Minggu, 30 Oktober 2022

Hanoman Obhong : C'est La Vie

"Tes urine?'" sang Purnama memulai dengan sebuah tanggapan sebelum melanjutkan Sundara Kanda. "'Belum becus juga ngurusin diri 'endiri, eh malahan pingin ngurusin orang lain. Untuk sementara, urus dulu deh moral elu dewek, dan biarkan kami, ngurusin moral kami sendiri. C'est la vie!' berkata seorang lelaki yang masuk ke bar dan memesan minuman. Ia melihat seorang pemabuk yang terus terjatuh dari kursinya. Sang lelaki menghabiskan minumannya sambil memperhatikan lelaki lain yang berusaha bangkit kembali ke kursinya. Merasa sedikit kasihan pada sang pemabuk, sang lelaki mencoba membantunya berdiri, namun sang pemabuk terus-terusan jatuh. Sang lelaki menawarkan tumpangan pulang kepada sang pemabuk, akan tetapi, sang pemabuk tak mampu berbicara hingga sang lelaki menemukan alamat di dompetnya. Saat berjalan menuju ke mobil, sang lelaki praktis kudu membopong sang pemabuk. Di rumah sang pemabuk, ia memarkir kendaraannya masuk dan setengah membopong, setengah menyeret sang pemabuk ke pintu depan. Ia membunyikan bel pintu dan seorang wanita membuka pintu. 'Bu, suami ibu, mabuk berat, jadi ane mutusin, ngasih tumpangan pulang.'
"Ente baik banget," kata sang wanita. 'Makasih yaa, tapi ... di mana kursi rodanya?'

Dan kembali ke bar, Fred dan saudaranya, Keledai, berjalan masuk ke bar. Fred memesan duluan dan berkata, 'Gua pesen satu gelas dan nambah segelas buat Keledai.'
Kedua lelaki, meminum gelas bir mereka dan Fred berkata, 'Okeh, Keledai, giliran elu. Pesenin gua, satu gelas Guinness.’
Keledai berjalan ke bar dan berkata, 'Dua g—gelas G— Guinness t—tolong.'
Sementara Keledai membawa gelas, Fred pergi ke toilet dan bartender berkata, 'Lu tu ye, mestinya lu nggak boleh ngebiarin die, manggilin elu sebutan dungu kek gitu.'
Keledai menjawab, 'Gue tahu. Doi sell—, doi sel—, doi sella—, doi selalu aja, manggil gue Kelede. C'est la vie!’

Kemudian, seekor panda masuk ke bar dan memberitahu bartender bahwa ia hendak makan siang. Bartender memberinya menu dan ia memesan. Sang panda memakan makan siangnya, dan begitu ia selesai, ia beranjak pergi. Tiba-tiba, sang panda menarik pucuk senjata AK-47 dari bulunya, dan menembak palangnya hingga berkeping-keping. Ia lalu berjalan menuju pintu.
Bartender yang terkejut melompat keluar dari balik bar yang berantakan dan berteriak, 'Hei, menurut loe, loe syapah? Elu udah makan siang, pucuk senapan loe, nembakin bar gue, dan sekarang, loe pegi, geto aja?’
Sang panda menjawab dengan kalem, 'Lho, gue kan panda.' Sang bartender berkata, 'Trus, emang 'napa?' Sang panda menjawab, 'Loe liat deh di ensiklopedia, c'est la vie!' dan berjalan keluar pintu.
Sang bartender melompat kembali ke belakang bar yang hancur dan mengambil ensiklopedianya. Ia melongok kata 'panda' dan benar saja, ada gambar panda.
Ia membaca keterangan, yang berbunyi, 'Panda—makhluk hitam-putih yang suka diemong. Makan pucuk dan daun.’

Seekor ayam masuk ke bar dan berkata, 'Seorang menteri dari negeri Zamrud, mengatakan bahwa merekalah negara pertama di Asia Tenggara yang punya kereta cepat. Bartender berkata, 'Kami tak melayani unggas.' Sang ayam menjawab, 'Gpp, aye cuma pengen minum kok. C'est la vie! Tek-kotek!’

Seorang lelaki berjalan masuk ke bar dengan seekor bebek nempel di kepalanya. Ia berkata, 'Perdana Menteri negeri Zamrud—ups maaf kalau keliru—berkata bahwa saat ini, banyak negara-negara besar yang meminta bantuan kepada rajanya, terkait perdamaian dunia. Padahal menurutnya, sang raja, dulunya, cuma suka main-kayu, eh bukan, maksudnya ... tukang-kayu.'
Sang bartender menjawab, 'Jangan baper dulu, ia seorang yang berpengalaman, cermati aja omongan dan nada-bicaranya, serta ... realitanya. Jadi, apa yang bisa ane bantu buat loe?' Sang bebek menyela, 'Yes, tolong dong singkirin orang ini dari bokong ane! C'est la vie! Kwek-kwek!'

