Kutipan dan Rujukan:Sang Purnama melanjutkan, "Ketika ia dibawa ke hadapan Rahwana, Hanoman membuka matanya, yang telah ia tutup rapat-rapat seolah kesakitan saat ia diseret di sepanjang lantai licin istana. Samar-samar, ia melihat Rahwana: jangkung dan flamboyan. Mahkota emas di kepalanya, memantulkan kilauan dari mutiara, berlian, dan rubi. Sang rakshasa mengenakan sutra putih melambai, yang persis seperti yang pernah ia lihat di suatu pagi. Ia duduk diam di singgasananya, sementara sang wanara tergeletak di depan kakinya.Aroma kayu-cendana, yang membaluri tubuh Rahwana, memenuhi majelisnya. Necis, pesolek tapi serem, terpancar dari mata sang Iblis; yang memberangsang kepoin sekujur tubuh Hanoman. Rahwana mengenakan kalung mutiara di lehernya, ada yang segede telur merpati, dan di pergelangannya yang beriak, ia memakai gelang emas dan koral yang berat. Ia duduk di padmasana kristal hitamnya, ditemani para menteri di sekelilingnya, Prahasta, Nikumba dan yang lain.Para rakshasa pengawal Indrajit, telah menyeret Hanoman ke sini dengan kasar. Namun saat ia terbaring di kaki Rahwana dan menatap kemewahan sang Rakshasa yang rancak ini, mata sang wanara tersilau. Ia menatap sang Iblis dan, tak dapat mengalihkan pandangannya dari sang raja Alengka, Hanoman mengamati. Ia membatin, 'Sungguh keren, sungguh cakep! Sayang, durjana. Andai ia tak mengambil jalur kegelapan, di sisi sebelah-kiri, Rakshasa ini, bisa menjadi raja para batara jika ia mau. Aku belum pernah melihat penampakan seperti ini, kece-badai seperti itu. Tapi sayang, ia kejam dan kasar. Ia makhluk kelam dan hatinya tak mengenal belas-kasihan.’Rahwana, yang punya nama lantaran bikin geger Triloka, menatap mata Hanoman yang kuning kecoklatan, menakarnya dengan tajam dan cepat, sehingga sang monyet merasa jiwanya sedang diamati. Sang rakshasa merasakan tikaman kejerian, dan berpikir, 'Banteng Siwa-kah ini, yang datang ke Alengka, seperti yang ia janjikan ketika aku mengangkat gunung Mahadewa? Nandi-kah, yang datang sebagai monyet untuk mengumumkan kematianku? Atau, Banasura-kah, yang datang untuk membunuhku?’Perlahan, api yang terlelap di kedalaman matanya, berkobar ke permukaan. Dalam tatapan gentar, Rahwana menolehkan sepuluh kepalanya ke arah menterinya, Prahasta, yang baru saja kehilangan seorang putra gegara Hanoman. Serempak, sepuluh kepala sang raja bertanya, 'Siapakah dirinya? Darimana asalnya? Apa yang diinginkannya, sehingga ia menghancurkan asokawanaku dan membunuh banyak prajuritku? Ia telah membunuh anakku. Tanyakan padanya.'Prahasta berpaling ke Hanoman yang tergeletak di lantai, 'Jawab tanpa ragu hai monyet. Engkau takkan diapa-apain bila mengatakan yang sebenarnya. Indrakah yang mengutusmu kemari sebagai mata-mata, ataukah Waisrawana, Kubera atau Yama? Atau mungkin Wisnu, musuh rakyat kami, mengutusmu? Engkau bukan monyet sembarangan. Itu terlihat dari keberanianmu. Katakan pada kami, siapakah engkau.'Akan tetapi, Hanoman takkan sudi menjawab pertanyaan orang sekelas menteri belaka. Ia mengisyaratkan bahwa ia ingin berdiri. Saat ia dibantu berdiri, ia beralih menghadap Rahwana, 'Bukan Yama, Kubera atau Baruna yang mengutusku. Bukan pula atas perintah Wisnu aku datang. Ini bukanlah penyamaran, melainkan wujud asliku, sebab aku seorang wanara. Aku ingin bertatap-muka denganmu, hai penguasa para rakshasa, karenanya, aku mengobrak-abrik asokawana. Aku membunuh para prajuritmu semata membela diri, karena mereka datang untuk membunuhku.Tiada astra yang dapat mengikatku, Rahwana; lantaran Brahma sendiri yang telah memberikanku kekuatan itu. Aku membiarkan diriku, terikat dengan tali leceh ini, karena