ambisi yang berpusat pada diri sendiri. Inilah bocah berangasan di dalam diri setiap insan, yang memilih mendapatkan apa yang diinginkannya ketimbang apapun atau siapapun. Kebutuhan menjadi lebih baik dibanding, lebih dari, diakui oleh, jauh melampaui segala manfaat yang masuk dalam nalar—itulah ego. Rasa superioritas dan kepastianlah yang melampaui batas kepercayaan dan bakat. Saat itulah, gagasan tentang diri kita dan dunia, tumbuh sangat pesat sehingga mulai mendistorsi realitas yang mengelilingi kita. Dikala, seperti yang dijelaskan oleh pelatih sepak bola Bill Walsh, 'self-confidence menjadi besar-kepala, assertiveness menjadi kebandelan, dan self-assurance menjadi pengabaian yang gegabah.' Inilah ego, sebagaimana yang diperingatkan oleh penulis Cyril Connolly, 'yang menyedot kita laksana hukum gravitasi.'
Dari sudut ini, ego itu, musuh dari apa yang engkau inginkan dan dari apa yang engkau miliki: Dari menguasai suatu keahlian. Dari wawasan kreatif yang nyata. Dari bekerja dengan baik dengan orang lain. Dari membangun loyalitas dan dukungan. Dari usia yang panjang. Dari mengulangi dan mempertahankan kesuksesanmu. Ia menolak keuntungan dan peluang. Ia magnet bagi musuh dan kesalahan. Ia Scylla dan Charybdis. Dalam mitologi klasik, Scylla, monster berkepala enam yang hidup di atas batu, di salah satu sisi selat sempit. Di sisi lain, Charybdis, pusaran air. Tatkala kapal-kapal lewat di dekat batu karang Scylla untuk menghindari Charybdis, ia akan menangkap dan melahap para pelautnya.
Sebagian besar kita, bukan 'egomaniak', melainkan ego yang ada pada akar hampir setiap problema dan hambatan yang mungkin terjadi, dari mengapa kita tak mampu menang sampai mengapa kita perlu selalu menang dan dengan mengorbankan orang-lain. Dari mengapa kita tak memiliki apa yang kita inginkan sampai mengapa memiliki apa yang kita inginkan, yang nampak tak membuat kita merasa lebih baik.
Kita biasanya tak memandangnya seperti itu. Kita beranggapan bahwa ada hal lain yang mesti disalahkan atas permasalahan kita (paling sering, orang-lain). Kita, sebagaimana pepatah penyair Lucretius beberapa ribu tahun yang lalu, ibarat, 'orang-sakit yang tak mengetahui penyebab penyakitnya'. Terutama bagi orang-orang sukses yang tak mampu memandang, sebab terhalangi oleh ego-nya, untuk berbuat, lantaran yang mereka pandang, semata apa yang telah mereka perbuat
Dengan setiap ambisi dan tujuan yang kita miliki—besar atau kecil—ego hadir mengacaukan perjalanan yang telah kita canangkan demi mengejar segalanya. Pionir CEO Harold Geneen membandingkan egoisme dengan alkoholisme, 'Sang egotist tak sempoyongan, atau membanting barang-barang dari mejanya. Ia tak gagap atau ngiler. Tidak, sebaliknya, ia semakin angkuh, dan beberapa orang, tanpa mengetahui apa yang ada di balik sikap seperti itu, mengira kesombongannya sebagai rasa-kuasa dan percaya-diri.' Boleh dikata bahwa mereka mulai keliru memandang tentang dirinya sendiri, tak menyadari penyakit yang di deritanya atau bahwa membunuh dirinya sendiri dengan penyakit itu.
Jika ego itu, suara yang bercerita pada kita bahwa kita lebih baik dibanding yang sebenarnya, kita dapat mengatakan bahwa ego menghambat kesuksesan sejati dengan mencegah hubungan langsung dan lurus ​​dengan dunia di sekitar kita. Salah seorang anggota awal Alcoholics Anonymous memahami ego sebagai 'pemisahan sadar dari....' Dari apa? Segalanya.