Yah, c'est la vie. Maka, kita aktifkan Sundara Kanda lagi.

Kobra dan singa keluar dari lubang dan guanya, ketakutan, saat Hanoman melompat ke langit. Pepohonan terangkat bersamanya dan lingsir kembali ke bumi dan ombak, batang-batangnya mengambang bagai ranting di atas buih yang bergelombang. Sebelum ia melesat ke angkasa biru, ia tampak menggantung di udara sejenak. Tubuhnya diterangi oleh sinar terakhir matahari yang mulai tenggelam, ia memenuhi setengah cakrawala laksana awan petir yang disambar geledek.
Kemudian, dengan mudah, ia terbang mengarungi awang-awang yang lembut, di sepanjang jalan bayu, bersuka-ria bahwa ia telah mencapai apa yang diinginkannya dan, sungguh, lebih banyak lagi. Terdapat awan yang memantulkan lautan yang berada di bawahnya, demikianlah panoramanya: Hanoman melintas di antara mereka, rambutnya berpendar dengan matahari terbenam, dan berbintik-bintik hijau laut. Dengan kecepatan dua kali lipat dari kecepatannya terbang ke Alengka, putrabayu terbang kembali ke Rama membawa berita.

Sekali lagi, Mainaka muncul di hadapannya, sebuah piramida emas, sebuah visi di antara gelombang. Hanoman mengitari sang gunung, meneriakkan keberhasilannya, mendoakan Mainaka, dan balik didoakan sebagai balasannya. Ia mengelus sisi gunung yang berkaca-kaca, dengan cinta-kasih, dan, menangkupkan kedua telapak-tangannya kepada makhluk purbakala itu, dan berkilat. Seketika ia melihat Mahendra menjulang di hadapannya dan pantai bersih Baratawarsa. Hanoman mengaum kegirangan menembus langit yang gelap dan awan di dalamnya. Laut berguncang, demikian pula empat penjuru angin. Para wanara di pantai seberang, menanti dengan harap-harap cemas, masing-masing pasang kuping.
Wajah mereka berseri-seri, para kera Anggada, hampir tak punya waktu saling-menatap ketika, dengan siulan udara dan gempa bumi, Hanoman mendarat di puncak Mahendra. Ia berdiri sejenak di ketinggian itu. Ia menepuk-nepuk dadanya; ia berteriak panjang dan penuh kemenangan, dan berterima kasih kepada ayahnya yang ada di mana-mana lantaran telah menemaninya dalam perjalanannya. Kemudian, Hanoman menyusut kembali ke ukuran wanaranya yang biasa dan berlari menuruni gunung, penuh dengan berita dan kegembiraannya. Ia bertemu Angada, Jembawan, dan yang lainnya, di tengah jalan, sebab mereka juga menyambutnya dengan baik dan berlari ke atas, sama bersemangatnya dengan ia yang berlari ke bawah.
Kala mendengar Hanoman mengaum di atas mereka, Jembawan berseru kepada Anggada dan pasukan keranya di pantai, 'Ia telah menemukannya, atau ia takkan mengaum sekeras itu.'
Maka, para wanara berlari ke Mahendra dalam hiruk-pikuk harapan. Tersangkut dan mencabut tanaman dan pohon-pohon kecil di sekitar mereka, menyerbu lereng bukit dengan suka-ria, mereka bergegas berseru ke atas gunung. Saat mereka sampai, mereka mematahkan ranting-ranting pohon yang berwarna-warni dan melambaikannya tinggi-tinggi bak lautan obor bunga. Dan di saat mereka bertemu pahlawan yang pulang turun gunung, kegembiraan mereka tak terlukiskan.
Anggada memeluk Hanoman lagi dan lagi, dan yang lain, semuanya membungkuk di kakinya dengan aneh, dengan telapak tangan tertangkup. Ada yang membawa buah dan akar yang gurih, yang mereka kumpulkan dalam perjalanan ke atas. Mereka menawarkannya kepada Hanoman, mengira bahwa mungkin ia belum makan sejak ia meninggalkan pantai itu. Hanoman membungkuk ke Anggada dan Jembawan. Saat matahari terbenam di bawah ombak, mereka terdiam dan berdiri kaku di sekelilingnya, menunggunya berbicara. Sebuah senyuman, tiba-tiba menghiasi wajahnya yang ramah, dan Hanoman mengangkat suara dan menangis, sehingga setiap wanara yang mendengarnya, dan tempat itu, bergema dengan apa yang ia ucapkan, 'Di asokawana Rahwana, aku melihat Sita!'
Tentara kera mengaum. Mereka melompat tinggi ke udara. Mereka memutar roda gerobak di tanah dan cabang-cabang pohon, dan merepet kegirangan.