aku ingin berbicara denganmu. Perhatikan omonganku ini, dan itu mungkin menguntungkanmu, wahai Kaisar.’Rahwana tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sang kera, menunggunya melanjutkan. Hanoman berkata, 'Rahwana dari Alengka, aku datang ke kotamu atas perintah rajaku, Sugriwa raja para wanara. Ia mendoakanmu agar selalu sehat dan memintamu agar memperhatikan pesan yang ia kirimkan. Inilah isi pesan Sugriwa:'Ada seorang raja yang mulia, wangsa Ikswaku, yang keberanian dan kebajikannya tak bernoda, dan namanya Dasarata. Rama, putra sulungnya. Rama, seorang kesatria dan pangeran kebenaran. Untuk menjaga kehormatan ayahnya, ia pergi ke Dandakawana, mengasingkan-diri selama empat belas tahun. Rama bersama istrinya, Sita, dan adiknya, Laksmana. Suatu hari, Sita putri Janaka, tersesat di hutan. Dalam kesedihan, Rama datang ke gunung Reksamuka. Di sana, ia bertemu Sugriwa, yang diusir dari kerajaannya oleh saudaranya Subali. Rama dan Sugriwa bersumpah bahwa Rama akan mengembalikan kerajaan Sugriwa, dan sebagai imbalannya, Sugriwa akan mencari Sita sampai ketemu, dimanapun keberadaannya.'Rahwana mendengarkan, dua puluh mata ganas menatap Hanoman tanpa kedip. Sang kera melanjutkan tanpa henti, 'Rahwana dari Alengka, pasti telah mendengar tentang keberanian Subali, raja para wanara. Rama membunuh Subali dengan salah satu anak-panah dari anak-panah-anak-panah ajaibnya, dan melantik Sugriwa di singgasana kayu hitam Kiskenda. Agar menghormati perjanjian mereka, Sugriwa mengirim pasukan wanara, mencari Sita; Utara dan Timur, Barat dan Selatan, ia mengutus mereka. Bukan hasil dari teori delusi Darwin, melainkan mereka semuanya wanara perkasa dari wangsa wayang purwa. Ada yang bisa terbang seperti Garuda, dan yang lain secepat Bayu. Aku Hanoman, putrabayu oleh Anjana, dan aku melompat ke seberang lautan, mencari Sita.Bayangkanlah keterkejutanku, wahai raja yang hebat, yang tahu betul tentang kebajikan, yang lebih NKRI dibanding mereka yang menyatakan diri lebih NKRI diantara para NKRI-an, pokoknya yang lebih tahu tentang darma dan bukan drama, ketika aku melihat Sita yang ayu berduka di asokawanamu. Aku berpikir, bagaimana mungkin seseorang yang sangat mulia dan masyhur seperti Rahwana dari para rakshasa, Rahwana dengan tapa-bratanya yang tiada tara, menyandera istri orang di luar kehendaknya? Engkaulah orang yang, boleh dikata punya IQ di atas 200; engkau tak semestinya terperangkap dalam arang-muka seperti itu. Batara atau danawa, asura atau rakshasa mana, wahai penguasa Alengka, yang akan mampu menahan astra-astra Rama dan Laksmana?'Rahwana masih tetap diam. Hanoman menatap tajam ke matanya dengan sikap menantang, padahal tiada yang berani melakukannya. Sang wanara berkata, 'Aku melihat Sita. Aku terkejut bahwa seorang raja bijak sepertimu, memelihara seekor ular-besar yang bakal mematukmu, di istanamu dengan kasih-sayang dan kelembutan. Layaknya makanan pilihan yang dicampur dengan racun, walau ia tak pandai memainkan drama ratu drama, namun ia akan membuktikan, lebih dari yang dapat engkau cerna. Rahwana, ia bakal menjadi kehancuranmu. Perhatikan apa yang kukatakan; pulangkanlah ia ke Rama yang merindukannya. Pulangkanlah ia sekarang, ia berbahaya.Engkau seorang tapaswin [pertapa]. Bagi seseorang yang duduk selama pertapaan yang engkau lakukan, seorang wanitakah, bahkan yang paling cantik? Aku telah diberitahu bahwa itulah dhyana [meditasi] yang tiada banding, yang menjadikanmu tak tertandingi melawan para batara dan asura; dan engkau mengalahkan Indra dan Kubera. Akan tetapi Rahwana, engkau lupa bahwa Sugriwa bukanlah batara cahaya, bukan pula asura kegelapan. Ia