Cara pemisahan ini, sangat luas memujudkan dirinya secara negatif: Kita tak dapat bekerjasama dengan orang lain jika kita memasang dinding. Kita tak dapat memperbaiki dunia jika kita tak memahaminya atau diri kita sendiri. Kita tak dapat mengambil atau menerima umpan-balik jika kita tak mampu atau tak tertarik mendengarkan sumber dari luar. Kita tak dapat mengenali peluang—atau mewujudkannya—jika, alih-alih melihat apa yang ada di hadapan kita, kita hidup dalam angan-angan kita sendiri. Tanpa perhitungan yang akurat dari kemampuan kita sendiri dibanding orang-lain, apa yang kita miliki, bukanlah kepercayaan-diri, melainkan khayal. Bagaimana bisa kita menjangkau, memotivasi, atau memimpin orang-lain, jika kita tak sanggup mempertalikan kebutuhan mereka—lantaran kita telah kehilangan kontak dengan kebutuhan kita sendiri?
Artis teater Marina Abramovi mengutarakannya secara langsung, 'Jika engkau mulai percaya pada kehebatan dirimu, itulah kematian kreativitasmu.'
Hanya satu hal yang membuat ego tetap ada—kenyamanan. Mengejar pekerjaan hebat—baik itu dalam olahraga maupun seni ataupun bisnis—seringkali menakutkan. Ego mengentengkan rasa-takut itu. Ego-lah obat-penawar bagi rasa tak aman itu. Mengganti bagian rasional dan siuman dari psike kita, dengan gertakan dan penyerapan-diri, ego mengatakan pada kita, apa yang ingin kita dengar, di saat kita ingin mendengarkannya. Namun, itu semata pemulihan jangka-pendek, yang berakibat jangka-panjang.

Kini, lebih dari sebelumnya, budaya kita mengobarkan api-ego. Ngomong tak pernah semudah ini—terutama di medsos, kecuali di negara yang menyasar orang-orang tertentu dengan apa yang namanya UU ITE—buat obralin bualan kita. Kita bisa ngécap tentang tujuan-tujuan kita kepada jutaan penggemar dan follower kita—yang semata dipunyai oleh bintang-rock dan pemimpin sekte. Kita dapat mem-follow dan berinteraksi dengan idola kita di Twitter, kita boleh membaca buku dan situs serta nonton TED Talks, mengisap selang-api inspirasi dan validasi, yang belum pernah ada sebelumnya (ada app-nya kok). Kita dapat menyebut diri kita sebagai CEO dari perusahaan yang cuma ada di atas kertas. Kita bisa mengumumkan kabar-akbar di medsos dan membiarkan ucapan selamat mengalir. Kita bisa mempublikasikan artikel tentang diri kita di outlet yang dulunya, sumber jurnalisme objektif.
Beberapa dari kita melakukannya lebih dari yang lain. Walakin itu cuma masalah gelar. Selain perubahan teknologi, kita disuruh percaya pada keunikan diri kita di atas segalanya. Kita diperintah 'to think big, live big, to be memorable and dare greatly.' Kita menganggap bahwa kesuksesan membutuhkan visi yang tegas atau rencana menyeluruh—bagaimanapun juga, itulah yang semestinya dimiliki oleh pendiri perusahaan anu atau tim juara nganu. (Tapi merekakah juaranya? Serius?) Kita melihat orang-orang yang suka mengambil risiko dan orang-orang sukses di media, dan kepo pada kesuksesan kita sendiri, berusaha merekayasa balik sikap yang benar, pose yang benar.
Kita mengintuisi hubungan kausal yang tak pernah ada di sana. Kita menganggap gejala kesuksesan setara dengan kesuksesan itu sendiri—dan dalam kenaifan kita, tak dapat membedakan hasil-samping dengan penyebabnya.
