Sabtu, 01 Oktober 2022

Hanoman Obhong : Sakti

“Kita tak bisa begitu saja menghapus sejarah. Kita hanya bisa menjelaskannya dengan lebih baik dan berharap dapat pelajaran darinya. Masa-lalu kita, memang tak selalu mudah dihadapi, namun belajar dari masa-lalu, membuat kita memahami apa yang terjadi dan menggunakan keadaan itu, sebagai panduan di masa-depan. Konteks sejarah yang tersaji tentang orang, tempat, dan peristiwa masa-lalu, akan membantu kita semua, belajar menimbang-nimbang," sang Purnama merenung sejenak.
"Jadi, harap diperhatikan, apa yang akan kututurkan, semata sebuah metafora, tentang kejadian di negeri Zamrud. Ia tentang Sakti, kekuatan dinamis yang diperkirakan bergerak di alam semesta. Energi ini, dianggap sebagai punya daya-cipta, keberkelanjutan, serta berdaya merusak, dan adakalanya disebut sebagai sumber energi yang berfaedah.

Ceritanya seperti ini: Sakti meminta Syiwa, menceritakan sebuah dongeng yang akan menghibur semua orang di masa yang bergejolak. Tapi tunggu dulu, siapa atau apa sih Sakti itu? Dalam gerakan kompleks yang disebut Tantrisme, peran sentral dimainkan oleh kemunculan dan dominasi sosok dan simbol seorang dewi atau wanita suci, Sakti, dalam berbagai pencerahannya. Ia bisa digambarkan sebagai dirinya sendiri, Sakti, sebagai prinsip tertinggi alam semesta, atau direproduksi di bawah spesies beberapa Sakti. Berbagai dewi, modifikasi dari satu Sakti, dibedakan dalam dua jenis: yang pertama, bersinar dan bermanfaat (semisal, Parwati-kekuatan, Uma-pengetahuan, Laksmi-kemakmuran, Gauri-kesuburan); yang kedua, menakutkan dan kelam, (semisal Kali-kehancuran, Durga-perang, Chamunda-pengorbanan). Manusia bergerak ke arah pengabdian dan pemujaan (bhakti dan puja), guna mencapai pengalaman emosional (rasa) dengan nuansa misterius.
Syiwa menarasikan Ramayana, kisah Sita dan Rama. Hikayatnya mengalir dengan cara yang berbeda, dalam bahasa yang berbeda, kata-kata yang berbeda, nuansa yang berbeda dan emosi yang berbeda. Adakalanya berpuisi, terkadang prosa dan acapkali semata isyarat. Karakter muncul, berubah dan kemudian menghilang dalam sekejap. Ia menceritakan tentang tetumbuhan yang bisa ngomong dan hewan yang mampu berpikir; para dewa yang kalah dan para setan yang menang; bajingan heroik dan pahlawan jahat; orang bijak dan pemburu; korban dan penggoda. Waktu terplintir dan ruang terhampar saat narasi berlangsung.
Seekor burung gagak yang kepo, bernama Kakabhusandi, tak sengaja mendengar hikayat ini dan berbagi apa yang dapat diingatnya dengan Narada, resi keliling yang senang ngobrol dan bertukar-pikiran antara langit dan bumi. Narada menceritakan apa yang diingatnya kepada Walmiki, yang mengubah cerita dalam bentuk tembang dan mengajarkannya kepada sang kembar Lawa dan Kusa.
Lawa dan Kusa menembangkannya di hadapan raja Ayodhya, tak menyadari bahwa dirinyalah sang protagonis dari kisah itu, dan ayahnya. Rama tak mengenali pula putranya, dan merasa sulit mempercayai bahwa langgam yang mereka nyanyikan dengan sangat indah itu, tentang dirinya. Rama yang mereka gambarkan, teramat sempurna. Sita yang diingatnya, bahkan lebih baik. Namun tembang yang mereka lantunkan, kurang lengkap. Ada lebih banyak warita.