Para yakshi merayakan kegembiraan mereka, dengan berdansa waltz, mereka bersenandung,

Eurus ... Afer Ventus ... so the world goes round and round
[Angin Timur ... Angin Afrika ... maka duniapun berputar dan berputar]
With all you ever knew
[Dengan segala yang pernah engkau ketahui]
They say the sky high above is Caribbean blue
[Mereka bilang, langit tinggi di atas sana, birunya Karibia]

If every man says all he can
[Jika setiap manusia, ucapkan segala yang ia bisa]
If every man is true
[Jika setiap manusia itu, benar]
Do I believe the sky above is Caribbean blue?
[Percayakah aku, langit tinggi diatas sana, birunya Karibia?]

Boreas ... Zephyrus...
[Angin Utara ... Angin Barat yang lembut]
If all they told was turned to gold
[Jika segala yang mereka ucapkan, malih jadi emas]
If all you dreamed was new
[Andai segala impianmu itu, kekinian]
Imagine the sky high above in Caribbean blue
[Bayangkanlah langit, yang tinggi di atas sana, dalam birunya Karibia]

Eurus... Afer Ventus ... Boreas ... Zephyrus ... Africus ... *)

Ceritanya panjang. Dalam bentuknya yang masih ada, Ramayana karya Walmiki merupakan syair epik sekitar 24.000 syair, terbagi menjadi tujuh kanda: Bala Kanda, Ayodhya Kanda, Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda, Uttara Kanda, dan sekitar 500 sarga. Kita telah mendekati ujung-akhir Sundara Kanda, tapi cukuplah untuk saat ini. Dan kita bakalan sampai di Yudha Kanda, lalu Uttara Kanda, bi-idznillah."

Sebelum berangkat, sang Purnama menatap ke depan, 'Karena matahari terbit dari Timur, tampaknya tepat memulai dengan Eurus, Angin Timur. Fajar, awal dari hari baru yang melambangkan awalan baru. Biasanya, awal dari segala sesuatu dapat dikatakan tak pasti; manusia tak tahu apa yang bakal terjadi pada hari itu. Ia mungkin mengisyaratkan perjalanan yang menarik dengan nuansa, klimaks, suasana-hati dll, yang berbeda. Manusia akan memperhatikan bahwa banyak hari berputar di seputar tema alam dan kekuatan yang bertenaga.
Afer Ventus, angin Afrika atau angin Barat-Daya, penguatan alam. Angin memainkan peran utama. Sebab angin disebut sering berubah, seseorang cenderung merenungkan kebiasaan sifat manusia yang tak pasti. Dalam banyak agama, angin dikatakan sebagai kekuatan penuntun. Angin menunjukkan bahwa manusia yang 'tak pasti' selalu dapat bergantung pada kekuatan yang lebih besar darinya. Tinimbang harus membuat keputusan sendiri atau mengikuti keputusan manusia lain, marilah kita melepaskan beban duniawi dan membiarkan angin menuntun kita melalui perjalanan eksotis.
Boreas, angin Utara. Angin ini sering digambarkan berjanggut, kuat, berselimutkan dingin, dan bersayap. Angin utara biasanya dikaitkan dengan badai amarah dan kegetiran. Sebaliknya, Zephryus, angin Barat yang lembut. Kedua angin ini, saling-kontra dan mewakili dua sisi manusia yang berbeda: sisi baik, terkait dengan amal-shalih, dll, dan sisi buruk, terkait dengan kejahatan, dosa, dll. Lantaran spektrumnya sangat luas, manusia mudah berubah dan tak dapat diandalkan.
Dunia berputar dan berputar, takkan pernah berhenti beredar dan bergulir. Pengetahuan kita, bakalan terus berkembang seiring dengan pergerakan planet ini. Namun, ada di antara para manusia, menginginkan kesempurnaan, dan terkadang, mereka memaksakan diri untuk melihat kesempurnaan, walaupun itu, suatu ketiadaan. C'est la vie. Wallahu a'lam bish-shawab.”
Kutipan dan Rujukan:
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Billy Brownless, A Man Walks into a Bar, Allen & Unwin
*) "Carribean Blue" karya Eithne Ni Bhraonain, Roma Ryan, Nicky Ryan
[Bagian 16]