Keruan, ego telah berdaya-guna bagi beberapa orang. Banyak kaum pria dan wanita, yang paling masyhur dalam sejarah, terkenal egoistis. Namun diikuti pula dengan banyak kegagalan besarnya. Bahkan sebenarnya, kegagalan yang jauh lebih berjibun. Tapi di sinilah kita, dengan budaya yang mendorong kita melempar dadu. Demi perjudian, namun mengabaikan pertaruhan.

Pada waktu tertentu dalam hidup, orang menemukan dirinya, berada dalam salah satu dari tiga tahapan: aspirasi, sukses dan gagal. Kita mencita-citakan sesuatu—berusaha membuat celah di alam semesta. Kita telah mencapai kesuksesan—mungkin sedikit, mungkin banyak. Atau kita telah gagal—baru-baru ini saja, atau terus-terusan. Sebagian besar dari kita, berada dalam tahap ini dalam pengertian yang cair—kita bercita-cita sampai kita berhasil, kita berhasil sampai kita gagal atau sampai kita bercita-cita lebih, dan setelah kita gagal, kita bisa kembali mulai bercita-cita atau sukses.
Ego itu, musuh di setiap langkah di sepanjang jalan ini. Dalam arti tertentu, ego-lah musuh dalam membangun, memelihara, dan memulihkan. Manakala segala sesuatunya datang dengan cepat dan mudah, mungkin baik-baik saja. Tapi, di saat ada perubahan, sulit.
'Lantas, sekarang apah?' tanyamu. Ego-mu, bukanlah kekuatan yang sepanjang waktu harus engkau puaskan. Ego dapat dikelola. Ego bisa diarahkan.
Sangatlah terpuji bila hendak menjadi pengusaha atau wanita pebisnis yang lebih bertalenta, atlet yang lebih jago, penakluk yang lebih heroik. Kita ingin semestinya mendapat informasi yang lebih akurat, lebih baik secara finansial. . . Kita ingin semestinya melakukan sesuatu yang akbar. Akan tetapi, pencapaian yang tak kalah mengesankannya: menjadi orang yang lebih baik, menjadi orang yang lebih berbahagia, menjadi orang yang lebih berselaras, menjadi orang yang lega, menjadi orang yang rendah-hati dan tak mementingkan diri-sendiri. Atau lebih baik lagi, semua sifat ini, direngkuh secara komplet. Namun yang paling tampak tapi yang paling diabaikan ialah bahwa menyempurnakan diri-pribadi secara rutin, yang mengarah pada kesuksesan sebagai seorang profesional, bukan kebalikannya. Berikhtiar memulihkan kebiasaan berpikir kita, berusaha menekan impuls destruktif, bukanlah semata persyaratan moral dari setiap orang yang berintegritas, ramah dan punya niat-baik.
Semuanya akan membuat kita lebih sukses; akan membantu kita menavigasi perairan berbahaya dimana ambisi mengharuskan kita melakukan perjalanan. Dan pula, upah bagi diri-sendiri.
Tapi, apa yang tersisa? Pilihan-mu. Apa yang akan engkau lakukan dengan informasi ini? Bukan hanya sekarang, tapi ke depannya? Setiap hari, selama sisa hidupmu, engkau akan menemukan dirimu dalam salah satu dari tiga fase: aspirasi, sukses, gagal. Engkau bakal melawan ego di setiap tahapan tersebut. Engkau bakalan berbuat keliru di masing-masing fase. Engkau seyogyanya menyapu lantai setiap menit, setiap hari. Dan terus, serta terus-menerus menyapu.