Langgam Lawa dan Kusa itu, Ramayana-Purwa, bagian awal. Ia mencitrakan Rama sebagai eka-bani (yang panahnya selalu tepat-sasaran), eka-wacani (yang selalu menepati janjinya) dan eka-patni (yang berbakti pada seorang istri). Dirinyalah maryada purusottam, penegak aturan tertinggi. Ia berakhir bahagia setelah babak keenam kemenangan Rama atas raja rakshasa Rahwana, dan akhirnya dinobatkan sebagai raja Ayodhya dengan istrinya, Sita, di sisinya.
Namun hikayat berlanjut ke Ramayana-Uttara, bagian terakhir, dengan babak yang menggambarkan pemisahan Sita dan Rama, pertarungan antara ayah dan anak, rekonsiliasi berakhir dengan Sita sirna ke bumi, dengan ia berjalan ke sungai Sarayu, tak pernah muncul lagi.
Lantas, dimana sebenarnya Ramayana berakhir? Nggak ada, kata resi Abiyasa, yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan tembang-tembang Weda. Ia menyampaikan bahwa setelah melepaskan jasadnya sebagai Rama, Wisnu naik ke Sri Waikunta, tempat tinggal surgawinya di lautan-susu, dan kemudian kembali dengan raga yang baru, yaitu Kresna, yang amat berbeda dengan Rama.
Bukan seorang raja dan bukan pula kesetiaan pada seorang istri, Kresna seorang gembala dan kusir yang penuh kasih, namun dituduh sebagai orang yang mencuri mentega, orang yang mencuri hati, dan orang yang melarikan diri dari pertempuran dan hidup bertarung di hari yang lain. Ia pengubah permainan tertinggi. Riwayatnya tertuturkan dalam Mahabharata, yang menjadikan Mahabharata sebagai sambungan Ramayana.
Jadi, Mahabharatakah yang kemudian menandai akhir cerita yang dimulai sebagai Ramayana? Enggak juga sih. Dalam kronik yang dikenal sebagai Purana, kita diberitahu bahwa setelah Kresna, Wisnu mengambil lebih banyak bentuk sebelum turun sebagai Kalki, yang menunggang kuda, mengacungkan pedang, sangat mirip dengan penjarah yang menyerang, dan menandai pralaya, akhir dari masyarakat seperti yang kita kenal.
Lalu, pralayakah yang merupakan akhir dari Ramayana? Kagak, lantaran tepat ketika laut pasang mulai meluap dan menenggelamkan seluruh daratan, Wisnu berubah wujud jadi ikan kecil dan memohon umat manusia agar menyelamatkannya dari ikan yang lebih besar. Lelaki yang mendengarkan tangisannya menjadi Manu, tonggak tatanan sosial baru, lantaran ia menunjukkan potensi unik manusia untuk membantu yang tak berdaya, menentang hukum alam yang berpihak pada yang kuat.
Ramayana merupakan segmen dari siklus hikayat yang luas, salah satu bagian dari teka-teki jigsaw yang kompleks. Peristiwa dalam dongeng itu, konsekuensi dari masa-lalu dan penyebab masa-depan. Ia tak bisa dilihat secara terpisah. Melakukannya berarti melihat bintang dan mengabaikan langit. Ramayana bukanlah satu teks, atau bahkan banyak teks. Ia merupakan kepercayaan, tradisi, kebenaran subjektivitas, pemikiran yang terwujud, ritual dan dirayakan melalui narasi, lagu, tarian, patung, drama, lukisan dan boneka di ratusan lokasi, selama ratusan tahun. Setiap retelling, punya banyak anak-sungai dan bercabang banyak. Masing-masing punya kecenderungannya sendiri, dengan fokus pada rancangan yang berbeda, pada karakter yang berbeda, pada aspek yang berbeda dari kondisi umat-manusia, masing-masing secara inovatif menciptakan serta berkontribusi pada alur-cerita dan tema.