bukan gandarwa, yaksha atau pannaga. Wahai Rakshasa dahsyat, Sugriwa itu wanara, dan Rama seorang manusia. Tak terkalahkankah engkau melawan keduanya?Pikirkan baik-baik, sebelum terlambat dan musuh bebuyutan datang memburumu. Telah lama engkau menikmati buah tapasyamu; namun waktu untuk membayar dosa-dosamu sudah mendekat. Akan mampukah engkau menahan pangeran manusia dan para wanara, atau akankah mereka membawa kematianmu? Aku menyadikkan kearifanmu, Rahwana dari Alengka. Ingatlah bagaimana Subali mati; pikirkan kembali Janastana dan pembantaian tentara Kara. Pikirkanlah sekarang, dan apa yang telah kulakukan terhadap taman dan para prajuritmu. Kukatakan padamu, bahkan aku, yang hanyalah seekor monyet kecil, mampu memborbardir Alengka dongenganmu. Sebab aku berada di sisi kebajikan, sedang engkau, di sisi yang berlawanan.’Mata Rahwana diamuk amarah; namun ia tetap membisu. Hanoman melanjur dengan berani, dan dengan kalem, semata argumen yang tenang mengalir dalam nada-suaranya. 'Engkau menganggap istri Rama hanya sebagai wanita lain. Walakin ia kedalaman malam nan kelam, yang akan menutupi kemuliaan Alengka; ia akan membuktikan, menjadi akhir dari segala keagunganmu. Ia jerat yang engkau ikat sendiri di lehermu, seolah kematian lebih engkau sukai ketimbang kehidupan. Ia api kebenaran, yang engkau nyalakan di dekat hatimu yang terperdaya. Wahai rakshasa, ia bakal membuatmu dan kotamu, jadi debu.Rama orang yang mampu membumi-hanguskan jagad-raya ini. Ia sanggup memadamkan bintang-bintang dengan panahnya dan kemudian, mewujudkannya kembali. Selamatkan dirimu dari kemurkaanya. Selamatkan rakyatmu, para wanita dan anak-anakmu; selamatkan Alengka yang indah ini. Bilamana Rama datang, apa yang kulakukan di asokawanamu, akan tampak cemeh dibanding dengan apa yang bakal ia lakukan. Brahma, Indra, atau Rudra bermata tiga, takkan menyelamatkanmu.’Mata Rahwana menyala. Bagai binatang pemangsa yang tak terlukiskan, Sang rakshasa menderam-dalam di tenggorokannya. Dengan pelan, ia berkata, 'Bunuh ia.'Namun adiknya, Wibisana, berseru, ‘Baginda, membunuh sang kera bertentangan dengan kebajikan para raja. Jangan biarkan amarah menguasai dirimu; Engkau tak semestinya membunuh seorang utusan. Pertimbangkan hukuman yang tak terlalu ganas terhadapnya.”Akan tetapi, Rahwana menggeram, mata sepuluh kepalanya, berapi-api, ‘Tiada dosa membunuh seorang perusak dan seorang pembunuh. Bukankah ia membunuh Jambumali, Aksa dan ribuan yang lain? Bukankah ia telah memusnahkan asokawana? Bukankah aku duduk di sini mendengar cemoohan dan hinaannya, yang takkan diterima oleh seorang raja?’Wibisana berkata ayem, ‘Alasan apapun, seorang utusan tak boleh dibunuh. Ia musuh kita dan ia harus membayar apa yang telah ia lakukan. Cambuk, buat cacat, atau bahkan; cukur kepalanya dan lukai tubuhnya dengan murkamu. Tapi jangan biarkan ia terbunuh; kanun para raja tak membolehkannya. Selain itu, ia cuma utusan rendahan. Jika engkau membiarkannya dihukum mati, semua yang telah engkau peroleh, akan menjadi sebutan buruk bagi dirimu sendiri. Tugaskan pasukan melawan pangeran manusia yang mengutusnya. Itulah Keadilan; dan bukanlah orang bijak yang akan mencelamu, melainkan terbayang bahwa Rahwana mampu menahan amarahnya walau saat ia sedang dihasut.’Sang kepala sepuluh, manggut-manggut. Namun dalam batinnya, Rahwana kepo, 'Inikah Wisnu yang berwujud kera, datang untuk membunuhku? Atau Brahma, atau jelmaan Parabrahmam?' Dengan susah-payah, sang iblis Alengka, meredam amarahnyaMenenangkan diri, Rahwana berkata kepada saudaranya, 'Engkau benar, Wibisana; aku takkan membunuh monyet itu. Tapi aku harus