Memahami ini, kita akan menelusuri babak Sundara Kanda selanjutnya. Rahwana telah ditaklukkan oleh egonya sendiri. Walau sepuluh, duapuluh, tigapuluh, atau seratus bahkan ribuan kepala dan wajah Rahwana, takkan mampu memikirkan dan melihat, lantaran semata mempertahankan seorang Waidehi, putri Janaka. Sudah begitu banyak korban, bahkan putranya sendiri, Aksa. Suatu ketika, dalam pidatonya saat bertemu dengan para Asura lain—sebab Rahwana tak sanggup menaklukkannya—wangsa Niwatakawaca dan Kalakeya, ia berkata, 'Aku yakin, wangsa Asura akan dengan hati-hati, tidak sembrono dalam mendaklarasikan calon Kaisar.' Bagi para rakshasa, mendengarnya, membuat mereka manthuk-manthuk atau bertepuk-tangan, akan tetapi, bagi para Asura, mereka akan berkata, 'Yaa yaa, makasih udah ngingetin, tapi kalo milih elu, itu hasil dari kesembronoan.'
Layaknya seorang petinju dalam olahraga tinju, rekor tinju Rahwana dalam Main—Menang—Kalah adalah ribuan—ribuan—satu. Ya, ia pernah dikalahkan oleh Harjuna Sasrabahu atau Sahasrarjuna atau Kartawirya Arjuna. Ia putra Kartawirya, raja Mahespati. Engkongnya, Herriya, sang pendiri Kerajaan. Kartawirya Arjuna cukup disebut Arjuna, digambarkan sebagai Harjuna Sasrabahu, yang punya seribu lengan—pemberian Dattatreya—raja perkasa negeri Mahespati yang gemah-ripah, loh-jinawi, tata-tentrem, kerta-raharja.
Tapi semuanya sirna oleh ego-nya sendiri. Ia mabuk kepayang pada Citrawati, puteri raja negeri Magada. Namun, demi menjadikan Citrawati sebagai first lady, syarat dan ketentuan berlaku, bahwa Arjuna kudu menyediakan 800 orang dayang-dayang, dengan wajah yang sama cantiknya, dan dengan suara yang sama merdunya. Arjuna pun menyanggupi dan kemudian sanggup mewujudkannya. Namun, satu syarat belum cukup. Syarat berikutnya, Citrawati menghendaki sebuah ibukota baru dengan taman Sriwedari yang indahnya bak taman yang ada di Suralaya. Permintaan yang ekstra-ordineri ini pun dipenuhi. Arjuna segera menginstruksikan Menteri favoritnya, Sumantri.

Lha trus, siapa sih Sumantri? Sumantri ini ... Bambang Sumantri. Ia seorang kesatria, rupawan, perwira sakti, bersenjatakan Cakrabaskara, pemusnah kebiadaban. Ia putra seorang pendeta sakti bemama Maharesi Suwandagni. Ia masih saudara sepupuan dengan Ramaparasu atau Ramabargawa atau Parasurama, putra Resi Jamadagni. Namun sepanjang hayatnya, budi-pekerti Sumantri, mempermalukan derajat kesatriaannya. Sebaliknya, adiknya, Sukasrana, berparas raksasa, tapi berbudi-pekerti luhur, sakti-mandraguna dan sangat menyayangi kakaknya.
Pada suatu malam, Sumantri menghadap Resi Suwandagni, berpamitan guna pergi melamar pekerjaan ke negeri Mahespati. Akan tetapi, ia tak mau membawa adiknya, lantaran malu terhadap wajah Sukasrana. Sumantri diterima oleh Harjuna Sasrabahu, asalkan dapat merebut putri dari negeri Magadha. Dengan gagah perkasa, Sumantri berhasil menyisihkan semua lawan dalam sayembara merebut Citrawati. Namun, setelah berhasil, dalam benaknya, timbul akal-bulus, 'Bukankah aku yang berhasil memboyong Citrawati? Mengapa harus kuserahkan kepada Arjuna, yang belum tentu melebihi kesaktianku? Kalau begitu, lebih baik, aku tantang Arjuna menandingi keprawiraanku. Jika ia kalah dan lumat oleh Cakrabaskaraku, pasti akulah yang memiliki Citrawati, harta dan tahta negeri Mahespati.' Lagi-lagi, yang enak-enak dan yang empuk-empuk, cuan dan kekuasaan, mampu merubah budi-pekerti cicit Adam.