Trus, apa dong implikasinya? Dalam banyak hal, sejarah diawali dan diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan; boleh dikata bahwa ia tak pernah benar-benar berakhir, melainkan sebuah proses. 'Sejarah' sering merujuk pada masa-lalu itu sendiri, dan apa yang dicatat oleh para sejarawan tentang masa-lalu. 'Historiografi' dapat bermakna proses penulisan sejarah, atau studi tentang proses itu. Historiografi merupakan proses penulisan sejarah; dan 'sejarah' berarti produk akhir dari proses itu. Ada perbedaan penting antara 'sejarah' dan 'masa-lalu'. Bahasa, memang bisa membingungkan.
Seringkali, para sejarawan menafsirkan alur-cerita secara berbeda. Ada yang takkan menganggapnya penting, atau tak menarik sama sekali. Pilihan-pilihan ini, bukan semata berkaitan dengan kebetulan atau kepandaian, melainkan dengan apa yang menarik minat kita. Andaikan kita sejarawan, kita terperangkap dalam kumpulan minat, moral, etika, filosofi, gagasan tentang cara dunia bekerja, dan mengapa orang melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Bukti dan catatan menyajikan gambaran dan teka-teki; yang sebenarnya, tantangan.
Boleh jadi, ada kekosongan dalam sebuah cerita, sejarawan mengisi kekosongan ini, dengan seni menebak dengan baik. 'Menebak' menunjukkan tingkat ketidakpastian tentang proses historiografi. Walau mungkin terungkap bahwa terkadang sejarawan melakukan kekeliruan. Pastilah, mereka melakukannya: sejarawan kan manusia biasa, bisa keliru-baca, keliru-ingat, keliru-tafsir, atau keliru-paham, atau mungkin gagal-paham tentang sesuatu. Namun dalam makna yang lebih luas, sejarawan selalu mendapatkan hal yang 'keliru'. Kita mengalami hal seperti ini lantaran kita tak pernah bisa sepenuhnya 'benar'. Setiap catatan sejarah, punya celah, masalah, kontradiksi, sudut ketidakpastian. Kita bisa pula 'keliru' sebab kita tak selalu sepakat; kita perlu membuatnya 'keliru' dengan cara kita sendiri. Namun, meskipun keliru, sejarawan selalu berusaha membuatnya 'benar'. Kita berusaha agar tetap berpegang pada apa yang kita anggap benar-benar terucapkan oleh bukti, guna mencari seluruh bahan yang tersedia, agar memahami sepenuhnya apa yang terjadi, dan kita tak pernah mengarang 'fakta'. Sejarawan terkadang suka mendefinisikan karya mereka, berlawanan dengan karya sastra. Seorang penulis fiksi dapat menciptakan orang, tempat, dan kejadian, sedangkan seorang sejarawan, terikat oleh apa yang akan didukung oleh bukti. Perbandingan ini, mungkin menjadikan sejarah tampak agak gersang dan tak imajinatif. Namun, sejarah melibatkan pula imajinasi, dalam menghadapi bukti itu, menyajikannya, dan menjelaskannya. Bagi setiap sejarawan, yang dipertaruhkan ialah apa yang sebenarnya terjadi–dan apa maknanya. Ada yang menghebohkan dalam upaya tak pasti ini, demi menjangkau 'kebenaran', sebuah kebenaran yang sangat mungkin pada titik manapun, terungkap sebagai sesuatu yang dibuat-buat.
Keraguan-keraguan ini, diperlukan agar 'sejarah' tetap ada. Andai masa-lalu berlabuh tanpa celah dan masalah, takkan ada tugas yang harus dituntaskan oleh sejarawan. Dan jika bukti yang ada selalu berbicara dengan gamblang, jujur, dan jelas kepada kita, bukan cuma sejarawan tak punya pekerjaan yang harus ditunaikan, kita takkan berkesempatan pula, saling-berargumen. Di atas segalanya, sejarah adalah sebuah argumen. Argumen di antara sejarawan yang berbeda; dan, barangkali, argumen antara masa-lalu dan masa-kini, argumen antara apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang bakal terjadi selanjutnya. Argumen itu penting; ia menciptakan kemungkinan mengubah sesuatu.