menghukumnya, lantaran kekacauan yang dibawanya ke kota kita.”Para kepala saling berbisik jahat di antara mereka; setelah itu, sebagaimana mereka bersepakat men-stigma sang wanara, perlahan, senyum menghiasi wajah tengahnya. Rahwana berkata, 'Tiada yang lebih berharga bagi seekor kera selain ekornya. Biarkan ekor lembut monyet ini dibakar. Biarkan ia dipulangkan dengan tunggul yang terbakar di bokongnya guna menunjukkan bahwa ia menerobos jalanku. Ya, biarkan ekor monyet itu terbakar dan biarkan ia diarak di jalan-jalan Alengka. Biarkan rakyatku, menertawakannya atas apa yang ia lakukan hari ini.'"Sang Purnama berkata, "Tapi tunggu dulu, aku ingin menggarisbawahi kata 'stigma.' Jadi, kita pause cerita ini barang sejenak. Lantas, mengapa stigma? 'Stigma', kata benda kiasan yang bermakna 'tanda pembeda atau karakteristik (dari jenis yang buruk atau tak pantas)' dan 'tanda aib atau penghujatan; tanda kecaman atau kutukan yang keras, yang dipandang sebagai kesan pada seseorang atau sesuatu'. Penggunaan kata 'stigma' sehari-hari mengacu pada kedua pemahaman ini; kita menggunakan 'stigma' untuk melukiskan tanda merendahkan yang ditempelkan pada anggota-tubuh, orang, kondisi, tempat tertentu, semisal ras, suku, agama, ideologi, dll. dalam interaksi sosial yang mempermalukan.Kini, tatkala orang menggunakan istilah 'stigma', mereka cenderung pula menggunakannya berdasarkan pengalaman, menggambarkan efek psikologis yang melemahkan dari stigma, dengan penekanan khusus pada bagaimana rasa-malu yang disebabkan oleh stigma, merusak ketenteraman dan merusak rasa-dirimu. Namun, pemahaman psikologis stigma sering berfokus pada pengalaman individu yang distigmatisasi dengan cara yang menutup pemahaman tentang stigma sebagai kekuatan material, bentuk kekuatan struktural dan penataan. Stigma mengembangkan pemahaman yang lebih psiko-politik tentang stigma, mengkonseptualisasikan kembali stigma sebagai bentuk kekuatan yang terukir pada tubuh dan berada di bawah kulit.Dalam kata pengantar Laporan Amnesty International 2016/2017 tentang keadaan hak asasi manusia dunia, Sekretaris Jenderal Amnesty Salil Shetty memperingatkan bahwa kita sedang menyaksikan 'tren global menuju politik yang lebih marah dan memecah belah' dimana 'ide tentang martabat manusia' 'di bawah serangan yang kuat dan tanpa henti dari narasi kuat tentang menyalahkan, rasa-takut dan kambing-hitam, disebarkan oleh mereka yang berusaha mengambil atau merangkul kekuasaan'. 'Di seluruh dunia', tulisnya, 'para pemimpin dan politisi mempertaruhkan kekuatan masa-depan mereka pada narasi ketakutan dan perpecahan, menyalahkan 'yang lain' atas keluhan dari para pemilih, yang nyata atau yang dibuat-buat.'Stigma, mesin ketidaksetaraan, punya banyak akibat buruk. Stigma itu, 'serangan kuat dan tanpa henti' terhadap martabat manusia yang merupakan karakteristik utama dari pembelokan para otoritarian global saat ini. Stigma disebarkan sebagai teknologi pemecah-belah dan dehumanisasi oleh pemerintah. Politik stigma berperan dalam menghasilkan iklim beracun rasa-takut dan kebencian, yang menyelubungi dan memecah-belah bangsa dan masyarakat. Kekuatan stigma dibuat dan dikembangkan sebagai sarana untuk memanfaatkan modal politik. Politik yang memecah-belah ini, berada di bawah kulit orang-orang yang ditaklukkannya; stigma yang ditanamkan oleh negara ini, mengubah cara orang berpikir tentang diri mereka sendiri dan orang lain—merusak cinta-kasih, menghancurkan harapan, melemahkan solidaritas sosial.Rahwana mengangguk kepada pengawalnya, dan mereka berlari keluar mengambil sehelai kain. Mereka melilitkan kain itu dengan erat di ekor Hanoman. Pada