Tantangan Sumantri, disambut oleh Harjuna Sasrabahu dengan senang-hati. Sebab bagi Arjuna, lagak Sumantri itu, ibarat seseorang yang mendeklarasikan diri jadi Capres, namun belum dapat restu dari Nyonya partai. Maka, terjadilah perlagaan seru dan dahsyat, lantaran konon keduanya awatara Wisnu. Sumantri melontarkan Cakrabaskara ke arah Arjuna. Cakrabaskara menyalak, gemuruh suaranya membelah angkasa, mengejutkan hati Arjuna. Karena murka, Arjuna bertriwikrama menjadi Brahala, raksasa yang maha besar bermuka-seribu, sehingga dengan mudah, ia menangkap Cakrabaskara. Sumantri diringkus dan dijejak di bawah telapak kakinya. Seraya menangis, Sumantri minta ampun atas kelancangannya. Arjuna masih memberi maaf dan mau menerima pengabdiannya, namun dengan syarat yang lebih berat. Sumantri diperintahkan membangun taman Sriwedari dengan ancaman bahwa apabila ternyata gagal, maka pengabdiannya ditolak.

Sumantri pontang-panting nyari investor demi membangun ibukota baru, khususnya Taman Sriwedari. Bermacam gimik telah ia tawarkan, semisal memberikan Hak Guna Bangunan selama 80 tahun, dan bisa diperpanjang lagi selama 80 tahun, tanpa membayangkan selama berapa generasi lahan tersebut bakal dikuasai para investor. Selain itu, diskon pajak sampai sebesar 350% bagi para investor, tanpa sadar bahwa rakyatnyalah yang bakal menanggung semua itu.
Belum habis Sumantri berpikir, darimana ia akan memperoleh dana pembangunan taman Sriwedari, mendadak datanglah Sukasrana, adiknya yang berwajah rakshasa, lalu membantunya, dengan mudah membangun taman Sriwedari, demi memuaskan ego Citrawati.
Sumantri berterima kasih kepada adiknya, namun ia mensyaratkan agar Sukasrana bersembunyi, tak menampakkan diri di depan publik. Lalu, Sumantri mengaku bahwa dirinyalah yang membangun Taman Sriwedari, sungguh, Sumantri telah mencatut prestasi orang lain, Sukasrana, adiknya sendiri. Di masa kini, sama seperti seorang pejabat sementara gubernur di sebuah ibukota negara, yang ngakuin menggagas sistem transportasi terpadu, tapi merupakan prestasi gubernur sebelumnya. Mungkin bentar lagi, ia bakalan ngakuin, bahwa banjir dan macet, dapat teratasi berkat diri dan para kroninya.
Pada suatu hari, Citrawati bersama pengiringnya, di kala sedang bersukaria di taman Sriwedari, tiba-tiba lari ketakutan melihat raksasa kerdil berada di taman. Ia lari tunggang-langgang, melapor kepada Arjuna. Sumantri, yang belakangan bergelar Patih Suwanda, segera datang memeriksa taman. Bukan main marahnya ketika tahu bahwa raksasa yang menakuti sang permaisuri, adiknya sendiri. Dengan Cakrabaskara, Sumantri mengancam, agar Sukasrana pergi meninggalkan taman Sriwedari, namun ciloko, senjatanya lepas dan menewaskan Sukasrana. Lamat-lamat, Sumantri mendengar suara Sukasrana bahwa kelak, ia bakalan mati oleh gigi-taring Rahwana. Bergegas, Sumantri membersihkan tekapeh, termasuk CCTV dan barang bukti lainnya. Tak diketahui, apakah ia juga ngarang cerita soal pembunuhan itu, tapi yang pasti, Sumantri sukses membuat kalangan istana nampak sumringah. Sejak saat itu, mereka hidup dalam kemewahan, bahkan setiap hari, mereka berbaur dan berpesta di taman Sriwedari.