Sejarah itu 'benar' dalam hal bahwa hendaknya selaras dengan bukti, fakta yang diminta; atau jika tidak, seyogyanya menunjukkan mengapa 'fakta' itu keliru, dan perlu dikerjakan ulang. Pada saat yang sama, sejarah adalah 'cerita', dalam makna interpretasi, menempatkan 'fakta' itu dalam konteks atau narasi yang lebih luas. Para sejarawan menceritakan kisah, dalam artian bahwa mereka keluar untuk membujukmu—dan diri mereka sendiri—tentang sesuatu. Metode persuasi mereka, sebagian bergantung pada 'kebenaran'–tak mengarang-ngarang, tak menyajikan hal-hal selain apa adanya–namun pula, menciptakan narasi yang menarik, koheren, dan berguna tentang masa lalu. Masa-lalu itu sendiri, bukanlah sebuah narasi. Secara keseluruhan, sama kacaunya, tak terkoordinasi, dan kompleks laksana kehidupan ini. Sejarah itu, tentang memahami kekacauan, menemukan atau menciptakan pola dan makna dan cerita dari peristiwa yang berlangsung amat cepat.
Memikirkan sejarah, memberi kita peluang dan bahaya. Ia memungkinkan kita merenungkan hubungan kita dengan masa-lalu, melihat jenis cerita yang telah kita pilih untuk diceritakan tentang masa-lalu, cara kita sampai pada cerita itu, dan efek dari menceritakan kisah itu. Ketika masa-lalu memasuki kembali masa-kini, ia menjadi tempat yang sangat kuat. Bagian dari berpikir tentang 'sejarah' adalah memikirkan untuk apa—atau untuk siapa—sejarah itu.
Kita, tentu saja, terlibat dalam penyelidikan kita sendiri, kontemporer, dan historis. Kita dapat melihat kembali ke 'historisisasi' sejarah itu sendiri; yaitu, melihat apa akarnya, dari mana asalnya, bagaimana ia berubah, dan untuk apa ia digunakan di waktu dan tempat yang berbeda. Fokus kita seyogyanya pada masa-kini: menggunakan historiografi masa-lalu sebagai perbandingan dengan apa yang kita lakukan sekarang, dan sebagai pengingat bahwa jika sejarah, sebagai subjek, telah berubah dari waktu ke waktu, ia mungkin akan berubah lagi. Akibatnya, akan ada kesenjangan besar dalam cerita berikutnya. Namun, semua sejarah dalam beberapa hal, hendak mengatakan sesuatu tentang masa-kininya sendiri.

Kita perlu waspada bahwa bagian dari cerita itu, tak tercampur dengan apa yang akan kita kenali sebagai sejarah politik yang lebih 'faktual'. Herodotus, yang acapkali dilabel sebagai 'Bapak Sejarah', selalu dengan senang-hati menyimpang dari kisahnya mengenai peristiwa politik guna memberitahu kita tentang kebiasaan lokal suatu bangsa, hewan-hewan aneh dan menakjubkan di berbagai daerah, dan setiap kisah mengagumkan yang menarik minatnya. Karenanya, Herodotus dikenal pula sebagai 'Bapak Ngibul'. Namun, Herodotus sendiri, takkan melihat perbedaan antara unsur-unsur ini: memang, ia sering bersusah-payah menyatakan bahwa apa yang ia sampaikan, dapat dipercaya oleh para saksi yang mengkonfirmasinya.