awalnya, Hanoman melotot; ia memamerkan taringnya dan menggeram pada para penculiknya. Tapi kemudian, ia berpikir, 'Jika aku membiarkan diriku diarak di jalanan Alengka, aku bakalan dapat melihat kota pada siang hari. Apa yang kuamati akan berguna nanti, saat membawa pasukan kita melawan Rahwana.’Ia membiarkan ekornya dibalut, dicelupkan ke dalam minyak dan dibakar. Ia membiarkan penjaga Rahwana menyeretnya keluar istana, dan di bawah sinar matahari yang menyilaukan. Mereka menyeretnya ke seluruh kota, sementara para rakshasa berbaris di jalan-jalan, mencemooh dan mengejeknya. Hanoman berlalu dengan tenang, seolah-olah tak ada pertarungan yang tersisa dalam dirinya; ekornya menyala, kwndatipun ia belum merasakan sakit.Para rakshasi dari asokawana berlari menemui Sita, dan berseru penuh kemenangan, 'Temanmu, monyet berwajah merah, sedang diarak di jalanan, dengan ekornya yang terbakar!'Air-mata mengalir di matanya, Sita berpaling dari mereka. Ia mulai berdoa. 'Jika benar aku setia kepada Rama, bahwa benar aku telah menepati janjiku dan bahwa pikiranku selalu bersih, maka jangan biarkan Hanoman, yang telah melompat menyeberangi lautan untuk menemukanku, yang berani menghadapi setiap bahaya, membawa pesan Rama kepadaku, terbakar oleh api. Biarkan sentuhan pada ekornya, sedingin belaian ayahnya, Bayu.’Hmm, bagian ini, mirip-mirip dengan cerita Nabi Ibrahim, alaihissalam, ketika ia akan dibakar oleh Raja Namrud. Kesimpulannya, jika ada yang sedang berupaya membakar hati dan kepalamu, jangan marah atau sedih, tapi berdoalah kepada Dia, Yang menciptakan api, agar mendinginkannya, dan menolongmu.Seketika, api menjadi lembut seperti balsam kayu-cendana di ekor Hanoman, dan sang bayu meniup lembut di sekeliling putranya yang heroik. Sang wanara kepo, mengapa api yang melompat-lompat di sekitar ekor emasnya, tak menyakitinya sama sekali. Ia berpikir, 'Ekorku terbakar hebat, namun aku hanya merasakan kesejukan, seolah-olah seseorang mengurapiku dengan balsam yang lembut. Oh, ini bahkan lebih menakjubkan dari gunung yang muncul diantara gelombang. Tapi mengapa aku merasakan keajaiban? Baruna sangat setia kepada Rama sehingga ia meminta Mainaka menerimaku. Mengapa aku kepo tentang api yang tak membakar ekorku, dikala ia tahu, kepada siapa kubaktikan diriku?’Kemudian, hatinya yang bijak, memberitahunya, 'Sita mendoakanmu!'Ia merasa telah melihat semua yang bisa dilihat di Alengka. Ia mengaum di atas atap dan, dalam sekejap, Hanoman berwujud menara tertinggi di kota itu. Saat berikutnya, ia menjadi monyet kecil asokawana lagi, sekecil kucing, dan ia melompat dengan gesit ke atap terdekat. Tali yang mengikatnya, terlepas dari tubuhnya dalam tumpukan tak berguna. Ia melompat turun ke jalan lagi, membesar saat ia tiba, lebih besar dari sebelumnya di Alengka. Menarik sebuah pilar yang berdiri di persimpangan jalan, ia menyerang rakshasa yang menyerangnya, membabat ratusan; sisanya melarikan diri. Hanoman berdiri mengaum di jantung Alengka yang indah dan ekornya berkobar di belakangnya bagaikan obor yang tak pernah padam.Kemudian, Hanoman melompat dari atap ke atap, membakar Alengka dengan ekornya yang terbakar, sementara angin bertiup di sekelilingnya, mengipasi api. Rumah-rumah masuk-angin dan terbakar, dan istana para bangsawan, saat api menyebar. Hanoman, mengaum kegirangan, berlari ke seluruh kota, menyentuhnya dengan ekornya seolah-olah ia menyalakan seribu lampu yang mencengangkan. Rakshasa, rakhshasi, wanita dan anak-anak, berhamburan keluar dari rumah mereka. Seluruh kota bergema oleh tangisan saat tempat tinggal mereka, yang ditata oleh Wiswakarman, berderak dan terbakar. Dan