Namun syahdan, suatu hari lagi, Citrawati bertingkah, lagi. Ia kepingin mandi dan berenang bersama para maru—istri kedua, ketiga dst—beserta dayang-dayangnya. Tapi ia kuciwa-berat, lantaran kolam renang taman Sriwedari kering tak berair. Rupanya, kolam tersebut sengaja dikosongkan oleh Sukasrana, sebab ia tak mau, kolam bekas galian tambang itu, menelan korban seperti peristiwa di Kanjuruhan.
'Kanda, aku pengeen banget, mandi sambil ciblon, penuhilah keinginanku,' Demikian rayuan-maut Citrawati, mengadu kepada Harjuna Sasrabahu. Sumantri cuma bisa nepok-jidat, 'Ampun dah!'
Saking cintanya pada Citrawati, Arjuna bertriwikrama—mempertemukan tiga kekuatan yang ada dalam dirinya: masa lalu, masa kini, dan masa depan—mengalihkan wujudnya jadi seorang raksasa yang maha besar, padahal cuma untuk berbaring melintang menghalangi aliran sungai. Maka, terbendunglah air, terjadilah danau buatan, indah membiru, laksana langit di daratan. Citrawati bersama para maru dan inang-inangnya, bersuka ria. Apel, anggur, duren, dukuh, lengkeng, pokoke buanyaak banget buah-buahan, diusung ke tempat pemandian. Singkatnya, mereka berpesta-pora. Sumantri piket dari jauh, berjaga-jaga akan kemungkinan adanya bahaya yang mengancam sang first lady. Memang benar firasat Sumantri. Tak lama kemudian, Rahwana datang. Tatkala ia melihat tubuh Citrawati yang cuma memakai selapis kain 'nerawang yang'nutupin wadinya, Rahwana ... mana tahaan, dan glek, ia menelan air-ludahnya, serta seketika hendak menculiknya—ternyata, dari dulu Rahwana suka nyandera orang. Akan tetapi, rencana Rahwana dapat digagalkan. Sumantri dapat meremukkan kesepuluh kepala Rahwana. Berkat ajian Pancasonanya, Rahwana tak mati oleh tangan Sumantri, bahkan sebaliknya, tubuh Sumantri terobek-robek, digigit-gigit dan dikunyah-kunyah oleh sepuluh mulut Rahwana. Kutukan Sukasrana pun terbukti.
Mendengar kematian Sumantri, Prabu Arjuna murka. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan mengalahkan Rahwana. Rahwana diikat dan diseret kereta di sekitar alun-alun Maespati. Namun, waktu kematian Rahwana belum tiba. Resi Pulastya, engkong Rahwana, datang menghiba agar cucunya dibebaskan dan diampuni. Arjuna mengabulkan permintaan Pulastya seraya berkata, 'Iye iye kong, ane lepasin deh, tapi Rahwana kudu jadi vasal ane yee!' Dengan terpaksa, sang engkong manggut-manggut. Rahwana dibiarkan pulang ke Alengka dengan rasa-gondok.

Upaya Rahwana merebut Citrawati dari Arjuna, tak henti sampai di situ. Suatu hari ketika Arjuna keluar berburu sendirian, Rahwana mengutus intel-nya, Marica, menyampaikan kepada Citrawati bahwa Arjuna mati disembur gas air-mata. Berharap ia akan menyerahkan dirinya kepada Rahwana, ternyata, malah Citrawati yang bunuh-diri.
Hancur hati Arjuna mendengar yayangnya tewas melompat ke dalam kobaran api. Ia merasa tak ingin hidup lagi, dan meninggalkan kerajaan dan rakyatnya.