Penulis Romawi Sallust dan Cicero berpendapat bahwa ada aturan dan kode yang harus diikuti dalam segala jenis penulisan, dan khususnya menulis sejarah. 'Retor' (atau narator) sejarah harus mengatakan kebenaran tanpa memihak, walau jika itu menyinggung orang lain; harus mengatur segala sesuatunya secara kronologis dan geografis; harus menyampaikan 'perbuatan besar' apa yang telah dilakukan, memperhatikan penyebabnya, termasuk karakter dan peluang; dan harus 'menulis dengan tenang dengan gaya mengalir yang mudah'. Maksud dari peraturan tersebut, bahwa sejarah yang ditulis harus bersifat persuasif, dan diterima dengan baik. Elemen retoris ini, punya warisan historiografis yang panjang.

Sejarah memang sangat kompleks, sangat sulit, dan tak sepenuhnya aman, akan tetapi, mengapa ia penting? Acapkali, kita dianjurkan mempelajari sejarah supaya mengambil pelajaran untuk masa-kini. Nah, ini problemnya. Jika yang kita maksudkan bahwa sejarah memberi kita pelajaran untuk dipelajari, tiada seorang pun dalam ruang-kelas yang berminat. Terlepas dari hal lain, jika pelajaran ini—pola, struktur, hasil yang diperlukan—ada, ia akan memungkinkan kita memprediksi masa-depan. Tapi kan, nggak juga; masa-depan tetap buram dan menarik seperti sediakala. Namun, jika yang kita maksud bahwa masa-lalu memberi kita kesempatan menarik pelajaran guna dipertimbangkan, itu lebih meyakinkan. Memikirkan apa yang telah dilakukan manusia di masa-lalu–yang buruk dan yang baik–menyediakan contoh yang dapat digunakan merenungkan tindakan kita di masa-depan, seperti halnya mempelajari novel, film, dan televisi. Akan tetapi, membayangkan bahwa ada pola-pola konkrit pada peristiwa-peristiwa masa-lalu, yang dapat menyediakan pola bagi kehidupan dan keputusan kita, berarti memproyeksikan ke dalam sejarah sebuah harapan akan kepastian, yang tak dapat dipenuhinya.
Anjuran lain, bahwa sejarah memberi kita identitas, seperti halnya ingatan bagi seorang individu. Hal ini memang benar sebagai sebuah fenomena: berbagai kelompok, mengklaim peristiwa masa-lalu sebagai dasar identitas kolektif mereka. Namun, ini juga berbahaya, sebab peristiwa konflik berdarah antara kelompok etnis yang berbeda di seluruh Eropa, meyakinkannya dengan pasti. Kita dapat mengklaim masa-lalu sebagai bagian dari identitas kita, tapi terpenjara oleh masa-lalu, berarti kehilangan sesuatu dari kemanusiaan kita, kapasitas kita guna membuat pilihan yang berbeda dan memilih cara yang berbeda untuk melihat diri kita sendiri.
Terkadang pula, dianggap bahwa sejarah dapat menunjukkan kepada kita, wawasan yang mendalam dan mendasar tentang kondisi manusia; bahwa memilah-milah masa-lalu kita, boleh jadi menemukan beberapa benang intrinsik dalam hidup kita. Sejarawan telah lama ditugasi dengan peran meramal 'esensi', sifat manusia, Tuhan, situasi, hukum, dan sebagainya. Namun adakah gunanya 'esensi' bagi kita sekarang? Percayakah kita pada keterkaitan 'esensial' antara manusia dan waktu yang berbeda? Jika ya, itu karena kita hendak menghadirkan hak asasi manusia universal, kita ingin berpegang pada kesusilaan dan harapan. Dan demikian pula kita. Namun para sejarawan tidak, dan tak seharusnya, banyak berguna di sini: sejarawan dapat mengingatkan kita bahwa 'hak asasi manusia' itu, penemuan sejarah (tak kurang 'nyata' bagi semua itu) sama seperti 'hukum alam', 'kepemilikan' ', 'keluarga', dan seterusnya.