semua yang ada di dalamnya, rampasan dari ratusan perang, dilahap oleh neraka Hanoman. Sutra, brokat, dan permadani yang tak ternilai harganya, jadi debu. Kencana-kencana Alengka, lebur dan leler ke jalan-jalan yang gelap, dan jantung permata berharga itu, terbenam dalam api yang menyelimuti ibukota Rahwana. Pilar-pilarnya retak oleh panas yang membara, rumah-rumah besar runtuh.Saat ia telah membakar sebagian besar Alengka, Hanoman melompat tinggi ke udara dan mendarat dengan getaran hebat di atap istana Rahwana. Sang wanara berlari melintasi atap itu, besar seperti kota, menyentuh setiap sudut dengan ekornya yang mengamuk. Istana Rahwana terperangkap dan terbakar seperti jerami. Api di ekor kera itu ganas, dan menggairahkan nafas yang dengannya sang bayu mengipasi api. Para harem memuntahkan wanita-wanita lezatnya, berteriak di atas deru api dan deru angin.Setelah itu, ia melompat ke pantai putih di bawah, tangisan para rakshasa yang masih terngiang di telinganya. Ia mencelupkan ekornya yang mendesis ke dalam ombak dan memadamkan api yang menakjubkan, yang tak menghanguskan sehelaipun rambutnya.Ia lalu memutuskan akan mengunjungi Sita sekali lagi, sebelum ia meninggalkan Alengka. Satu lompatan besar dan ia mendarat di hadapannya. Wajah Sita berseri-seri, dan ia menangis, ‘Duhai Hanoman! Engkau sendiri sudah cukup untuk menyasap Alengka dari muka bumi. Engkau lebih kuat dari yang kubayangkan. Tapi, terbanglah sekarang, wanara yang baik, terbanglah ke Rama membawa pesanku.’Hanoman berkata, 'Jangan cemas, Dewi. Rama akan berada di sini dalam beberapa hari dengan tentara wanara. Sampai jumpa Dewi!'Sita berkata, 'Terbanglah Hanoman, terbanglah ke yayangku!'Hanoman melompat kembali ke puncak Trikuta, dan dari sana ke gunung lain yang disebut Arista. Sekarang, ia tumbuh tinggi seperti ia berada di atas Mahendra di seberang laut; tubuhnya menjulang ke langit laksana sebuah gunung berdiri di atas gunung yang lain. Saat ia maju-mundur di puncak bukit, mencari tempat yang sulit untuk meluncurkan dirinya, Hanoman menghancurkan bebatuan di bawah kakinya menjadi debu dan Arista berguncang seperti Mahendra. Menghadap ke Utara, sang wanara emas, sejenak menatap gelombang berbuih jauh di bawah sana. Ia berjongkok, seluruh ototnya meregang untuk melompat. Dengan teriakan yang menggetarkan lautan, Hanoman meluncurkan dirinya ke udara, dan Alengka berguncang seolah gempa-bumi. Saat tubuhnya lepas-landas dari bumi dan mulai melayang di udara, Hanoman bersenandung,Born free[Terlahir merdeka]As free as the wind blows[Semerdeka sang bayu bertiup]As free as the grass grows[Semerdeka rerumputan tumbuh]Born free to follow your heart[Terlahir merdeka 'tuk ikuti hatimu]Live free[Hiduplah merdeka]And beauty surrounds you[Dan keindahan mengitarimu]The world still astounds you[Dunia tetap menakjubkanmu]Each time you look at a star[Tiap kali engkau memperhatikan bintang]Stay free[Tetaplah merdeka]Where no walls divide you[Dimana tiada dinding memisahkanmu]You're free as a roaring tide so there's no need to hide[Engkau merdeka bagaikan gelombang bergemuruh, jadi tak perlu sembunyi]Born free[Terlahir merdeka]And life is worth living[Dan hidup pantas di jalani]But only worth living[Namun hanya patut dijalani]'Cause you're born free *)[Lantaran engkau terlahir merdeka]Bagaikan anak panah, sang wanara terbang ke Utara melewati desiran-ombak, melesat kembali ke arah Baratawarsa."
- Ramesh Menon, The Ramayana: A modern Translation, HarperCollins
- Bibeck Debroy, The Valmiki Ramayana, Penguin Books
- Imogen Tyler, Stigma, Zed Books
*) "Born Free" karya John Barry dan Don Black.
[Bagian 17]
[Bagian 15]