Selama berbulan-bulan, ia membiarkan rakyatnya dalam keadaan menderita dan akhirnya, kerajaannya pun runtuh. Di tengah pengembaraannya, ia bertemu dengan Ramabargawa.
Dulu, sewaktu masih menjadi raja, Arjuna tergolong kurang bijak. Apalagi setelah Patih Suwanda gugur—dan digantikan oleh Bambang Kuntanadi, bergelar Patih Surata—ia sering bertindak tanpa kearifan. Pada saat sedang berkelana bersama para putra dan pengawalnya, sang raja Mahespati membunuh Bagawan Jamadagni hanya soal sepele. Maharesi Jamadagni protes dan berdemo meminta keadilan lantaran ternak peliharaanya, dibantai oleh para prajurit Arjuna. Boro-boro ngegantiin binatang ternak sang resi, Arjuna bahkan membunuh Jamadagni dengan berseru, 'Tolak politik identitas, kita lawan!' Idih, apa hubungannya yaq? Biasalah, para penguasa represif memang begitu, orang meminta keadilan, malah penguasanya yang nyapnyap nggak keruan.
Ramabargawa, putra Bagawan Jamadagni, menuntut balas. Ia menantang Arjuna, kemudian melemparkan kapak saktinya ke arah Arjuna yang tak punya keinginan hidup lagi. Tubuh Arjuna hancur-lebur dijuing-juing kapak Ramabargawa. Sang raja Mahespati tamat riwayatnya, tenggelam oleh ego-nya dewek. Harjuna Sasrabahu, seribu lengan, seribu ego.

Boleh jadi, Rahwana telah lama melupakan kejadian itu, namun kemunculan Hanoman, mengingatkannya pada kehebatan Harjunasasra. Ia berkata kepada pangerannya, 'Adikmu dan teman-temanmu telah gugur. Sepertinya, tiada legiun yang sanggup melawan monyet ini, apalagi membawanya. Pergilah, anakku, bawakan ia padaku.’ Dengan berbisik, ia menambahkan, ‘Bawa hidup-hidup.’
Kemudian, sang pangeran rakshasa berangkat untuk menjinakkan wanara di asokawana. Laksana angin kelabu, kereta Indrajit menerbangkannya menuju Hanoman. Ketika mendekati sang wanara, ia menarik tali-busurnya dan Alengka bergema oleh gaungannya. Hanoman menjawab dengan tawa-liar, bahwa di sini, pada akhirnya, ada musuh yang pantas untuknya. Semangat bertempur ada padanya dan ia merindukan perlagaan yang sengit. Masih duduk kalem, Hanoman bersenandung,

Cublak, cublak suweng
[Bermain wadah anting-anting]
Suwengé ting gelèntèr
[Antingnya berserakan]
Mambu ketundhung gudèl
[Aromanya didekati anak-kerbau]
Pak Empong léra-léré
[Pak Ompong nengok kanan-kiri]
Sopo ngguyu ndhelikaké
[Siapa yang tertawa, ia yang menyembunyikannya]
Sir, sir pong dhelé kopong
[Nurani, hati-nurani, melompong bak kedelai tak berisi]
Sir, sir pong dhelé kopong. *)
[Nurani, hati-nurani, melompong bak kedelai tak berisi]

Lantas, pertarungan pun dimulai."
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Ryan Holiday, Ego is the Enemy, Penguin
- Ir. Sri Mulyono, Wayang dan Karakter Manusia - Harjunasasra dan Ramayana, CV Haji Masagung
*) Lagu dolanan "Cublak-Cublak Suweng," menurut mbah Google, di berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa liriknya diciptakan oleh seorang Wali Songo, Syekh Maulana Ainul Yakin atau dikenal dengan Sunan Giri, sekitar tahun 1442 M.
[Bagian 15]
[Bagian 13]