'Esensi' bisa membawa masalah bagi kita, seperti ketika kita percaya bahwa istilah 'pria' selalu bisa menggantikan 'wanita'; atau ketika kita berpikir bahwa 'ras' yang berbeda memiliki karakteristik intrinsik; atau ketika kita membayangkan bahwa cara politik dan pemerintahan kita, satu-satunya pola perilaku yang tepat. Jadi, sejarawan mungkin mengambil pekerjaan lain: sebagai pengingat bagi mereka yang mencari 'esensi' dari harga yang mungkin dituntut.

Namun ada alasan alternatif mengapa memperhatikan sejarah dan mengapa ia penting. Yang pertama, semata 'enjoyment'. Ada kenikmatan dalam mempelajari masa-lalu, seperti halnya dalam mempelajari musik atau seni atau film atau botani atau perbintangan. Diantara kita, ada yang merasa 'enjoy' melihat dokumen-dokumen lama, menatap lukisan-lukisan tua, dan melihat sesuatu dari dunia yang tak sepenuhnya milik kita. Jika tiada yang lain, engkau bolehlah menikmati unsur-unsur tertentu dari sejarah masa-lalu, bahwa engkau enjoy bertemu dengan Guilhem de Rodes, Lorenzo Valla, Leopold von Ranke, George Burdett, dan Sojourner Truth.
Kedua, menggunakan sejarah sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk berpikir. Mempelajari sejarah hendaknya mengeluarkan diri dari konteks saat ini dan menjelajahi dunia alternatif. Ia tak bisa tidak membuat kita lebih sadar akan kehidupan dan konteks kita sendiri. Agar melihat bagaimana para menungso berperilaku berbeda di masa-lalu, memberi kita kesempatan berpikir tentang bagaimana kita berperilaku, mengapa kita berpikir dengan cara yang kita lakukan, hal-hal apa yang kita anggap remeh atau andalkan. Mempelajari sejarah berarti mempelajari diri kita sendiri, bukan karena 'sifat manusia' yang sulit dipahami, yang dibiaskan sejak berabad-abad yang lalu, tetapi lantaran sejarah membuat kita merasa sangat lega. Mengunjungi masa lalu itu, sesuatu yang bagaikan mengunjungi negara asing: ia melakukan beberapa hal yang sama dan beberapa hal yang berbeda, namun di atas segalanya, ia menjadikan kita lebih sadar, akan apa yang kita sebut 'rumah.'
Ketiga, sekali lagi, ini terkait dengan dua yang sebelumnya: berpikir secara berbeda tentang diri-sendiri, guna mengumpulkan sesuatu tentang bagaimana kita 'tampil' sebagai individu manusia, juga untuk disadarkan akan kemungkinan melakukan sesuatu secara berbeda. Sejarah itu, argumen, dan argumen menghadirkan peluang perubahan. Ketika disajikan dengan beberapa dogmatis yang mengklaim bahwa 'inilah satu-satunya tindakan' atau 'inilah bagaimana hal-hal selalu terjadi', sejarah memungkinkan kita agar mengajukan keberatan, guna menunjukkan bahwa selalu ada banyak tindakan, banyak cara menjadi sesuatu. Sejarah memberi kita alat untuk berbeda pendapat."

Sang Purnama menutup perenungannya, "Dan demikianlah, sejarah tak pernah benar-benar berakhir, namun kita harus mengakhiri perbincangan singkat ini. Sekarang, mari kuperkenalkan, 'Bestie, ini sejarah; sejarah, ini bestieku,' dan aku sangat berharap, engkau dapat melanjutkan perkenalanmu. Chao dan Allahu a'lam!"
Kutipan & Rujukan:
- John H. Arnold, History: A Very Short Introduction, Oxford University Press
- Devdutt Pattanaik, Sita: An Illustrated Retelling of the Ramayana, Penguins Book
[Bagian 10]
[Bagian 8]